MANAQIB para mursyid tarekat
Ya
Tuhanku Engkaulah Yang Menjadi Tujuanku Dan Keridhoan-Mulah Yang Daku Cari
Izinkanlah Daku Untuk Mencintaimu Dan Ma’rifat Kepadamu
MANAQIB
SYEKH AHMAD SHOHIBUL WAFA TA’JUL ARIFIN
(ABAH ANOM)
DAN PARA mursyid tarekat
oleh :
Para Pecinta Awlia
Semoga
Menjadi Wujud Khidmad Dan Mahabbah Kepada Beliau Guru Tercinta Dan Para Awlia
Serta Bermanfaat Bagi Para Ikhwan Tarekat Qodiriyyah Wannaqsyabandiyyah
MANAQIB
Salam Untuk Wali Mursyid
SYEKH AHMAD SHOHIBUL WAFA TA,JUL
ARIFIN ( ABAH ANOM )
السَّلَامُ عَلَيْكَ – Salam untukmu
يَا مَالِكَ الزَّمَانِ wahai penguasa zaman
,وَ
يَا إِمَامَ الْمَكَانِ pemimpin wilayah
,وَ
يَا قَائِمَ بِأَمْرِ الرَّحْمَانِ penegak ketentuan ar-Rahman
,وَ
يَا وَارِثَ الْكِتَابِ pewaris kitab
,وَ
يَا نَائِبَ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ wakil Rasulullah s.a.w.
,يَا
مَنْ مِنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ عَائِدَتُهُ yang selalu pergi pulang antara bumi dan langit
,يَا
مَنْ أَهْلَ وَقْتِهِ كُلُّهُمْ عَائِلَتُهُ yang orang-orang sezamannya adalah keluarganya
,يَا
مَنْ يُنَـزَّلُ الْغَيْثُ بِدَعْوَتِهِ yang diturunkan pertolongan karena doanya
,وَ
يُدَرُّ الضَّرْعُ بِبَرَكَتِهِ – yang dikucurkan limpahan susu karena keberkahannya
وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ – الْفَاتِحَةُ beserta rahmat Allah dan keberkahanNya,
al-Fatihah…
Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu
RIWAYAT
SINGKAT
SYEKH
AHMAD SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN
(ABAH
ANOM)
Syekh
A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di
Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah
bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj
Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg
School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah
semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai
perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih
dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar
ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren
Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa,
beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh
Ajengan Syatibi.
Dua
tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren
Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa
kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren
inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk
bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai
ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia
muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga
menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman
keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa
keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh
H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah
menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti
Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Di tanah suci
mekkah beliau banyak menimba ilmu seperti Fiqh, Hadits, Tauhid, Tafsir dan lain
sebagainya dari ulama ulama di mekah dengan system bandungan, di mekah beliau
juga memperdalam ilmu tasawuf di Ribath Naqsyabandy yang terletak di Jabal
Qubaisy yang waktu itu dibimbing oleh Syekh Romli. Syekh Romli merupakan salah
seorang wakil talqin dari Abah Sepuh. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim
kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai
banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau
meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu
agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar
berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar
menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam
budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam
penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan
baik.
Ketika
Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam
memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih
menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah
Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui
pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk
pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren
Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya
adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya
tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Di
samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan
dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti
dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP
Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah
kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah
Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah. Didirikannya Pondok Remaja Inabah
sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa
musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi
jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan,
pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa
agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu
merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui
pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga
orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan
H. Dudun Nursaiduddin.
Sejarah
Pondok Pesantren Suryalaya
Pondok
Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang
dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami
hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari
masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan.
Namun
Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru beliau,
Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui dengan selamat.
Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin
Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal
sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok
Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu Surya =
Matahari, Laya = Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti
tempat matahari terbit.
Pada
awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru
beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga
bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai
wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya
Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan khirqoh (legitimasi
penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh Tholhah bin Talabudin
Seiring
perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang dan mendapat
pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah,
begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa disebut ikhwan.
Latar
belakang Masjid Nurul Asror dan Menaranya
Dukungan
dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin
menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk kelancaran tugas Abah
Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan
orang wakil talqin, dan beliau meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan
jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu TANBIH.
Syaikh
Abdullah bin Nur Muhammad berpulang ke Rahmattullah pada tahun 1956 di usia yang
ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya dilimpahkan kepada putranya yang
kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin yang akrab dipanggil dengan
sebutan Abah Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami
kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu
Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung
lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan
PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali
eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam
dan Negara.
Perkembangan
Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju, membaiknya situasi keamanan
pasca pemberontakan DI/TII membuat masyarakat yang ingin belajar Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah semakin banyak dan mereka datang dari berbagai daerah
di Indonesia. Juga dengan penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan
para mubaligh, usaha ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang
dalam asas tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke
tahun Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan
zaman, maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur
Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Menteri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri
(Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren
Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom
dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Setelah
itu Pondok Pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh pelosok Indonesia,
bahkan sampai ke Negara Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, dan Thailand,
menyusul Australia, negara-negara di Eropa dan Amerika. Dengan demikian ajaran
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pun semakin luas perkembangannya, untuk itu
Abah Anom dibantu oleh para wakil talqin yang tersebar hampir di seluruh
Indonesia, dan juga wakil talqin yang berada di luar negeri seperti yang
disebutkan di atas.
Pada
masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan aktif dalam
kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup,
dan Kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diperoleh baik dari
presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan dari dunia
internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan demikian eksistensi atau
keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya semakin kuat dan semakin dibutuhkan oleh
segenap umat manusia.
KAROMAH
ABAH ANOM MENYADARKAN TANTANGAN KIAI SAKTI PILIH TANDING
Diterima dari mantan ketua Yayasan
Pondok Pesantren Suryalaya Perwakilan Sumedang Bapak Etje Juardi beliau menerima dari orang yang bersangkutan, Kiai
Sakti.
Diceritakan Bapak Etje Juardi, ada Ulama
yang dikenal sakti mandraguna tanpa pilih tanding, namanya Kiai Jured. Beliau
sudah mengenal akan kemasyhuran dan ke Ulamaannya Abah Anom yang memiliki
jutaan pengikutnya dan terus berkembang sampai keluar negeri.
Suatu hari Kiai tersebut memiliki
rencana untuk menguji karomah Abah Anom dengan kesaktian yang dimilikinya. Kiai
tersebut datang ke Pondok Pesantren Suryalaya dengan satu bis yang membawa 70
santrinya. Semua santri disebar disekitar Pesantren Suryalaya, setelah Kiai itu
masuk ke halaman Abah Anom, tidak disangka Abah Anom sudah berada didepan
madrasah dan menyuruh Kiai untuk masuk ke madrasah Abah Anom bersama 70
santrinya yang telah disebar. Kiai tersebut merasa kaget akan kasyaf (penglihatan batin)nya Mursyid TQN.
Abah Anom meminta Kiai tersebut dan para santrinya untuk makan dahulu yang
telah Beliau sediakan di madrasah.
Di dalam madrasah Kiai memuji Abah Anom
tentang pesantren Beliau yang sangat luas nan indah, tetapi dibumbui kritik
secara halus tentang kekurangan pesantrenya yaitu tidak adanya burung
cendrawasih, burung yang terkenal akan bulunya yang indah. Beliau hanya
tersenyum dan menimpalinya dengan jawaban yang singkat : “Tentu saja Kiai”.
Suatu di luar jangkauan akal setelah jawaban itu burung cendrawasih yang
berbulu indah melayang-layang di dalam madrasah yang sesekali hinggap. Kejadian
itu membuat terpesonanya akan karomah yang dimiliki Beliau, Kiai itu diam
seribu bahasa.
Keajaiban lagi, ketika makan dengan para
santrinya yang 70 pun nasi yang di sediakan dalam bakul kecil itu tidak pernah
habis, hal itu mengingatkan akan kejadian mujizatnya Rosulullah saw . Kiai itu
sangat kagum akan karomah yang dimiliki Beliau dan merasa kesaktian yang
dimilikinya dan dibanggakannya itu sudah tidak ada artinya dihadapan Mursyid
Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin
atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom.
Benarlah ungkapan : “diatas langit ada
langit”. Namun, Kiai ini masih penasaran dan tidak mau kalah begitu saja,
setelah makan Kiai tersebut meminta kepada Beliau untuk mengangkat kopeah/peci
yang telah “diisi“, yang sebelumnya dicoba oleh para santrinya tidak terangkat
sedikitpun. Subhanallah .. hanya dengan tepukan tangan Abah Anom ke lantai
kopeah itu melayang-layang, Kiai merasa malu dan kalah lagi.
Selanjutnya Kiai tersebut mengeluarkan
batu yang telah disediakan sebelumnya, dan batu itu dipukul dengan “kekuatan”
tangannya sendiri sehingga terbelah menjadi dua, sedangkan belahannya diberikan
kepada Abah Anom. Kiai itu meminta kepada Abah Anom untuk memukulnya
sebagaimana yang telah dicontohkannya.
Abah Anom mengatakan kepada kiai itu :
“Abah tidak bisa apa-apa, yang bisa membelah itu adalah Allah, baiklah abah
hanya minta kepada Allah itu pun kalo diizinkan,” selanjutnya batu itu diusap
oleh tangan Mursyid dan batu itu menjadi air ,subhanallah…
Namun kiai tersebut masih penasaran
karena kesaktiannya belum bisa mengalahkan karomah Abah Anom sebagai Mursyid
Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah. Kiai mencoba menguji lagi karomah
Beliau dengan kelapa yang telah dibawa
santri dari daerahnya. Kiai tersebut meminta yang aneh-aneh kepada Abah Anom
agar isi dalam kelapa tersebut ada ikan yang memiliki sifat dan bentuk
tertentu.
Dengan tawadlunya Abah Anom menjawab:
“Masya Allah, kenapa permintaan kiai ke Abah berlebihan?, Abah tidak bisa
apa-apa . Seharusnya minta kepada Allah saja ,jangan kepada Abah. Hanya Allah
lah yang bisa mewujudkan segala sesuatu karena Dia Maha Berkehendak dan
Berkuasa”. Kiai itu masih penasaran akan permohonanya kepada Abah Anom,
selanjutnya Abah Anom berkata : “ Baiklah kalau begitu, kita memohon kepada
Allah. Mudah-mudahan Allah mengabulkan kita”. Setelah berdoa Beliau menyuruh
kelapa itu untuk dibelah dua, dan dengan izin Allah didalam kelapa itu ada ikan
yang sesuai dengan permintaan sang kiai. Subhanalllah…
Selanjutnya, entah darimana datangnya di
tangan Abah Anom sudah ada ketepel, dan ketepel itu diarahkan atau ditembakan
kelangit-langit madrasah, sungguh diluar jangkauan akal, muncul dari
langit-langit burung putih yang jatuh
dihadapan Kiai dan Beliau
Setelah kejadian itu, Kiai menangis
dipangkuan Abah Anom, sadar dan memohon maaf atas kesombongan dan kesalahannya.
Akhirnya Kiai memohon kepada Abah Anom untuk diangkat menjadi muridnya dan
menjadi seorang pengamal Thoriqat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah .
Kiai itu ditalqin dzikir TQN (diajarkan
dzikir Thoriqat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah), dengan talqin dzikir itu
menyadarkan akan adanya Allah Yang Maha Mengetahui akan perbuatan jahat
makhluqnya baik lahir maupun batin dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Setelah
ditalqin Kiai menangis dipangkuan Abah Anom sampai tertidur. Anehnya, Bangun
dari tidur sudah berada dimesjid. Subhanallah.
ABAH
ANOM DAN PEMUDA YANG SUKA MELACUR
Salah satu wakil Talqin Thoriqoh
Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa
Barat Indonesia. Diceritakan ada seorang pemuda yang hobinya melacur, pemuda
tersebut berniat untuk berhenti dari pebuatannya yang tercela. Sudah berbagai
cara dilakukan untuk menghentikannya itu tidak membuat minat lacurnya berhenti.
Padahal, pelaksanaan amalan ibadah yang “super ketat” atas petunjuk dari para
kiai yang pernah dikunjungi dari berbagai daerahpun belum berhasil. Jadi, Sudah
tidak asing lagi baginya riyadloh (latihan) seperti puasa, dzikir, sholat baik
yang sifatnya wajib maupun sunat dan amalan lainnya.
Dalam
keadaan kondisi jiwa yang begitu kritis, datanglah pemuda itu ke Pondok
Pesantren Suryalaya untuk menemui seorang Wali Allah yaitu Abah Anom sebagai
Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah dan menceritakan maksud
kedatangannya. Abah Anom berkata : “Tidak apa-apa, asal jangan dilakukan
didepan Abah”. Setelah itu pemuda yang hobi “jajan” perempuan ditalqin dzikir
(diajarkan dzikir Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah) untuk diamalkan.
Seperti biasa pemuda tersebut datang ke
hotel yang telah dipesan untuk melaksanakan hasrat nafsunya “meniduri” wanita
pelacur. Setelah siap-siap semuanya, terbesit dalam benak pikiran dan jiwanya
akan bayangan wajah Abah Anom sebagai Mursyid TQN dan berkata : “Asal jangan
dihadapan Abah!”, pemuda itu terkejut dan gelisah, dengan segera meninggalkan
hotel. Gagallah keinginan nafsunya.
Dihari yang lain, pemuda itu datang lagi
ke hotel untuk melaksanakan hasrat nafsunya yang tidak terbendung. Namun,
disaat detik-detik akan melaksanakan maksiatnya, terulang kembali kemunculan
wajah Abah Anom dalam jiwa dan pikirannya dan mengatakan : “Tidak apa-apa, asal
jangan dihadapan Abah”. Pemuda itu kembali mengurungkan niatnya dan kembali
pulang.
Abah
Anom sedang bersama para pemuda
Cerita
ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul atau Ajengan
Gaos
Begitupun dihari-hari selanjutnya,
kejadian itu terus terulang jiwa dan pikirannya selalu dihantui bayangan
tatapan wajah Abah Anom seorang Wali Allah dan perkataannya disaat-saat akan
melakukan maksiat dengan pelacur. Kegagalan-kegagalan hasrat syetan yang
terulang dalam jiwa pemuda itu dikarenakan kemunculan wajah Wali Allah Mursyid
Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah.
Akhirnya, dengan kejadian itu pemuda
tersebut menghentikan dari hobinya melacur untuk selamanya dan menjadi pengamal
Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah. Sesungguhnya kejadian itu suatu
anugrah dari Allah untuk hamba yang dicintai dengan perantara Mursyid sebagai
pilihan-Nya. Subhanallah. Bayangan wajah Mursyid itu adalah sebagai burhana
robbihi (cahaya / tanda dari Allah) yang membawa berkah terhadap pemuda
tersebut.
Kita teringat akan kisah salah satu
utusan Allah yaitu Nabi Yusuf as. yang ditolong Allah ketika akan terjadi
maksiat dengan Siti Zulaikha. Dalam al-Qur’an Surat Yusuf ayat 24:
“Sesungguhnya wanita itu telah bemaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf,
dan Yusuf-pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu (Zulaikha) andaikata
tidak melihat burhana robbihi yaitu tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah agar
Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu
termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS: Yusuf 24)
Dalam ayat ini terdapat perkataan Allah
“Burhana Rabbihi”. Menurut perkataan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir,
juz II / 474 : “Adapun maksud “Burhaana Rabbihi” yang terlihat oleh Yusuf, maka
terdapat beberapa pendapat. Menurut sahabat Abdullah bin Abbas, Said, Mujahid,
Sa’id bin Jubair, Muhamad bin Sirin, Hasan, Qatadah, Ibnu Sholeh, Dlohah,
Muhammad bin Ishaq dan lain-lain yakni Yusuf melihat bayangan ayahnya (Ya’kub),
rupanya, bentuknya seakan-akan ayahnya marah-marah. Menurut sebagian riwayat
memukul dada Yusuf. Al-‘Aufi berpendapat dari Ibnu Abbas, maksud perkataan itu
ialah Yusuf teringat kepada bayangan wajah suami Zulaikha yaitu raja Qithfir
yang seolah-olah ada dirumah dan mengetahui apa yang akan diperbuat Yusuf.
Demikian juga Muhammad bin Ishaq berpendapat yang sama.” (Tafsir Ibnu Katsir,
II / 474) Subhanallah…
ABAH
ANOM DAN KIAI TOHIR
Tersebutlah seorang kiayi bernama
KH.Tohir yang sedang menimba ilmu di salah satu pesantren di kotanya. Konon
Sang Guru yang mengajarkan ilmu di pesantrennya tersebut melarang Kiayi Tohir
untuk tidak menemui seorang kiayi besar yang tinggal di Suryalaya bernama Abah
Anom, apalagi berguru kepadanya. Namun, setelah melalui penelusuran dan
pembelajaran ilmu tassawuf yang diajarkan di Pesantren Suryalaya, akhirnya
kiayi Tohir meminta kepada Abah Anom untuk dibaiayat atau ditalqin dzikir (di
ajarkan dzikir Thoriqoh). Namun, tentu saja dalam benak kiayi Tohir
kunjungannya ke Abah Anom yang tanpa sepengatahuan gurunya itu akan membuat
murka di pesantren dikotanya. Apalagi, setelah di talqin dzikir (pengajaran
dzikir thoriqat) ada suatu amanat dari Abah Anom yakni ucapan salam yang harus
disampaikan kepada guru dipesantrennya. Ketika kiayi Tohir sedang duduk menunggu
sholat berjamaah di Mesjid Nurur Asror di Kompleks Pesantren Suryalaya sebelum
ia kembali bertolak ke kampung halamannya, pikirannya terus berkecamuk tidak
bisa tenang. Ketika dalam benaknya terbersit bagaimana wajah murka gurunya yang
sedang memarahinya habis-habisan karena ketidak taatannya, tiba-tiba ada yang
menepuk pundaknya dengan sorban dan berkata: “Tong sok goreng sangka kabatur,
komo ka guru soranganmah, boa teuing teu kitu! dalam bahasa Indonesia : “jangan
selalu berburuk sangka terhadap orang lain, apalagi terhadap guru sendiri,
belum tentu seperti itu “. Kiyai Thohir begitu kaget ternyata yang menepuk
pundak dan membaca pikirannya itu adalah guru ruhaninya yang baru, yaitu Syekh
Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra (Abah Anom). Dari kejadian itu Kiai Thohir
mendapatkan pelajaran yang berharga bahwa seorang guru ruhani Mursyid Thoriqoh
Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah bisa mengetahui hati murid-muridnya dimanapun
mereka berada. Mursyid akan terus mengawasi dan membimbing hati murid-muridnya
agar hati selalu menuju Allah
Sepulang dari Pesantren Suryalaya dan
kembali ke Pesantren dikampungnya, Kiai Thohir menyampaikan amanat salam dari
Mursyid Kammil Mukammil Syekh ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra kepada
gurunya. Dan ternyata, diluar dugaan Kiayinya yang dipesantren itu malah memuji
Abah Anom bahkan Kiayi Thohir sebagai salah satu murid kesayangannya itu
dianjurkan untuk menjalankan ajaran yang di bawa oleh Abah Anom sebagai pewaris
para Nabi. Selanjutnya, Kiayi Thohir mengabdikan diri sepenuhnya kepada Abah
Anom dan mengamalkan ajaran yang telah diajarkannya. Akhirnya Kiai Thohir
dipercaya menjadi salah satu wakil Talqin, yaitu orang yang di izinkan untuk
mengajarkan atau mengijazahkan dzikir Thoriqoh kepada orang yang
membutuhkannya.
Cerita
ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul atau Ajengan
Gaos salah satu wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat Indonesia.
BERKAT
KAROMAH ABAH ANOM
KANKER
RAHIM JADI JANIN HIDUP
Abah
Anom
Cerita ini diambil dari ceramahnya
KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul atau Ajengan Gaos salah satu wakil Talqin
Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya,
Jawa Barat Indonesia.
KH.
Maksum memiliki seorang istri yang sedang mengandung. Menurut fonis dokter,
istri kiayi tersebut bukanlah kehamilan normal yang biasanya terjadi pada
seorang wanita. Namun istri KH.Maksum di vonis menderita kangker dan harus
segera dioperasi. Sang Kiayi akhirnya datang ke Suryalaya ingin bertemu Pangersa
Abah Anom untuk meminta doa beliau agar istrinya diberi kelancaran saat
operasinya nanti. Ketika kiayi Maksum mengutarakan maksudnya tersebut, Abah
hanya berkata: “Heug, sing jadi jelema”, dalam bahasa Indonesia: iya, jadi
manusia, maksudnya adalah semoga kandungan istri kiayi Maksum menjadi manusia
dengan izin Allah.
Dan ternyata, baru saja istri kiayi
Maksum satu langkah keluar dari rumah Pangersa Abah, dia merasakan
gerakan-gerakan dalam rahimnya itu, subhanallah. Kontan saja istri kiayi Maksum
kaget, dan langsung memeriksakan dirinya ke Dokter. Lalu apa kata Dokter?
Subhanallah, Dokter pun sama terkejutnya dengan pasangan suami istri Kiayi
Maksum tersebut. Allahu Akbar, kun fayakun, dengan izin-Nya melalui doa
Kekasih-Nya, daging jadi yang asalnya akan diangkat tersebut, ternyata berubah
menjadi sesosok manusia kecil yang menggemaskan berjenis kelamin laki-laki. Ya,
ternyata setelah dioperasi daging jadi itu berubah menjadi seorang bayi, yang
diberi nama Sufi Firdaus. Idos panggilan anak ini, hingga saat ini masih hidup
dan mengabdikan dirinya untuk menjadi murid Syeikh Ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin qs. (Abah Anom).
Diposkan
oleh Rajanya Para Waliullah Zaman ini Abah Anom di 01:10
WANITA MEMANGGIL- MANGGIL ABAH ANOM
SELAMAT
DARI TINDAK PERKOSAAN
Abdul telah tiada. Bunga di atas kuburan
Abdul yang terletak di area kuburan blok Nyongklang Selajambe Kab. Kuningan
tampak masih segar sekalipun sudah tiga hari terpanggang panas terik matahari.
Begitu pula gundukan tanah merah tampak terlihat masih basah padahal kuburan
sekelilingnya sudah kering bahkan terlihat retak-retak akibat kemarau
berkepanjangan.
Sepintas, tak ada yang istimewa pada
kuburan tersebut. Sama saja seperti kuburan yang lainnya. Namun sesuatu yang
beda akan terasa disana. Wangi bunga akan tercium manakala orang melewati
kuburan tersebut. Emangnya, siapa sich, yang “tertidur” di dalam sana? Inilah
kisahnya….
Adalah Abdul, seorang laki-laki yang 3/4
usianya dihabiskan dalam lembah kemaksiatan. Di kota Metropolitan, Abdul
menjelma menjadi bajingan yang Super Haram Jadah. Ia adalah jagoan yang tak
pernah kenal rasa takut. Bagi sesama penjahat, Abdul adalah momok yang
menakutkan. Bagi polisi lelaki yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato wanita
telanjang itu merupakan sosok penjahat yang super licin yang sulit ditangkap
karena kepandaiannya menggunakan jampi-jampi sehingga mampu berkelit dari
kejaran aparat. Kapanpun dan dimanapun, perbuatan maksiat tak pernah ia
lewatkan.
Hingga suatu malam di bulan November
2005….. Niat jahatnya muncul kembali ketika melihat seorang penumpang wanita
sendirian di mobil omprengan daerah Plumpang, Jakarta Utara. Bersama dua orang
temannya, ditodongkannya pisau ke arah sopir dan kernet yang tidak berdaya
menghadapi ancaman tersebut. Keduanya lalu diikat lalu Abdul CS. membawa
kendaraan tersebut ke salah satu tempat di Bogor yang sudah mereka persiapkan sebelumnnya.
Sesampainya di tempat, Abdul CS.
bermaksud untuk memperkosa wanita cantik tersebut. Dengan cara paksaan, wanita
itu -sebut saja Sinta- diminta untuk melayani nafsu binatangnya. Namun Sinta
berupaya sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari bahaya sambil berteriak :
“Abah, Abah, Abah, tolong saya!”. Subhanalloh, atas kehendak-Nya, disaat Abdul
akan melampiaskan nafsu kebinatangannya, tiba-tiba saja “burung” miliknya
mendadak terkulai lemas dan ia merasakan kesakitan yang luar biasa. Begitu juga
kedua temannya yang akan memperkosa Sinta mengalami hal serupa. Dalam keadaan
seperti itu, Sinta langsung melarikan diri………..
Setelah kejadian tersebut, Abdul CS
mengalami nasib naas. Kemaluannya membengkak dan tiga bulan kemudian, dua orang
temannya mati mengenaskan akibat “burung”nya MEMBESAR. Untunglah, Abdul cepat
sadar. Ia tahu, bahwa peristiwa tersebut merupakan hukuman dari Allah atas
dosa-dosa mereka yang telah diperbuat. Lalu, ia menemuia salah seorang temannya
yang sudah terlebih dahulu insyaf dan bertaubat.
Setelah diutarakan maksud dan
kedatangannya, teman Abdul tersebut membawanya ke salah satu Majlis Dzikir dan
kemudian bertaubat. Melalui Kiayi yang menuntunnya, iapun tahu bahwa taubat
tidak berarti harus menghilangkan seluruh tato yang ada ditubuhnya. Dengan
semangat yang kuat dan tekad yang membaja, Abdulpun mendapatkan Talqin Dzikir
dan mengamalkan semua amaliahnya seperti Khotaman meskipun dia hafalkan dari
latinnya.
Teman-teman seprofesi dulu di Jakarta
banyak yang ia temui sehingga dia memutuskan untuk hijrah dari Jakarta ke
kampung halamannya, takut jika niat jahatnya kembali muncul. Di kampung halamannya,
masyarakat tidak begitu saja bisa langsung menerimanya, malah menaruh rasa
curiga bahkan tak jarang kata-kata pedas sering dilontarkan kepadanya. Berbekal
TANBIH dan dzikrullah, ia tetap tersenyum dan berbaik budi. Sehingga akhirnya
masyarakatpun dapat menerima, bahwa Abdul telah kembali ke jalan yang lurus. Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, dia menjadi buruh tani dan pekerjaan serabutan
lainnya hanya untuk sesuap nasi sehingga tetap bisa melaksanakan amaliah
dzikrullah seperti yang pernah didapatkannya di Jakarta. Hingga akhirnya, pada
hari Jum’at di tahun 2006 selepas Subuh, ia dipanggil kembali oleh Allah dalam
posisi Tawajuh.
ABAH
ANOM ADALAH SULTHANUL AWLIA DI ZAMAN INI SEBAGAMANA FATWA SAYYID MUHAMMAD BIN
ALWI AL-MALIKI AL-HASANI AS-SYADZILI. RA
KH.
Dodi Firmansyah ditanya oleh almarhum Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani Ra
pada saat 40 hari menjelang wafatnya. Kiyai muda asal Garut tersebut
terperanjat saat al-‘alamah tersebut tiba2 menanyakan sosok guru yang telah
menanamkan kalimat agung dilubuk hatinya. Lebih terkejut lagi saat Ulama
tersebut “tercekat” sewaktu disebutkan nama Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin. Secara sepontan Al Imam al Alim al Alamah al Arif Billah Muhadits al
Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki al Hasni al
Husaini as Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh ahmad Shohibul wafa Tajul
‘Arifin adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman ( RAJANYA PARA WALI ZAMAN
SEKARANG ) bahkan beliaupun menyebutkan QODDASALLAHU SIRROHU bukan rodliyallohu
‘anhu seperti yang kebanyakan disebutkan oleh para ikhwan. Walaupun secara
dhohir Syekh Muhammad Alawy Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun
keduanya telah mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid
‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki
al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di Makkah pada tahun 1365 H.
Sekilas
profil KH.Dodi Firmansyah Usianya masih muda kelahiran garut tahun 1978. Sejak
usia SMP ia dikenal ahli hikmah sedangkan ketertarikan dalam dunia tasawwuf ia
ke Pondok Pesanttren Suryalaya sejak dimulai kelas 4 SD . Kiayi ini pernah di
didik langsung oleh almarhum Al-Alamah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki ra
di mekkah selama 6 tahun. Pulang mesantren dari mekkah pada tahun 2006, kiyai
ini menikah dengan Hj.Siti Fatimah putri seorang pengusaha asal Tasikmalaya dan
dikaruniai putra yang diberinama M.Lutfi L. Makki.
Pendapat
KH.Dodi tentang sosok Pangersa Abah Anom : Saya tidak bisa mengungkapkannya
dengan kata-kata. Cukuplah 2 pendapat Ulama kelas dunia yang mengomentarinya.
Pertama ungkapan dari guru saya sendiri di mekkah, yaitu Sayyid Muhammad bin
Alawy bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani ra. Beliau sendiri yang mengungkapkan bahwa
Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin qs. Adalah Sulthonul Awliya fi Hadza
Zaman dan kedua Mursyid Kammil Mukammil Thoriqoh Naqsyabandi Al-Haqqani,
As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani, sufi
kenamaan dari Cyprus-Turkey yang menyebutkan Pangersa Abah (Syekh Ahmad
Shohibul wafa Tajul ‘Arifin qs) adalah Sufi agung di timur jauh.Dalam majalah
sintoris (Sinar thoriqoh islam) disebutkan As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah
Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani ra mengatakan bahwa Syekh Ahmad Shohibul
wafa Tajul ‘Arifin adalah WALI AGUNG DITIMUR JAUH.. hal itu pernah disampaikan
juga di kampus oleh KH.Wahfiuddin setelah mendampingi syekh Mohammad Nazim Adil
al-Haqqani ke P.P.Suryalaya.
Syekh
Muhammad Al-Maliki Al-Hasani Ra
ABAH
ANOM DIMATA AS-SAYYID AL-‘ALAMAH AL-‘ARIF BILLAH SYEKH MOHAMMAD NAZIM ADIL
AL-HAQQANI AL-HASANI
As-Sayyid
Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani al-Hasani dari
Cyprus Turkey telah menegaskan :
"Banyak
para alim ulama dan para cendikiawan muslim memberikan pengetahuan agama kepada
umat, pengetahuan itu bagaikan lilin-lilin, apalah artinya lilin-lilin yang
banyak meskipun lilin-lilin itu sebesar pohon kelapa kalau lilin-lilin itu
tidak bercahaya. Dan cahaya itu salah satunya berada dalam qalbunya beliau (
Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul 'Arifin).
Saya
tidak tahu apakah Nur Illahi yang dibawanya akan putus sampai pada beliau saja,
atau masih akan berlanjut pada orang lain. Tapi saya yakin dan berharap,
sesudah beliau nanti masih akan ada orang lain yang menjadi pembawa Nur Illahi
itu. Siapakah orangnya, saya tidak tahu.
Maka Anda sekalian para hadirin,
ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini. Mumpung beliau masih ada, mumpung
beliau masih hadir di tengah kita, sulutkan Nur Illahi dari qalbu beliau kepada
qalbu anda masing-masing. Sekali lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang seperti
Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul 'Arifin.
Dari qalbu beliau terpancar
pesan-pesan kepada qalbu saya. Saya berbicara dan menyampaikan semua pesan ini
bukan dari isi qalbu saya sendiri. Saya mengambilnya dari qalbu beliau. Di
hadapan beliau saya terlalu malu untuk tidak mengambil apa yang ada pada qalbu
beliau. Saya malu untuk berbicara hanya dengan apa yang ada pada qalbu saya
sendiri."
As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah
Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani al-Hasani dari Cyprus Turkey telah
menegaskan :
"Banyak
para alim ulama dan para cendikiawan muslim memberikan pengetahuan agama kepada
umat, pengetahuan itu bagaikan lilin-lilin, apalah artinya lilin-lilin yang
banyak meskipun lilin-lilin itu sebesar pohon kelapa kalau lilin-lilin itu
tidak bercahaya. Dan cahaya itu salah satunya berada dalam qalbunya beliau (
Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul 'Arifin).
Saya tidak tahu apakah Nur Illahi yang
dibawanya akan putus sampai pada beliau saja, atau masih akan berlanjut pada
orang lain. Tapi saya yakin dan berharap, sesudah beliau nanti masih akan ada
orang lain yang menjadi pembawa Nur Illahi itu. Siapakah orangnya, saya tidak
tahu.
Maka Anda sekalian para hadirin,
ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini. Mumpung beliau masih ada, mumpung
beliau masih hadir di tengah kita, sulutkan Nur Illahi dari qalbu beliau kepada
qalbu anda masing-masing. Sekali lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang
seperti Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul 'Arifin.
Dari qalbu beliau terpancar pesan-pesan
kepada qalbu saya. Saya berbicara dan menyampaikan semua pesan ini bukan dari
isi qalbu saya sendiri. Saya mengambilnya dari qalbu beliau. Di hadapan beliau
saya terlalu malu untuk tidak mengambil apa yang ada pada qalbu beliau. Saya
malu untuk berbicara hanya dengan apa yang ada pada qalbu saya sendiri."
PROF.
DR. BUYA HAMKA KETUA UMUM MUHAMMADIYYAH DI BAI’AT TAREKAT QODIRIYYAH
WANNAQSYABANDIYYAH DAN MENJADI MURID ABAH ANOM
SIAPA
sangka mantan pimpinan Muhammadiyah Buya Hamka ternyata mengikuti Thoriqoh
Qodiriyah Naqsabandiyah. Ketua MUI pertama ini berbaiat kepada Abah Anom,
mursyid tarekat dari pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Hal
ini diungkapkan Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, baru-baru ini. Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan
disertasi, ada fotonya ketika berbaiat dengan Abah Anom. Cuma ada sebagian
orang Muhammadiyah yang tak percaya, katanya.
Mantan
Ketua Umum Fatayat NU ini menuturkan, Buya Hamka sendiri pernah berujar di
Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi Hampa.
Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya tidak termasuk di
dalamnya, karena itu saya mau masuk. Akhirnya beliau masuk, karena mungkin haus
spiritual, tandasnya. Buya Hamka berkata: diantara makhluk dan kholik itu ada
perjalanan yg harus kita tempuh. inilah yg kita katakan thoriqoh.
Hamka
memang dikenal memahami dunia thoriqoh. Salah satu karyanya adalah Tasawuf
Modern, yang mengupas dunia tasawuf dan penerapannya pada era modern ini.
Syekh
Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin ( Abah Anom ) memberikan jubah dan tongkat
kepada Prof. DR. Buya Hamka saat jadi Ketua MUI
PROF.
DR. HARUN NASUTION TOKOH YANG DIKENAL PALING RASIONAL DI BAI’AT TAREKAT
QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
DAN
MENJADI MURID ABAH ANOM
Tokoh lain yang dikenal publik
sangat rasional tetapi juga mengikuti tarekat adalah Harun Nasution. Menurut
Sri Mulyati yang lulus doctor dari McGill University ini, persentuhan Harun
dengan dunia tarekat dimulai ketika mengantar proses penyembuhan anaknya ke
Suralaya. Ia melihat, hanya dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh.
Akhirnya, sampai akhir hayatnya, beliau sangat sufi, ikut Abah Anom. Padahal
beliau seorang profesor yang sangat rasional, terangnya.
Ibnu
Taimiyah, yang oleh sebagian orang dipercaya anti-thoriqoh, ternyata juga
menjelang akhir hayatnya secara pribadi mengikuti tarekat.
Dalam
buku Syeikh Hisyam Kabbani, dia belajar dan mempraktekkan tarekat, memang tidak
mengajarkan. Seperti Imam Ghozali, belajar dan mempraktekkan, meskipun bukan
mursyid, setelah dia tidak puas di ilmu kalam, akhirnya belajar tasawwuf dan
mengamalkan sehingga menghasilkan rekonsiliasi, ujarnya.
ABAH
ANOM DAN JAGOAN DARI SURABAYA
K.H.
M. Ali Hanafiah Akbar, itulah nama seorang kiai yang berasal dari Surabaya.
Tidak terbayangkan kiai pemimpin pesantren tersebut adalah mantan jagoan
jalanan. Ini berdasarkan cerita beliau KH. Ali Hnafiah Akbar yang saat itu di
wawancarai oleh wartawan majalah Nuqtoh beliau menceritakan bahwa dirinya sejak
kecil tidak kefikiran punya cita-cita jadi kiai apalagi memimpin pesantren
tetapi cita-citanya sejak kecil adalah ingin menjadi seorang jagoan.
Keinginanya yang sangat kuat inilah membuat ia sangat gigih didalam mendalami
ilmu kanuragan atau bela diri bahkan setiap ada orang yang terkenal jago silat
pasti ia datangi. Berbekal ilmunya tersebut Ali berusaha menjadi jagoan jalanan
di Surabaya dan akhirnya ia pun hijrah ke Jakarta. Dan di Jakarta ia menjadi
tukang pukul salah satu perusahaan bahkan karena kemampuanya berkelahi yang
tidak terkalahkan ia pernah dikontrak oleh Edi Tansil untuk mengamankan proyek
besar. Ternyata hidayah merubah jalan hidup jagoan ini ia bertemu dengan salah
seorang ikhwan TQN dan entah apa yang terjadi didalam hatinya terbesit ingin
bertemu dengan Abah Anom Mursyid Toriqoh Qodiriyyah Wannaqsyabandiyah. Iapun
pergi dari Jakarta bermaksud menemui Abah Anom, dan maksudnya pun terlaksana
dan ia mendapat Talqin Dzikir oleh Abah Anom setelah itu abah anom menyuruhnya
pulang. Rupanya hatinya berkecamuk dan iapun mengeluh “jauh-jauh datang dari
Jakarta Cuma diajarin dzikir ,….huh….”. Tetapi apa yang terjadi setelah ada
dalam perjalanan mulutnya terasa terkunci, enggan berbicara kepada siapapun,
bahkan ia disangka orang stress…dari diamnya ia inilah ia merasa abah anom
selalu disampingnya dan mengajarinya berbagai macam ilmu tentang agama dan
entah kenapa setelah mulut mau berbicara kembali ia sudah bisa ceramah mengenai
ilmu-ilmu agama. Akhirnya beliau mendirikan pesantren dan mendapat Khirqah
sebagai wakil talqin Abah Anom di Surabaya.
ABAH
ANOM DAN PEMUDA JAGO SILAT
Diceritakan oleh
KH Komaruddin yang merupakan wakil talqin senior Abah Anom beliau menuturkan
bahwa ada salah seorang pemuda jago di dunia persilatan ( beliau KH Komaruddin
tidak menyebutkan nama pemuda tersebut). Pemuda tersebut suatu hari mendatangi Mursyid Kammil Mukammil
Syekh Ahmad Shohibul wafa’tajul Arifiin (Abah Anom ) dengan maksud menantang
untuk berduel denganya, hal ini karena pemuda tersebut mendengar kemasyhuran
Abah Anom. Tetapi Abah Anom dengan suara lembutnya menolak tantangan pemuda
tersebut, seraya mengatakan bahwa Abah tiada bisa apa-apa…. Setelah beberapa
kali mendapat tolakan dari abah anom ternyata pemuda tersebut semakin geram dan
marah, sehingga ia berusaha menerjang badan Abah Anom yang yang sedang duduk
bersila, tetapi apa yang terjadi …pemuda tersebut terpental seraya
menjerit………aing jin ……aing jin…..aing jin,…..aing jin,…….padahal Abah Anom
tiada bergerak dari tempat duduknya.
ABAH
ANOM DAN UPAYA PEMULIHAN KORBAN PENYALAH GUNAAN NARKOBA
Dalam
rangka memberikan andil terhadap bangsa dan Negara Abah Anom memiliki peram
serta dengan merintis dan membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani dan
menyembuhkan para korban kecanduan NARKOBA yang disebut dengan INABAH. Metode
yang diterapkan oleh Abah Anom di dalam INABAH menggunakan metode dzikir dan
shalat serta mandi taubat yang merupakan amalan TQN Suryalaya, dengan metode
ini ribuan pecandu NARKOBA berhasil disembuhkan bahkan INABAH sekarang sudah
berkambang ke beberapa daerah di Indonesia dan mancanegara.
ABAH
ANOM TELAH ADA DALAM PENGLIHATAN BATIN SYEKH TOLHAH KALISAPU CIREBON
Syekh
Abdullah Mubarrok Bin Nur Muhammad ( Abah Sepuh ) ayahanda sekaligus guru Abah
Anom
Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad
r.a, diangkat menjadi mursyid di Mesjid Kholwat oleh Syeikh Tolhah r.a. dari
Kalisapu Cirebon. Kemudian beberapa tahun setelah itu, Syeikh Tholhah r.a
menyuruh beliau untuk mendirikan pesantren dan diamanati dengan nama Pesantren
itu SURYALAYA yang artinya TEMPAT CAHAYA juga amanat agar pesantren itu
dikembangkan, karena dalam pandangannya, Pesantren dengan nama Suryalaya ini
nantinya akan menjadi pusat perkembangan Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah di
manca negara oleh putranya kelak yakni Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin (
Abah Anom )
Diceritakan ketika Syeikh Abdullah
Mubarok ( Abah Sepuh ) pulang berguru dari pulau Madura kepada Syeikh Kholil
Bangkalan Abah Sepuh langsung naik perahu tanpa dibekali dayung atau layar,
dengan hanya bekal sholawat Bani Hasyim yang dibacanya sepanjang perjalanan,
beliau sampai ke Cirebon. Artinya perahunya dijalankan hanya dengan bacaan
sholawat Bani Hasyim yang beliau dapatkan dari gurunya Syeikh Kholil Bangkalan.
SHALAWAT
BANI HASYIM
اَللَّهُمَّ
صَلِّ عَلَى النَّبِىِّ الْهَاشِمِىِّ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَسَلِّمْ
تَسْلِيْمً
Artinya :
Ya Allah, Berikanlah rahmat serta salam kepada seorang nabi
keturunan Bangsawan Hasyim,
yakni Muhammad beserta keluarganya, semogalah tetap selamat
dan sejahtera.
Silsilah Muktabar
Thoriqoh Qodiriyah Wannaqsyabandiyyah Suryalaya
Robbul Arbaabi Wamu tqurroobi Allah SWT
Sayyiduna Jibriil a.s
Sayyiduna Muhammad SAW
Sayyiduna Aliyyu Karomallahu Waj’hah
Sayyiduna Husain r. a
Sayyiduna Zainal Abidin r.a
Sayyiduna Muhammadul Baaqir r.a
Sayyiduna Imam Musa Al kadziim ra
Sayyiduna Imam Musa Al kadziim ra
Sayyiduna Abul
hasani Aliyyubnu Musa ArRidho ra
Syekh Ma’rufil Karkhi ra
Syekh Sirri Saqthii ra
Syekh Abul Qaasim Junaidi Al Baghdaadi ra
Syekh Abu Bakar Diifisyibili ra
Syekh Abul Fadli A.W
Atamimi ra
Syekh Abul Fraji Alturthuushi ra
Syekh Abul Hasan Aliyyubnu Yuusuufal Qirsli Alkhaari ra
Syekh Abu Sa’id Almubarrak Ibnu Alliyyu Almakhzuumi ra
Syekh Abdul Qoodir Al- Jaelani. Qsa
Syekh Abul Aziiz ra
Syekh Muhmmad Hattaak ra
Syekh Syamsuddin ra
Syekh Syaroffuddin ra
Syekh Nuuruddiin ra
Syekh Waliyyuddin. Ra
Syekh Hisyammuddin ra
Syekh Yahya ra
Syekh Abu Bakr ra
Syekh Abdurrohiim ra
Syekh Utsman ra
Syekh Abdul Fattah ra
Syekh Muhammad Muraad ra
Syekh Syamsuddiin ra
Syekh Ahmad KHaatib Syambas Ibni Abdil Ghofar ra
Syekh Tholhah ra Cirebon
Syekh Abdulah Mubarrak Bin Nur Muhammad ra ( Abah Sepuh )
Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin ( Abah
Anom )
KEMULIAAN
ABAH ANOM
MENURUT
( GURU SEKUMPUL ) ALLAMAH AL ‘ARIF BILLAH SYEKH M. ZAINI ABD. GHANI MURSYID
TAREKAT SAMMANNIYYAH
Ada
cerita menarik dari Subhan seorang Dosen IAILM Suryalaya pernah silaturahmi
kepada Tuan Guru Ijai Martapura Kalimantan Selatan. Di kisahkan Tuan guru Ijai
menyampaikan bahwa SYEH A. SHOHIBUL WAFA TAJUL ARIFIN ADALAH LAUTAN THORIQOH,
hal ini disampaikan kepada Pangersa Abah Anom kemudian di balas oleh Abah Anom
bahwa Tuan Guru Ijai adalah LAUTAN ILMU ....
Al
'Arif Billah Syekh Muhammad Zaini Abd. Ghani al Aidrus Martapura (kanan) dan Al
'Arif Billah Sayyid Muhammad al Maliki al Hasani as Syadzily Mekah
‘Alimul
‘allamah Al ‘Arif Billah Syekh M. Zaini Abd. Ghani adalah seorang ulama yang
menghimpun antara thariqat dan haqiqat, dan beliau seorang yang Hafazh AI-Quran
beserta hafazh Tafsirnya, yaitu Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim Lil-Imamain
Al-Jalalain. Beliau seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang sangat
jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah
SWT. beliau tidak pernah ihtilam.
Pada
usia 9 tahun di malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun
dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih
dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Safinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk,
tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada malam
jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat
ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan
masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk beliau melihat
masih banyak kursi yang kosong. Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk
mencari ilmu, tak disangka orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi
guru adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut.
Dalam
usia 10 tahun sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf
Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam atau yang
terdinding. Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan
manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit, begitu pula batu-batuan dan
besi.
Di
masa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abd Ghani
pernah bertemu dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husin yang keduanva
masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan
sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan
nama Zainal 'Abidin.
Karomah-
Karomahnya
Ketika
beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah selesai pembacaan
maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil
bercerita tentang orang-orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil
pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita tentang buah
rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan
diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangannya ke belakang dan
ternyata di tangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka
heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan
itupun langsung beliau makan.
Ketika
beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguh jamuan oleh shahibul bait maka
tampak ketika itu makanan tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah
piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, ternyata
makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak di
makan oleh beliau.
Pada
suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga
sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan
mengharap agar hujan bisa turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang
datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian
beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat
rumah beliau itu, maka beliau goyang goyangkanlah pohon pisang tersebut dan
ternyata tidak lama kemudian, hujan pun turun dengan derasnya.
Ketika
pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura,
kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang
akan dilalui oleh 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abd.
Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat mencemaskan
panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi harinya
jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering,
sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan
setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa
hari.
Banyak
orang-orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak
yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta
meninggal dalam kandungan ibunya, sernuanya ini menurut keterangan dokter harus
di operasi. Namun keluarga mereka pergi minta do'a dan pertolongan.
'Allimul'allamah 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani. Dengan air yang
beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa di operasi.
Kesaksian
al-Aalimul faadhil Guru Haji Ahmad Bakri : Jika saya berdusta dalam kesaksian
ini maka bolehlah saya dicap sebagai munafik. Ketika saya akan berangkat haji
pada suatu tahun, saya sowan kepada Guru Sekumpul. Dalam kesempatan itu saya
bertanya: wahai Abah! Siapakah Wali Qutub di negeri Makkah pada masa sekarang?
Guru Sekumpul tersenyum seraya berkata : “Bakri, Bakri… nama beliau adalah
Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Habsyi. Guru Bakri Berkata: “Dimanakah ulun dapat
menjumpai beliau?”. Guru Sekumpul menjawab; “engkau pasti akan berjumpa dengan
beliau”
Saya
pun (Guru Bakri) berangkat haji. Satu minggu sebelum pulang ke tanah air, belum
juga saya jumpa dengan beliau (Habib Abu Bakar). Akhirnya saya bertanya kepada
salah seorang mukimin di Makkah, dimanakah ada seorang yang terkenal sebagai
Wali di Makkah ini. Maka dijawab: “ada, beliau tinggal di daerah jabal Nur,
nama beliau adalah Habib Abu Bakar al-Habsyi”. Sayapun mencarter taxi ke sana
dengan satu orang teman (tidak ramai-ramai, karena ahlussunnah wal jama’ah
sangat dicurigai dan diawasi di Saudi). Sesampainya di sana pas waktu Ashar.
Selesai sholat Ashar, saya kagum dan terkejut karena ternyata wiridan yang
dibaca di sana persis seperti wiridan di sekumpul. Setelah selesai wirid
dilanjutkan dengan majelis ta’lim dengan membaca kitab syarah ‘ainiyyah, inipun
ternyata sama seperti di sekumpul (waktu itu Guru sekumpul pun sedang
mengajarkan kita syarah ‘ainiyyah). Setelah selesai majelis, maka sayapun minta
izin untuk bertemu dengan beliau. Tidak lama beliaupun keluar. Ternyata
orangnya sudah tua tetapi tampak masih sangat kuat dan bertenaga. Belum sempat
saya mengucap salam, beliau langsung berkata
مرحبا العالم الكبير شيخ زيني غني
مرتابورا
(selamat
datang, seorang Alim yang Besar syaikh Zaini Ghani Martapura),
padahal
saya tidak pernah memberi tahu beliau. Ternyata yang beliau lihat bukan saya,
tetapi Guru Sekumpul. Berarti Guru sekumpul sudah memberi tahu beliau (entah
bagaimana caranya) kalau saya akan sowan kepada beliau. Tanpa panjang
pembicaraan saya pun pulang. Karena sebelumnya sudah dinasehati oleh Guru
sekumpul untuk tidak banyak bicara. Yang penting minta diakui sebagai murid,
itu sudah cukup, sebab seorang guru akan memberi syafaat kepada muridnya. Setibanya
di Banjarmasin saya pun sowan ke Guru sekumpul dengan niat menceritakan kepada
beliau apa yang terjadi sekaligus menggembirakan beliau dengan kajadian itu.
Malam itu pas malam kamis, selesai pengajian, saya ikuti beliau dari belakang.
Beliau menoleh dan berkata: “Naik, Bakri”. Sayapun mengikuti beliau. Kami masuk
ke rumah beliau sampai ke dalam kamar beliau. Beliau mematikan lampu dan berdoa
agak lama. Setelah kurang lebih sepuluh menitan, selesai berdoa beliau berkata:
“sudah Bakri, kada usah bakesah lagi, Abah Tahu ai (yang terjadi).” ا.ه. (selesai
kisah Guru Haji Bakri)
Dalam
kitab al-Futuhat, Ibnu 'Arabi menyebutkan kitabnya yang berjudul Mawaqi'
al-Nujum, yang sering dipujinya sebagai kitab yang sangat bagus dalam mengupas
masalah karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat. Anggota tubuh
itu adalah mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, kaki, dan hati.
Apabila masing-masing anggota tubuh menaati hukum syara' dan dilakukan oleh
orang yang bertanggung jawab, maka akan muncul karamah. Dalam kitab tersebut
disebutkan berbagai pengetahuan, rahasia ilmu hakikat, dan manfaat ilmu syariat.
Mata
Di
antara karamah mata jika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan adalah mampu melihat tamu dari jarak jauh sebelum ia datang, bisa
melihat dari balik dinding tebal, melihat Ka'bah ketika shalat, dan lain-lain.
Di antara karamah lainnya adalah dapat menyaksikan alam malakut spiritual baik
malaikat, penghuni ketinggian (mala'ul a'la), jin, Nabi Khidir, dan para Abdal.
Di
antaranya pula ada yang dibukakan baginya alam ghaib di hadapan pandangan
matanya, sehingga ia dapat melihat apa saja yang terselubung di sebalik
dinding, bahkan ia dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh orang dirumahnya.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah kasyaf. Misalnya jika seorang wali
mendatangi rumah seorang yang telah berbuat zina atau mabuk atau mencuri atau
berbuat maksiat, maka wali itu dapat mengetahuinya, seperti yang terjadi pada
Syeikh Ibnu Arabi. Mukasyafah semacam ini dikhususkan bagi mereka yang hidup
secara wara’. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat mengetahui gerak
gerik orang, misalnya seorang wali bergerak hatinya ingin bertemu dengan
gurunya, maka gurunya segera hadir di hadapannya. Ada pula jenis karamah berupa
didatangkannya sebuah pohon kepada seorang wali, kemudian wali itu menikmati
buah dari pohon yang hadir di hadapannya. Di antaranya pula ada yang diberi
karamah dapat mengetahui segala jenis batu-batu mulia dan logam-logam mulia
yang ada di perut bumi, meskipun demikian, seorang wali yang diberi karamah
jenis ini tidak memperdulikan sedikit pun tentang harta kekayaan yang terpendam
itu.
karamah
Abu Ishak As-Syirazi dapat melihat Ka’bah sedangkan beliau berada di kota
Baghdad. Adakalanya seorang wali diberi kehebatan peribadi yang dapat
menyebabkan kematian orang tertentu ketika ia melihat diri wali tersebut. Hal ini
pernah terjadi pada seorang pembesar yang mati ketika berhadapan dengan Abu
Yazid Al Busthami. Adakalanya seorang yang berhadapan dengan seorang wali
seperti ini, maka ia akan tunduk, bahkan akan mengakui apa sahaja yang
tersembunyi dalam hatinya. Kejadian seperti ini banyak terjadi. Mendapat
perlindungan Allah dari segala kejahatan yang akan menimpa. Bahkan kejahatan
yang semula direncanakan itu akan berbalik jadi kebaikan. Hal ini terjadi pada
diri Imam Syafi’I apabila beliau akan dihukum oleh khalifah Harun Rasyid,
tetapi akhirnya dengan izin Allah beliau dibebaskan.
Telinga
Bila
telinga digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, karamah
yang akan muncul adalah mendengar kabar gembira bahwa sang pemiliknya merupakan
salah seorang yang diberi hidayah dan akal oleh Allah. Ini merupakan karamah
terbesar, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sebab itu sampaikanlah
kabar kembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti
apa yang paling baik di antaranya (QS Al-Zumar [39]: 17-18).
Karamah
lainnya adalah dapat mendengar ucapan benda mati, sehingga terdengar semua
benda bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang jelas, sebagaimana bahasa
manusia.
Di
antaranya pula ada yang diberi karamah berupa ilmu yang dapat memahami segala
ucapan benda-benda yang mati, sehingga seorang wali yang diberi karamah seperti
ini, ia dapat mendengar ucapan tasbih benda-benda yang mati. Di antaranya pula
ada yang diberi karamah dapat mengetahui segala rahsia benda-benda yang hidup.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah segala macam ilmu pengetahuan, baik
yang berupa ilmu-ilmu zahir mahupun ilmu-ilmu bathin. Seorang yang diberi
karamah berupa ini, ia akan dapat memahami berbagai macam persoalan dunia dan
akhirat. Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa tingkatan-tingkatan
Al Quthbiyah. Di antaranya pula ada yang diberi karamah pengetahuan dan kasyaf,
sehingga dapat membedakan mana-mana pendapat mazhab-mazhab yang benar. Di
antaranya pula ada yang diberi karamah dapat melihat dan mendengar hal-hal yang
ghaib, sehingga antara yang terang dan yang terselubung tidak ada beda baginya.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berbicara dengan makhluk alam
malakut dan dapat mendengar guratan-guratan pena di Lauh Mahfuz.
Karomah
Syeikh Ibrahim Bin Adham. Beliau pernah mendengar suara dari pohon delima yang
minta dimakan. Ketika Ibrahim Bin Adham makan buahnya, tiba-tiba pohon itu
bertambah tinggi dan buahnya yang masam berubah jadi manis, serta dapat
menghasilkan dua kali setiap tahun.
Lidah
Ketika
lidah digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menghindari kemaksiatan,
karamah yang akan muncul adalah mampu berbicara dan bercakap-cakap dengan alam
yang lebih tinggi (alam a'la). Jadi, apabila seorang hamba memperoleh karamah
atas telinganya, maka ia akan bisa memanggil dan berhubungan dengan para
penghuni alam yang lebih tinggi. Apabila ia hanya sekedar berbicara dengannya,
penghuni alam itu tidak menjawabnya. Apabila terjadi pembicaraan antara dia
dengan mereka, maka kemampuannya berbicara dengan mereka adalah karamah lisan,
kemampuannya mendengar ucapan mereka adalah karamah telinga, dan kemampuannya
menyaksikan mereka adalah karamah mata. Demikian juga anggota-anggota tubuh
lainnya, karena ada hubungan antara anggota-anggota badan dan ketaatan yang
dilakukannya. Di antara karamah lainnya adalah mampu mengatakan suatu keadaan
sebelum terjadinya, memberitahukan hal-hal gaib, dan akan munculnya
benda-benda.
Di
antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berkata-kata dengan makhluk alam
arwah, sehingga ia dapat mengetahui keadaan mereka yang sudah wafat, walaupun
telah wafat bertahun tahun. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat
melenyapkan dirinya dari alam wujud ke alam ghaib, sehingga ia dapat menghilang
dari suatu majlis tanpa pengetahuan mereka yang hadir.
Karamah
Abu Said ibnu Abil Khair Al Maihani. Singa dan binatang yang lain takut
kepadanya. Ada pula sebahagian wali yang dipatuhi segala benda seperti yang
terjadi pada diri Syeikhul Islam Izzudin Ibnu Abdis Salam beliau pernah berkata
kepada angin di waktu peperangan antara kaum Muslimin dan umat Nasrani: “Hai
angin terbangkan musuh-musuh kami”. Dengan izin Allah kaum Nasrani diterbangkan
angin dan dilempar ke tanah sampai binasa.
Karamah
lain pernah terjadi pada seorang wali yang diancam oleh seorang raja zalim.
Raja zalim itu berkata: “Tunjukkanlah padaku bukti kebenaranmu, jika tidak, aku
akan hukum kamu”. Pada waktu itu si wali melihat dekatnya kotoran unta. Maka ia
berkata: “Lihatlah itu”. Tiba-tiba kotoran unta itu jadi sebungkal emas.
Kemudian ia melihat sebuah tempat air yang tidak ada airnya. Si wali itu
melemparkan tempat air yang kosong itu ke udara. Ketika tempat air itu jatuh
tiba-tiba telah berisi air penuh dan tempat air itu terjungkir. Namun air yang
didalamnya tidak tertumpah setitik pun. Melihat kejadian tersebut raja itu
hanya berkata: “Ini hanyalah perbuatan sihir belaka”. Kemudian raja
memerintahkan untuk melemparkan si wali ke dalam api yang bernyala-nyala. Tidak
lama si wali tersebut segera keluar dan menarik putera raja yang masih kecil ke
tengah api yang sedang menyala. Melihat kejadian ini raja hampir jadi gila,
kerana putera satu-satunya diseret ke tengah api yang sedang menyala. Setelah
beberapa saat, si wali keluar bersama putera raja itu dari api, sedang ditangan
kanan putera raja itu memegang buah apel dan dikirinya memegang buah delima.
Raja bertanya pada puteranya: “Wahai puteraku, dari mana kamu tadi?” Jawab si
putra: “Aku dapat dari sebuah kebun”.Mendengar keterangan putera raja itu para
pembesar kerajaan hanya berkata: “Itu hanyalah suatu sihir belaka”. Kemudian
raja berkata kepada si wali: “Jika kamu dapat minum racun ini, aku akan percaya
padamu”. Setelah itu, si wali minum racun itu. Namun ia tidak mati hanya
bajunya sahaja yang koyak. Kemudian ditambah lagi meminum racun. Setiap kali
minum racun ia tetap hidup hanya bajunya saja yang koyak-koyak. Pada terakhir
kali ketika ia diberi minuman racun lagi bajunya tidak koyak dan ia pun
selamat.
Di
antaranya pula ada yang diberi karamah dapat menjadikan air asin atau payau
menjadi air tawar dan segar. Karamah seperti ini pernah diberikan kepada Syeikh
Abdullah Ibnul Ustad Al Marwazi sahabat Syeikh Abu Madyan.
Tangan
Di
antara karamah yang akan muncul bila tangan dipergunakan untuk melakukan
ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah munculnya warna putih bersih tanpa
noda di tangan ketika dimasukkan ke dalam saku seperti yang terjadi pada Nabi
Musa as, memancarkan air di sela-sela jari yang terjadi pada Nabi Muhammad
Saw., melemparkan tanah ke muka musuh, sehingga mereka kalah. Para wali Allah
dengan kehendak-Nya mengepalkan tangan ke udara, lalu ketika mereka membukanya
muncullah perak, emas, dan lain-lain.
Diriwayatkan
bahawa sebahagian wali ada yang diikuti oleh hujan. Salah seorang dari mereka
bernama Syeikh Abul Abbas As Syatir, ia sering menjual hujan dengan harga
beberapa dirham. Kisah semacam ini banyak terjadi, sehingga sukar untuk
dimungkiri kewujudannya.
Karamah
Abu Turab, ketika beliau menghentakkan kakinya ke bumi, maka Allah mengeluarkan
air dari tanah itu. Kata Imam Subki: “Di antara jenis karamah seperti ini ialah
terpancarnya sumber mata air di musim kemarau dan bumi tunduk pada seorang yang
memukulkan kakinya ke bumi”. Pernah diceritakan bahawa ada seorang yang
berjalan ke kota Mekkah untuk berhaji. Dalam perjalanan itu ia merasa haus
sekali. Namun ia tidak mendapat seteguk air pun. Kemudian ia menemui seorang
fakir yang bertongkat. Tepat di tempat itu terpancarlah sumber mata air yang
dapat memberikan minuman kepada para jemaah haji yang sedang lewat di tempat
itu. Semua jemaah haji yang lewat di tempat itu membekali dirinya dengan air
yang terpancar di bawah tongkat si fakir.
Karomah
lain Adakalanya untuk menulis sebuah karangan sahaja seorang akan menghabiskan
seluruh umurnya. Apalagi akan menulis berpuluh-puluh buah karangan dalam waktu
yang sangat singkat. Karamah semacam ini termasuk jenis karamah waktu dapat
menjadi panjang. Jenis karamah ini pernah dialami oleh Imam Syafi’i Rahimullah.
Beliau mampu mengarang berpuluh-puluh kitab, padahal sebenarnya waktunya tidak
akan cukup untuk melakukan hal itu, disebabkan kesibukan beliau sehari-harinya
untuk mengkhatamkan Al Qur’an setiap harinya dengan bacaan yang penuh oleh
tadabbur dan di bulan Ramadhan pun beliau dapat mengkhatamkannya dua kali
setiap harinya. Di samping itu, beliau juga di sibukkan oleh banyaknya
memperdalami ilmu pengetahuan, memberikan pelajaran, berzikir dan banyaknya
penyakit yang dialaminya. Dalam suatu riwayat dikatakan bahawa beliau menderita
tiga puluh macam penyakit. Karamah semacam ini dialami juga oleh Imamul
Haramain Abul Ma’ali Al Juwaini. Dengan umur yang tidak panjang, beliau mampu
mengarang beberapa buah kitab. Sebenarnya umur yang sependek itu tidak akan
cukup untuk mengarang berpuluh-puluh kitab disebabkan kesibukan beliau dalam
belajar dan mengajar serta berzikir.
Jenis
karamah seperti ini diberikan juga kepada seorang wali yang mampu mengkhatamkan
Al Quran sebanyak lapan kali dalam sehari. Imam Nawawi juga diberi Allah
kemampuan untuk mengarang berpuluh-puluh kitab dalam waktu singkat. Sebenarnya
umur beliau yang sedemikian itu tidak cukup untuk mengarang kitab sebanyak itu.
Ditambah lagi dengan berbagai macam ibadah yang beliau lakukan setiap harinya.
Karamah seperti ini diberikan juga kepada Imam Taqiuddin As Subki. Beliau mampu
menulis berpuluh-puluh kitab. Sebenarnya umur yang sependek itu tidak akan
cukup untuk menulis kitab sebanyak itu disebabkan beliau sangat sibuk memberi
pengajaran, tekun beribadat, banyak membaca Al Quran dan berzikir. Sebenarnya
jika kita hitung pekerjaan besar yang dikerjakannya dengan umurnya yang
singkat, pasti tidak cukup untuk memenuhi sepertiganya, namun Allah memberinya
barakah dalam umur, sehingga beliau dapat merampungkan segala tugas besar
dipikulnya.
Perut
Di
antara karamah yang muncul bila perut digunakan untuk melakukan ketaatan dan
menjauhi kemaksiatan —tidak termasuk dalam kategori makr dan istidraj—
adalah terpeliharanya perut dari makanan, minuman, dan pakaian yang tidak halal
dengan munculnya tanda yang disampaikan oleh Allah. Adakalanya tanda itu muncul
dalam dirinya sendiri atau dari sesuatu yang bersifat syubhat atau haram,
sehingga ia hanya memperoleh sesuatu yang baik saja. Dikisahkan bahwa ketika
disajikan makanan syubhat kepada Al-Harits al-Muhasibi r.a., mengucurlah
keringat di sela-sela jarinya. Begitu juga yang terjadi pada ibunda Abu Yazid
al-Busthami r.a. ketika sedang mengandung Abu Yazid, tangannya tidak pernah
menyentuh makanan haram. Pada wali lain, muncul suara yang berkata
"jauhi". Wali lainnya jatuh pingsan ketika menemukan makanan yang
tidak halal. Ada juga wali yang makanan haram di hadapannya berubah menjadi
darah, berwarna hitam, seekor babi, dan lain-lain yang Allah khususkan bagi
para wali dan orang-orang suci-Nya.
Karamah
lain yang muncul karena ketaatan perut adalah makanan yang sedikit bisa
mengenyangkan orang banyak. Ini merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Ketika
itu, Rasulullah menggelar sebuah tikar kulit dan didatangi oleh pemilik gandum
dengan memberikan setangkai gandumnya dan pemilik biji-bijian dengan memberikan
setangkai biji-bijiannya, hingga terkumpullah sedikit makanan. Beliau berdoa
agar makanan itu diberkati, lalu orang-orang mengisi tempat yang mereka bawa
dengan makanan itu sampai penuh, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih
riwayat Muslim.
Karamah
perut yang lainnya adalah dapat membuat satu macam makanan di atas piring
menjadi berbagai macam jenis makanan sesuai dengan keinginan orang-orang yang
hadir di tempat itu. Termasuk karamah perut lainnya adalah didatangi jin atau
raja yang membawakan makanan, minuman, dan pakaiannya, atau menggantungkannya
di udara.
Karamah
lain dalam maqam ini adalah mampu mengubah air minum yang asin dan pahit
menjadi manis. Ibnu 'Arabi berkata, "Saya pernah meminum minuman seperti
itu dari tangan Abu Muhammad 'Abdullah bin Ustad Al-Marwazi Al-Hajj, termasuk
murid khusus Abu Madyan r.a., beliau selalu disebut sebagai Al-hajj al-mabrur.
Makanan halal itu adakalanya diperoleh dengan bekerja atau dengan menjauhi
dosa-dosa, seperti yang dikatakan beberapa syaikh, "Ahli ma'rifat adalah
orang yang tidak memadamkan cahaya ma'rifatnya sebagai cahaya wara'nya, maka
ketika diperoleh barang halal, sedikit saja cukup baginya. Bila ia melaksanakan
hal ini, maka tumbuh dalam batinnya keinginan melakukan perbuatan baik yang
diwujudkan Allah dalam jiwa hamba ini sebagai karamah karena kedudukan dan
kejujurannya." Dan dari kehendak kuat itu keluar semua yang telah kami
sebutkan dan banyak karamah yang belum terlintas dalam benak manusia.
Di
antaranya pula ada yang diberi karamah tidak tersentuh makanan, minuman dan
pakaian yang berasal dari hasil syubhat, apa lagi yang haram. Jenis karamah
ini, biasanya si wali diberi tanda tertentu oleh Allah jika ada makanan,
minuman dan pakaian dari hasil syubhat yang menyentuh dirinya. Di antara yang
mendapat karamah macam ini adalah ibunya Abu Yazid Al Bustami. Setiap kali ia
mendapat makanan atau minuman yang syubhat, maka tangannya berpeluh dan
gementar, sehingga ia harus menjauhi makanan dan minumannya.
Di
antaranya pula ada yang diberi karamah berupa makanan atau minuman sedikit yang
dihidangkan dapat menjadi banyak. Karamah ini pernah diberikan kepada Syeikh
Abu Abdullah At Tawudi ketika ia menyuruh kawannya ke tukang jahit, maka ia
mengeluarkan sepotong kain yang sempit dari balik bajunya, kemudian ia menyuruh
kawannya untuk membawanya ke tukang jahit seraya berkata: “Dari kain yang
sempit ini buatlah pakaian yang cukup untuk beberapa orang”. Nyatanya kain yang
sedemikian sempit itu dapat mencukupi pakaian untuk beberapa orang.
Disebutkan
bahawa ada seorang ingin menguji karamah Syeikh Isa Al Hattar. Ia menyuruh
pelayannya membawa dua botol minuman keras kepada beliau. Setelah kedua botol
itu diterima oleh Syeikh Isa, maka ia menuang isi kedua botol itu seraya
berkata kepada sebilangan orang yang ada di sisinya: “Minumlah minyak samin
ini”. Maka minuman keras yang ada di kedua botol itu berubah menjadi minyak
samin yang rasanyaamat lazat. Kisah karamah jenis ini sering terjadi.
Kemaluan
Di
antara karamah yang dihasilkan ketika kemaluan dipergunakan untuk melaksanakan
ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah anugerah dari Allah berupa rahasia
menghidupkan orang-orang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan
penderita lepra, dan meninggalkan semua perkara yang membuatnya melupakan
Allah. Allah berfirman, Dan Maryam puteri 'Imran yang memelihara kehormatannya,
maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh Kami (QS Al-Tahrim [66]:
12). Dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi
semesta alam (QS Al-Anbiya' [21]: 91). Dalam hal ini, Ibnu 'Arabi juga telah
menjelaskan secara mendalam hubungan-hubungan lain antara ketaatan anggota
tubuh dan karamah yang dikeluarkannya, hikmah-hikmah dan rahasia ilmu hakikat.
Karamah
seperti ini pernah terjadi pada Syeikh Sirri As-Saqathi. Seorang pernah
menemuinya ketika beliau sedang menyembuhkan orang yang sakit kusta dan buta.
Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah berkata kepada seorang anak yang sakit
lumpuh, buta dan kusta: “Berdirilah engkau dengan izin Allah”. Dengan izin
Allah, maka anak tersebut segera bangun tanpa suatu cacat pun.
Imam
Taajus Subki memberi contoh karamah Abi Ubaid Al Busri. Beliau pernah berdoa
kepada Allah agar kudanya yang mati ditengah medan perang dihidupkan kembali.
Doa beliau terkabul dan kuda Abi Ubaid akhirnya hidup kembali.
Pernah
Mifraj Ad Damamini berkata kepada anak burung yang telah dipanggang:
“Terbanglah wahai burung dengan izin Allah”. Ucapan beliau terkabul dan burung
itu hidup kemudian terbang.
Syeikh
Ahdal pernah memanggil kucing yang telah mati. Akhirnya kucing itu hidup dan
datang kepada Syeikh Ahdal.
Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani pernah berkata kepada seekor ayam yang baru di makan
dagingnya: “Hai ayam hiduplah kau dengan izin Zat yang dapat menghidupkan
tulang belulang”. Dengan izin Allah, tulang belulang tersebut berubah wujudnya
menjadi ayam kembali.
Pernah
Abi Yusuf Dahmani berkata kepada seorang mayat:
“Hai
fulan, hiduplah dengan izin Allah”. Ucapan beliau terkabul sehingga mayat itu
hidup kembali selama beberapa waktu.
Imam
Subki pernah bercerita: “Aku pernah dengar kisah Syeikh Zainuddin Al Faruqy Asy
Syafi’i, bahawa pada suatu hari ada seorang anak kecil jatuh dari atap rumahnya
lalu mati. Ketika Syeikh Zainuddin melihat kejadian itu, beliau berdoa kepada
Allah. Maka dengan izin Allah, anak kecil yang mati itu hidup kembali.
Selanjutnya
Imam Subki berkata: “Sesungguhnya kejadian semacam itu tidak terhitung
banyaknya. Dan aku yakin benar adanya karamah seperti itu. Hanya saja yang
belum pernah kudengar adanya seorang wali yang dapat menghidupkan orang mati
yang telah lama atau yang sudah menjadi tulang belulang. Yang kami dengar
hanyalah pada diri sebagian Nabi di zaman dulu.Dan itu pun merupakan suatu
mukjizat baginya. Bukan termasuk jenis karamah. Yang mungkin terjadi pada diri
seorang Nabi terdahulu adalah menghidupkan suatu kaum yang telah mati beberapa
abad, kemudian mereka dihidupkan. Dengan izin Allah kaum itu hidup selama
beberapa waktu. Yang tidak mungkin terjadi dimasa ini adalah adanya seorang
wali yang menghidupkan Imam Syafi’i atau Abu Hanifah, kemudian keduanya dapat
hidup lama dan bergaul dengan masyarakat seperti pada waktu sebelumnya.
Kaki
Di
antara karamah yang akan muncul jika digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan
menjauhi kemaksiatan ada-lah mampu berjalan di atas air, dapat mengelilingi
bumi, dan berjalan di udara. Hikayat-hikayat tentang maqam ini sangat terkenal,
saking terkenalnya hingga tidak perlu lagi kami jelaskan di sini. Kitab-kitab
kumpulan syair dipenuhi hikayat-hikayat tentang karamah ini. Karena Allah Swt.
adalah pemilik para wali, maka Dia memunculkan semua karamah ini bersama
mereka. Ibnu 'Arabi menyatakan, "Kami telah menyaksikan dengan jelas
penempuh jalan ini berjalan di atas air dan di udara, dan dapat melipat
bumi."
Karamah
seperti ini pernah terjadi pada diri seorang wali yang berada di Masjid kota
Tursus (Turki). Wali tersebut pernah tergerak dalam hatinya ingin pergi ke
Masjidil Haram, kemudian beliau memasukkan kepalanya dikantungnya lalu
mengeluarkannya kembali. Maka dengan izin Allah, wali itu telah berada di
Masjidil Haram . Kisah semacam ini pada umumnya dikisahkan secara berurutan
dari orang-orang yang dapat dipercaya.
Karamah
di kalangan ahli Sufi dengan “Alamul Mithsal, iaitu antara alam yang nyata dan
alam arwah. Orang yang yang mendapat karamah seperti ini dapat berubah bentuk dan
berpindah tempat dengan bebas. Karamah seperti jenis ini pernah di alami oleh
seorang wali yang bernama Qadhibul Bani. Orang yang tidak mengenal beliau akan
menyangkanya tidak pernah melakukan solat dan ia membencinya. Pada suatu hari,
ketika beliau dicela oleh seorang yang menyangkanya tidak pernah melakukan
solat, di saat itu Allah memperlihatkan karamahnya, sehingga beliau dapat
berubah dalam beberapa bentuk yang menunjukkan bahawa beliau sedang melakukan
solat. Beliau bertanya : “Dalam gambaran atau bentuk manakah yang kamu lihat
aku tidak solat?” Perkara serupa ini pernah terjadi pula pada seorang wali yang
pernah dilihat oleh seorang ketika beliau sedang berwudhu di Masjid Sayufiah di
Cairo. Orang itu menegur: “Hai orang tua, nampaknya cara kamu berwudhu itu
tidak tertib”. Jawab si wali: “Aku tidak pernah berwudhu dengan cara yang tidak
tertib. Hanya saja anda tidak dapat melihatku, kalau anda dapat melihat, pasti
kamu akan melihat ini”. Beliau berkata demikian sambil memegang tangan orang
itu, sampai ia dapat melihat Ka’bah, kemudian beliau membawanya ke Mekkah dan
menetap di sana selama beberapa tahun.
Di
antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid
beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang
thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas'aa dan
Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi
haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya
menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap
sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : "Siapa saja yang
kamu temui ?" lalu si murid menjawab : "Tuanku... saya melihat tuanku
di sana ". Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : "Orang
besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang
tanah, dia pasti menjawabnya".
Hati
Di
antara karamah hati ketika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi
kemaksiatan adalah mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Ibnu 'Arabi
berkata, "Ketahuilah anakku, Allah telah menolongmu, menerangi hatimu,
melapangkan dadamu, dan menyucikan pakaian serta hatimu. Segala karamah yang
berkaitan dengan anggota tubuh lainnya merujuk dan kembali kepada hati. Kalau tidak
ada hati, maka seluruh anggota tubuh lainnya tidak berarti.
Setiap
perbuatan berasal dari hati, kalau tidak didasari keikhlasan sebagai aktivitas
hati, maka amal tersebut bagai debu beterbangan, tidak bermanfaat dan tidak
mendatangkan kebahagiaan." Allah berfirman, Padahal mereka tidak
diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Dan
Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat,
dan tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa
berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan
Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah kepada dunia dan perempuan yang akan
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan
hijrahnya." Dari sini jelaslah bahwa sudi dan ternodanya semua perbuatan
lahir maupun batin tergantung pada hati. Jadi, gerakan atau diamnya anggota
tubuh untuk menaati syariat dan melakukan maksiat hanya berdasarkan pada perintah
dan kehendak hati.
Gagasan
muncul pertama kali di dalam hati. Apabila hati ingin mewujudkan gagasan itu,
maka ia mempertimbangkan anggota tubuh mana yang sesuai untuk melakukan gagasan
itu, lalu hati menggerakkan anggota tubuh yang dipilihnya untuk mewujudkan
gagasan itu, baik untuk ketaatan maupun kemaksiatan, dan atas anggota tubuh
itulah pahala dan siksa diberikan. Tidakkah kamu merenungkan bagaimana Allah
menganggap pandangan pertama kepada seorang perempuan bukan muhrim yang
dilakukan tanpa sengaja dan tidak diniati dalam hati sebagai suatu hal yang
dimaafkan dan tidak dikenai siksa?
Demikian pula ketika seorang
hamba melakukan perbuatan salah tanpa sengaja, maka Allah benar-benar telah
mengampuni perbuatannya itu, sebagaimana bila hati menghendaki dan berniat
melakukan kemaksiatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka niatnya itu tidak
ditulis dan tidak dihitung, selama belum dilakukan atau hanya sebatas ucapan
semata. Adapun jika hati berniat melakukan ketaatan, maka ia akan diberi
ganjaran sesuai dengan niat dan harapannya, meskipun ia belum melakukan
ketaatan yang telah diniatkannya, niatnya telah ditulis sebagai kebaikan. Bila
kamu meyakini hal ini, maka tetaplah yakin bahwa hati adalah pemimpin raga.
Seluruh karamah yang muncul dari anggota tubuh merujuk kepada hati, dan hati
itu sendiri dapat memunculkan karamah-karamah tertentu.
Karamah
hati lainnya adalah Allah Swt. memperlihatkan kepadanya semua yang tersimpan di
dunia, berupa rahasia-rahasia, alasan dan sebab perintah-Nya, atau apa pun yang
mewujud dalam alam, baik spiritual maupun non spiritual.
Seorang
Wali besar Tuan Guru Sapat Syek Abdurraham Siddiq Mufti Kerajaan Indragiri
dimakamkan di desa Hidayat (dekat Sapat) Kec. Kuala Indragiri, Kabupaten
Indragiri Hilir, Provinsi Riau berpendapat bahwa Syekh Muhammad Arsyad
Al-Banjari adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid
Mindanao.
Jalur
nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar
bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad
Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al
Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin
Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi
Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad
Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin
Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi
bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As
Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam
Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah
Az Zahra binti Rasulullah SAW.
SYEKH KHOLIL
BANGKALAN MADURA MURSYID TAREKAT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH GURU ABAH SEPUH
Berguru
Dalam Mimpi
Pada
waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah
Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di
lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk
Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di
hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka
berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera
bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia
sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia
beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu
Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera
sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu
mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin
berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil menangis.
Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan
membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya.Pada hari ke-41 tiba-tiba
datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin
mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya,
lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Di
Datangi Macan
Suatu
hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku,
sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu
gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok
kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat
dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur
Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi
hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum
tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak
berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya
di depan pintu rumah Syeikh Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu,
bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil
santrinya ; Hey santri semua, ada macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan
sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan
perang.Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang
sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung
pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada
pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke
Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang
lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan
usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga,
pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam
hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam,
akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.Secara tidak diduga, tengah malam
Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan.
Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu
alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri
Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari
santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah,
seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz,
pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa
dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang
diisyaratkan Syeikh Kholil.
Santri
Mimpi Dengan Wanita
Dan
diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari
Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh
berjamaah. Ketidak ikuts ertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena
malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan
seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri
Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar
sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri
kurang ajar.....Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah
merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar
itu.
Subuh
itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang
pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya
kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?”
Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.Semua santri merasa terkejut, tidak menduga
akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri,
mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu
hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan
kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap
tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat
subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang
pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau
kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar
melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun
bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan
dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya
diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan
sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di
nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar
dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan
hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis
yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar
melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar
diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh
orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan
senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju
kampung halamannya.Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat
isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang
memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama
Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok
Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Orang
Arab Dan Macan Tutul
Suatu
hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah
sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami
sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya
Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang
Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa
Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah
antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat.
Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat
wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil
menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru
saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan
tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk
mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa
Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi
juga.Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang
menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai
Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang
macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang
fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa
sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu
ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana
penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Jawaban
Syeikh Kholil kepada tamunya
Suatu
Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah
pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca
‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa
alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama
datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil bangkalan.
Ketika
itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam
mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi
Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak
Kiyahi Khalil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.
Tentu
saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah
payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin
itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan
pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Tongkat
Syeikh Kholil Dan Sumber Mata Air
Suatu
hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri
menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi,
tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di
hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari
arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat
jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air
tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam
yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla
Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman
Kiai Kholil Bangkalan.
Diposkan
oleh Rajanya Para Waliullah Zaman ini Abah Anom di 00:53
AMALIYAH
TQN..., AMALKAN SAJA
Pertama
: Kalimat Laa ilaaha Ilallah (dzikir Jahar yang kita amalkan), pada mulanya
diletakkan oleh Allah (tertulis) pada tiang tiang 'Arsy dan tidak ada satupun
makhluk yang diciptakan oleh Allah kecuali ruhnya berdzikir dengan Laa Ilaaha
Illallah. Karena kalimat Laa Ilaaha Illallah itu tidak lain merupakan huruf
ALIF, LAM, LAM, HA (ALLAHU). Karena itu talqin dzikir (khofi) yang telah
diisikan oleh Pangersa Abah atau Wakil Talqin yang telah ditunjuk oleh beliau,
merupakan sesuatu perkara yang amat besar. Dalam suatu hadits disebutkan
Laqqiinuu mautaakum laa ilaaha illallah. Ajarkanlah orang yang akan (hampir)
mati dengan laa ilaaha illallah. Hadits ini jangan diartikan kepada orang yang
sedang menghadapi sakaratul maut tapi yang akan mati itu adalah kita sendiri.
Laa
ilaaha illallah memberikan kekuatan kepada kita sebagai muslim, laa ilaaha
illallah menghubungkan kita langsung kepada Allah, laa ilaaha illallah
memfanakan diri kita dari dunia yang akan kita tinggalkan, laa ilaaha illallah
yang menjamin diri kita masuk surga, laa ilaaha illallah sebagai kekuatan umat
Islam seperti yang diajarkan selama 12 tahun di Mekkah oleh Rasulullah Saw.
Bilal bin Rabah telah mencontohkan kepada kita bagaimana kekuatan kalimat
tersebut meskipun siksaan-siksaan didapatinya tapi dia tetap berkata, Ahadun,
ahad, Allahu, Allah ... Kita harus mempunyai keyakinan yang sempurna dengan
kalimat tersebut. Karena banyak yang mengucapkan kalimat tersebut tapi tidak
bisa sampai kepada Allah. Sayyidina 'Alipun diajarkan oleh Nabi tentang hal
tersebut sebagai suatu cara yang paling dekat, paling cepat, paling mudah,
paling unggul untuk dekat kepada Allah. Dzikir inilah sebagai benteng kita
untuk menghadapi setiap permasalahan kehidupan dunia. Dengan penuh kesabaran,
keimanan, kegungan kalimat ini, hadapilah semua permasalahan itu sehingga
timbul kesadaran bahwa kita adalah makhluk dan Allah adalah Khaliq.
Kedua
Khatam atau khataman. Sebagai murid, hendaknya tidak perlu bertanya kepada
Mursyid tentang amaliyah yang diperintahkan olehnya untuk mengamalkannya.
Dzikir, amalkan saja, Khataman, amalkan saja, makaqiban amalkan saja, Tanbih
amalkan saja. Kalau kita lihat isi dari khataman tersebut, maka akan tampak
bahwa didalamnya terdapat sesuatu perkara dunia yang tersirat tapi tidak
tersurat. Misalnya Allahumma yaa qoodiyal Haajaat. Banyak hajat dunia yang
ingin kita penuhi, tapi dalam khataman tersebut cukup itu saja yang disampaikan
kepada Allah, meskipun pendek tapi penuh dengan makna. Begitulah orang-orang
yang telah berma'rifat kepada Allah menyampaikan hajatnya. Tidak perlu kita
tambah dengan hal-hal lain. Cukup saja dengan Allahumma yaa qoodiyal Haajaat.
Dan seterusnya. Dengan mengamalkan khataman, berarti kita telah menghubungkan
diri dengan para nabi, para malaikat, para khulafaur rosyidin, para sholihin,
para 'ulama, orang tua kita, kaum muslimin dan lain-lain. Meskipun
kalimat-kalimat dalam khataman pendek-pendek, tapi bisa mengadung seribu makna.
Karena itu, amalkan saja! Itulah yang saya rasakan selama 25 tahun
mengamalkannya. Jangan lupa kuncinya adalah sabar. Insya Allah dengan berkah
dzikir dan khataman setiap permasalah hidup yang kita hadapi akan diberikan
jalan keluar oleh Allah.
Ketiga
Manaqiban. Meskipun didalamnya terdapat bermacam-macam karomah Syekh Abdul
Qodur Jailani yang berada diluar kebiasaan manusia, kita harus percaya, jangan
agu-ragu, karena itulah karomah. Di dalam al-Qur'anpun bermacam-macam
keluarbiasaan dari seorang manusia yang telah dimuliakan oleh Allah bisa kita
baca seperti dalam kisah Ashabul Kahfi, kisah Siti Maryam dan lain-lain. Mereka
bukanlah Rasul yang diberikan mu'jizat tapi hanya seorang yang telah dimuliakan
oleh Allah dengan karomahnya dengan berkahnya. Syekh 'Abdul Qodir Jailani
sampai berani mengatakan, barang siapa yang ingin berhubungan denganku, ingin
aku sampaikan kepada Allah permohonanmu, maka ucapkanlah : Bismillaahi, 'alaa
niyyati sayyidi syekh 'abdul Qodir Jailani. Jauh-jauh kita datang ke Suryalaya
ini untuk mengikuti Manaqib Syekh Abdul Qodir Jailani, tidak lain untuk
mendapatkan berkah dari Pangersa Abah dan Syekh Abdul Qodir Jailani.
Yakinkanlah,
dengan mengamalkan dzikir, khataman, manaqiban dan amal shaleh yang lain baik
secara lahiriyah maupun batiniah, maka Allah akan mengabulkan hajat-hajat kita.
Amalkan dengan ikhlas dan bersabarlah.
HABIB MUHAMMAD
LUTHFI ALI YAHYA
Maulana Habib dilahirkan di Pekalongan pada hari Senin, pagi tanggal 27
Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan
dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as
Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin
Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad
bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam
Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin
Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.
Sementara nasab beliau dari jalur ayah:
Rasulullah
Muhammad SAW
Sayidatina
Fathimah az-Zahra + Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
Imam Husein
ash-Sibth
Imam Ali Zainal
Abiddin
Imam Muhammad
al-Baqir
Imam Ja’far
Shadiq
Imam Ali
al-Uraidhi
Imam Muhammad
an-Naqib
Imam Isa
an-Naqib ar-Rumi
Imam Ahmad
Al-Muhajir
Imam Ubaidullah
Imam Alwy
Ba’Alawy
Imam Muhammad
Imam Alwy
Imam Ali Khali
Qasam
Imam Muhammad
Shahib Marbath
Imam Ali
Imam Al-Faqih
al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy
Imam Alwy
al-Ghuyyur
Imam Ali Maula
Darrak
Imam Muhammad
Maulad Dawileh
Imam Alwy
an-Nasiq
Al-Habib Ali
Al-Habib Alwy
Al-Habib Hasan
Al-Imam Yahya
Ba’Alawy
Al-Habib Ahmad
Al-Habib Syekh
Al-Habib
Muhammad
Al-Habib Thoha
Al-Habib
Muhammad al-Qodhi
Al-Habib Thoha
Al-Habib Hasan
Al-Habib Thoha
Al-Habib Umar
Al-Habib Hasyim
Al-Habib Ali
Al-Habib
Muhammad Luthfi
Masa Pendidikan
Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi
diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau
belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
Ø Al Alim al
‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin
Abdullah bin Thalib al Athas
Ø Sayid al Habib
al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya
(paman beliau sendiri)
Ø Sayid al ‘Alim
Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
Ø Sayid ‘Al Alim
Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.
Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959
M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon.
Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu beliau melaksanakan
ibadah haji serta menjiarahi datuknya Rasulullah Saw., disamping menimba ilmu
dari ulama dua tanah Haram; Mekah-Madinah. Beliau menerima ilmu syari’ah,
thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama,
guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
Dari Guru-guru tersebut
beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan
nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits,
tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf,
bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah,
sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah
untuk membai’at.
Silsilah Thariqah dan Baiat:
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali
Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari
guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara
guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah
Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts
az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al
Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
Sanad Naqsyabandiayah al
Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik
dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad
Ilyas bin Ali bi Hamid
dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi
dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi
dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi
dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid
Maulana Muhammad Khalid
sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’
Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.
Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd
Malik
dari al Alim al al Alamah Ahmad an
Nahrawi al Maki
dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid
Shalih al Hanafi ra.
Thariqah
al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
- Dari
al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
- Afrad
Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al
kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ
‘Alawi.
- Al
Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib
Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
- Al
Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah
Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
- Al
Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
- Al
Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar
bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat
ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan
‘Am.
Thariqah
Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
- Dari
Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan
tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al
Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali.
- Dari
Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi
Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib
Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan
ijazah untuk bai’at talqin.
Jami’uthuruq
(semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:
Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain
Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al
Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin
dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid,
hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.
Thariqah
Tijaniah:
Dari Al Alim al Alamah Akabir Aulia al
Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal.
Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar
Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al
Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana
Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah
bai’at untuk khas dan ‘am.
Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:
- Pengajian
Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami'ul Usul thariq al Aulia).
- Pengajian
Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
- Pengajian
Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
- Pengajian
Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
- Pengajian
tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
- Da’wah
ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
- Rangakain
Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah
sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.
Jabatan Organisasi:
- Ra’is
‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
- Ketua
Umum MUI Jawa Tengah dll.
KH Muhammad Sami’un
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Keberadaan Pondok Pesantren
Parakan Onje Purwokerto yang kini dikenal dengan Pesantren Ath-Thohiriyyah, tak
dapat dilepaskan dari sosok KH Muhammad Sami’un. Pasalnya, beliaulah yang mula
pertama melakukan babad ke-Islam-an di wilayah ini. Siapakah KH Muhammad
Sami’un itu? Beliau adalah putera K Muhammad Maksum, seorang katib di
Purwokerto yang hidup semasa penjajahan Belanda. Sami’un kecil mengenyam
pendidikan formal di bangku HIS dan MULO. Ilmu pengetahuan agama diperolehnya
dari Kyai Imam Tabri Kauman. Setamat MULO, Sami’un muda bekerja pada Pemerintah
Belanda, menangani proyek pembangunan rel kereta api jurusan
Purwokerto-Jakarta. Saat berada di Jakarta, yakni ketika sedang memberesi
tempat tidur, Sami’un dikejutkan oleh seekor kalajengking yang muncul dari
balik kasur. Sejak saat itu, bayangan akan siksa kubur bergelayut di benaknya.
Pengalaman rohani ini membuatnya berkeputusan berhenti kerja, dan putar haluan
untuk mendalami ilmu agama.
Berbekal gaji
yang ditabungnya semasa kerja, Sami’un menjalani kehidupan baru sebagai santri.
Pertama-tama yang ditujunya adalah Pesantren Lirap Kebumen yang dikenal sebagai
pesantren alat (nahwu). Hafalan kitab Jurumiyah, Imriti dan Alfiyah dikhatamkan
dalam tempo tiga bulan. Di pesantren ini, Sami’un berguru kepada Kyai Ibrahim
selama dua tahun (1911-1913). Selepas dari Lirap, ia melanjutkan ke Pesantren
Termas untuk berguru pada KH Dimyati (1914-1924). Semasa di Termas, secara
temporer Sami’un menyempatkan ngaji kitab Ihya Ulumaddin pada KH Abdullah bin
Abdul Muthalib di Kaliwungu Kendal.
Pergi ke Tanah
Suci adalah tekad yang ingin segera ia wujudkan. Lantas, ia melamar sebagai
juru bahasa bagi kapal-kapal yang masuk ke Serawak. Hasil tes wawancara
mensyaratkan, ia akan diterima kerja jika sudah berkeluarga. Maka, ia segera
kembali ke kampung halaman untuk menikah dan memboyong sang isteri (Sartinah)
ke Serawak. Bekerja di Serawak adalah pilihan sebagai batu loncatan menuju
Mekkah. Lima tahun lamanya Sami’un-Sartinah tinggal di negeri orang
(1925-1930). Tahun 1929 mereka dikaruniai momongan yang pertama dan diberi nama
Abu Hamid (Pengasuh Pesantren Al-Ikhsan Beji Purwokerto).
Saat mengandung putera kedua, Sartinah mendesak sang suami agar pulang ke tanah
air. Sejak 1930, KH Sami’un beserta keluarga kembali ke Purwokerto dan memulai
berdakwah di Masjid Wakaf Sokanegara. Sepuluh tahun lamanya KH Sami’un mengajar
para santri di Sokanegara, sebelum akhirnya hijrah ke Parakan Onje pada 1940.
KH Sami’un
menetap di Parakan Onje hingga akhir hayatnya pada 23 Ramadan 1372. Sepeninggal
almarhum, para santrilah yang meneruskan dakwah beliau di kemudian hari. Mereka
antara lain KH Zaid Abu Mansyur (Lesmana), KH Muhyiddin (putera menantu), Kiai
Dimyati dan Kiai Abdul Ngalim (Kober), Kiai Romli (Pasir Kulon), Kiai Sulaeman,
Kiai Ishak, dan lain-lain. KHM Sami’un juga dikenal sebagai mursyid tarekat
Syadziliyyah. Ijazah wirid tarekat ini diperoleh dari KH Abdullah bin Abdul
Muthalib Kaliwungu (Kendal). Penerus tarekat beliau adalah KH Zaid Abu Mansyur
Lesmana dan KH Abu Hamid Beji.
Meski fasih berbahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Arab, KH Sami’un lebih
suka mengajar para santri dengan Bahasa Jawa. Bahkan, beberapa karya almarhum
ditulis dalam dalam bahasa Arab-Jawa, seperti Lubabuz Zaad, Aqoid 50, Terjemah
Yasin dan Doa Sholat Bahasa Jawa.
SYAIKH ABDUL MALIK BIN ILYAS
MURSYID
TAREKAT SYADZILIYAH
Beliau adalah sosok ulama yang
cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah,Syaikh Abdul Malik semasa
hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah
An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah
An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah
beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah
diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).Dalam hidupnya,
Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu
membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak
16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun
shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering
disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah
shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau.
Adapun
shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan
lain-lain.Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang
sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari
akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat
Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping
dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh
Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang
dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib
Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta),
Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang),
Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.Diceritakan, saat
Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai
acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu,
siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang
pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul
Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.Hal yang sama juga dikatakan oleh
Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika
Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein
berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali
Allah.”Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at
3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul
Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah
haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan
dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya
yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.Setelah
belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali
Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada
tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang
ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari
berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an,
Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain.
Asy-Syaikh
belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama
limabelas tahun.Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an,
ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra
penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia
berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di
Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh
Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan
thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar
Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin
Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).Sementara itu,
guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid
Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid
Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid
Ali Ridha.Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327
H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada
keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut).
Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy
Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.Sesudah sang ayah wafat,
Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa
guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah
tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh
berusia tiga puluh tahun.Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal
lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai
Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah
haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka
bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam
rentang waktu yang cukup lama.Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah,
ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di
sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah
memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i
di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri
sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar
Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung
ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah
memperoleh gelar Al-‘Allamah.Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung
ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul
Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan
(meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah
Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori
(Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang
hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul
Malik.Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga
sangat santun dan ramah kepada siapa saja.
Beliau juga gemar sekali melakukan
silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di
Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja,
dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan
kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi
murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil
mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum
silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung
paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan
tawajjuhan).Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir,
Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah
Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah
(Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin
Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.Sebagaimana
diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik
tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik
adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari
kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”Diantara warisan beliau yang sampai
sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah
buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid
li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina
Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”Shalawat ini diperolehnya di Madinah
dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki
manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama
seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat
digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.Syaikh Abdul
Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan
dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq
wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto
SYAIKH NAHROWI DALHAR
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Kiai Haji
Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum lama
ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini adalah
putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu wali yang
masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid
tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan
masyarakat.
Kiai Haji Dalhar
, Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan
ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah
Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan
umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini
dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Mbah Dalhar
dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M)
di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga
santri yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo adalah cucu dari Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal
sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai
Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh
karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain
dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar
belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada
usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah
Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo,
Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid
selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian
tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur
15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini.
Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas
dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani.
Jalan Kaki dan
Pemberian Nama Baru
Tidak
hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau
berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci
untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta
oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk
menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani
Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau
yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Keduanya
berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung
Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama
perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan , kemudian lanjut sampai di
Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang
dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada
sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar
naik kuda bersama. Di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai
Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri
tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah.
Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya
dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan
Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan
dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid
Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada
mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana
nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan
untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas
kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya
dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai
Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh
Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin
Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah
rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar
adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika
menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat –
sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as.
Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan
dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau
masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum
menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar
pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit
tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya
memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya.
Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk
mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab
selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air
besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari
keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala
thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr.
Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat
mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah
As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar
menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar,
Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul
Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah
mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi
bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya
– karyanya
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama
terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun
1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH
Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang
lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 –
Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan
jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah
hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi
Mbah Kyai Dalhar PART
II
Mbah
Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan,
Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari
1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi.
Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin
Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran
Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas
atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo
juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan,
Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang
mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui
jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat
beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang
putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang
mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan
beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak
hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam
gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang
dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer
Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh
karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu
perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad
dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan
waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan
serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian
tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu
membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren
Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun
letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh
Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai
Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja
letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu
Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim
dan rihlahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan
pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya
untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau
belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu
Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar
mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan
masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah
dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi
Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai
Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi
Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama
di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas
dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad
Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera
laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah
menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai
Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan
pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada
shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu
bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid
Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah
Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di
Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai
Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil
menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman
telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah
sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya
di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman
dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol
Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama
Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari
serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat
belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar”
pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar.
Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang
diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu
lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”.
Allahu Akbar.
Ketika
berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah
As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat
dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu
menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah
dan amaliahnya
Mbah
Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga
pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli
hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan
nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr
karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang
cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika
usianya belum menginjak dewasa.
Selama
di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu
goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa
dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air
zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan
riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri –
santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah
buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk
qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain
mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga
senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini,
mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh
siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad
Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3
orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis
sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal
(meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar.
Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat
kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai
seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara
karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
*
Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300
meter walau tidak menggunakan pengeras suara
*
Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli,
santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat
tinggal
*
Dll
Karya
– karyanya
Karya
mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum
adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib
Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili
Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini
masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang
sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq
ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin
Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah
menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul
tashrifan ala Jombang.
Murid
– muridnya
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada
beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus,
Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah
mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari
Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April
1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan
tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing.
Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai
Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.
Al-Habib Umar bin Salim bin Hafiz
MURSYID
TAREKAT QODIRIYYAH
Al-Imam Al-’Arifbillah
Al-Musnid Al-Hafidz Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz.
Beliau adalah Al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim
putera dari Hafidz putera dari Abdallah putera dari Abi Bakr putera
dari‘Aidrous putera dari Al-Hussain putera dari Al-Syaikh Abi Bakr putera dari
Salim putera dari ‘Abdallah putera dari ‘Abdarrahman putera dari ‘Abdallah
putera dari Al-Syaikh ‘Abdarrahman Assaqof putera dari Muhammad Maula
Al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari Al-Faqih Al-Muqaddam
Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib Al-Mirbat putera dari ‘Ali
Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera
dari ‘Ubaidallah putera dari Al-Imam Al-Muhajir Ilallah Ahmad putera dari ‘Isa
putera dari Muhammad putera dari ‘Ali Al-‘Uraidi putera dari Ja’far Asshadiq
putera dari Muhammad Al-Baqir putera dari ‘Ali Zainal ‘Abidin putera dari
Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib
dan Fatimah Azzahra puteri dari Rasul Muhammad SAWW.
Beliau
terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi
sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim
ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam
keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan
ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual,
Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Syaikh Abu Bakr bin Salim.
Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup
mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta
aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok
komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya.
Demikian pula kedua kakek beliau, Al-Habib Salim bin Hafiz dan Al-Habib Hafiz
bin Abdallah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum
ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi
yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual
muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan
dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah
mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal
berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu
keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh
oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin
Shihab dan Syaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat,
Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk
ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang
meninggal syahid, Al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta
dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan
keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar
kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr. Namun
secara tragis, ketika Al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat
Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian
pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu
ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa
tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang
Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan
padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang
bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan
penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan
da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya
mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang
tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk
menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Ia sesungguhnya
telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang
khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai
mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau
dikirim ke kota Al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang
menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid
muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk
sekolah Ribat di Al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah
bimbingan ahli dari yang Mulia Al-Habib Muhammad bin ‘Abdullah Al-Haddar,
semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama madzhab Shafi‘i
Al-Habib Zain bin Smith, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi
ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga
terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini
tempatnya adalah Al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada
satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih
Allah dan Rasul SAW pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis
didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing, usaha beliau yang
demikian gigih mulai menunjukkan hasil yang besar, mereka tersentuh
dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam
kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan
mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan
indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban dan mulai
memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Rasul
SAWW. Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah mengikuti beliau
mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah
maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di
Yaman Utara. Pada masa ini beliau mulai mengunjungi kota-kota maupun masyarakat
diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, beliaupun belajar ilmu dari
mufti Ta‘iz Al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada
beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang
sama dari Syaikh Al-Habib Muhammad Al-Haddar, sehingga ia memberikan
puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat
sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan
ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul SAWW di Madinah. Dalam
perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa
kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Al-Maghfurlah Al-Qutub
Al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad Assaqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri
‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya SAWW dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan
terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai oleh Al-Habib Abdul Qadir
salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu
dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Al-Habib Ahmed Mashur
Al-Haddad dan Al-Habib ‘Attas Al-Habsyi.
Sejak itulah
nama Al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan
usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal
yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak
sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, beliau
mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia dapat dipertahankan.
Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah
SWT dan Rasul SAW dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda.
Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka
yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang
paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga
sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan
abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang
memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya,
beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun
kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di
Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut,
Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan
pembangunan Ribat Al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi
tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini
dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran
di masa depan. Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar
dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental
agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang
benar serta melarang yang salah. Dar-Al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi
dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat
dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya para
murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir
terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari
Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir,
Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan
negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar bin Hafiz.
Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain
dibawah manajemen Al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam
penyebaran Ilmu dan perilaku mulia.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim Yaman, dimana beliau mengawasi perkembangan
di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah
manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama
Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya
mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan
mulianya. Sumber: http://hotarticle.org/al-habib-umar-bin-hafiz/
KH.
TUBAGUS MUHAMMAD FALAK
MURSYID
TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
KH. Tubagus Muhammad
Falak bin KH. Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas Oleh kalangan masyarakat
sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah
wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten.
Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu
kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti
yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
KH. Tubagus
Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, pandeglang banten. Sejak
kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH.
Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan
sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah
pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.
Secara
garis kuturunan, KH.Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan
kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui
ayah beliau, KH. Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah
seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana
Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya
dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan banten.
Dilahirkan dan
dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, pandeglang banten
menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana
keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa
kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad
Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu
tersebut demi kepentingan masyarakat luas.
Setelah selesai
mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari
orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil
mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam
serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan
agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim
Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.
Di usia 15 tahun
tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh
orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang
ilmu perngetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat
tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia
bernama Syekh Abdul Karim banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya
selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.
Mula-mula KH.
Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi
Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia.
Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu
tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu
falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi
Turki. Khusus dala ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan
Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu
hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh
Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten. Di bidang
fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany.
Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di
bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina,
Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya
Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat
kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu
pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh
Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.
Selama berada di Timur tengah,
KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada
ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana
beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada
di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim
pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan
Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an
menuntut ilmu di Mekkah. Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang
lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada
tahun 1878.
Dalam konteks
pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan
disebutkan bahwa KH.Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai banten yang
turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai
tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid
dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah
seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut
bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.
Pada tahun 1892,
KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan
kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami
masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH.
Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. selama berada di Mekkah dan Madinah pada
periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik
seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai
daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.
Kemudian pada awal abad 20 setelah
kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktititas
pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik
setelah melalui aktititas dakwah dan syiar Islam sejak dari pandeglang hingga
ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis
pengajian di daerah pagentongan.
Pendirian
Pesantren Al-Falak di pagentongan bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak
merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama
yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur
Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta
mernberikan penerangan-penerangan bagi ummat dalam hal keislaman. begitu banyak
kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang
dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.
Dan begitu
banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai,
tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis
ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di
Indonesia dan Mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah
menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.
Khusus dalam konteks pergerakan,
aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat
mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan
nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno,
dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan
masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat
sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam
bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah
Cibarusa dan pemimpin spiritual di bogor yang senantiasa membangkitkan semangat
Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik
Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat
dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang
diyakini di miliki oleh beliau.
Peran beliau
tersebut secara langsung telah mendorong semangat dan kemantapan rakyat
khususnya di daerah bogor untuk memperjuangkan Republik Indonesia sebagai
negeri berdaulat. Karena aktifitas perlawanan tersebut, pasukan belanda yang
berada di bogor melakukan penyerangan ke Pagentongan yang mengakibatkan
wafatnya. tujuh orang warga Pagentongan. Setelah melakukan aksi penyerangan
tersebut pasukan belanda kemudian menangkap KH. Tubagus Muhammad Falak dan
sebagian besar warga Pagentongan yang kemudian dipenjarakan di daerah Gilendek.
Namun atas kehendak Allah SWT dan atas wasilah pengaruh KH. Tubagus Muhammad
Falak yang sangat besar di masyarakat dan dikhawatirkan dapat membangkitkan
semangat perlawanan yang lebih besar lagi maka KH. Tubagus Muhamrnad Falak
kemudian dibebaskan bersama warga lainnya.
Selama hidupnya
KH. Tubagus Muhammad Falak yang dikenal sebagai tokoh kharismatik yang memiliki
pengaruh yang sangat mendalam di Masyarakat serta menjadi pusat kunjungan para
tokoh politik dari kalangan sipil maupun militer dan tokoh agama di tingkat
lokal dan nasional serta para ulama dan masyarakat dari berbagai daerah di
Indonesia. Mereka datang berkunjung kepada beliau untuk berbagai macam
keperluan, bersilaturahmi, menuntut ilmu, meminta keberkahan, dan beramah tamah
dengan beliau. Selama hidupnya, KH. Tuhagus Muhammad Falak telah memenuhi
fungsi sosial sebagai seorang ulama yang memberikan pengobatan dengan metode
spiritual healing yaitu suatu usaha penyembuhan penyakit dengan iman dan
keyakinan. Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau
rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki
oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu
falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah
dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki
hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama
besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada
beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul
Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud
Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh
Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali
Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar
Kwitang dan para habaib dan kiai dari
berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia
sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya
dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH.
Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama
pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang
masih muda, K.H Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan
menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.
Melalui garis
keturunan dari Ayahnya. KH Falak berasal dari keturunan keluarga besar
kesultanan di Banten, bahkan merujuk kepada silsilah keluarganya, KH. Falak
termasuk keturunan salah seorang mubalighin utama (Walisongo) yang memiliki
putra bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung
Djati. Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh
Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf,
bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama
besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga
mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa
Naqsyabandiyah.
Pada
tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak
tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk
memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya. Tetapi seperti pada
umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk
menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian
juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan
dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan
aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang,
Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.
Selanjutnya Abah Falak menikah dengan
seorang putri Pagentongan yang bernama Hajah Siti Fatimah dan mempunyai seorang
putra tunggal yang bernama KH. Tb. Muhammad Thohir Falak (dikenal sebagai Bapak
Aceng).
Karomah KH Falak
KH.
Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang ulama kharismatik yang
sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini menunjukan suatu bukti
bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat
luas diberbagai khayalak. Pernyataan seperti itu didukung oleh pengakuan
beberapa ulama besar termasuk para Habib di nusantara, mereka memberikan
pengakuan bahwa KH Falak merupakan seorang Waliyullah, hal itu pernah
disampaikan oleh Habib Umar Bin Muhammad bin Hud Al-Attas (Cipayung ), Habib
Soleh Tanggul Jawa Timur dan Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Jakarta.
Salah satu karomah KH. Falak adalah
ketika tiga hari menjelang wafatnya beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya
yang telah tiada, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Said Abdul Turki,
Syekh Abdul Karim bahkan juga Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan
pula, bahwa KH. Falak sering melakukan perjalanan singkat antara
Pagentongan–Banten. Selama di Banten beliau menjadi seorang ulama besar yang
menjadi pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana
dapat dilihat tidak semata-mata seorang individu yang memiliki pengaruh luas.
Tapi, jelas ada konteks kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak
masyarakat yang tidak mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam
tulisan yang serba singkat ini.
Menurut KH. Zein
Falak yang pernah menuturkan pengalamannya selama menjadi pengawal pribadi KH
Falak. “Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu seorang yang Alim, Wali,
‘allamah, perawakannya kecil, kulitnya putih berseri. Beliau sangat ramah dan
selalu tersenyum kepada yang menyapanya”, tutur KH. Zein. Lebih jauh, lelaki
keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun 1940 itu menuturkan, “Abah
Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu memakai udeng (sorban yang
dililitkan dikepala-red), wajahnya selalu berseri, tutur katanya lembut namun
tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua orang, baik dengan para ulama,
habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang bersilaturahmi kepadanya, Abah Falak
dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau
kepada santri-santri dan tamunya selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa
Indonesia.
Abah Falak,
termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya
Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan dua telur ayam kampung,
kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim
dan masjid”, tutur KH Zein. Semasa hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang
yang dermawan, banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan
beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta
pertolongan.
Yang tidak kalah menarik menurut
penuturan KH. Zein, bahwa apabila kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus,
maka beliau seperti orang tuli. “Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu
yang minta nomor buntut. Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak
bertanya berulang kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang
diutarakan orang itu, bahkan secara tiba-tiba, Abah Falak menyuruh orang itu
pulang”. ujar KH Zein.
KH. Tubagus
Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli
1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di
Pagentongan, Bogor. Beribu-ribu jemaah datang dari berbagai kalangan baik tokoh
agama, politik dan militer serta masyarakat luas yang berasal dari dalam dan
luar negeri. Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-Falak peninggalan KH.
Tubagus Muhammad Falak diteruskan oleh anak cucu dari keturunan beliau. Semoga
anak cucu dan keturunan beliau diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan
untuk meneruskan toriqoh dan perjuangan beliau ilaa yaumil qiyamah
Syekh
Abdul Wahab Rokan
MURSYID TAREKAT NAQSYABANDIYYAH BABUSSALAM
Kendati telah
wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya terasa di Kampung Babussalam,
Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara. Peziarah mengalir ke makamnya di kampung
yang didirikannya. Syekh Abdul Wahab Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama
di Sumaera. Lahir pada 19 Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung
Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab. Rokan
hulu, Riau, Wahab tumbuh di lingkungan keluarga yang menjunjung agamanya. Nenek
buyutnya, H Abdullah Tembusai, dikenal sebagai alim ulama besar yang disegani.
Salah seorang
putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan Intan. Buah perkawinan
itu melahirkan di antaranya Abdul Manap. Putra tertuanya ini, kemudian menikah
dan melahirkan Syekh Wahab Rokan. Dengan titisan darah demikian, Wahab sejak
kecil terdidik, terutama untuk pelajaran agama. Demi menghapal AlQuran, Wahab
kecil tak jarang bermalam, di rumah gurunya. Ia pun patuh pada guru, bahkan
kerap mencucikan pakaian orang yang mendidiknya itu. Keistimewaan telah tampak
sejak Wahab masih bocah. Suatu ketika, saat orang terlelap pada dinihari, Wahab
masih menekuni AlQuran. Mendadak muncul seorang tua mengajarinya membaca
aLQuran. Setelah rampung satu khatam, orang tua itu menghilang.
Kesalihannya ini
tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan pendidikan di Tembusai,
seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci pintu tempat Wahab berada. Wahab
terus melantunkan doa sehingga terlepas dari jebakan wanita yang tergila-gila
padanya. Begitu pun, suatu ketika saat mandi di sungai, seorang gadis melarikan
sarungnya.
Godaan itu tak
membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh mendalami ilmu agama. Setelah
dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk mendalami ilmu agama kepada Syekh H M
Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang tumbuh menjadi pemuda berdagang untuk
menopang kehidupannya. Menariknya, berkat kesalihannya, ia menyuruh pembeli
menimbang sendiri barang yang dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan. Melanjutkan
pendidikan ke MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di antaranya Zaini
Dahlan (mufti mazhab Syafii), Syekh Zainuddin Rawa. Terakhir, ia mendalami ilmu
tarEkat kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi
dikenal sebagai penganut tarEkat Naqsyabandiah.
Menyimak
ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi mengangkat Wahab sebagai
khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan bai’ah dan pemberian silsilah
tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW hingga kepada
Sulaiman Zuhdi yang kemudian diteruskan kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan
dua cap. Ia pun mendapat gelar Al Khalidi Naqsyabandi. Setelah kurang lebih
enam tahun di MAkkah, ia kembali ke Riau. Di sana, ia yang saat itu berusia 58,
mendirikan Kampung Mesjid. Dari sana, ia mengembangkan syiar agama dan tarEkat
yang dianutnya, hingga Sumatra Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja
di berbagai kerajaan di Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika,
Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat, gundah. Putranya sakit parah
dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak terperikan. Syekh HM Nur yang —
sahabat karib Wahab saat di MAkkah — menjadi pemuka agama di kerajaan,
menyarankan agar Sultan bersuluk di bawah bimbingan Wahab. Sultan menyetujui
dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia
mengajarkan tarEkat Naqsyahbandi dan bersuluk kepada Sultan. Setelah berulang
bersuluk, Sultan Musa — yang belakangan melepaskan tahtanya dan memilih
menekuni agama — memenuhi saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus
bersuluk kepada Sulaiman Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban
hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan sebidang tanah di tepi Sungai
Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung Pura. Sultan berharap gurunya dapat
mengembangkan syiar agama dari tanah pemberiannya. Wahab menyetujui dan
menamakan kampung itu Babussalam (pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300
H, ia bersama ratusan pengikutnya, menetap di sana.
Babussalam
berkembang menjadi kampung dengan otonomi khusus. Menjadi basis pengembangan
tarEkat Naqsyahbandiyah di Sumatra Utara, Wahab membentuk ‘pemerintahan’
sendiri di kampung itu. Perangkatnya antara lain dengan membuat Lembaga
Permusyawaratan Rakyat (Babul Funun).
Hingga kini,
kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan tarekat Naqsyahbandiyah. Tetap
mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda setempat, aktivitas sehari-hari —
ditandai dengan kegiatan suluk setiap hari — dipimpin khalifah. Saat ini
khalifah kesepuluh Syekh H Hasyim yang memimpin. Kendati terjalin erat,
hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu harmonis. Bahkan antara keduanya
sempat renggang, saat Wahab difitnah membuat uang palsu. Akibatnya, Sultan
memerintahkan penggeledahan ke rumah Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling
memaafkan, Wahab seusai peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini
kabarnya menyebabkan sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun,
suatu kali penjajah Belanda ‘menekan’ Sultan. Dalihnya, berbekal potret Wahab,
ditengarai Tuan Guru Babussalam — demikian panggilan kehormatannya — turut
bertempur membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Padahal, pada saat bersamaan,
pengikutnya menegaskan Tuan Guru berdzikir di kamarnya.
Kembali ke
Babussalam, setelah terharu menyaksikan kampung yang dibangunnya menyepi, Tuan
Guru menetap di Babussalam. Bersama pengikutnya, ia kembali membangun
Babussalam. Tak sekadar berkembang pesat, Tuan Guru bersama Babussalam tumbuh
disegani. Tak ayal, Belanda berusaha menjinakkannya.
Maka pada 1
Jumadil Akhir 1241 H, Asisten Residen Van Aken, menyematkan bintang kehormatan
kepadanya. Kendati demikian, tak berarti Tuan Guru, terpedaya. Bahkan, di saat
prosesi penyematan, Tuan Guru dalam sambutan meminta Van Aken menyampaikan
kepada Raja Belanda untuk masuk Islam. Menilai pemberian bintang itu sindiran,
ia meminta pengikutnya lebih giat. Bintang kehormatan itu pun kemudian
diserahkan kepada Sultan Langkat.
Kendati dikenal
sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak memiliki kepedulian pada
politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya
untuk membicarakan pembukaan cabang Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama
kemudian, SI pun berdiri di kampung yang dipimpinnya. Tuan Guru wafat di usia
115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H (27 Desember 1926), meninggalkan 4 istri, 26
anak, dan puluhan cucu. Hingga kini, setiap peringatan hari wafat (haul),
dirayakan besar-besaran. Ratusan pengikutnya yang memegang tarekat
Naqsyahbandiah dari berbagai kota di Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand
hadir.
PELETAK
DASAR TAREKAT NAQSYABANDIYYAH
Nama lengkapnya
adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia
lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan
Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui
Sayyidina Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua
India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal
dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata
sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya
anakku ini adalah seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin
karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering.
Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di
Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai
khwajakan (bentuk plural dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam bahasa Persia berarti
para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika
Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel
Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari
desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba
Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan
langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi
memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin
meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, “Semua ilmu dan
pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu
lalai melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan
spiritual
Bahauddin pun
berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar
yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf
dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak
lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru. Bahauddin juga percaya bahwa sebuah
jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap
rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari
sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin
ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar
berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya
menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang
tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia
tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di
hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah
lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, “Karena,
hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!” Di bawah asuhan Amir
Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di
antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke
makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih
banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk
menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan
khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam
barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin
mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru
pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah
seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan,
yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin
mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu,
Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual
langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di
dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan
pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah
bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul
Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu
Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi,
tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin.
Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap
habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya
menunjuk ke puting dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber ini sudah
habis kamu sedot, maka mengembaralah!”
Bahauddin
kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani
dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul
dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas
USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3
Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul
Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai “Naqshaband” (bahasa
Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat
Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini
tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua
India dan Indonesia.
Adanya Tarekat
Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah
dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari
setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan
Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat
Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di
Eropah dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada
beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan
Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang–sesuai
namanya–merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia. Mengembalikan
Esensi Tasawuf Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama
dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi
Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam
wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah
terealisasikannya “maqam kehambaan” seorang anak manusia di hadapan Allah
semata.
Shah Naqshaband
menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu
sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan
segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan
hanya kepada-Nya. Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah
dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang
terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti
tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan
kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya
sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai
maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan
seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir
dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu
dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu),
tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lengah” (QS Al-A`raaf: 205). Zikir dalam hati dipilih karena
silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode
zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya
bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan
suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi
tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati
yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan
Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan
langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang
Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat. Shah Naqshaband pernah menyatakan
bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh
asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan
mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau
“bersama” dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu
serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain,
bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif.
Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan
kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih
mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan
kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan
sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan
spiritual.
Selain itu,
bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya
dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan
seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini.”
Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling
komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan,
tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu
“mengingat” dan “bersama” Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah
Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara
paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani
perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam
menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang
mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan,
barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas
berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut
beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat. Dan, barang
siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat,
berarti dia telah tersesat!” aunul abied shah/taq
Syaikh
Muhammad Bahaa'uddin Naqshband (qs)
PART
II
Maulana
Syaikh Naqsyaband, Imam ut Thariqah adalah Pir. Pir berarti Imam. Imam berarti
Tiang. Dia adalah Tiang utama Tarekat kita. Semoga Allah memberkati Beliau dan
memberkati kita semua di dunia ini dan akhirat kelak. Maulana Syaikh Naqsyaband
berkata “Thariqathun isthufal khalqa jamii-an”. Kita mencoba mengikut dan
menjadi pengikut. Ini adalah cara yang mudah dan enak untuk menuju kekuatan.
Ada
suatu mesin yang bekerja di depan rangkaian kereta api. Semua kerja yang berat
dikerjakan oleh mesin itu. Dibelakang mesin itu ada beberapa gerbong yang
bergabung bersama gerbong lainnya membentuk suatu rangkaian, tapi kekuatan
utama berasal dari mesin itu, yaitu mesin yang berada didepan dalam rangkaian
kereta api. Karena gerbong yang lain bergabung dengan mesin itu, mereka
bergerak sesuai dengan arah dari mesin itu. Kemana saja mesin itu menuju
rangkaian gerbong itu mengikuti. Walaupun rangkaian gerbong atau pengikut tidak
punya kekuatan sendiri, tapi kemanapun mesin mengarah, mereka dapat menuju
kesana juga. Mereka bisa juga berjalan menuju tempat tujuan mesin itu.
Karena
itu, setiap Tarekat memiliki seorang Imam Tarekat. Imam-ut-Thariqah (Imam
Tarekat) telah dikaruniai kekuatan untuk membawa kita dari asfala safiliina
ilaa alaa illiyyiin, dari tingkatan terendah ke tingkatan tertinggi. Kalau
hanya mengandalkan kemampuan diri kita sendiri mustahil kita bisa mencapainya.
Anda tidak akan bisa terbang tanpa naik pesawat udara. Dengan menumpang pesawat
udara Anda bisa menempuh perjalanan bahkan dari satu benua ke benua lainnya.
Karena itu, Anda harus menggunakan sarana (tarekat) ini untuk beranjak dari
maqam terendah Anda hingga ke maqam tertinggi yang mungkin dicapai.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lahir di desa Qasr al-Arifan dekat Bukhara
pada tahun 711 H/1317 M. Beliau dikabarkan telah menunjukkan berbagai keajaiban
yang luar biasa sejak masa kecilnya. Ketika Beliau masih muda, Muhammad Baba as
Samasi, seorang Syaikh dari Tarekat Naqsyabandi memintanya datang dan untuk
memenuhi permintaan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband berangkat ke kota
Samas untuk berkhidmat kepada Maulana Syaikh Muhammad Baba as Samasi. Tentang
kehidupan Beliau dalam periode ini Maulana Syaikh Bahauddin (ral), mengisahkan:
Bangun
dari tidur setidaknya tiga jam sebelum subuh aku mengerjakan rangkaian shalat
sunah dan setelah itu ketika dalam keadaan sujud aku memohon kepada Allah Yang
Maha Kuasa untuk memberiku kekuatan untuk memikul Cinta Ilahiah Nya. Kemudian
aku shalat subuh bersama Syaikh ku. Kelihatannya Syaikh mengetahui apa yang
kuminta dalam sujudku, karena Beliau mengatakan kepadaku: Kamu harus mengubah
apa yang kau minta dalam sujudmu, karena Allah Yang Maha Kuasa tidak suka
hambaNya meminta kesukaran. Memang Dia memberi beberapa kesulitan kepada
mahlukNya untuk menguji mereka. Hal ini berbeda. Seorang hamba tidaklah boleh
meminta untuk diberi kesulitan-kesulitan karena hal ini tidak menunjukkan
penghormatan kepada Allah. Karena itu ubahlah permohonan dalam sujudmu dengan
berdoa “untuk hambaMu yang lemah ini wahai Tuhanku, karuniakanlah ridhoMu”.
“Sepeninggal
Syaikh Muhammad Baba Samasi aku pergi ke Bukhara dan menikah disana. Aku
tinggal di Qasr al-Arifan dekat tempat tinggal Syaikh Sayyid Amir Kulal dalam
rangka berkhidmat kepada Beliau”. Menurut riwayat lama sebelumnya Syaikh Baba
Samasi telah mengatakan kepada Sayyid Amir Kulal untuk mengasuh Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband.
Maulana
Syaikh Bahauddin (ral) mengisahkan pengalamannya. “Suatu ketika aku sedang
melakukan khalwat bersama seorang kawan ketika tiba-tiba surga dan suatu
pemandangan yang luar biasa ditampakkan didepanku. Dalam visi itu kudengar
suara berkata “Tinggalkan semuanya dan datanglah ke Hadirat Kami sendirian”.
Aku mulai gemetar dan lari meninggalkan tempat khalwat ke suatu tempat yang ada
sungainya dan melompat ke dalam sungai itu. Aku mencuci pakaianku lalu shalat
dua rakaat dengan cara yang aku belum pernah melakukan sebelumnya karena aku
merasakan sedang shalat dihadapan Hadirat Ilahi. Terjadi Penyingkapan (futuh)
di hatiku dan itu merupakan pembuka atas segala sesuatu. Seluruh alam semesta
lenyap dan aku tidak sadar akan apapun selain sedang shalat dihadapan Hadirat
Ilahi”. Ada riwayat luar biasa lainnya yang dikisahkan Wali Agung Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral). Beliau bercerita “Pada tahap awal dari
keadaan kertertarikanku aku ditanya mengapa aku menempuh jalan ini. Kujawab
supaya aku mendapat kekuatan sehingga apapun yang kukatakan dan kuinginkan akan
terwujud. Dijawab bahwa tidak bisa seperti itu, karena sesungguhnya apa yang
Kami sabdakan dan yang Kami kehendaki adalah yang akan terjadi. Kujawab lagi
bahwa aku tidak setuju dengan hal itu. Aku harus mampu berkata dan berbuat
apapun yang kuinginkan, jika hal ini tidak bisa kudapat maka kenapa aku harus
menempuh jalan ini? Lalu kuterima jawaban: tidak, sesungguhnya apapun yang Kami
kehendaki Kami sabdakan dan apapun yang Kami kehendaki akan terwujud. Kujawab
lagi apapun yang kukatakan dan kulakukan adalah jalan yang kutempuh. Setelah
itu aku ditinggalkan sendirian.
Selama
lima belas hari aku sendirian. Hal ini membuatku tenggelam dalam depresi yang
mendalam. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara “Wahai Bahauddin seperti yang kau
inginkan maka Kami mengaruniaimu apapun yang kau inginkan”. Aku memohon agar
diberi jalan yang bisa langsung menuju Hadirat Ilahi. Lalu aku mengalami visi
yang luar biasa dan mendengar suara yang mengatakan bahwa aku telah dikarunia
apa yang kuminta”.
Kisah
ini luar biasa karena biasanya orang patuh pada Perintah Ilahi dan tidak
meminta pemenuhan keinginan mereka sendiri. Biasanya tindakan menolak untuk
mematuhi Perintah Ilahi dan memaksa untuk mendapatkan apa yang diingini akan
dianggap tidak adab. Walaupun pada awalnya ditolak, permohonan Maulana Syaikh
Bahauddin (ral) akhirnya dikabulkan. Permohonannya dikabulkan mungkin karena
Beliau memohon untuk kemaslahatan orang banyak dan bukan untuk kepentingan diri
sendiri.
Ada
kisah lain yang tak kalah menariknya kala Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband
(ral) diuji oleh Syaikh nya. Ini sungguh ujian yang berat. Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral) menuturkan kejadian ini. “Suatu ketika aku berada dalam
tarikan Ilahiah yang begitu kuat sehingga aku tidak sadar akan diriku dan
berjalan tanpa menyadari apa yang kulakukan. Ketika malam tiba kulihat kedua
kakiku berdarah akibat luka sobek dan tertusuk duri. Lalu kurasakan bahwa aku
harus pergi ke rumah Syaikh ku, Sayyid Amir Kulal. Malam itu terasa sangat
dingin dan gelap tanpa ada bulan dan bintang sama sekali. Untuk melawan
dinginnya malam aku hanya mengenakan jubah tua terbuat dari kulit. Ketika
sampai di rumah Syaikh ku, kulihat Beliau sedang bersama teman-teman dan para
pengikut Beliau. Ketika Syaikh melihatku Beliau memerintahkan pengikutnya untuk
mengusirku keluar dari rumah. Syaikh ku tidak suka aku berada di dalam rumahnya.
Pengikut Syaikh mendatangiku dan membawaku keluar dari rumah. Aku tidak terima
diperlakukan seperti ini.
Terasa
egoku akan mengalahkanku dan mengambil alih kendali perasaanku dengan mencoba
meracuniku dengan menggoyah keyakinanku yang tulus pada Syaikh ku. Bagaimana
aku bisa menanggung malu dan rasa terhina seperti ini? Lalu Rahmat Ilahi datang
kepadaku sehingga aku mampu menanggung ini semata-mata hanya demi Allah dan
demi Syaikh ku. Dengan tegas kukatakan pada egoku bahwa aku tidak akan
membiarkan egoku membuatku kehilangan cinta dan keyakinanku pada Syaikh ku.
Lalu
kurasakan depresi yang mendalam melandaku. Langsung kuarahkan diriku pada
keadaan kerendahan hati, meletakkan kepalaku didepan pintu masuk rumah Syaikh
dan berjanji bahwa aku tidak akan bergerak dari keadaan seperti itu sampai
Beliau menerimaku lagi. Terasa salju dan angin dingin menyusup tulang yang
membuatku menggigil dan gemetar menahan dinginnya malam yang kelam. Bahkan tak
tampak cahaya bulan dan bintang sedikitpun pun untuk membuatku sedikit nyaman
dan hangat. Tubuhku nyaris membeku. Hanya hangatnya cinta kepada Allah Yang
Maha Kuasa dan kepada Syaikh ku saja yang menghangatkanku.
Aku
menanti dengan tetap dalam keadaaan seperti itu hingga pagi hari. Lalu Syaikh
ku melangkah keluar rumah dan tanpa melihatku kakinya menginjak kepalaku.
Ketika Syaikh melihatku, dengan cepat dibawanya aku masuk ke dalam rumahnya dan
dengan telaten serta penuh perhatian Beliau mencabuti duri dari kakiku. Beliau
berkata “Wahai anakku, hari ini kau telah dihiasi dengan busana kebahagiaan dan
Cinta Ilahi. Busana yang menghiasimu ini belum pernah dikenakan oleh siapapun,
baik diriku maupun Syaikh-syaikh sebelumku. Allah dan Nabi Muhammad (sal) telah
ridho kepadamu. Demikian juga Para Auliya dalam silsilah Rantai Emas, mereka
semua telah ridho kepadamu”.
Sambil
mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh luka di kakiku, Syaikh ku
menuangkan kedalam hatiku pengetahuan yang belum pernah kualami sebelumnya.
Lalu dalam visiku kulihat diriku memasuki rahasia dari Muhammadur RasuluLlah.
Ini berarti memasuki rahasia dari ayat yang merupakan Realitas Muhammad.
Setelah itu membawaku memasuki rahasia dari la ilaha illaLlah yang merupakan
rahasia dari Keesaan Allah. Kemudian membawaku memasuki rahasia-rahasia dari
nama-nama dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa yang berada dalam rahasia dari
Keesaan Allah. Tidak mungkin kata-kata bisa menerangkan keadaan yang kualami
ini. Hal ini hanya bisa dialami dengan merasakannya melalui qalbu”.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) dididik oleh Syaikh Baba as Samasi dan Syaikh
Sayyid Amir Kulal, keduanya merupakan figur Syaikh terkemuka dari Rantai Emas
Tarekat Naqsyabandi. Beliau juga dididik langsung oleh Grand Syaikh terkemuka
lainnya dari Rantai Emas yang sama (yang hidup tidak sejaman dengan mereka).
Kejadian ini dikisahkan oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband dalam tuturan
berikut: Pada awal mula langkahku menempuh Jalan Sufi aku biasa berjalan-jalan
dimalam hari dari satu tempat ke tempat lain di desa Bukhara. Untuk belajar dari
mereka yang sudah meninggal dunia aku banyak mengunjungi kuburan di kegelapan
malam dan ini biasanya juga kulakukan di musim dingin. Suatu malam aku pergi
mengunjungi makam dari Syaikh Ahmad al Kashghari dan membaca fatihah untuk
Beliau. Di makam Beliau kutemui dua orang yang sedang menantiku. Aku belum
pernah bertemu mereka sebelumnya. Mereka disertai seekor kuda. Mereka
mendudukanku diatas pelana kuda itu dan mengikatkan dua buah pedang di
pinggangku, lalu menuntun kuda ke makam dari Syaikh Mazdakhin. Kami lalu turun
dari kuda dan memasuki makam dan mesjid dari Syaikh ini dan mulai melakukan
meditasi (murakabah).
Dalam
keadaan murakabah kulihat dalam dalam visiku tembok yang menghadap Ka’bah
runtuh. Seorang laki-laki bertubuh raksasa kulihat sedang duduk diatas
singgasana yang sangat besar. Aku merasa sangat familiar dengannya, sepertinya
aku telah pernah bertemu dengannya sebelumnya. Kemanapun aku menghadapkan wajah
kulihat orang ini. Disekeliling orang ini ada Syaikh Baba Samasi and Sayyid
Amir Kulal berkumpul bersama dengan sekelompok besar orang yang hadir. Aku
merasakan rasa cinta yang mendalam kepada laki-laki bertubuh besar ini dan pada
saat bersamaan merasa takut padanya. Sosoknya memesona sekaligus menakutkanku
dan keindahannya penampilannya menimbulkan rasa cinta dan ketertarikan. Aku
bertanya pada diriku sendiri siapa sebenarnya lelaki agung dan bertubuh besar
ini. Tiba-tiba kudengar seseorang yang berada disekitar lelaki itu berkata
“Orang ini adalah Syaikh mu dan dialah yang menjagamu dalam jalur spiritualmu.
Dia mengawasi jiwamu sejak masih berupa sebuah atom di Hadirat Ilahi. Kau telah
dilatihnya selama ini. Namanya adalah Abdul Khaliq Al Gujduwani dan kumpulan
orang yang terlihat disekelilingnya adalah para Auliya yang membawa
rahasia-rahasia besarnya, rahasia-rahasia dari Rantai Emas”. Lalu Syaikh Abdul
Khalik mulai menunjuk masing-masing Syaikh yang ada disitu dan berkata “Ini
adalah Syaikh Ahmad, ini Arif ar-Riwakri, ini Syaikh Ali ar-Ramitani, ini
Syaikh mu Baba as Samasi yang memberimu jubah semasa hidupnya”. Dia bertanya
padaku “Apakah kau mengenalnya?”. Kujawab “Ya”. Lalu Beliau berkata “Jubah yang
diberikannya kepadamu masih berada dirumahmu dan dengan perkenan Syaikh mu maka
Allah Yang Maha Kuasa telah menghapus banyak kesulitan-kesulitan yang
semestinya menimpamu”.
Lalu
terdengar suara lain yang berkata ”Syaikh yang duduk diatas yang singgasana itu
akan mengajarimu sesuatu yang kau butuhkan dalam menempuh jalan sufi ini”. Aku
bertanya kepada mereka apakah aku diperbolehkan menyentuh tangan Beliau.
Setelah diijinkan aku memegang tangan Beliau. Lalu Syaikh Abdul Khaliq Al
Gujduwani mulai mengajariku tentang jalan sufi, permulaannya, pertengahan dan
akhirnya. Beliau berkata “Kau harus menyesuaikan sumbu hakikat dirimu sehingga
cahaya yang tak kasat mata akan diperkuat didalam dirimu dan rahasia-rahasianya
menampak. Kau harus menunjukkan istiqomah dan harus menjaga Syariah Suci dari
Nabi Muhammad (sal) pada apapun keadaanmu”.
Beliau
juga berkata “Kau harus meninggalkan kesenangan hidup duniawi dan menjauhi
perbuatan bid’ah dan pusatkan dirimu hanya pada sunah-sunah Nabi Muhammad
(sal). Kau harus menghayati dan menyelami peri kehidupan Nabi Muhammad (sal)
dan para sahabatnya. Kau harus mengajak orang untuk membaca dan mengikuti
tuntunan Qur’an baik siang maupun malam dan menegakkan shalat wajib serta semua
ibadah sunah. Jangan sekali-kali memandang rendah bahkan pada hal-hal kecil
dari perbuatan dan amal shalih Nabi Muhammad”.
Begitu
Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujduwani (ral) menyelesaikan ucapannya, wakil Beliau
berkata padaku ”Agar kau yakin bahwa visi yang kau lihat ini benar adanya
Beliau akan mengirimu suatu pertanda”. Dijelaskan bahwa hal-hal dan
kejadian-kejadian tertentu akan terjadi sebagaimana mustinya terjadi dan pada
saat yang telah ditentukan. Demikianlah kejadian-kejadian itu terjadi persis
sebagaimana telah dikatakan kepada Maulana Syaikh Bahauddin (ral) yang kemudian
juga berbuat persis sebagaimana Beliau diperintahkan, hal ini membuktikan
kebenaran visi yang dialami Maulana Syaikh Bahauddin (ral). Beliau juga diminta
untuk memberikan jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal (ral). “Setelah visi itu
berakhir aku pulang kerumah dan mencari jubah itu dan bertanya kepada
keluargaku dimana adanya jubah itu. Mereka mengatakan kepadaku bahwa jubah itu
sudah berada disana sejak lama, sambil membawa jubah itu dan menyerahkannya
kepadaku. Aku mulai menangis didalam hati ketika melihat jubah itu”.
Setelah
memenuhi segala hal yang dikatakan dalam visiku, sebagaimana diperintahkan aku
membawa jubah Azizan ke Syaikh Sayyid Amir Kulal (ral) dan memberikan padanya.
Setelah terdiam beberapa saat Syaikh Amir Kulal berkata padaku “Aku diberitahu
tentang jubah Azizan ini semalam yaitu bahwa kamu akan membawa dan
menyerahkannya padaku. Aku diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapis
selubung yang berbeda“. Beliau lalu memintaku masuk ke dalam kamarnya dan
mengajarkan serta menempatkan didalam hatiku zikir tanpa bersuara. Aku diminta
untuk terus menerus berzikir seperti itu siang dan malam. Aku terus mengamalkan
zikir ini yang merupakan bentuk tertinggi dari zikir.
Aku
juga berguru kepada ulama-ulama lain untuk belajar Syariah dan sunah-sunah Nabi
Muhammad (sal) dan juga mengkaji sifat-sifat Nabi Muhammad (sal) dan para
sahabatnya. Sejak aku melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dalam visiku,
hidupku mengalami perubahan besar. Semua yang diajarkan oleh Syaikh Abdul
Khaliq Al Gujduwani (ral) dalam visi itu bermanfaat bagiku dan membuahkan
hasil. Ruh Beliau selalu menyertaiku dan mendidikku. Syaikh Abdul Khaliq Al
Gujduwani (ral) adalah salah satu dari beberapa Guru/Syaikh dari Maulana Syaikh
Bahauddin Naqsyaband (ral) walaupun Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral)
hidup dimasa sebelum jaman Maulana Syaikh Naqsyaband (ral). Hubungan ini dalam
dunia sufi dikenal sebagai Hubungan Uwaisy, yang berarti bimbingan dan hubungan
spiritual terjadi walaupun masing-masing berasal dari jaman yang berbeda.
Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) juga merupakan salah satu Syaikh dari
Rantai Emas Tarekat Naqsyabandi.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengikuti dan belajar pada Mawlana Arif
ad-Din Karani selama tujuh tahun. Setelah itu Beliau mengikuti Maulana Kuthum
Syaikh selama beberapa tahun. Beliau juga menyertai seorang darwis bernama
Khalil Ghirani yang tentangnya Beliau berkata “Selama menyertai Syaikh Khalil
Ghirani banyak pengetahuan baru yang selama ini tersembunyi mulai tersingkap di
hatiku dan Beliau selalu menjagaku, memujiku dan mengangkat derajatku”. Ada
Kekasih Allah lainnya yang disebut oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband
(ral) “Beliau memerintahkanku untuk menolong dan melayani orang miskin dan
menolong mereka yang sedang hancur hatinya. Beliau memintaku untuk rendah hati
dan bersikap toleran. Beliau juga mengatakan padaku untuk menyayangi
hewan-hewan dan menyembuhkan sakit dan luka mereka dan memberi mereka makanan”.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqshband (ral) mengisahkan tentang kejadian lain yang masih
berhubungan dengan jubah Azizan. “Suatu hari aku sedang berada di kebunku dan
dikelilingi oleh murid-muridku. Aku mengenakan jubah Azizan. Tiba-tiba aku
diliputi oleh rahmat dan tarikan surgawi dan kurasakan diriku dihiasi dengan
busana sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Kurasakan diriku mulai gemetar
sedemikian rupa yang tak pernah kualami sebelumnya sehingga aku tak mampu lagi
berdiri. Lalu tampak olehku visi yang luar biasa dimana keberadaanku sama
sekali lenyap (fana) dan aku tidak melihat apapun kecuali Wujud Tuhanku.
Lalu
kulihat diriku keluar dari Hadirat Ilahiah-Nya yang tampak terpantul dari
cermin Muhammadur RasuluLlah yang berbentuk sebuah bintang dalam samudra cahaya
tanpa batas. Wujud luarku lenyap dan kusaksikan makna sesungguhnya dari la
ilaha illaLlah Muhammadur Rasulullah. Kemudian kusaksikan makna sejati dari
nama-nama Allah yang kemudian membawaku kepada Yang Maha Ghaib yang merupakan
esensi dari nama Allah ‘Huwa” (Dia). Begitu aku memasuki samudra ini jantungku
berhenti berdetak dan hidupku berakhir. Aku berada dalam keadaan mati. Semua
orang yang berada disekelilingku mulai menangis karena mengira aku sudah
meninggal dunia. Akan tetapi setelah kitra-kira enam jam aku diperintahkan
untuk kembali ke ragaku. Aku bisa menyaksikan ruhku kembali memasuki ragaku perlahan-lahan
dan visi itu berakhir”.
Maulana
Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengatakan kalau Beliau menerima
rahasia-rahasia spiritual dari berbagai pihak dan khususnya dari Uways
al-Qarani (ral) yang memberi pengaruh besar dalam hal meninggalkan keduniawian
dan melekatkan diri Beliau kepada hal-hal spiritual (ukhrowi). Beliau berkata
“Aku melakukan ini dengan menjaga sunnah dan perintah-perintah Nabi Muhammad
(sal) sampai aku mulai menyebarkan hikmah dan dikarunia rahasia-rahasia Ilahiah
dari yang Maha Esa yang tidak pernah diberikan pada seorangpun sebelumku”
Ada
kisah menarik lainnya yang dituturkan oleh Wali Agung Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral) mengenai kekuatan spiritual Beliau. Maulana Syaikh Bahauddin
Naqsyaband (ral) berkata: Suatu hari aku pergi ke gurun bersama salah satu
muridku yang tulus yang bernama Muhammad Zahid. Kami mulai menggali tanah
dengan menggunakan sebuah beliung (alat untuk menggali) dan pada saat bersamaan
juga sambil membicarakan secara mendalam tingkatan-tingkatan pengetahuan.
Sambil terus mengayun beliung pembicaraan kami terus berlangsung dan semakin
mendalam. Lalu tiba-tiba muridku bertanya “Sampai batas apakah pencapaian
ibadah?”. Kujawab ”Peribadatan mencapai suatu tingkatan dimana kau mampu
menunjuk pada seseorang dan berkata “Matilah” dan lalu orang itupun mati”.
Ketika aku sedang mengatakan itu tanpa sadar sambil telunjukku menunjuk pada
Muhammad Zahid. Ketika kukatakan kata “Mati” terjadilah hal yang mengerikanku
yaitu muridku jatuh dan meninggal dunia. Waktu terus berlalu dari pagi sampai
tengah hari dan muridku masih dalam keadaan mati. Pada saat tengah hari terasa
sangat panas dan jenasah muridku mulai semakin memburuk karena panas yang
sangat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan merasa takut serta
kebingungan. Yang bisa kulakukan adalah membawa jenasahnya ketempat teduh
dibawah pohon. Aku lalu duduk mulai berfikir dan merenung akan apa yang harus
kulakukan dalam situasi ini. Tiba-tiba muncul Ilham dalam pikiranku dan aku
berkata sambil menunjuk pada jenasah muridku “Wahai Muhammad Hiduplah!” tiga
kali. Timbul rasa legaku ketika perlahan-lahan nyawanya kembali ke tubuhnya dan
secara bertahap muridku kembali ke kesadarannya. Dengan bergegas aku menemui
Syaikh ku dan menceritakan kejadian itu. Syaikh ku kemudian berkata “Wahai
anakku, Allah Yang Maha Kuasa telah memberimu suatu rahasia yang tak pernah
diberikannya kepada siapapun”.
Dihari-hari
akhir masa hidupnya Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lebih sering
mengurung diri di kamarnya. Banyak orang yang datang mengunjungi Beliau.
Semakin banyak orang yang berkunjung ketika sakit Beliau semakin parah. Saat
ajal Beliau makin dekat, Beliau memerintahkan agar dibacakan Surah Yaasin.
Selesai dibacakan Surah Yaasin Beliau mengangkat tangan sambil membaca Dua
Kalimah Syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi
Muhammad (sal) adalah Utusan Allah. Dengan Syahadat ruh suci Beliau kembali
kepada Allah. Ketika itu tanggal 3 Rabiul Awwal, 791 H/1388 M, pada hari Senin
malam. Sesuai permintaannya Beliau dimakamkan di taman miliknya. Mengenai
kejadian ini seorang Wali Agung masa itu Abdul Wahab asy-Syarani berkata:
Ketika Syaikh dimakamkan di makamnya terbukalah untuk Beliau sebuah jendela ke
surga, sehingga makamnya menjadi sebuah taman surga. Dua mahluk spiritual
berpenampilan memesona datang dan memberi salam kepada Beliau sambil berkata
“Kami telah menanti sekian lama untuk melayani Anda sejak Allah menciptakan
kami dan sekarang waktunya telah tiba bagi kami untuk melayani Anda”, terhadap
ucapan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menjawab “Aku tidak butuh
apapun selain Dia. Aku tidak butuh kamu, aku butuh Dia”. Dengan cara seperti
itu Beliau mangkat.
Itulah
kisah kebesaran dari Pir atau Tiang dari Tarekat Naqsyabandi yang mulia.
Tarekat ini sebelum jaman Beliau dikenal sebagai Tarekat Siddiqiyah. Setelah
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral), tarekat ini dikenal sebagai Tarekat
Naqsyabandiyah. Semoga Allah merahmati Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband
(ral).Amiin.
Tuang
Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al amfani Al Fancuri
PELETAK
DASAR TAREKAT HIZIB NAHDHATUL WATHAN
Beliau adalah sosok
ulama karismatik yang berasal dari Indonesia bagian timur. Kedalaman ilmu yang
dimilikinya menjadikannya beliau sosok ulama yang cukup di segani dan
termasyhur serta menjadi kebanggaan indonesia bahkan dunia. Ulama Ahli Hadist
Mekkah Habib Muhammad Alwi al maliki bahkan pernah mengatakan ” Tidak ada para
ulama dan Pelajar di Mekkah yang tidak mengenal Syech Zainuddin , beliau
adalah ulama besar yang memiliki segudang ilmu bukan hanya milik bangsa
Indonesia tapi milik umat islam sedunia. Ucapan Habib Muhamad alwi almaliki
tersebut bukan tanpa alasan. Sosok Zainuddin bin Abdul madjid sudah terkenal
memiliki kecerdasan yang luar biasa sejak usia remaja. Para guru-gurunya pun
mengakui kelebihan yang dimiliki oleh Zainuudin.
Ulama asal Lombok ini
terkenal dengan sebutan Tuang Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al amfani Al
Fancuri, Lahir di Desa Pancor lombok timur tangal 11 may 1906. Ayah
beliau KH. Abdul Madjid seorang ulama dan pejuang yang cukup di segani di
lombok . Menjelang kelahiran Putranya, ayahnya bermimpi didatangi Waliyulloh
dari Tarim Hadromaut , dalam mimpi tersebut di beri pesan agar anaknya di beri
Nama ”Saqqap” yang artinya “Orang yang memperbaiki atap” Orang
Indonesia menyebutnya “assegap” dan secara kebetulan Waliyulloh tersebut
bernama “Saqqop”. Sejak kecil Zainuddin dipanggil dengan dialek sasak
dengan sebutan “Segep” atau “gep”. Setelah Menunaikan Ibadah Haji baru
Namanya di ganti dengan Haji Zainuudin bin Abdul Madjid.
Sejak kecil Tuan Guru ZAinuddin belajar
kepada ayahnya dan ulama ulama di Lombok. Menginjak usia Remaja Tuan Guru
Zainuddin di kirim ayahnya untuk belajar di Mekkah. Kecerdasan yang dimilki
Tuan Guru Zainuddin mampu menyerap ilmu-ilmu yang di berikan gurunya. Diantara
guru -guru beliau di Mekkah adalah Syech Hasan Muhamad Al masysyat, Al alamah
Syech Salim rahmatulloh dan lain-lain. Kejeniusan Tuan Guru Zainuddin sangat di
kagumi oleh guru guru beliau. Bahkan ketika masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah
sebagaimana lazimnya setiap pelajar yang akan belajar di sana harus melalui
tes, dan yang memberikan tes tersebut adalah direktur Al Shaulatiyyah sendiri
Al alamah Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath. Dan
hasilnyapun sungguh mencengangkan, Tuan Guru Zainuddin lulus tes dan
ditempatkan langsung di tingkat tiga. Namun dengan kerendahan hatinya Tuan Guru
Zainuddin meminta agar dirinya masuk ke tingkat 2 saja dengan alasan untuk
memperdalam ilmu Nahwu Shorof. Dengan demikian akhirnya Zainuddin belajar di
Madrasah Al Shaulatiyyah langsung ke tingkat 2. Tuan Guru Zainuddin tak
menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya untuk belajar dengan sungguh
sungguh. Dengan di temani oleh ibunya selama di Mekkah, Tuan Guru Zainuddin
selalu minta Ridho dan do’a dari ibunya demi kesuksesannya dalam belajar. Dan
terbukti Tuan guru Zainuddin lulus dengan predikat “Mumtaz” (camlaude). Sebagai
penghargan atas prestasinya Direktur Madrasah Al-Shaulatiyah Syaikh Salim
Rahmatullah mengundang Ahli Kaligrafi terbaik di Mekkah untuk menulis Ijazah
Tuan guru Zainuddin, bahkan Beliau mengatakan bahwa “Madrasah Al shaulatiyah
tidak perlu memiliki murid banyak , cukup satu orang saja asalkan memilki
prestasi dan berkualitas seperti ZAinuddin”. Prestasi yang didapat oleh Tuan
guru Zainuddin bukan tanpa pengorbanan, Ibunda yang selalu mendampingi dan
mendo’kannya telah meninggal dunia di Makkah.
Hampir 13 tahun Ta’lim di Makkah Tuan Haji Zainuddin kembali ketanah air.
Suasana konflik di tanah air dengan Belanda , telah membangkitkan semangat
beliau untuk berdakwah dan melakukan perlawanan terhadap penjajah. Beliau
melakukan dakwah ke berbagai plosok daerah dan terkenal dengan sebutan “Guru
Bajang” . Tahun 1934 Tuan Guru Haji Zainuddin mendirikan Pesantren bernama “Al
Mujahidin” yang merupakan Cikal bakal berdirinya “Nahdlatul Wathon” yang di
didirikan tgl 22 Agustus 1937 . Pembawaanya yang berwibawa dan keluasan ilmu
yang mendalam menjadikan beliau sosok ulama yang menjadi panutan dan rujukan
para ulama, sikapnya yang sederhana tak menunjukan bahwa beliau seorang ulama.
Selalu mendengar keluh kesah warganya dan mencoba di carikan jalan keluarnya.
Maka beliau begitu sangat di cintai murid dan warganya. Perkembangan Nahdlatul
Wathon sangat pesat sampai saat ini telah memilki hampir 1000 cabang di seluruh
nusantara, perkembangan tersebut tak lepas dari peran para muridnya yang
membuka cabang di daerah tinggalnya masing masing.
Jaringan Intelektual
TGH
Muhammad Zainuddin AM memiliki jaringan intelektual yang luar biasa, terutama
silsilah guru-guru yang didapatinya selama di Makkah al-Mukarromah. Jaringan
ini mencerminkan betapa luasnya pengembaraan mencari ilmu dan matangnya
keilmuwan TGH Muhammad Zainuddin AM. Silsilah keilmuwan yang diperolehnya tidak
dalam satu mata rantai dalam setiap cabang keilmuwan, melainkan beberapa guru
yang memiliki kemampuan dan pengetahuan agama yang luas.
Guru-guru yang mengajarkan al-Qur’an dan kitab melayu:
1. T.G.H. Abdul Majid
2. T.G.H. Syarafuddin Pancor Lombok Timur
3. T.G.H. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur
4. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Syaik al-Kabir al-Arifubillah Maulana Syaikh Hasan
Muhammad al-Mahsyat
5. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana al-Syaikh Umar Bajunaid al- Syafi’i
6. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani
al-Syafi’i
7. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi Maulana Syaikh Ali
al-Maliki
8. Maulana Syaikh Abu Bakar al-Falimbangi
9. Maulana Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i
10. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muffasir Maulana al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandili
al-Syafi’i
11. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Shufi Maulana Syaikh Muhtar Betawi al-Syafi’i
12. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Umar Hamdan al Mihrasi
al-Maliki
13. Al ‘Allim al- ‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Abdul Qadir al-Syibli
al-Hanafi
14. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Shufi Maulana Syaikh al-Syayid Muhammad
Amin al-Kuthbi al-Hanafi
15. Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i
16. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Falaqi Maulana Syaikh Khalifah al-Maliki
17. Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Jamal al-Maliki
18. Maulana Syaikh al-Shahih Muhammad Shalih Mukhtar al-Makhdum al-Hanafi
19. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al
Hanafi
20. Maulana Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
21. Maulana Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i
21. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Muarrikh Maulana Syaikh Salim Rahmatullah
al-Maliki
22. Maulana Syaikh Abdul Gani al-Maliki
23. Maulanasyaikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jasairi al-Maliki
24. Maulana Syaikh al-Faruq al-Maliki
25. Maulana Syaikh al-Wa’id al- Syaikh Abdullah al-Farisi
26. Maulana Syaikh Mala Musa
Guru Ilmu Tajwid, al-Qur’an dan Qiraat Sab’ah:
1. Al-Syaikh Jamal Mirdad (Imam dimakam Imam Hanafi di Masjidil Haram)
2. Al-Syaikh Umar Arba’in (Ahli Qur’an dan Qasidah yang sangat terkenal)
3. Al-Syaikh Abdul Latif Qari (Guru besar di Qiraat Sab’ah di Madrasah 4.
Ashaulatiyah)
4. Al-Syaikh Muhammad Uba’id (kepala guru/Guru besar dalam bidang Tajwid
dan Qiraat yang sangat terkenal di Makkah).
Ilmu Fiqih, Tasawuf, Tajwid, Usulul Fiqih dan Tafsir:
1. Al-‘Alamah ‘al-Syaihk Umar Bajunaid al-Syafi’i
2. Al-‘Alimul al-Alamah al-Syaikh Muhammad Said al-Yamani
3. Al-‘Alamah al-Syaikh Muhtar Betawi
4. Al-‘Alamah al-Syaihk Abdul Qadir al-Mandili (Murid Khusus dari al- Allamah
5. Syaikh Ahmad Hamud Minangkabau Sumatera Barat)
6. Al-‘Alamah al-Faqih Abdul Hamid Abdur Rabb al-Yamani
7. Al-‘Mutaffanin al-‘Allamah al-Syayid Muhsin al-Musawa (Musisi Pendiri Darul
Ulum al-Diniyah Makkah Mukarramah)
8. Al-‘Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lajahi al-Farisi (Pengarang Yang
Sangat Terkenal)
Guru Ilmu Arud (Syair Bahasa Arab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syaikh Abdul Qani al-Qadli
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
Guru Ilmu Falak:
1. Maulana Syaihk Cianjur (Jawa Barat)
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Falaki Maulana Syaikh Khalifah al-Makki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
Guru Ilmu Hadits, Mustalahul Hadits, Mustahul Tafsir, Ilmu Fara’id, Sirah
(Tarikh) dan Berbagai Ilmu Alat (Nahu-Syaraf):
1. Al-‘Allamah al-Qabir Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh al-Maliki
2. Al-‘Allamah al-Jalil Asyaikh Jamal al-Maliki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaihk Umar Hamdan
al-Mihrazi al-Syafi’i
4. Al ‘Allimul ‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaikh Abdullah al-Buhari
al-Syafii (Mufti Istanbul)
5. Maulanna Wamurabbi Abil Barokah al-‘Allim al-‘Allamah al-Ushuli al-Muhaddist
al-Shufi al-‘Arifubillah Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat al-Maliki
6. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Shorfi Maulana Syaikh Muftar Makdum al-Hanafi
7. Al-‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa
8. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adeb al-Shufi Maulana Shaihk al-Sayyid Muhammad
Amin al-Kutbi al-Hanafi
9. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syaikh Umar al-Faruk al-Maliki
10. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabier al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi
Guru Ilmu Arwad (Ahzab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah (Kyai Falaj) (Bogor Jawa Barat)
2. Maulana Syaihk Malla Musa al-Maqribi
Guru Khat (Kaligrafi):
1. Al-Khattah al-Syaikh Abdul Aziz Langkat
2. Al-Khattah al-Syaihk Dau al-Rumani al-Fhatani
3. Al-Khattah al-Syaihk Muhammad al-Ra’is al-Maliki
Dari semua guru TGH Muhammad Zainuddin AM, ada lima guru/ulama yang sangat
berjasa dalam membimbing dan mendidiknya di Mekah: Syaikh Hasan Muhammad
al-Mahsyat al-Maliki, Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi, Syaikh
Umar al-Faruk al-Maliki, dan Syaikh al-Sayyid Umar Hamdan al-Mihrasi
al-Syafi’i.
Kiprah Sosial-Keagamaan
Melihat
kondisi masyarakat Lombok yang masih terbelenggu oleh kebodohan dan
keterbelakangan, TGH Muhammad Zainuddin AM merasa tertantang untuk membenahi
masyarakatnya yang masih dalam jajahan Belanda, Jepang, Hindu Bali (Anak Agung
Karangasem) melalui pencerdasan agama. Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1934
ketika terjadi peperangan antara Raja Syarif Husein dengan Raja Abdul Aziz bin
Abdurrahman sehingga ia kembali ke Lombok untuk membuka pengajian pemula
untuk masyarakat dengan sistem halaqah (Abdul Hayyi Nu’man, 1998).
Pondok Pesantren yang didirikan diberi
nama Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan (membela tanah air) sesuai dengan
obsesinya untuk membela tanah air dari kaum penjajah. Dengan berbekal ilmu yang
dimiliki, ia mampu tampil sebagai seorang ulama yang mempunyai kompetensi besar
dalam membentuk kader ulama. jenjang pendidikan yang khusus untuk mencetak
kader ulama diberi nama Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits. Sebagai seorang
Mujahid, TGH Muhammad Zainuddin AM berupaya melakukan inovasi untuk
meningkatkan pengetahuan agama masyarakat. Itu sebabnya, ia membuat rintisan
dengan memperkenalkan sistem madrasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan
pengajaran agama di NTB, membukan lembaga pendidikan khusus bagi wanita,
mengadakan Syafatul Qubra, meciptakan hizib tarekat Nahdaltul Wathan, membuka
sekolah umum di samping sekolah agama, menyususn nazham berbahasa Arab
bercampur bahasa Indonesia.
Berikut ini kiprah sosial-keagamaan TGH Muhammad Zainuddin AM:
1. Pada tahun 1943 mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
2. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI
4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
5. Pada tahun 1946 Pelopor Penggempuran Nica di Selong Lombok Timur
6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji dari negara Indonesia Timur
7. Pada tahun 1948/1949 Anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi Arabia
8. Pada tahun 1950 Konsultan NU Sunda Kecil
9. Pada tahun 1952 Ketua badan penasehat Masyumi Daerah Lombok
10. Pada tahun 1953 Mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama
12. Pada tahun 1953 Merestui terbentuknnya NU dan PSII di Lombok
13. Pada tahun 1954 Merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok
14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil Pemilu I 1955
15. Pada tahun 1964 Menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di
Bandung
16. Pada tahun 1964 Mendirikan Akademi Paedagogik NW
17. Pada tahun 1965 Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal Hadist Al Majidiah
Asy Syafi’iyah Nadlatul Wathan
18. Pada tahun 1972/1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
19. Pada tahun 1971/1982 Penasehat Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
20. Pada tahun 1974 Mendirikan Ma’had Lil Banat
21. Pada tahun 1975 Ketua Penasehat bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar
Mataram
22. Pada tahun 1977 Menjadi Rektor Universitas Hamzan Wadi
23. Pada tahun 1977 Mendirikan Universitas Hamzan Wadi
24. Pada tahun 1977 Mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzan Wadi
25. Pada tahun 1978 Mendirikan STKIP Hamzan Wadi
26. Pada tahun 1978 Mendirikan Sekolah Ilmu Syari’ah Hamzan Wadi
27. Pada tahun 1982 Mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan Wadi
28. Pada tahun 1987 Mendirikan Universitas Nahdlatul Nathan di Mataram
29. Pada tahun 1987 Mendirikan Sekolah Ilmu Hukum Hamzan Wadi
30. Pada tahun 1990 Mendirikan Sekolah Ilmu Da’wah Hamzan Wadi
31. Pada tahun 1994 Mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) putra putri
32. Pada tahun 1996 Mendirikan Institut Agama Islam Hamzan Wadi
Pemikiran dan Karyanya
Konsep pendidikan yang diajarkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya memberikan
ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga pemupukan moral, melatih dan
mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena pendidikan adalah kewajiban
manusia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hal ini, usaha yang ia pikirkan
dan praktikkan adalah pengembangan pendidikan Islam melalui pesantren. Yakni,
berusaha mengembangkan pesantren dengan menerima beberapa pemikiran alternatif
yang dapat dijadikan sebagai masukan/kontribusi bagi pengembangan pesantren
sejalan dengan perubahan zaman. Karena itu, menurut TGH Muhammad Zainuddin AM,
pesantren mesti merubah orientasinya dengan tidak sekadar berorientasi pada
pencarian ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain.
TGH Muhammad Zainuddin AM dikenal sebagai ulama yang tidak sekadar menekuni
dunia pendidikan di pesantren dan masyarakat, tetapi juga sebagai penulis dan
pengarang yang produktif yang bakatnya ini timbul sejak masih belajar di
Madrasah Ash-Shaulatiyah di Mekah. Beberapa karya yang dihasilkannya di
antaranya dalam bentuk kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam
bahasa Arab, Indonesia, dan Sasak.
Karya-karyanya antara lain:
1. Risalah al-Tauhid
2. Sullam al-Hija’
3. Syarah Safinah al-Najah
4. Nahdlah al-Zainiyyah
5. Al-Tuhfah al-Ampananiyah
6. Al-Fawakih al-Nahdliyyah
7. Mi’raj al-Sibyan ila Samaim al-Bayan
8. Anfat ‘Ala Tarikah al-Tsaniyah
9. Hizib Nahdlatul Wathan
10. Hizib Nahdlatul Banat
11. Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan
12. Batu Ngumpal Anak Nunggal
13. Tarekat Batu Ngumpal
14. Wasiat Renungan Masa I
15. Wasiat Renungan Masa II
16. Ta’sis NWDI
17. Imamuna al-Syafi’i
18. Mi’raj al-Sibyan
19. Siraj a-Qulub fi Da’iyat ‘Alamat al-Guyub
Banyaknya
karya yang telah ia terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu yang dimilikinya,
sehingga oleh guru-gurunya TGH Muhammad Zainuddin AM mendapat pujian dan
kepercayaan yang besar. Di antaranya, ia pernah diberi kesempatan untuk
memberikan kata pengantar dari gurunya Maulana Syaikh Hasan Muhammad
al-Mahsyat. Dalam kata pengantar yang ia tulis untuk kitab Baqi’ah
al-Mustarsyidin karya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat sambil mengutip
hadist Nabi Saw mengatakan: “Janganlah kamu mempelajari ilmu syariat dari
seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan hatinya dan kamu
sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”. Dari Maulana Syaikh Hasan
Muhammad al-Mahsyat inilah, ia pernah mendapatkan risalah/ijazah dengan seluruh
isi kitabnya, “al-Irsyad bi al-Dzikr ba’da Ma’alim al-Ijazah wa al-Asnaf”. Dari
sinilah, ia menukil sebagian ucapan gurunya tentang kehidupan pribadinya yang
mantap, tetapi tetap menganggap dirinya adalah orang yang hina dan fakir dalam
pengetahuan agama.
Syaikh Muhammad al-Mahsyat pernah
memberikan sanjungan kepada TGH Muhammad Zainuddin AM. Berikut kutipannya:
“Demi Allah saya kagum kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang
lain pada kebesaran yang tinggi dan kecerdsannya yang tiada tertandingi,
jasanya bersih ibarat permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan
karya-karya tulisnya indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di
lereng pegunungan. Di lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab
dab thalibat menuntut ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi
muda menggapai mustawa dengan karyanya Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm
al-Bayan. Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia
memajukan ilmu pengetahuan agama di Ampanan bumi Selaparang. Terkirimlah salam
penghormatan harum semerbak bagaikan kasturi dari tanah Suci menuju “Rinjani”
(Syaikh Muhammad Zainuddin AM dalam Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan).
Dengan demikian, TGH Muhammad Zainuddin AM selain dikenal sebagai ulama yang
memiliki kepedulaian yang tinggi terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu
menuliskan pikiran-pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga
bagi penerus
KIAI AS'AD SYAMSUL ARIFIN
MURSYID
QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
Siapa tidak kenal Kiai As'ad
Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan penting dari Kiai Kholil
Bangkalan untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu adalah sosok ulama
kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu tokoh sentral
lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Kini, Kiai As'ad sudah lama berpulang ke
rahmatullah. Namun, warisan keilmuan dan semangat juangnya masih tetap membara.
Ribuan santrinya telah menyebar di berbagai nusantara. Jelas, kenyataan itu
menunjukkan kapasitas keilmuan dan kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai
As'ad, selalu melekat dan diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau
berkata, untaian kalimatnya begitu membekas dalam hati.
Pernah suatu hari, Ustadz Basori Alwi
sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk membacakan al-Quran di hadapan ribuan
jamaah pengajian rutin yang diasuh oleh Kiai As'ad. Usai Ustadz Basori -yang
kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur'an (PIQ) Singosari Malang-
melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai As'ad memintanya untuk memberikan
sedikit tawsiyah di hadapan para hadirin.
Tak bisa menolak, akhirnya Ustadz Basori
pun menyampaikan beberapa pelajaran terkait dengan pentingnya membaca al-Quran
secara bertajwid dan perlunya mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu
al-Quran.
Setelah kurang lebih 30 menit
berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya dengan doa singkat. Pada sesi
berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai penceramah. Dalam muqaddimah
pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Madura, Kiai As'ad berkata:
"Tan tretan sedejeh! Engak gi, Kiai
Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le, molai setiyah, Kiai Basori nika,
guruna be'en kabbih".
"Saudara-saudara! Ingat, Kiai
Basori ini adalah guru kalian semua. Saya peringatkan lagi, sejak hari ini,
beliau ini menjadi guru kalian semua".
Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai As'ad
terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin mengajarkan betapa seseorang yang
telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu, meski hanya satu huruf, maka orang
tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai As'ad di atas, mengingatkan pada
statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana abdu man 'allamani wa law harfan
wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba setiap orang yang mengajariku
meski hanya satu huruf".
Setelah acara pengajian itu bubar, Kiai
Basori pun pulang ke rumahnya di Singosari, Malang. Saat itu, beliau memang
telah rutin mengajar al-Quran pulang-pergi antara Singosari-Situbondo. Karena
belum punya kendaraan pribadi dan bahkan bus angkutan umum pun masih jarang
ada, maka terkadang Kiai Basori harus "ngandol" alias numpang truk
barang. Sebuah perjuangan demi al-Quran.
Kembali ke kisah tadi. Ketika Kiai Basori
naik bus kota di Situbondo, sepulang dari pengajian tadi, kontan saja para
penumpang bus mengenali sosok penumpang itu yang tak lain adalah seseorang yang
baru saja didaulat oleh Kiai As'ad sebagai guru mereka semua.
Menyadari hal itu, syahdan para penumpang
bus berebut untuk salaman dengan Kiai Basori. Jelas hal ini membuat kiai muda
itu nervous. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata setiap penumpang itu
menyalaminya dengan uang seadanya. Ada memberi salam tempel sebesar 10.000,
5.000, hingga 1.000 rupiah.
Sudah menjadi tradisi di kalangan
masyarakat Madura, bila bersalaman dengan kiai, sebagai bentuk ta'dzim terhadap
guru adalah memberi salam tempel berupa uang, walaupun mungkin nilainya tidak
besar. Bahkan, beberapa orang Madura pantang bersalaman dengan seorang ulama
dengan hanya tangan kosong. Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul
adab dan tidak tahu hormat terhadap ahli ilmu.
Sungguh luar biasa, bentuk penghormatan
para jamaah dan santri Kiai As'ad yang notabene-nya adalah orang Madura. Sekali
mereka di-dekrit oleh Kiai As'ad bahwa Kiai Basori adalah juga guru mereka yang
harus dihormati, maka sejak itu pula mereka tunduk dan memperlakukan Kiai
Basori layaknya guru yang harus dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga
mensalaminya.
Hingga kini, di setiap acara haul Kiai
As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk membacakan surah Yasin atau ayat-ayat
al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad dan juga penerusnya, sama sekali tidak
mau menggantikan posisi Kiai Basori dalam membacakan ayat-ayat suci al-Quran di
acara haul Kiai As'ad. Mengapa? Salah satu alasannya karena ayahanda beliau
telah mendaulat Kiai Basori sebagai Sang Guru Quran.
Sekali
seseorang mengajari kita tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak itu
pula dialah guru kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis
seperti prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul
Ilmi.
Syeikh Abdul Karim Banten
(Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah)
Pemimpin Tarekat dan Haji-haji Pemberontak
Gerakan kebangkitan
kembali (revival) yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias Kiai Ageng memang
memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan.
Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya
terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus
kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar
dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula.
Senin,
13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia
terpaksa meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah,
menyusul pengangkatannya sebagai Pemimpin Tarekat Qadiriah, menggantikan
Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang
pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia.
Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan,
Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute perjalanannya. Rencananya
singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan;
diputuskan ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji
dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu
pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung Karawaci
dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota
keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah
kolonial sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan
para pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai,
seperti Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan
salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.
Tak
syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu ulama yang sangat dihormati
dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari Kiai
Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang telah
dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai petunjuk
kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda banjir air
Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen diganti
dan bupati dipensiun.
Besarnya
pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan pernikahan
putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias dengan megah.
Kiai-kiai terkemuka – termasuk dari Batavia dan Priangan – datang di
pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia dan berlangsung
sepekan itu. Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas.
Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua cabang ilmu keislaman ini
dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat,
dan bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul
‘Arifin ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia
Tenggara – mengajar di Masjidil Haram
sampai wafatnya pada 1875. Ulama terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga
ajaran Qadiriah menyebar di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor,
Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua
pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh dikatakan,
Abdul Karim adalah murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak heran, jika
dia mendapat kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriyah.
Tugas
pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di Singapura.
Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, Tanara, pada
tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan karena sudah amat terkenal, dalam
waktu singkat ia sudah banyak memperoleh murid dan pengikut. Sulit diperkirakan
berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, dialah yang paling dominan di kalangan
elite agama di Banten kala itu.
Kurang
lebih tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan
yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara itu,
sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga berhasil
meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung dakwahnya. Tidak kurang
dari Bupati
Serang sendiri yang menjadi
pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A Prawiranegara,
pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka amat terkesan
dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim sangat populer dan sangat
dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya.
Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan tentu
saja kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin
naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar
orang yang paling dihormati di Banten.
Sebelum
kedatangan Kiai Agung dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai bekerja tanpa
ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya sendiri
dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah kedatangan
Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di kalangan
rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran tarekat ini
diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim yang paling
setia, dari Makkah
Kiai
Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya menjelajahi
berbagai daerah di Banten. Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak henti-henti
berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan
lebih taat beribadah.Ia menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah
(praktek agama) harus terus dimurnikan. Abdul Karim memfokuskan zikir sebagai
tema keangkitan kembali kehidupan agama (revival). Maka zikir diselenggarakan
di mana-mana, menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan Berkat
kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai
pengaruh yang besar terhadap penduduk.
Dalam
waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari satu tempat
ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan yang luar biasa
aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan ini adalah
bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa asing. Kebetulan
pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan rakyat kepada pemerintah
kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi mereka yang merugikan rakyat. Dalam
situasi demikian, para ulama secara bertahap membangunkansemangat rakyat untuk
melawan pemerintah kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak
sedemikian rupa sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak
terhadap Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum
tiba saatnya karena rakyat belum siap.
Haji-haji Berjiwa Pemberontak
Seperti
diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan kembali yang
dipimpin Kiai Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang keras dalam
soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner
yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar
ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa,
mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja,
zikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah Haji Abdul Karim meninggalkan
Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling dari semata-semata sebagai
gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat anti asing mulai merembesi
gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Kiai Abdul Karim. Dan pada akhirnya
haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran
tarekat sepenuhnya di bawah tujuan politik.
Syekh
Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang
peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888.
Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus Ismail. Sebelum bertolak
ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling Banten. Di tempat-tempat yang
dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar berpegang teguh pada ajaran agama,
dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. Ia memilih beberapa ulama terkemuka
untuk memperhatikan kesejahteraan tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para
pamong praja terkemuka, dan berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan
para ulama dalam membangun kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu
minta nasihat kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.
Menjelang
keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan
bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih dalam
genggaman kekuasaan asing. Dia memang tidak terlibat secara langsung
pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu.
Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk
melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang
mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain Haji
Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari
Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka
juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya karisma.
Kepergian
Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten.
Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu
dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan
seruannya untuk berontak. Snouck Hurgronje, yang menghadiri pengajiannya di
Makkah pada 1884-1885, menceritakan: “Setiap malam beratus-ratus orang yang
mencari pahala berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar zikir dari
dia, untuk mencium tangannya, dan untuk menayakan apakah saatnya sudah
hampir tiba, dan berapa tahun lagi pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”
Tetapi
Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban pasti. Dia selalu memberikan
jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang sangat penting seperti
mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya jihad. Dia hanya
mengisyaratkan bahwa waktunya belum tiba untuk melancarkan perang
sabil.***
Dilema Guru, Dilema Murid
Pada
1883 murid Syekh Abdul Karim, Kiai Haji Tubagus Ismail, kembali dari
Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di
kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali
kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali – ia tidak mencukur rambutnya
seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak pernah makan
apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu Tubagus Urip, yang sudah dikenal sebagai
wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail sudah punya banyak pengikut ,
dan kepemimpinannya semakin diakui di Banten. Menyadari dirinya mulai menarik
perhatian umum, ia pun segera melancarkan propaganda untuk melawan penguasa
kafir. Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak
dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti
Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana
pemberontakan, rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.
Pada
Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di
Tanara. Murid kesayangan dan wakil Haji Abdul Karim ini juga sahabat dekat Haji
Tubagus Ismail. Menurut dugaan para pendudukung pemberontakan, kedatangan Haji
Marjuki itu adalah atas permintaan sahabatnya itu. Haji Marjuki segera
melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia,
dan Bogor untuk mendakwahkan gagasan tentang jihad. Propagandanya cepat
diterima umum, karena ia bertindak atas nama Haji Abdul Karim. Dilaporkan,
setelah berbagai kunjungannya itu, masjid-masjid dipenuhi orang-orang yang
beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at meningkat tajam. Dalam berdakwah di
luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil
meyakinkan para kiai di daerah Jawa Barat. Dikatakann, kedua haji ini
sesungguhnya merupakan jiwa gerakan jihad di Banten. Bahkan
pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen, menganggap bahwa Haji
Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas pemberontakan itu.
Tetapi,
menjelang pemberontakan meletus, Haji Marjuki segera berangkat ke Makkah
bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat ia sempat memberkati pakaian putih
yang akan dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya di Tanara. Rupanya
ia tidak sependapat dengan kiai lainnya, khususnya Haji Wasid, yang akan
memulai pemberontakan pada bulan Juli. Kepada mereka ia menjelaskan bahwa
pemberontakan itu terlalu dini, dan ia meninggalkan Banten sebelum
pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil, ia akan mengundang
Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten dan ikut serta dalam
perang sabil.
Di
Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar nahwu, sharaf,
dan fikih. Muridnya tergolong banyak. Ia juga tidak pernah menyembunyikan sikap
politiknya. Ia misalnya mengecam pemberontakan yang dipimpin Haji Wasid yang
dinilainya terlalu pagi dan menimbulkan korban yang sia-sia. Menurutnya, agar
berhasil, pemberontakan harus pecah di seluruh Nusantara, selain bahwa
pemberontak harus punya cukup uang dan senjata. Karena pendapatnya itu,
terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan dengan Haji Wasid dan
kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan bahwa tangan kananya yang
berpuru tidak memungkinnya aktif dalamperjuangan. Andaikan dia tetap di
Banten, ia pasti akan menghadapi dilema: dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda
atau tidak berbuat apa-apa dan menghadapi risiko tindakan pembalasan Haji Wasid.
Maka hanya satu alternatif – pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya
masih ada di sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat
untuk meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya pemberontakan,
dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji Marjuki hanya
mementingkan keselamatannya sendiri? .
Kedudukan
pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa tahun
sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya saja sang
guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu dipanggil untuk menggantikan
kedudukan Syekh Sambas. Bukankah Haji Abdul Karim dulu, ketika masih di
Banten, berpendapat bahwa rakyat sebenarnya belum siap untuk
mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-muridnya tidak
sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, dia tidak pernah memberikan
kepastian waktu. Sementara itu, sebagai kiai agung dan pengaruh, ia
dituntut untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin pemberontakan. Jadi,
apakah sang murid kesayangan sebenarnya hanya mengikuti pendapat gurunya, Syekh
Abdul Karim? Wallahu a’lam.
Yang
pasti, setelah pemberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus memburu
orang-orang yang terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam terlibat. Ada
yang dihukum mati dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon, diasingkan,
dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai hukuman kerja paksa.
Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya ada
yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah tidak
bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Kiai Abdul Karim dan Haji Marjuki terus
dimata-matai.
Sekarang,
jejak Syekh Abdul Karim kita temukan dalam pelbagai kumpulan tarekat.
Organisasi-organisasi tarekat di Tanah Air, terutama Jawa (di
pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya,
Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di Jombang),
yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut, menyambungkan
silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.***
Daftar Silsilah dan Aspek Sosiologis
Kyai pada
masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran
kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang
diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat.
Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan
intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial.
[33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara maksimal dan
juga status sosialnya selalu terjaga.
a. Kekerabatan
Seorang kyai
yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang selalu dijaga,
yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan keturunan Sultan
Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa,
Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila dicermati adalah para
kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad
Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
- K.H.
Asytari
- Imam Nawawi
- Kyai Umar
- Kyai Arabi
- Kyai Ali
- Kyai Jamad
- Kyai Janta
- Kyai
Masbugil
- Kyai Masqun
- Kyai Masnun
- Kyai Maswi
- Kyai Tajul
Arusy Tanara
- Maulana
Hasanuddin Banten
- Maulana
Syarif Hidayatullah
- Raja
Atamuddin Abdullah
- Ali
Nuruddin
- Maulana
Jamaluddin Akhbar Husain
- Imam Sayyid
Akhmad Syah Jalal
- Abdullah
Adzmah Khan
- Amir
Abdullah Malik
- Sayyid Alwi
- Sayyid
Muhammad Mirbath
- Sayyid Ali
Khali’ Qasim
- Sayid Alwi
- Imam
Ubaidiilah
- Imam Ahmad
Muhajir Ilallahi
- Imam Isa
al-Naqib
- Imam
Muhmmad Naqib
- Imam Ali
Ardhi
- Imam Ja’far
al-Shadiq
- Imam
Muhammad al-Baqir
- Imam Ali
Zainal Abidin
- Sayyidina
Husain
- Sayyidatuna
Fathimah Zahra
- Nabi
Muhammad Saw.
Seorang kyai dan
keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat karamah dan berkah dari
Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal penting bagi seorang kyai dan
keturunan untuk mengembangkan dan melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan
adanya hal tersebut para kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk
tetap mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di
masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.
b. Guru-Murid
Perkembangan
Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan intelektual
antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah dan Madinah
di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya di Nusantara. Jaringan
intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada gerakan keagamaan di
pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan di
Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian
para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35]
.
Berikut ini
contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-gurunya. Kyai
Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang mursyid dari tarekat
Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki silsilah guru-guru tarekat yang memang
diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah
sebagai berikut:
- Nabi
Muhammad Saw.
- Ali bin Abi
Thalib
- Husein bin
Fatimah Al-Zahra
- Imam Zainal
Abidin
- Syeikh
Muhamad al-Baqir
- Syeikh
Ja’far al-Shadiq
- Syaikh Musa
al-Kadzim
- Syeikh Abi
Hasan Alif bin Musa al-Ridha
- Syeikh
Ma’ruf al-Karkhi
- Syaikh Sari
al-Saqati
- Syeikh Abi
al-Qasim Junayd
- Syeikh Abu
Bakar al-Shibli
- Syeikh Abd
al-Wahid al-Tamimi.
- Syeikh Abi
al-Faraj al-Tartusi
- Syeikh Abi
Hasan al-Hiraki
- Syeikh Abi
Sa’id Mubarak al-Mahzum
- Syeikh Abd
al-Qadir al-Jilani
- Syeikh Abd
al-Aziz
- Syeikh
Muhammad al-Hattaki
- Syeikh
Syams al-Din
- Syeikh
Syaraf al-Din
- Syeikh Zayn
al-Din
- Syaikh Nur
al-Din
- Syeikh
Waliyu al-Din
- Syeikh
Husham al-Din
- Syeikh
Yahya
- Syeikh Abi
Bakr
- Syeikh Abd
al-Rahim
- Syeikh
Ustman
- Syeikh
Kamal al-Din
- Syeikh Abd
al-Fattah
- Syeikh
Murod
- Syeikh
Syams al-Din
- Syeikh
Ahmad Khatib Sambas
- Syeikh
Abdul Karim Tanara
- K.H. Asnawi
Caringin
- K.H. Ahmad
Suhari
- K.H. Khodim
-
c. Organisasi Massa
Para kyai di
Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan
dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial yang ada.
Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang paling banyak
di pergunakan oleh para kyai untuk membangun jaringan sosialnya. Jaringan
sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun
lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar.
Para pendiri
Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak
dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi
kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini akan
dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten, yakni
Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang hampir
sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang lain.
Alumni dari pesantren ini, selain
menjadi guru agama atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren
atau madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama
Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan
dengan lembaga induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di
Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara
emosional itu para alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama.
[37]
Para santri dari alumni pesantren
Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing
adalah:
- K.H. Amad
dari Pulo Merak-Serang
- K.H. Ali
Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
- K.H.
Mohammad Nur dari Kramat Watu, Serang.
- K.H. Muhamad
dari Bojonegara Serang
- K.H.
Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
- K.H.
Mohamad Syadeli Kejayaan dari Kramat Watu, Serang.
- K.H. Ismail
dari Keragilan Serang.
- K.H. Karna
dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
- Kyai
Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
- Kyai
Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
- K.H. Rafe’i
dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
- K.H.
Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.
SYEKH MUHAMMAD NAZIM ADIL HAQQONI
MURSYID TAREKAT NAQSYABANDIYYAH
HAQQONIYYAH
Segala
puji dan syukur bagi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah membimbing kami pada
samudera Rahmat dari Kebenaran-Mu dan Cahaya-Mu. Allaahumma! Kirimkan barakah
dan salam kedamaian bagi junjungan kami Muhammad saw., Penutup para Nabi dan
Utusan-Mu, yang membawa Perjanjian Terakhir, Quran al-Karim, juga bagi keluarga
Beliau dan seluruh Sahabat-Sahabat Beliau, dan pewaris-pewaris Beliau, baik yang
hidup di masa lalu, maupun di masa kini, terutama pewaris dan wakil utama
Beliau di zaman ini. Hamba yang lemah ini, Gibril ibn Fouad diminta untuk
menulis biografi dan artikel tentang kekasih kita Mawlana Syaikh Nazim q.s.
dalam beberapa kata-kata anda sendiri tentang kehidupan dan ajaran-ajaran
Beliau dan pengalaman anda bersama Beliau. Bulan Rabi'ul Awwal 1425H (Mei 2004)
adalah saat paling tepat untuk melakukan hal ini.
Semoga Allah swt. mengilhami baik
penulis maupun pembaca tentang Mawlana Syaikh Nazim q.s. agar memiliki gambaran
yang adil dan tepat terhadap subjek yang mulia ini. Tak ada daya maupun
kekuatan melainkan dengan-Nya. Sebagaimana Dia melingkupi kebodohan kita dengan
Ilmu-Nya, semoga pula Dia melingkupinya dengan Rahmat-Nya, Amin! (Al-Hamdulillah,
izin telah diperoleh dari Mawlana untuk merilis tulisan ini pada hari ini.)
Nama
lengkap Mawlana adalah Muhammad Nazim 'Adil ibn al-Sayyid Ahmad ibn Hasan
Yashil Bash al-Haqqani al-Qubrusi al-Salihi al-Hanafi q.s., semoga Allah swt.
mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya. Kunya (nama panggilan) beliau
adalah Abu Muhammad, dari nama anak laki-laki tertua beliau, selain itu beliau
pula adalah ayah dari Baha'uddin, Naziha, dan Ruqayya.
Beliau
dilahirkan pada tahun 1341 H (1922 M) di kota Larnaka, Siprus (Qubrus) dari
suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tatar. Beliau mengatakan pada saya
bahwa ayah beliau adalah keturunan dari Syaikh 'Abdul Qadir Al-Jailani q.s.
Diceritakan pula pada saya bahwa ibu beliau adalah keturunan dari Mawlana Jalaluddin
ar-Ruumi q.s. Ini menjadikan beliau sebagai keturunan dari Nabi suci Muhammad
saw., dari sisi ayahnya, dan keturunan dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, y,
dari sisi ibundanya.
Setelah
menyelesaikan pendidikannya di Siprus, Mawlana melanjutkan ke perguruan tinggi
di Istanbul dan lulus sebagai sarjana Teknik Kimia. Di sana, beliau juga
belajar bahasa Arab dan Fiqh, di bawah bimbingan Syaikh Jamal al-Din al-Alsuni
q.s. (wafat 1375H/1955M) dan menerima ijazah dari beliau. Mawlana juga belajar
tasawwuf dan Thariqat Naqsybandi dari Syaikh Sulayman Arzarumi q.s. (wafat
1368H/1948M) yang akhirnya mengirim beliau ke Syams (Syria).
Mawlana
melanjutkan studi Syari'ah-nya ke Halab (Aleppo) Hama, dan terutama di Homs.
Beliau belajar di zawiyyah dan madrasah masjid sahabat besar Khalid ibn
Al-Walid di Hims/Homs di bawah bimbingan Ulama besarnya dan memperoleh ijazah
dalam Fiqh Hanafi dari Syaikh Muhammad 'Ali 'Uyun al-Sud q.s. dan Syaikh 'Abd
al-Jalil Murad q.s., dan ijazah dalam ilmu Hadits dari Muhaddits Syaikh 'Abd
al-'Aziz ibn Muhammad 'Ali 'Uyun al-Sud al-Hanafi q.s.
Perlu
dicatat bahwa yang terakhir adalah salah satu dari sepuluh guru hadits dari
Rifa'i Hafizh di Aleppo, Syaikhul Islam 'Abd Allah Siraj al-Din q.s. (1924-2002
M), yang duduk berlutut selama dua jam di bawah kaki Mawlana Syaikh 'Abdullah
Faiz Daghestani q.s. ketika yang terakhir ini mengunjungi Aleppo di tahun 1959
dan yang memberikan bay'at dalam Thariqat Naqsybandi pada Mawlana Syaikh Nazim
q.s., ketika Mawlana Syaikh Nazim q.s. mengunjunginya terakhir kali di Aleppo
di tahun 2001, sebagaimana diriwayatkan pada saya oleh Ustadz Muhammad 'Ali ibn
Mawlana al-Syaikh Husayn 'Ali q.s. dari Syaikh Muhammad Faruq 'Itqi al-Halabi
q.s. yang juga hadir pada peristiwa terakhir itu.
Mawlana
Syaikh Nazim q.s. juga belajar di bawah bimbingan Syaikh Sa'id al-Siba'i q.s.
yang kemudian mengirim beliau ke Damaskus setelah menerima suatu pertanda
berkaitan dengan kedatangan Mawlana Syaikh 'Abdullah Faiz Ad-Daghestani q.s. ke
Syria. Setelah kedatangan awal beliau ke Syria dari Daghestan di akhir tahun
30-an, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. tinggal di Damaskus, tetapi sering pula
mengunjungi Aleppo dan Homs.
Di
kota yang terakhir inilah, beliau mengenal Syaikh Sa'id al-Siba'i q.s. yang
adalah pimpinan dari Madrasah Khalid bin Walid. Syaikh Sa'id q.s. menulis pada
beliau (Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s.),
'Kami
mempunyai seorang murid dari Turki yang luar biasa, yang tengah belajar pada
kami.
Mawlana
Syaikh 'Abdullah q.s. menjawab padanya,
'Murid
itu milik kami; kirimkan dia kepada kami!'
Sang
murid itu adalah guru kita, Mawlana Syaikh Nazim q.s., yang kemudian datang ke
Damaskus dan memberikan bay'at beliau pada Grandsyaikh kita pada kurun waktu
antara tahun 1941 dan 1943.
Pada
tahun berikutnya, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. pindah ke rumah baru beliau
yang dibeli oleh murid Syria pertamanya, dan khalifahnya yang masih hidup saat
ini, Mawlana Syaikh Husayn ibn 'Ali ibn Muhammad 'Ifrini al-Kurkani ar-Rabbani
al-Kurdi as-Syaikhani al-Husayni q.s. (lahir 1336H/1917M), semoga Allah swt.
mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya, di Qasyoun, suatu gunung yang
menghadap Damaskus, yang Allah swt. berfirman tentangnya; 'Demi Tiin dan buah
Zaitun! Demi Bukit Sinai! (QS. 95:1-2).
Qatadah
dan al-Hasan Al-Basri berkata, 'At-Tiin adalah Gunung di mana Damaskus terletak
[Jabal Qasyoun] dan Zaitun adalah Gunung di mana Jerusalem terletak.
Diriwayatkan oleh 'Abd al-Razzaq, al-Tabari, al-Wahidi, al-Bayzawi, Ibn
al-Jawzi, Ibn Katsiir, al-Suyuti, as-Syaukani, dll., semua dalam tafsir-tafsir
mereka.
Mawlana
Syaikh Nazim q.s. juga membeli sebuah rumah dekat rumah Grandsyaikh dan bersama
Mawlana Syaikh Husayn q.s., membantu membangun Masjid al-Mahdi, Masjid
Grandsyaikh, yang akhir-akhir ini diperbesar menjadi sebuah Jami', di mana di
belakangnya terletak maqam dan zawiyyah Grandsyaikh, di tempat mana, hingga
saat ini, makanan dan sup ayam yang lezat disiapkan dalam kendi-kendi yang
besar dan dibagi-bagikan bagi kaum fuqara dan miskin dua kali dalam seminggu.
Kemudian
Mawlana Syaikh Nazimk tinggal di Damaskus sejak pertengahan tahun 40-an hingga
awal 80-an, sambil sesekali melakukan perjalanan untuk belajar atau sebagai
wakil dari Grandsyaikh, hingga Grandsyaikh wafat di tahun 1973. Setelah tahun
itu, Mawlana tinggal di Damaskus beberapa tahun sebelum kemudian pindah ke
Siprus.
Jadi,
Mawlana, yang aslinya Cypriot, dan Grandsyaikh, yang asalnya Daghistani,
keduanya telah menjadi penduduk Damaskus 'Syamiyyun' dan tinggal di distrik
orang-orang salih (as-saalihiin) yang disebut Salihiyya! Tak ada keraguan lagi,
bahwa pentingnya Damaskus bagi Mawlana dan Grandsyaikh adalah karena Syam
adalah negeri yang penuh barakah dan terlindungi melalui para Nabi dan Awliya .
Imam
Ahmad dan murid beliau, Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad (rantai) yang sahih
bahwa Nabi suci e bersabda, 'Kalian harus pergi ke Syam. Tempat itu telah
terpilih secara Ilahiah oleh Allah swt. di antara seluruh tempat di bumi-Nya
ini. Di dalamnya Dia melindungi hamba-hamba pilihan-Nya; dan Allah swt. telah
memberikan jaminan padaku berkenaan dengan Syam dan penduduknya!'
Imam
al-Nawawi berkata dalam kitab beliau Irsyad Tullab al-Haqa'iq ila Ma'rifati
Sunan Khayr al-Khala'iq (s): 'Hadits ini berkenaan dengan fadhillah
(keistimewaan) yang besar dari Syams dan merupakan suatu fakta yang dapat
teramati!'
Direktur
pimpinan Dar al-Ifta' (secara literal bermakna 'Rumah Fatwa', maksudnya Majelis
Fatwa seperti MUI di Indonesia, penerj.) di Beirut, Lebanon, Syaikh Salahud
Diin Fakhri q.s. mengatakan pada saya di rumah beliau di Beirut dan menulis
dengan tangan beliau kepada diri saya,
Pada
suatu pagi di hari Ahad, 20 Rabi'ul Akhir 1386 H, bertepatan dengan hari Minggu
7 Agustus 1966 M, kami mendapat kehormatan untuk mengunjungi Syaikh 'Abd Allah
al-Daghistani q.s.rahimahullah (semoga Allah swt. merahmatinya) di Jabal
Qasyoun di Damaskus atas inisiatif serta disertai pula oleh
Mawlana
al-Syaikh Mukhtar al-'Alayli q.s. rahimahullah. Mufti Republik Lebanon saat
itu; [yang adalah pula paman dari Syaikh Hisyam Kabbani q.s., penulis],
-
Syaikh Husayn Khalid q.s., imam dari Masjid Nawqara;
-
Hajj Khalid Basyir, rahimahumallah (semoga Allah swt. merahmati keduanya);
Syaikh Husayn Sa'biyya q.s. [saat ini direktur dari Dar al-Hadits al-Asyrafiyya
di Damaskus]; Syaikh Mahmud Sa'd q.s.; Syaikh Zakariyya Sya'r q.s.; dan Hajj
Mahmud Sya'r.
Syaikh
'Abdullah q.s. menerima kami dengan amat baik dan penyambutan yang ramah serta
penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Syaikh Nazim al-Qubrusi q.s. semoga Allah
swt. merahmati dan menjaga beliau juga berada di situ saat itu!
Kami
duduk dari pukul sembilan di pagi hari hingga tiba panggilan adzan Dzuhur,
sementara Syaikh (Grandsyaikh 'Abdullah Faiz ad-Daghestani q.s., penerj.)
rahimahullah menjelaskan tentang Syams (Syria), keutamaannya, kelebihan-kelebihannya
yang luar biasa, dan bahwa tempat itu merupakan tempat Kebangkitan dan bahwa
Allah swt. akan mengumpulkan seluruh manusia di dalamnya untuk penghakiman dan
hisab.
Beliau
menyebutkan pula hal-hal yang membuat hati dan pikiran kami tersentuh dan
tergerak, dikuatkan pula oleh pengaruh suasana distrik Salihiyya yang suci, dan
beliau berbicara pula tentang hubungan yang tak terpisahkan dalam praktik
maupun dalam teori antara tasawwuf dengan Syari'ah.
Semoga
Allah swt. membimbing dan menunjukkan pada kita petunjuk-Nya dalam perkumpulan
dan suhbat dengan Awliya-Nya yang shiddiq. Aamiin, yaa Rabbal 'Aalamiin!
Masih
ada banyak lagi nama-nama Ulama dan Awliya Syams yang prestisius yang mencintai
dan bersahabat dengan Syuyukh kita dalam periode keemasan tersebut, seperti
-
Syaikh Muhammad Bahjat al-Baytar q.s. (1311-1396),
-
Syaikh Sulayman Ghawji al-Albani q.s. (wafat 1378 H), ayah dari guru kami,
-
Syaikh Wahbi q.s., Syaikh Tawfiq al-Hibri q.s.,
Syaikh
Muhammad al-'Arabi al-'Azzuzi q.s. (1308-1382H) Mufti dari Lebanon,
dan
Syaikh utama dari guru kami Syaikh Husayn 'Usayran q.s.,
-al-'Arif
Syaikh Syahid al-Halabi q.s.,
al-'Arif Syaikh Rajab at-Ta'i q.s.,
Syaikh al-Qurra' q.s. (ahli qira'at Quran,
penerj.)
Syaikh
Najib Khayyata al-Farazi al-Halabi q.s.,
al-'Arif
Syaikh Muhammad an-Nabhan q.s.,
Syaikh
Ahmad 'Izz ad-Din al-Bayanuni q.s.,
al-'Arif
Syaikh Ahmad al-Harun q.s. (1315-1382H),
Syaikh
Muhammad Zayn al-'Abidin al-Jadzba q.s., dan lain-lain, semoga Allah swt.
merahmati mereka semuanya!
Dari
tiga puluh tahun suhbat (asosiasi) yang barakah antara Mawlana dan Grandsyaikh
tersebut, muncullah Mercy Oceans (secara literal berarti Samudera Kasih Sayang,
merujuk pada buku-buku lama kumpulan suhbat Mawlana Syaikh Nazim al-Haqqani
q.s., penerj.) yang tak tertandingi, yang hingga kini masih tersebar pada
setiap salik/pencari dengan judul-judulnya:
-
Endless Horizons (Cakrawala tanpa Batas, penerj.),
-
Pink Pearls (Mutiara-Mutiara Merah Muda, penerj.),
-
Rising Suns (Matahari-Matahari yang tengah terbit, penerj.).
Tak
ada keraguan lagi, kumpulan-kumpulan suhbat awal tersebut adalah
tonggak-tonggak utama dari seruan da'wah Islam seorang diri Mawlana Syaikh
Nazim q.s. di Amerika Serikat dan Eropa, dengan karunia Allah swt.!
Semoga
Allah swt. melimpahkan lebih banyak barakah-Nya pada Mawlana Syaikh Nazim q.s.
dan mengaruniakan pada beliau maqam-maqam tertinggi yang pernah Dia karuniakan
bagi kekasih-kekasih-Nya, berdekatan dengan junjungan kita, Sayyidina Muhammad
saw., yang bersabda,
Jika
seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah swt. akan membuatnya
berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat akan
merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang mencari ilmu,
dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman lautan akan
memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu!
Keutamaan
dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan adalah bagaikan
terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-gemintang!
Ulama
adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki dinar maupun
dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan; dan ia yang
mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak!
Tempat
pertama yang kudatangi untuk mencari pengetahuan Nabawi (pengetahuan kenabian)
ini adalah London di bulan Ramadan 1411 H, setelah aku bersyahadat laa ilaaha
illa Allah (bahwa tiada tuhan selain Allah swt.), Muhammadun Rasulullah e
(Muhammad saw. adalah utusan Allah swt.). Di sanalah, aku meraih tangan suci
Mawlana untuk pertama kali dan melakukan bay'at (sumpah setia) setelah
diperkenalkan pada Thariqat ini oleh menantu beliau, dan khalifah beliau di
Amerika Serikat, Syaikh Hisyam Kabbani q.s. semoga Allah swt. membimbingnya dan
membimbing seluruh sahabat-sahabat Mawlana!
Aku
mengunjungi Mawlana beberapa kali di rumah beliau di Siprus dan melihat pula
beliau di Damaskus. Di antara hadiah Suhba yang diberikan Mawlana adalah pada
dua minggu terakhir di bulan Rajab di tahun 1422H Oktober 2001 di rumah dan
zawiyah beliau di kota Cypriot Turki, Lefke. Catatan akan pengalaman ini telah
ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta diterbitkan dengan judul
Qubrus al-Tarab fi Suhbati Rajab atau Kebahagiaan Siprus dalam Suhbat.
Pada
saat itulah, dan juga saat-saat kemudian, selama dua kunjungan terakhirnya ke
Amerika Serikat, ke Inggris, di Siprus, dan Damaskus, aku mendapatkan dari
Mawlana, petunjuk agung yang sama bagi setiap pencari kebenaran:
Tujuan
kita adalah untuk melindungi serta melukiskan Nabi Muhammad saw. dan
sifat-sifat beliau yang luhur dan agung, baginya shalawat dan salam serta bagi
ahli-bait dan sahabat-sahabat beliau; yang untuk ini Allah swt. mendukung kita!
Dari
sini, aku mengerti bahwa Murid yang sesungguhnya dalam Thariqat
Naqsybandi-Haqqani adalah sahabat, penolong dan pendukung dari setiap pembela
Sayyidina Muhammad saw., dan adalah tugasnya untuk bersahabat dan berasosiasi
dengan para pembela seperti itu karena mereka berada pada jalan Mawlana, tak
peduli apakah mereka adalah Naqsybandi atau bukan.
Ketika
seorang Waliyyu-llah yang telah berumur delapan puluh tahun-an di Johor,
Malaysia, al-Habib 'Ali ibn Ja'far ibn 'Abd Allah al-'Aydarus menerima kami di
rumahnya di bulan Mei 2003, mengenakan pakaian yang tak pernah berubah sejak
tahun 1940-an, beliau terlihat seperti Mawlana dalam segenap aspeknya, dan
bahkan terlihat menyerupainya ketika beliau meminta maaf atas bahasa Arab-nya
yang tak fasih.
Ketika
kami memohon du'a beliau bagi negeri-negeri kita yang terluka dan bagi
penduduk-penduduknya, beliau menjawab, 'Ummah ini terlindungi dan berada pada
tangan-tangan yang baik, dan pada Syaikh Nazim q.s. telah kau dapati
kebercukupan!'
Dus,
dengan setiap perjumpaan dari murid yang sederhana dan rendah hati dari Mawlana
dengan Awliya' dari Ummat ini; Mereka (para Awliya' tersebut, penerj.) semuanya
menunjukkan rasa hormat tertinggi serta kerendahan hati yang amat dalam bagi
Mawlana dan silsilah beliau, sekalipun mereka secara harfiah (penampakan luar)
berada pada jalan (thariqat) yang berbeda, seperti
-
al-Habib 'Ali al- Aydarus q.s. di Malaysia,
-
Sayyid Muhammad ibn 'Alawi al-Maliki q.s. di Makkah,
-
al-Habib 'Umar ibn Hafiz q.s. di Tarim,
-
Sayyid Yusuf ar-Rifa'i q.s. di Kuwait,
-
Syaikh 'Isa al-Himyari q.s. di Dubai,
-
Sayyid 'Afif ad-Din al-Jailani q.s. dan Syaikh Bakr as-Samarra'i q.s. di
Baghdad,
-
as-Syarif Mustafa ibn as-Sayyid Ibrahim al-Basir q.s. di Maroko tengah,
-
Grandmufti Syria (alm.) Syaikh Ahmad Kuftaro ibn Mawlana al-Syaikh Amin q.s.
dan sahabat-sahabatnya Syaikh Bashir al-Bani q.s., Syaikh Rajab Dib q.s., dan
Syaikh Ramazan Dib q.s.; Syuyukh Kattani q.s. dari Damaskus;
-
Syaikh (alm.) 'Abd Allah Siraj ud-Din q.s. dan keponakan beliau Dr. Nur ud-Din
'Itr; Mawlana as-Syaikh 'Abd ur-Rahman as-Shaghuri q.s.; Dr. Samer al-Nass; dan
guru-guru serta saudara-saudara kita lainnya di Damaskus.
semoga
Allah swt. selalu melindungi Damaskus dan melimpahkan rahmat-Nya bagi mereka
dan diri kita! Aku telah bertemu dengan setiap nama yang kusebut di atas
kecuali Syaikh Sirajud-Din q.s. dan mereka semua mengungkapkan tarazzi atas
Mawlana as-Syaikh Nazim q.s., mengungkapkan keyakinan atas ketinggian
wilayah-nya (derajat kewalian, penerj.) dan memohon do a beliau atau do a
pengikut-pengikut beliau;
Dan
cukuplah Allah swt. sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah swt.
(QS.
48:28-29)
Sudah
menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah (maksudnya para
Kekasih Allah swt., penerj.) bahwa keragaman jalan ini adalah tema (dandana,
maksudnya kira-kira diperuntukkan bagi, penerj.) mereka yang belum terhubungkan
(mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, mereka yang belum mendapatkan
amanat-nya, penerj.),
sementara
mereka yang telah mawsul (sampai, penerj.) semua berada pada satu jalan dan
dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan mencintai satu sama lain.
Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di Hari Kebangkitan.
Karena
itu, kita, para Murid dari jalan-jalan (Thuruq, jamak dari Thariqat) itu
mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi
keridhaan Allah swt. dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu
memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran tertinggi dari
suhba (persahabatan) dan jama'ah, jauh dari furqa (perpecahan) dan keangkuhan.
Sebagaimana
Allah swt. berfriman: 'Yaa Ayyuha l-ladziina aamanu t-taqu ul-laaha wa kuunuu
ma'as shadiqiin. 'Wahai orang-orang beriman takutlah kalian akan Allah swt. dan
tetaplah berada [dalam persahabatan dan kesetiaan] dengan orang-orang yang
Benar (Shiddiqiin)!;dan Nabi Suci kita e bersabda, 'Aku memerintahkan pada
kalian untuk memgikuti sahabat-sahabatku dan mereka yang mengikutinya (tabi'in,
penerj.), kemudian mereka yang mengikutinya (tabi'it tabi'in, penerj.); setelah
itu, kebohongan akan merajalela. Tapi kalian mestilah tetap berada pada Jama'ah
dan berhati-hatilah dari perpecahan!
Jama'ah
inilah yang dilukiskan dalam suatu hadits mutawatir (diriwayatkan banyak orang,
penerj.): Ia yang dikehendaki Allah swt. untuk beroleh kebajikan besar, akan
Dia karuniakan padanya pemahaman yang benar (haqq) dalam Agama. Aku (mengacu
pada Nabi e, penerj.) hanyalah membagikan dan adalah Allah swt. yang
mengkaruniakan! Kelompok itu akan tetap menjaga Perintah dan Aturan Allah swt.,
tak akan terlukai oleh kelompok yang menentang mereka, hingga datangnya
Ketetapan Allah swt.
Ya
Allah swt., jadikanlah kami selalu bersyukur atas apa yang telah Kau karuniakan
dan yang telah Rasul-Mu dan Habib-Mu bagikan!
Aku
mendengar Mawlana Syaikh Nazim q.s. berkata beberapa kali atas nama guru
beliau, Sultan al-Awliya' Mawlana as-Syaikh 'Abd Allah ibn Muhammad 'Ali ibn
Husayn al-Fa'iz ad-Daghestani tsumma asy-Syami as-Salihi q.s. (ca. 1294-1393
H)[1]
* dari Syaikh Syaraf ud-Din Zayn al- Abidin
ad-Daghestani ar-Rasyadi q.s. (wafat 1354 H),
* dari paman maternal (dari sisi ibu)
beliau, Syaikh Abu Muhammad al-Madani ad-Daghistani al-Rasyadi q.s.[2],
* dari Syaikh Abu Muhammad Abu Ahmad
Hajj Abd ar-Rahman Effendi Ad-Daghistani
ats-Tsughuri q.s. (wafat 1299 H)[3],
* dari Syaikh Jamal ud-Din Effendi al-Ghazi
al-Ghumuqi al-Husayni q.s. (wafat 1292 H)[4],
* juga (keduanya baik ats-Tsughuri maupun
al-Ghumuqi) dari Muhammad Effendi ibn Ishaq al-Yaraghi al-Kawrali q.s. (wafat
1260 H)[5],
* dari Khass Muhammad Effendi asy-Syirwani
ad-Daghestani q.s. (wafat 1254 H)[6],
* dari Syaikh Diya uddin Isma il Effendi
Dzabih Allah al-Qafqazi asy-Syirwani al-Kurdamiri ad-Daghestani q.s. (wafat
???),
* dari Syaikh Isma il al-Anarani q.s. (wafat
1242 H),
* dari Mawlana Diya uddin Khalid
Dzul-Janahayn ibn Ahmad ibn Husayn as-Shahrazuri al-Sulaymani al-Baghdadi
al-Dimashqi an-Naqsybandi al- Utsmani ibn
Utsman ibn Affan Dzun-Nurayn q.s.
(1190-1242 H) dengan rantai isnad-nya yang masyhur hingga Syah Naqsyband
Muhammad ibn Muhammad al-Uwaysi al-Bukhari q.s. yang berkata,
Thariqat kami adalah SHUHBAH
(persahabatan) dan kebaikannya adalah dalam JAMA'AH (kelompok)
Semoga
Allah swt. meridhai diri mereka semuanya, merahmati mereka, dan mengaruniakan
pahala-Nya bagi mereka, dan memberikan manfaat bagi kita lewat mereka melalui
telinga kita, kalbu-kalbu kita, dan keseluruhan wujud diri kita, Amin!
Beberapa
kritik dari 'Calon Sufi' atas Thariqat Haqqani mengatakan atas thariqat kita
dengan apa yang mereka sebut sebagai 'kurang dalam sisi ilmu'. Seorang Sufi
yang teliti akan menjadi orang terakhir yang mengatakan kritik yang menyesatkan
seperti itu!
Semestinya
mereka menjadi orang-orang pertama yang mengetahui bahwa ilmu, sebagai ilmu
saja, tidak hanya tanpa manfaat, tapi juga dapat menjadi perangkap mematikan
yang mengarah kepada kebanggaan syaithaniyyah.
Tak
ada maaf baik bagi ia yang sombong (yaitu dengan ilmunya, penerj.) maupun ia
yang bodoh; hanya Sufi yang penuh cinta, ketulusan, serta bertaubat-lah, walau
memiliki kekurangan dalam ilmu dan adabnya, yang lebih dekat pada Allah swt.
dan pada ma'rifatullah (pengenalan akan Allah swt.) daripada seorang Sufi
berilmu yang menyimpan dalam kalbunya kebanggaan sekalipun hanya setitik debu.
Semoga Allah swt. melindungi diri kalian dan diri kami!
Ibrahim
al-Khawwass berkata bahwa ilmu (pengetahuan) bukanlah untuk mengetahui banyak
hal, tapi untuk menaati Sunnah dan mengamalkan apa yang diketahui sekalipun itu
hanya sedikit.
Imam
Malik berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi ia adalah
cahaya Allah swt. yang Dia timpakan pada hati.
Imam
as-Syafi'i berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui bukti dan dalil,
melainkan untuk mengetahui apa yang bermanfaat.
Dan
ketika seseorang berkata tentang Ma'ruf al-Karkhi (murid dari Dawud at-Ta i,
yang merupakan murid dari Habib 'Ajami, murid dari Hasan al-Bashri; guru dari
Sari as-Saqati, guru dari Sayyid Taifa Junayd al-Baghdadi, penerj.), Dia
bukanlah seseorang yang amat alim (berilmu), Imam Ahmad pun berkata, Mah!
Semoga Allah swt. mengampunimu! Adakah hal lain yang dimaksudkan oleh Ilmu
selain dari apa yang telah dicapai oleh Ma'ruf?!
Kritik
lain berisi keberatan atas Rabitah atau Ikatan, suatu karakteristik khusus dari
Thariqat Naqsybandi. Lebih jelasnya, mereka yang mengkritik rabitah ini
berkeberatan atas unsur tasawwur atau Penggambaran dalam rabitah yang meminta
Murid untuk menggambarkan citra sang Syaikh dalam hatinya di permulaan maupun
selama dzikir.
Tetapi
Allah swt. telah berfirman, 'Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu
suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
swt. dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah swt. [33:21]
dan
Dia berfirman pula, 'Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; [2:189]
dan
karena itulah kita datang kepada Nabi melalui ash-Shiddiq, dan datang kepada
yang terakhir ini melalui Salman, dan masuk kepada yang terakhir ini melalui
Qasim, dan kepada yang terakhir ini melalui Sayyid Ja'far, dan seterusnya.
Karena
'Ulama adalah pewaris para Nabi", dapat dipahami bahwa sang Mursyid adalah
teladan kita akan teladan dari Nabi tersebut (di ayat 33:21 di atas, penerj.)
dan ia (sang Mursyid) mestilah seseorang di antara mereka yang atas mereka,
Nabi
bersabda, 'Jika kalian melihat mereka, kalian ingat akan Allah swt.!
Hadits
ini diriwayatkan dari Ibn Abbas , Asma bint Zayd, dan Anas (semoga Allah swt.
ridha atas diri mereka semua), juga dari Tabi'in Sa'id ibn Jubayr, 'Abd
al-Rahman ibn Ghanam, dan Muslim ibn Subayh.
Beberapa
orang memprotes terhadap konsep fana sang Murid dalam diri Syaikh, atau fana
fis-Syaikh. Mereka berkata, 'Syaikhmu hanyalah seorang manusia; jadikanlah fana
-mu pada diri Rasulullah.
Tetapi,
adalah salah untuk menyamakan sang Syaikh pembimbing sama seperti yang lain.
Syaikh Ahmad Sirhindi q.s. qaddas-Allahu
sirrahu - berkata: Ketahuilah bahwa
melakukan perjalanan (suluk) pada Thariqat yang paling Mulia ini adalah dengan
ikatan (rabitah) dan cinta pada Syaikh yang kita ikuti.
Syaikh
seperti itulah yang berjalan di Jalan ini dengan keteguhan (istiqamah), dan ia
tercelupi (insabagha) dengan segenap macam kesempurnaan melalui kekuatan daya
tarik Ilahiah (jadzbah). Pandangannya menyembuhkan penyakit-penyakit hati dan
konsentrasinya atau pemusatan pikirannya (tawajjuh) mengangkat habis
cacat-cacat ruhani. Pemilik dari kesempurnaan-kesempurnaan ini adalah Imam dari
zaman ini dan Khalifah pada waktu itu Dus,
ikatan kita (padanya) adalah (melalui) cinta, dan hubungan (nisba) kita
dengannya adalah pencerminan dan pencelupan diri, tak peduli apakah diri kita
dekat atau jauh (secara fisik darinya, penerj.). Hingga kemudian sang murid
akan tercelupkan dalam Jalan ini melalui ikatan cintanya pada sang Syaikh, jam
demi jam, dan tercerahkan oleh pantulan cahaya-cahayanya.
Dalam
pola seperti ini, pengetahuan akan proses bukanlah suatu prasyarat untuk
memberi atau menerima manfaat. Buah semangka matang oleh panas Sang Surya jam
demi jam dan menghangat dengan berlalunya hari
Sang Semangka semakin matang, namun pengetahuan macam apakah yang
dimiliki sang semangka akan proses ini? Apakah sang Surya bahkan mengetahui
bahwa dirinya tengah mematangkan dan menghangatkan sang Semangka?
Sebagaimana
disebutkan di atas, berkeberatan atas konsep fana fis-Syaikh adalah berarti pula berkeberatan
akan cinta pada sang Syaikh. Kita semua memiliki keinginan dan tujuan untuk
mencintai Syaikh kita dan mengetahui bahwa ia-lah objek yang paling patut
menerima cinta dan hormat kita di dunia ini.
Sebagaimana
sang penyair berpuisi:
Atas
kesetiaan padamu yang suci dan tuluslah, aku mengatakan:
Cinta
atasmu terpahat dalam kalbu dari kalbu-kalbuku,
Sebagai
suatu ukiran yang dalam [NAQSY], suatu prasasti kuno.
Tak
kumiliki lagi kehendak [IRADA] apa pun, selain cintamu,
Tak
pula dapat kuucapkan apa pun padamu, selain "aku cinta padamu".
Tentang
hal ini, Mawlana berkata pada suatu kesempatan baru-baru ini, Kita telah diperintahkan untuk mencintai
orang-orang suci. Mereka adalah para Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para
pewaris mereka, Awliya . Kita telah
diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri
kita Cinta .
Cinta
membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. ITTIBA bermakna untuk mencintai dan mengikuti,
sementara ITA AT bermakna [hanya] untuk mengikuti. Seseorang yang taat mungkin
taat karena paksaan atau karena cinta, tetapi tidaklah selalu karena cinta.
Nah,
Allah
swt. menginginkan hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya. Dan para hamba
tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan mereka. Karena
itulah, Allah swt. mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para Nabi
yang
mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. Dan setiap orang yang mencintai
Awliya dan Anbiya , melalui Awliya akan menggapai cinta para Nabi. Dan
melalui
cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah swt. Karena itu,
tanpa cinta, seseorang tak mungkin
dapat menjadi orang yang dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika kalian tak
memberikan cinta kalian, bagaimana Allah swt. akan mencintai kalian?
Namun manusia kini sudah seperti kayu, yang
kering, kayu kering, mereka menyangkal cinta. Mereka adalah orang-orang yang
kering tak ada kehidupan! Suatu pohon,
dengan cinta, terbuka, bersemi dan berbunga di kala musim semi. Tetapi kayu
yang telah kering, bahkan seandainya tujuh puluh kali musim semi mendatanginya,
tak akan pernah terbuka. Cinta membuat alam ini terbuka dan memberikan
buah-buahannya, memberikan keindahannya bagi manusia. Tanpa cinta, ia tak akan
pernah terbuka, tak akan pernah berbunga, tak akan pernah memberikan buahnya.
Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting
dari iman. Tanpa cinta, tak akan ada iman. Saya dapat berbicara tentang hal ini
hingga tahun depan, tapi kalian harus mengerti, dari setetes, sebuah
samudera! (akhir suhbat Mawlana).
Dengan
dan melalui Mawlana, Allah swt. telah membuat segala macam hal yang sulit
menjadi mudah. Kita amat bersyukur mengetahui beliau karena beliaulah jalan
pintas bagi kita menuju nuur/cahaya dalam Agama ini. Nur ini adalah tujuan dan
sasaran dari setiap orang yang sehat. Nur dan cahaya inilah yang dilukiskan
dalam ayat yang Agung,
Allah
swt. menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As
Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya
orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah
swt.). [2:269]
Semoga
Allah swt. mengaruniakan bagi diri kita hikmah ini dan menjaga diri kita pada
Jalan yang telah Dia perintahkan dan Dia sukai bagi diri kita! Semoga Allah
swt. mengaruniakan pada Mawlana umur panjang dalam kesehatan dan mengaruniakan
pada diri kita tingkatan (maqam) Murid yang Sejati demi kehormatan dari Ia yang
paling terhormat, Nabi Muhammad saw.!
1. Ada beberapa variasi pendapat tentang
tahun lahir Mawlana as-Syaikh Abd Allah
q.s., berkisar dari 1284 H (dalam kitab at-Thariqat an-Naqsybandiyya, karangan
Muhammad Darniqa) hingga 1294 H menurut murid tertua Syaikh Abdullah q.s., Mawlana as-Syaikh Husayn q.s.
(dalam kitab at-Thariqat an-Naqsybandiyya al-Khalidiyya ad-Daghistaniyya,
karangan Ustadz Muhammad Ali ibn
as-Syaikh Husayn) hinga 1303 H dalam kitab al-Futuhat al-Haqqaniyya, karangan
Syaikh Adnan Kabbani q.s. hingga 1309 H
dalam buku The Naqshbandi Sufi Way, karangan Syaikh Hisyam Kabbani q.s.
2. Beliau menerima pula Thariqat Qadiri dari
Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s. (demikian pula Syaikh Jamaluddin q.s.) yang
dengan bimbingannya, beliau memulai suluknya hingga Syaikh Ibrahim q.s.
menyuruhnya ke Syaikh ats-Tsughuri q.s., lihat
Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 229).
3. Lihat Hadaya al-Zaman fi Tabaqat
al-Khawajagan an-Naqsybandiyya (halaman 375) karangan Syu ayb ibn Idris al-Bakini.
Beliau mengambil pula dari al-Yaraghi, lihat Sullam al-Wusul karangan Ilyas
al-Zadqari, sebagaimana dikuti di Hadaya (halaman 378).
4. lihat Hadaya, al-Bakini (halaman 396).
Beliau menerima Thariqat Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s. dan
memperkenalkan dzikir jahr dalam cabang Daghistani dari Naqshbandiyya melalui
ijazah tersebut, lihat al-Bakini, Hadaya (halaman 396); Ali, Tariqa Naqsybandiyya (halaman 229).
5. dan bukannya 1254 H, sebagaimana secara
salah disebutkan di beberapa sumber. Koreksi ini dari Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 214).
Muhammad al-Yaraghi juga mengambil secara langsung dari Syaikh Isma il
asy-Syirwani q.s., lihat al-Bakini, Hadaya (hal. 350-351).
6. dari Syirwan di masa sekarang di
Azerbaijan. Beliau wafat di Damaskus dan dimakamkan di Jabal Qasyoun, di
samping Mawlana Khalid q.s. dan Mawlana Isma il al-Anarani q.s. yang merupakan
penerus pertama Mawlana Khalid q.s., yang wafat tujuh belas hari setelah
wafatnya Mawlana Khalid q.s., keduanya karena wabah semoga Allah swt. merahmati mereka semua dan
seluruh Syuhada -Nya.
SYEKH MUHAIMINAN GUNARDHO
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Penerus
Semangat Perjuangan Bambu Runcing
Ia sangat peduli pada
gonjang-ganjing bangsa. Maka ia pun berkeliling tanah air: memimpin istigasah,
menghibur umat, memberikan nasihat kepada pemerintah.
Jemaah
istigasah menyambut Muktamar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah
An-Nahdliyah yang memadati Masjid Jami’ Pekalongan baru saja menarik napas,
setelah sebelumnya melantunkan syair Simthud Durar. Tiba-tiba terdengar suara
menggelegar. Di shaf terdepan, sesosok tegap berpakaian putih-putih, lengkap
dengan serban dan jubah, tampak khusyuk melantunkan tawasul kepada para aulia
pendiri tarekat. Menilik perawakan dan suaranya, orang seakan tak percaya bahwa
usianya telah melampaui 83 tahun. Pembacaan doa-doa istighatsah yang baru
selesai sepertinya tak menyisakan keletihan di wajahnya yang selalu segar. Dialah
K.H.R. Muhaiminan Gunardo dari kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Tema
istighatsah malam itu, sebagaimana istighatsahnya yang lain, ialah memohon
keselamatan bangsa dari berbagai bencana yang belakangan menghantam
bertubi-tubi. Semangat kebangsaan pengasuh Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu
Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, ini memang luar biasa.
Usianya
memang sudah cukup senja. Tapi kiprahnya semakin mengukuhkan profil ulama
pejuang ini. Kepeduliannya akan gonjang-ganjing perjalanan bangsa mengantarkan
langkahnya ke berbagai pelosok tanah air. Baik untuk memimpin istigasah,
ngayemi-ayemi (menghibur) umat, maupun memberikan nasihat langsung kepada
pemerintah.
Almarhum
Mbah Hinan, panggilan akrab KH Muhaiminan Gunardo, dilahirkan di Parakan, .Beliau
adalah keturunan Raden Santri salah seorang wali yang masih keturunan Pangeran
Diponegoro. Beliau adalah pimpinan Pondok Pesantren Bambu Runcing Parakan,
Suatu Pondok Pesantren yang dikenal sebagai pusat pendekar di jaman perjuangan
Indonesia.Di Pesantren yang didirikan oleh kakek Beliau inilah nama senjata
tradisional Bambu Runcing menjadi sangat terkenal dan ditakuti oleh penjajah
Belanda. Pada jaman perjuangan para pendekar sering berkumpul di pesantren
Parakan untuk mengatur strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus diajarkan
berbagai macam Ilmu Hikmah. Setiap kali berangkat berjuang selain ilmu beladiri
para pendekar juga dibekali sebuah senjata yaitu Bambu Runcing, tetapi Bambu
Runcing ini bukan bambu runcing biasa karena senjata ini telah di beri Asma
oleh kyai. Konon setiap kali dilemparkan Bambu Runcing ini tidak saja dapat
membunuh lawan bahkan dapat meledak spt bom. Itulah salah satu Karomah kyai
Parakan.Sehingga Bambu Runcing Menjadi sangat terkenal di seluruh Indonesia dan
ditakuti penjajah Belanda.
Lasykar
Hizbullah
Di
masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari ribuan pejuangan mampir ke
Parakan dalam perjalanan mereka dari ke front-front pertempuran di Magelang,
Ambarawa, Ungaran, dan Semarang. Beberapa di antaranya bahkan datang dari
berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Adalah Kiai Subeki atau Mbah
Subki, saat itu 90-an tahun, magnet yang menarik mereka ke Parakan. Setelah
wafat ia dijuluki Kiai Parak Awal.
Sebelum
berangkat ke medan pertempuran, para pejuang – rata-rata anak-anak anggota
Lasykar Hizbullah – sowan kepada kiai sepuh yang sangat tawaduk ini. Oleh Mbah
Subeki mereka didoakan, dan satu per satu senjata mereka dijamah sambil berdoa:
Bismillahi bi ‘aunillah. Ya Hafidz, ya Hafidz, ya Hafidz. Allahu akbar, Allahu
akbar, Allah akbar (Dengan menyebut nama Allah, dengan pertolongan Allah. Wahai
Zat yang Maha Menjaga, Allah, yang Mahabesar).
Begitulah
“ijazah doa” yang diberikan oleh Mbah Subeki kepada para pejuang, yang kemudian
terbukti menambah keberanian dan rasa percaya diri di medan perang. Bahkan
diyakini mendatangkan perlindungan Allah dari hujan peluru dan bom lawan. Sejak
itu, setiap hari ribuan orang memasuki Parakan untuk nyuwuake (memohonkan doa)
buat senjata mereka. Mulai dari bambu runcing, pestol, bedil, karaben, bahkan
kanon.
Dalam
autobiografinya, Berangkat dari Pesantren, mantan Menteri Agama K.H. Saifudin
Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat
anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman – yang
belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap.
Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Parakan
sendiri daerah unik, karena merupakan pertemuan berbagai budaya, sebagaimana
diceritakan oleh Saifudin Zuhri, “Sejak tertangkapnya Pangeran Diponegoro,
sisa-sisa prajurit Mataram dalam taktik mengundurkan diri bergerak menyusuri
Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang
Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan
Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang.
Daerah
dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya
bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah
mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang bercampur
antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu, keberanian rakyat
Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang.
Pencak
Silat
Itulah
Parakan, kota kecil tempat lahirnya K.H.R. Muhaiminan Gunardo. Ia adalah putra
Raden Abu Hasan, yang lebih dikenal dengan nama K.H. Sumomihardho – salah
seorang keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II. Sementara ibundanya, Hj.
Mahwiyah, adalah putri Kiai Badrun, sesepuh Parakan yang berpengaruh karena
kedalaman ilmu agamanya.
Sejak
muda, Kiai Muhaiminan – yang termasuk dalam forum Kiai Khos Langitan – gemar
berolahraga, khususnya pencak silat, yang digelutinya di sela-sela mengaji
kepada beberapa ulama besar. Tamat Sekolah Rakyat di Parakan, ia mengaji kepada
K.H. Dalhar alias Mbah Dalhar (Pesantren Watucongol, Magelang), ulama besar
yang pernah selama delapan tahun berkhalwat – mengasingkan diri untuk
memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan tafakur) kepada Allah SWT – di
Gua Hira, tempat Rasulullah SAW melakukan hal yang sama, beruzlah. Mbah Dalhar
juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Syadziliyah yang termasyhur.
Selepas
dari Watucongol, Muhaiminan muda melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut
ilmu kepada K.H. Maksum (Lasem, Rembang), Kiai Muhajir di Bendo (Pare, Kediri),
lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang.
Selain
mengaji ilmu agama, di setiap pesantren yang disinggahinya Muhaiminan mendalami
ilmu pencak silat. Pendekar tangguh yang pernah menjadi gurunya, antara lain,
K.H. Nahrowi atau Ki Martojoto. Ia juga mendalami ilmu pencak silat di
pesantren terakhir yang disinggahinya, yaitu Ponpes Dresmo (Surabaya), yang
memang terkenal dengan keampuhan olah kanuragannya.
Sehari-hari,
Mbah Minan selalu menyempatkan diri mendidik ratusan santrinya, dan mendampingi
kurang lebih 30 orang pengajar. Terutama dalam mujahadah – zikir untuk meraih
derajat yang tinggi di sisi Allah – dan istigasah setiap bakda magrib dan
setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon. Sementara pengelolaan sehari-hari
pesantren yang berdiri pada 1955 itu diserahkan kepada sebuah kepengurusan yang
dinamakan Idarah Ma’had Kiai Parak Bambu Runcing.
Idarah
tersebut juga membawahkan beberapa lembaga yang mengurus kepentingan pesantren
dan umat. Termasuk Lembaga Seni Bela Diri Garuda Bambu Runcing (LGBR),
perguruan pencak silat yang mengajarkan dua jenis ilmu bela diri, yakni pencak
silat sebagai bela diri fisik dan bela diri batin. LGBR tidak hanya diikuti
para santri, tapi juga warga masyarakat umum. Hingga kini anggota aktifnya
kurang lebih 45.000 orang, bahkan telah memiliki beberapa cabang di Jawa dan
Sumatra.
Kemasyhuran
Kiai Muhaiminan Gunardo dan pesantrennya dalam dunia spiritualitas memang telah
membuah bibir di kalangan umat Islam, khususnya di Jawa Tengah. Di luar
aktivitas keilmuan dan kanuragan, pesantren yang terletak di dataran tinggi eks
Karesidenan Kedu ini memang selalu ramai dikunjungi orang. Baik yang hendak
berkonsultasi masalah kehidupan, berguru ilmu hikmah, maupun untuk mengaji tasawuf
kepada Mbah Nan.
Ketika
terjadi heboh pembunuhan terhadap para kiai dan santri pada 1999 – yang
terkenal sebagai “kasus ninja”, karena pembunuhnya bertopeng seperti ninja –
pesantren ini menjadi tujuan utama warga nahdliyin yang belajar membentengi
diri.
Barangkali
memang sudah menjadi ketentuan Allah SWT bahwa ulama Parakan secara
turun-temurun ditugasi menjadi benteng pertahanan terakhir umat dalam
menghadapi berbagai kesulitan. Bisa dimaklum jika langkah Kiai Muhaiminan
sepertinya masih harus panjang – selama keadaan Indonesia belum memenuhi
harapan yang dicita-citakan para ulama pendahulunya.
Ahli
Hikmah
Selama
ini masyarakat lebih mengenal Mbah Hinan selain sebagai alim ulama yang ahli di
bidang agama juga ahli di bidang ilmu hikmah. Tak sedikit yang berhubungan
dengan almarhum berkaitan dengan ilmu kekebalan untuk pertahanan diri bahkan
tak sedikit yang berkaitan dengan kedudukan dan jabatan. Salah satu Karomah
Kiai khos ini Adalah ketika bermain pencak silat orang disekitarnya merasakan
tanah disekeliling beliau bergetar seperti ada gempa bumi. Salah satu ilmu
andalan Beliau adalah SASRA BIRAWA yaitu ilmu tenaga dalam yang dapat
memecahkan benda keras dari jarak jauh seperti ilmu yang dimiliki Mahesa Jenar.
Setiap Santri di Pesantren Parakan diajarkan ilmu pencak silat Garuda Bambu
Runcing. Salah satu murid beliau yang dikenal sebagai pendekar di kota Solo
adalah Almarhum KH. Hilal Adnan pimpinan Thoriqoh Syadziliyah di Solo Jawa
Tengah.
Mursyid Thoriqoh Syadziliyah dan
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Mengikuti
jejak gurunya, Kiai Dalhar Watucongol, ia juga menjadi mursyid Tarekat
Sadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang bersanad sampai ke Rasulullah
SAW. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Jami'yyah Thariqoh
Muqtabaroh An-Nahdliyyah serta pimpinan thoriqoh Syadziliyah.
Di
organisai PBNU, almarhum menjabat sebagai Mustasyar. KH Muhaiminan Gunardo
merupakan seorang tokoh panutan yang sangat dikenal masyarakat luas. Selain
itu, beliau juga banyak memberikan sumbangan spiritual bagi kehidupan
masyarakat.
KH Muhammad Dimyati
PANDEGLANG BANTEN
KH
Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang
kharismatis. Beliau dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah
dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama
lengkapnya Muhammad Dimyati bin Syaikh
Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan
dan tersebar hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana
dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu
dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia
sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar
Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang
Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar
tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
Abuya
Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal
Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para
tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga
kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan
kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya
daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja
mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan
tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
Tidak
salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di
seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup ,
pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai
majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini
karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di
tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat
pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian
dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai
wafatnya.
Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj.
Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya.
Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari,
Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
Abuya
berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim,
Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar
Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi
Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau
bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut
adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru,
tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
Ketika
mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu
kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar
kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti
mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya,
hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab.
Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’.
Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada
peningkatan santri mengaji.
Jalan Spritual
Dibanding
dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik.
Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren
yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun
diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak
hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat.
Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti
khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu
juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran. Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah
kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum
pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di
kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar
hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar
lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian
wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu
melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi,
Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru
semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu
menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya
Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir
itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat
sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah
wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat
Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH
Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah.
Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya
mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.
Dipenjara Dan Mbah Dalhar
Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai
karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977
Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya
sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut.
Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama
enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah
Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib
ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang
didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr
isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama
isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
Selanjutnya
kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat
yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat
Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan
para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya
sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya
bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah
Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya
begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun
berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah
ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu,
lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan
syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu
diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
Mendengar
jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk
mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang
kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi
saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu
sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya
teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati
tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424
H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah
kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin
Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.
HADLRATUS
SYAIKH MUSTAQIM BIN HUSAIN
Hadlratus Syaikh
Mustaqim bin Husain lahir di desa Nawangan, kecamatan Keras, kabupaten Kediri,
pada tahun 1901 M. Ayah beliau bernama Husain bin Abdul Djalil, yang merupakan
keturunan ke 18 dari Mbah Panjalu, Ciamis, Jawa Barat (Ali bin Muhammad bin
Umar). Ketika masih berusia 12-13 tahun, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain
mengabdi kepada Kiai Zarkasyi di dusun Tulungagung. Beliau mengabdi dan belajar
membaca Al-Quran serta ilmu agama kepada Kiai Zarkasyi. Pada usia tersebut,
Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain dikaruniai oleh Allah hati yang dapat
berdzikir Allah, Allah, Allah …… tanpa berhenti.
Dari kekuatan
dzikir yang demikian tadi, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain juga dikaruniai
oleh Allah ilmu sirri atau ilmu mukasyafah . Beliau bisa mengetahui ilmu ghaib,
alam barzakh dan alam jin, serta keinginan-keinginan yang terbersit di hati
orang lain. Pada saat itu, Allah selalu menjaga beliau dari sifat-sifat
madzmumah (sifat yang tercela).
Setelah beliau dewasa, Hadlratus Syaikh
dinikahkan oleh Kyai Zarkasyi dengan putri dari Mbah H. Rois yang juga
berdomisili di Kauman, yang bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah. Mbah H. Rois
hanya mempunyai 2 anak, yang pertama bernama Sholeh Sayuthi, yang terkenal
dengan sebutan Wali Sayuti. Yang kedua bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah yang
dinikahkan dengan Hadlratus Syaikh Mustaqim.
Sebagai seorang
suami, Hadlratus Syaikh melakukan kewajibannya dengan mencari nafkah untuk
keluarganya dengan menjadi tukang potong rambut , tukang jahit sepatu dan
berdagang. Hadlratus Syaikh pernah mendirikan toko yang diberi nama Bintang
Sembilan. Meskipun kehidupan ekonomi keluarganya selalu memprihatinkan, pada
saat itu beliau tidak pernah meninggalkan kewajiban untuk berbuat amar ma’ruf,
yaitu dengan mengajarkan dzikir yang dimasukkan ke dalam jurus-jurus pencak
silat.
Di zaman
penjajahan Jepang, Hadlratus Syaikh mengalami suatu ujian bersama dengan para
ulama seluruh Indonesia. Pemerintah Jepang menganggap bahwa para Ulama akan
melakukan pemberontakan, sehingga para Kyai ditangkap, ada yang disiksa, dan
banyak yang disakiti. Setelah selamat dari penyiksaan Jepang, Hadlratus syaikh
meneruskan pengajarannya, yaitu dengan mengajarkan dzikir di dalam hati, serta
akhlaqul karimah, terutama akhlaq kepada Allah. Rumusan amalan-amalan beliau
menekankan bahwa sebelum dan sesudah wirid harus meminta pada Allah agar
mendapat 4 hal:
1. Selamat di dunia dan akhirat.
2. Hati yang bersih dari sifat madzmumah
(sifat tercela).
3. Kekalnya iman sampai sakaratul maut
dan bisa membaca kalimat thayyibah, serta bisa husnul khatimah.
4. Semua hal yang barakah, maslahah,
manfaat di dunia dan akhirat.
Sebab-sebab KH. Mustaqim Menerima
Thariqah Syadzaliyyah
Menurut KH.
Abdul Jalil Mustaqim, Romo KH. Mustaqim bin Husain sudah mempunyai hizib-hizib
sebelumnya, seperti Hizib Baladiyyah, Hizib Kafi dan lain-lain. Pada suatu
saat, murid Syaikh Mustaqim yang bernama Asfaham dari Ngadiluwih, Kediri,
ketika riyadlah mengamalkan aurad Hizib Kafi dan masuk ke dalam maqam Jadzab
Billah. Pada maqam jadzab tersebut, pak Asfaham berkelana sampai masuk Pondok
Termas pacitan, Pak Asfaham berbicara banyak hal, termasuk mengajak beradu
argumentasi (berdebat) kepada para Ustadz Pondok Termas Pacitan. Pada saat itu,
Syaikh Abdur Razzaq mengetahui bahwa ilmunya Pak Asfaham itu haq. Kemudian
Syaikh Abdur Razzaq memanggil Pak Asfaham dan bertanya, “siapa gurumu?”
kemudian Pak Asfaham menjawab bahwa gurunya adalah KH. Mustaqim dari Kauman
Tulungagung.
Di lain waktu,
Kyai Abdur Razzaq bertamu (sowan) kepada KH. Mustaqim. Dalam persowanan
tersebut Kyai Abdur Razzaq meminta ijazah ‘ammah kepada KH. Mustaqim. Akan
tetapi keduanya malah saling menghindar untuk menjadi guru. Pada akhirnya,
keduanya sepakat untuk sama-sama saling memberikan ijazah. Romo KH. Mustaqim
memberikan ijazah Hizib Baladiyah kepada Romo Kyai Abdur Razzaq. Dan Romo Kyai
Abdur Razzaq memberikan baiat Aurad Syadzaliyyah. Pada saat akan diberi baiat
Aurad Syadzaliyyah, KH. Mustaqim menolak. Beliau berkata, “Aurad Syadzaliyyah
itu berat, setahu saya ada amalan yang ngere (keluar dari rumah tidak boleh membawa
bekal, makannya minta ke orang lain, membawa baju hanya satu setel saja untuk
menutupi aurat)”. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Kalau anda pasti kuat”.
Kemudian KH. Mustaqim jadi menerima baiat Aurad Syadzaliyyah dari Romo Kyai
Abdur Razzaq. Setelah berjalan cukup lama, KH. Mustaqim sudah memberikan baiat
kepada murid-murid yang menginginkan Aurad Syadzaliyyah. Romo Kyai Abdur Razzaq
berkata, “Thariqah Syadzaliyyah ini nanti pusatnya akan pindah ke Kedung”,
(yang dimaksud adalah akan pindah ke Syaikh Mustaqim Kauman, Tulungagung). Pada
tahun 1947 M, Romo Kyai Abdur Razzaq datang ke Tulungagung. Beliau sangat
senang dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim, dan pada saat itu KH. Abdul Jalil
Mustaqim masih berusia 5 tahun. KH. Abdul Jalil Mustaqim digendong oleh Kyai
Abdur Razzaq mengelilingi alun-alun Tulungagung. Sepertinya Romo Kyai Abdur
Razzaq sudah mengetahui bahwa yang akan menjadi penerus guru mursyid setelah
Syaikh Mustaqim adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim.
Musibah di Zaman Penjajahan Jepang
(1942-1945)
Pada saat Jepang
menjajah bangsa Indonesia , Jepang memaksa bangsa Indonesia untuk melakukan
Seikerei , yang artinya pada saat matahari terbit, menghadap ke timur untuk
menyembah kepada matahari (ibadah agama Shinto ). Dan pada saat jam 07.00 pagi
harus membungkuk seperti posisi ruku’ menghadap ke utara agak serong ke barat
menghadap ke arah kota Tokyo Jepang , untuk menyembah Tenno Haika, Raja Jepang.
Kedua perintah Jepang tersebut dianggap musyrik oleh agama Islam. Oleh karena
itu, Syaikh Mustaqim dan ulama lainnya menentang hal tersebut dan tidak mau
melakukannya. Pemerintah Jepang mempunyai anggapan bahwa para ulama dan kyai
akan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Jepang. Sehingga pemerintah
Jepang dengan biadabnya melakukan penyiksaan kepada para ulama termasuk Syaikh
Mustaqim. Penyiksaan Jepang yang dialami oleh Syaikh Mustaqim antara lain: Tubuh
beliau dijepit dengan satu bal es batu di dada, dan satu bal lagi di bagian
belakang sambil tubuh beliau dirantai.
Beliau
dijatuhkan dari ketinggian mencapai 10 meter. Perut beliau diisi air lewat
hidung dengan menggunakan pipa kecil, seperti yang dialami oleh kyai-kyai
lainnya. Pada saat Jepang memasukkan air ke dalam hidung KH. Mustaqim, yang
dimasuki air malah bukan hidung beliau, tetapi kantong ikat pinggang yang
sedang beliau pakai. KH. Mustaqim diberi keselamatan dari semua hal tersebut
berkat perlindungan dari Allah.
Usaha Ekonomi
KH. Mustaqim bin
Husain mempunyai istri dan putra-putri. Beliau juga melakukan usaha secara
lahir, yaitu dengan berusaha mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan ekonomi
keluarganya. Beliau pernah menjadi tukang potong rambut, penjahit sepatu dan
sandal, dan membuka toko yang bernama Toko Bintang Sembilan.
Akan tetapi semua usaha lahir beliau
tersebut tidak ada yang kelihatan menghasilkan banyak uang. Sepertinya beliau
hanya melakukan ikhtiyar secara lahir saja. Buktinya, pada saat Kyai Muslim
(Alm) akan pergi mondok ke Pondok Mojosari Loceret Nganjuk, Kyai Muslim meminta
uang kepada KH. Mustaqim, dan KH. Mustaqim menyuruh beliau untuk mengambil
sendiri uang yang terletak di bawah kasur. Pada saat Kyai Muslim membuka kasur
tersebut, ternyata yang ada di bawah kasur tersebut adalah uang semua. Tetapi
Kyai Muslim hanya mengambil seperlunya saja.
Perkataan-Perkataan Hikmah
Al-Maghfurullah
KH. Mustaqim bin Husain jika berbicara (dawuh), banyak yang menggunakan kalam
kinayah (kata sindiran) daripada kalam sharihah (kata terang-terangan). Begitu
juga jika akan terjadi peristiwa yang aneh, beliau hanya memberikan isyarat
saja. KH. Mustaqim memelihara ayam yang sebelah kanan berwarna merah, dan yang
sebelah kiri berwarna putih bersih. Pada bulan Rabi’ul Awal, KH. Mustaqim
berkata, “Bangsa Jepang berada di Indonesia masih 6 bulan lagi”. Dan terbukti
setelah sampai pada hari Jumat Legi tanggal 9 Ramadhan 1363 H, yang bertepatan
dengan tanggal 17 Agustus 1945 M, Negara Indonesia merdeka dan mengibarkan
bendera merah putih.
KH. Mustaqim bin
Husain juga pernah mempunyai ayam yang berkaki satu, jika berjalan
meloncat-loncat, di atas kepalanya dekat dengan jenggernya ditempati sarang
lebah, jika ayam tersebut akan berpindah tempat, si lebah keluar dari sarangnya
kemudian mengikuti ayam tersebut. Begitu juga dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim.
Beliau pernah memelihara burung perkutut putih, dan selang beberapa tahun
kemudian beliau memelihara burung gagak putih. Semua hal tersebut menunjukkan
bahwa Mursyid Kamil itu tetap ada, tetapi sangat langka dan susah untuk dicari.
Bisa ditemukan, tetapi harus lewat kesucian. KH. Mustaqim bin Husain kalau
dawuh kepada murid-muridnya kebanyakan memakai kalam kinayah , begitu juga
dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim. Menurut perkataan KH. Shadiq Muslih Al-Hajari,
jika mendengarkan perkataan-perkataan KH. Mustaqim dan KH. Abdul Jalil
Mustaqim, harus dengan berdzikir kepada Allah, supaya kita bisa memahami makna
dari perkataan beliau tersebut, karena sumber-sumber perkataan beliau tersebut
berasal dari asrarillah (dawuh sirri). Perkataan-perkataan tersebut antara
lain:
1. “Menjadi orang mukmin itu harus
sering memotong kuku”
Artinya:
jadi orang mukmin itu harus menghilangkan sifat ‘ujub (merasa dirinya paling
baik) dan supaya bisa ikhlas.
2. “Menjadi murid thariqah itu seperti
orang yang antri karcis di loket. Terkadang didesak oleh temannya, diserobot
gilirannya, dan ketetesan keringat temannya. Akan tetapi semua itu jangan
dihiraukan, tetaplah menghadap ke loket”.
Artinya:
menjadi murid thaariqah itu terkadang mendapatkan gangguan dari orang lain,
keluarga, bahkan dari sesama murid. Jangan hiraukan dan tetap menghadap ke
depan. Hanya berharap barakah kepada guru mursyid supaya bisa cepat mendapat
tiket pesawat Thariqah Syadzaliyyah.
3. “Mencari ilmu di depan guru mursyid
harus seperti orang yang mencari rumput, tapi jangan seperti orang yang mencari
rumput”.
Artinya:
orang yang mencari rumput jika melihat ke bawah, akan mendapat rumput yang
banyak, wadahnya cepat penuh. Tetapi jika melihat ke tempat lain, sepertinya
rumput yang kita lihat di tempat yang lebih jauh terlihat lebih subur daripada
rumput yang ada di dekat kita. Kenyataannya, rumputnya sama saja, bahkan lebih
sedikit. Karena kebanyakan pindah-pindah maka waktunya habis dan wadah
rumputnya tetap kosong. Orang yang mencari ilmu haqiqat harus menghadap pada
satu guru, jangan sampai melirik guru yang lainnya. Malah akan menjadi hijab
(penghalang) keberhasilannya. Kecuali jika diizini oleh sang guru. KH. Abdul
Jalil Mustaqim pernah berkata, “Jangan berpoligami!” . Artinya, jika
mengamalkan amalan Syadziliyyah tidak boleh mengamalkan amalan lainnya yang
batal, atau yang tidak seizin guru mursyid.
Maqam dan Derajat KH. Mustaqim bin
Husain
Pada tahun 1953,
KH. Mustaqim bin Husain menerima dawuh sirri, bahwa yang akan meneruskan
kemursyidan nanti adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim (putra KH. Mustaqim). Pada
saat itu, KH. Abdul Jalil Mustaqim sudah mulai disuruh membaiat, meskipun pada
saat itu beliau masih berusia 11 tahun.
Pada tahun 1981,
Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah (istri KH. Mustaqim), Ibu Nyai Hj. Anni Siti
Fatimah (putri KH. Mustaqim), serta Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H (putra mantu
KH. Mustaqim), bersama-sama melakukan ihram haji dan umrah. Ibu Nyai Hj. Anni
Siti Fatimah dan Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H mengamanatkan haji buat KH.
Mustaqim yang dilaksanakan oleh H. Masduqi Tunjung, Udanawu, Blitar, di mana
pada saat itu H. Masduqi masih bermukim di Makkah. Serban dan sertifikat KH.
Mustaqim disimpan oleh KH. Arif Mustaqim. Sebelum menerima sertifikat tersebut,
KH. Arif Mustaqim sudah inkisyaaf (diperlihatkan hal-hal sirri) bertemu dengan
KH. Mustaqim yang menggunakan jubah, kopiah dan sorban (menggunakan pakaian
haji).
KH. Mustaqim
dikaruniai kelebihan oleh Allah bisa berbicara dengan menggunakan bahasa orang
yang sedang bertamu (sowan). Menurut K. Lamri Kedung Sigit, Karangan,
Trenggalek, KH. Mustaqim pernah menerima tamu dari India yang tidak membawa
penerjemah bahasa. KH. Mustaqim langsung menemui tamu tersebut dan
bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa India. K. Lamri tetap mendengarkan
pembicaraan beliau sambil menyapu di halaman mushalla.
Menurut Pak
Ahmad bin Badri Jeli, Karangrejo, Tulungagung, pada saat dia berkelana selama
18 tahun, hingga anak dan cucunya lahir dia tidak mengetahuinya. Di dalam
perjalanan berkelananya, dia sempat bertamu (sowan) kepada KH. Muhammad Dalhar
Magelang (yang makamnya ada di Gunung Pring), Pak Ahmad bin Badri ditanya oleh
KH. Muhammad Dalhar, “Anda dari mana?”. Kemudian Pak Ahmad bin Badri menjawab
bahwa dia berasal dari Jeli, Karangrejo, Tulungagung. Kemudian KH. Muhammad
Dalhar bertanya lagi, “Sudah tahu KH. Mustaqim Kauman Tulungagung?. Pak Ahmad
bin Badri menjawab, “Sudah, saya sudah tahu beliau. Malah bapak saya ikut
amalan thariqah KH. Mustaqim”. Kemudian KH. Muhammad Dalhar berkata, “Bahwa KH.
Mustaqim itu adalah Wali Quthub yang derajat kewaliannya mastur”. Padahal di
daerah Tulungagung dan sekitarnya, banyak yang tidak mengetahui KH. Mustaqim.
Yang mereka ketahui hanya Pak Takim tukang potong rambut.
KH. Mustaqim
juga membaiat Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Qadiriyah wa Al-Naqsyabandiyah. Beliau
menerima baiat dari KH. Khudlari bin Hasan Malangbong, Garut, Jawa Barat. KH.
Mustaqim menimba ilmu yang banyak sekali dari KH. Khudlari bin Hasan, termasuk
belajar ilmu syari’at lengkap selama 6 bulan.
KH. Mustaqim bin Husain Wafat
Pada tahun 1970, pada hari Ahad tanggal
1 Muharram setelah Ashar, di mana di situ terdapat 4 orang yang menemani KH.
Mustaqim yang sedang naza’ . Salah satunya adalah Mayor TNI AD Shomad Srianto
(mantan komandan KODIM Tulungagung). Pada saat naza’ , KH. Mustaqim kelihatan
nafasnya tersendat-sendat (idlthirob) dan sesak nafas. Akan tetapi sesak nafas
beliau ini bukan berarti tanda-tanda su’ul khatimah . Menurut kitab Tanbihul
Mughtarrin halaman 45, jika ada guru mursyid pada saat naza’ -nya terlihat
kesakitan dan sesak nafas/nafas tersendat-sendat, itu dikarenakan dua hal:
1. Karena sangat senang akan bertemu
dengan Allah.
2. Karena rasa kasihan beliau kepada
semua murid beliau, ingin memberikan pendidikan (tarbiyah) kepada para murid
hingga mencapai ma’rifat billah .
Oleh karena itu, karena saling tarik
menariknya dua hal tersebut, sehingga jasad beliau terlihat mengalami nafas
tersendat-sendat.
Putra-Putri KH. Mustaqim bin Husain
dengan Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah
1. Ibu Nyai Thowilah Sumaranten.
2. Bapak KH. Arif.
3. Bapak Muhsin.
4. Bapak Yasin.
5. Ibu Maratun.
6. Bapak KH. Abdul Ghafur.
7. Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah.
8. Bapak KH. Kyai Ali Murtadlo.
9. Romo KH. Muhammad Abdul Jalil.
10. Ibu Nyai Siti Makhfiyah.
11. Bapak Hanshon Athlab.
SYEKH Ahmad
Asrori Al-Ishaqi
Beliau masih
muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh Jawa hingga Jakarta dan
Asia Tenggara seperti dalam genggaman pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori Al
Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur.
Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun
2006 lalu kawasan Lapangan Mataram Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh
masyarakat yang ingin berolah raga ringan, berbelanja dan sekedar jalan jalan
untuk menikmati udara pagi, hari itu tampak lain dari hari-hari minggu
sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh disibukkan oleh kehadiran puluhan ribu
masyarakat berbaju putih putih dari berbagai penjuru kota di Jawa untuk
mengatur arus lalu lintas. Saking padatnya, Jalan Wilis dan Sriwijaya merupakan
jalur utama jurusan Semarang Jakarta harus ditutup total selama 24 jam dan
disulap menjadi area parkir kendaraan roda dua dan empat atau lebih. Bahkan
malam sebelumnya puluhan rombongan bis bis pariwisata dan reguler serta ratusan
kendaraan pribadi sudah memasuki wilayah Kota Pekalongan yang terkenal dengan
industri batiknya menuju satu titik, yakni Lapangan Mataram. Ada apa gerangan ?
Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang
dari lima puluh ribu kaum muslimin dan muslimat, dari anak-anak hingga orang
dewasa dari berbagai penjuru tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan
istighotsah, manaqib Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar
dalam rangka “Haflah dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin
Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama
kharismatik penyejuk ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur,
yakni KH. Ahmad Asrori Utsman Al Ishaqi.
Suara gema istighotsah dan tahlil akbar
mengguncang langit Kota Pekalongan di pagi hari menembus cakrawala hingga
radius dua kilometer. Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk
masyarakat sibuk dengan urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema
istighotsah dan tahlil. Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio
yang sudah punya nama di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM,
Radio Abirawa Top FM dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi
hari yang cerah dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan
menyebut asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang
oleh kondisi zaman.
“Kegiatan bertaraf internasional ini
diselenggarakan tidak hanya semata-mata mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil
Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan
sesepuh para ulama, syuhada’ dan sholihin serta ummat Islam yang telah ikut
berjasa dalam pengembangan agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan
sekitarnya”, ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin,
SH. kepada NUBatik Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu
antusias mengikuti acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan.
Bayangkan saja, lapangan Mataram yang
cukup luas itu disulap oleh panitia menjadi arena berdzikir bak tenda besar.
Seluruh lapangan tertutup rapat oleh tenda tidak kurang dari 250 set layos
(tratag) dan di dalamnya membentang panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter
persegi dengan dekorasi yang cukup mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan
waktu tiga hari memasangnya dan pihak panitia mendatangkan secara khusus
panggung dan dekorasi dari Ponpes Al Fithrah Semarang.
Bahkan untuk mengcover arena agar
seluruh peserta dzikir dapat mendengar dengan baik, pihak panitia mendatangkan
secara khusus sound system berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang
diangkut satu truk tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan
kekuatan masing masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir
dapat mengikuti acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya
kekuatan sound system, acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer.
Mayoritas jama’ah yang hadir memang
datang dari seluruh pelosok Jawa Tengah. “Kami sengaja hadir di majelis ini, karena
pada tahun ini hanya diselenggarakan di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara.
Dirinya membawa beberapa bis untuk mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara.
“Kegiatan tahun kemarin di Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih
besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami bawa”
kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada juga diungkapkan Rohman pimpinan
rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal Salatiga. Selain Jawa Tengah, tidak
sedikit pula rombongan berasal dari Jawa Timur, Madura, Jawa Barat dan Jakarta.
Hal ini terlihat dari kendaraan berplat nomor AG, L, W, N, B dan lain lain.
Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal mancanegara, seperti Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam dan Timur Tengah.
Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung
di sekitar Lapangan Mataram seperti Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan
Podosugih, Balai Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai
Latihan Kerja (BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi
menjadi tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai
Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai masyarakat dan menyejukkan hati,
jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya menjadi
tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota Pekalongan. Bahkan
Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak tersebar di kawasan jalur Pantura
secara ikhlas menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para tetamu yang
telah hadir pada malam sebelumnya.
Uswah khasanah
Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang
mempersatukan mereka, bahkan rela berdesak-desakan selama berjam-jam ?
jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku
Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada
Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH.
Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat
sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal
Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau
mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra
aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir
Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian
diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon
pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di
tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya,
sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di
kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid,
secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah
milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar
lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya
raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi
Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan
menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”,
ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu
Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra
putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren
mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar
mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses
pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya
boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas
keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori
tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan
tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para
selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah
sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing
dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa,
namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun
namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan
selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima
tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang
besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak
sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai
pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang
badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama
“orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya
rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri
kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah
tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari
kalangan sipil maupun militer.
Keturunan Rasulullah ke-38
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki
darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni
Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana
Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai
Utsman berputra 13 orang. Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman
– Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan
Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran
Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin
Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul
Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan
– Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi –
Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi –
Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali
Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti
Rasulullah SAW.
Baiat thariqah
Kini, ulama yang usianya belum genap
lima puluh tahun itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya
ahli thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di
seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu
khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik
bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam
pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah,
tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).
Untuk menapaki level level itu, tiap
jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah
berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi
(dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan
berupa khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.
Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang
dirasakan berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya.
Jika kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah
sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing
untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid
Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab
besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya
selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara
rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad
awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah
melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah
menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya,
sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima
radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu
memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di
Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio
Suara Tegal berada di Slawi.
Radio radio inilah setiap harinya
mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan,
meski mereka tidak atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh
tidak ada halangan baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang
lewat istighotsah di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar
lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul
Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio
ternama di Kota Pekalongan dan Batang.
Dalam setiap memberikan siraman rohani,
Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al
Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian
yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan
masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa
Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara
penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup
menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur
seorang ulama asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada
tandingnya, baik ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.
Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah
Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di
dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan
pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup
menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya
murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah
menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid
murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga
amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.
Di sisi lain banyaknya murid juga
mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir
dengan baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang
mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah
di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga
diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah
melaksanakan amalan amalan dari gurunya.
Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah
Al Khidmah”. Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005
kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah
menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib
serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan
Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah,
Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan lain lain.
H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi
ini sengaja dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik
praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan
teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang
belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari
merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati
oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.
Meskipun di wilayah ini belum banyak
yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan
kalem dan sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk
bersimpuh bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan
lainnya untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah
Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak
dilupakan ummat Islam.
Acara ini memang tergolong khusus,
pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh
ummat Islam. sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat
perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW
asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir
itu mengatakan, sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena
beliau mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu
Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini
digelar”, ujarnya usai acara. [mu’is]
BIOGRAFI KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI
KEDINDING SURABAYA PART II
KH. Ahmad Asrori
Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok
Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di
Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri
Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman
Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri,
karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah
mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat
Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran
paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia
dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur.
Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai
Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal
dari sini.
Tugas sebagai
mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak
pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang
sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret
1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat
kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori
terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia
mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan
sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum
dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang
sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak
memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas
politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah
berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang
membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka
bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa
membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan
banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar
luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan
kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu
meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia
berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang
mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori
adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar
dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos
relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya,
sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya
tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo
satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal
itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti
memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun
belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca
dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di
kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa
melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu
yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu
laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum
atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya
saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang
mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya
yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, yaitu 30 tahun.
Wassalam
KH. Ahmad Asrori
Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok
Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di
Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri
Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman
Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri,
karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori
memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke
38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada
Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.
Kiai Utsman berputra 13 orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman
– Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan
Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran
Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin
Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul
Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan
– Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi –
Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi –
Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali
Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti
Rasulullah SAW.
Semasa hidup,
Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia
Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki
penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara
Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan
timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai
Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai
Asrori berawal dari sini. Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid
kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur.
Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai
Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977),
beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah
Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping
Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet
kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke
Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman
menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin
membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka
lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu
itu.
Dakwahnya
dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil
dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli,
sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu
asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan
masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima
kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil
sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya. Kini, di atas lahan seluas 2,5
hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan
santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak
pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang
belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses
pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar. Itulah Kiai Asrori,
keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di
samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat
ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia
lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat
hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para
pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada
mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak
diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun
demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat
menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah,
termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut
pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan
suguhan untuk tamu. Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa
mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok
pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang
badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama
“orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya
rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri
kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah
tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari
kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai
mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak
pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang
sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret
1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat
kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori
terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia
mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan
sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum
dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang
sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu
organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri
tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang
diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa
muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah
sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan
mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti
organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka
jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura
dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori
terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih
dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke
suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan. Kiai Asrori adalah pribadi
yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya
yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di
kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai
Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak
teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu
tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu
dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi,
“biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak
tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan
kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren,
kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar
yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh
langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya
adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran
anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan
ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai
Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang
lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun. Telah meninggal
dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH.
ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding Surabaya Beliau adalah mursyid Thoriqoh
Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni
semua dosanya
Kiai As’ad, yang rajin membaca dan
berlangganan enam koran ditambah sebuah majalah mingguan berdarah Madura asli.
Lahir tahur 1897 di Mekah ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji. Satu
satunya adiknya, Abdurrahman juga lahir di kota suci itu dan bahkan menjadi
hakim dan meninggal di Arab Saudi. Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H.
Syamsul Arifin, seorang ulama besar di Madura, K.H. As’ad ditaruh di Pesantren
Sumber Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun, As’ad diajak ayahnya
menyeberangi laut dan membabat hutan disebelah timur Asembagus yang waktu itu
terkenal angker “Dulu tidak ada orang, kecuali ha- rimau dan ular berbisa,”
kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan itu, mereka membangur
permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo. Pada usia 16 tahun, bersama
seorang adiknya, Abdurrahman. As’ad dikirim kembali ke Mekah dengan harapan
setelah pulang mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3 tahun bertahan di Mekah ,
ia kembali ke tanah air dan masih belajar
di beberapa pesantren. Di berbagai
pondok ini, bukan cuma agama yang dipelajari, juga ilmu silat, ilmu kanuragan. As’ad
juga pernah belajar di Pondok Tebuireng pimpinan K.H. Hasyim Asyari, dan
menjadi kurir ulama ini menjelang lahirnya NU tahun 1929. Setelah NU berkembang,
ia ternyata tak terpaku hanya pada NU. As’ad juga memasuki Sarekat Islam selama
pernah menjadi anggota organisasi Penyedar – yang didirikan Bung Karno. Di
sinilah, As’ad kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di tengah gejolak
perjuangan itu (1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah. Dan kini
dikaruniai lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid, kini baru
14 tahun. Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya sembilan
cucu serta tiga buyut. Pada masa mudanya, KH R. As’ad muda menghabiskan masa
lajangnya di berbagai pondok pesantren di pulau jawa. Beberapa PONPES yang
pernah beliau tempati dalam mengais ilmu agama, antara lain PP Demangan
Bangkalan asuhan KH. Cholil, PP Panji, Buduran, PP Tetango Sampang, PP Sidogiri
Pasuruan, PP Tebu Ireng Jombang dan berbnagai PONPES lainnya di Pulau Jawa dan
Madura. Setelah malang melintang di berbagai pesantren beliau melanjutkan
studinya ke Makkatal Mukarromah dan disana beliau berguru kepada Ulama’-ulama
besar seperti Sayyid Muhammad Amin Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid
Hasan Al-Yamani dan Syekh Abbas Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.
Kiai As’ad dan NU
Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa
peranan ulama besar ini, KHR. As’ad adalah sosok kyai yang dari awal telah
menganut paham-paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan selalu menghiasi kehidupan
dalam kesehariannya dengan budaya-budaya ke-NU an. Saat menjadi santri KH. Cholil
bangkalan, Kyai As’ad muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa
dimana terjadi peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite HIjaz “ menjadi
“jam’iyah” Kyai As’ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian
isyaroh KH. Cholil kepada KH. Hasyim As’ari Jombang. Beliau diutus oleh Kyai
Cholil pada tahun 1924 beliau menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thoha
ayat 17 s/d 23, pada tahun 1925 beliau kembali di utus menyampaikan hasil
istikhoroh gurunya kepada KH. Hasyim As’ari, beliau kembali kejombang dengan
seuntai tasbih dan bacaan ya jabber, ya qohhar 3x. Pada tahun 1945, ketika
Laskar Hisbullah dibentuk Kyai As’ad langsung bergabung dan memimpin pasukan
bergerilya di daerah besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau pimpin
adalah bara mantan bajingan, mereka dihimpun dalam barisan pelopor yang
kemudian engambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan penumpasan PKI di
Situbondo 1965.
Setelah pemilu 1955, Kyai As’ad menjadi
anggota konstituante sampai tahun 1959. setelah Lembaga itu di bubarkan oleh
Bung Karno beliau tidak banyak beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971,
Kyai As’ad menjadi DPRD Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukun
PPP karena NU saat itu mendukung PPP. Selain itu, Kyai As’ad merupakan salah
satu diantara sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang
terjadi antara pemerintah dan umat islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang
tegas dantangkas sertabijaksana, beliaiu mampu memainkan perannya sebagai
ulama’ NU (pengayom Masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.
Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan
pada tahun 1982 mengenai masalah mata
pelajaran PMP yang menjadi kontrofersi
antara umat islam dan pemerintah,
tanpa banyak bicara beliau langsung
menemui presiden soeharto dan menunjukan
beberapa hal yang mestinya dikoreksi,
tidak beberapa lama, dalam tahun itu
juga PMP yang menuai kontrofersi
tersebut direvisi dan disempurnakan oleh
pemerintah.
Begitu pula ketika terjadi konflik
antara Muslimin Indonesia vs NU dalam
tubuh PPP dan rencana pemerintah
memberlakukan Pancasila sebagai
satu-satunya azas Organisasi Sosial,
Politik maupun kemasyarakatan,
tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi’iyah
berkumpul ratusan Ulama’ NU untuk
mengadakan Musyawarah Nasional (Munas)
yang berlangsung pada tanggal 18-21
Desember 1983. ketika semua Ormas Islam
benyak menolak azas pancasila,
justru Munas menerimanya dan
menganggapnya tidak bertentangan dengan aqidah
islam dan Munas tersebut memutuskan
mengembalikan NU kegaris dan landasan
asalnya, yang kemudian popular dengan
istilah kembali ke khittah 1926.
Inilah sebagian dari peran Kyai As’ad
dalam memulihkan keutuhan NU dan Umat
Islam di Negara ini.
Pesantren Sukorejo di bawah K.H. As’ad
kini berkembang dengan pesat.
Terletak di pinggir jalan raya Situbondo
Banyuwangi, 7 km sebelah timur
Kecamatan Asembagus. Dipintu gerbangnya
tertulis bahasa Arab Ahlan Wa Sahlan
dan bahasa Inggris Welcome. Di pondok
ini selain dikembangkan pendidikan
gaya pesantren, juga ditumbuhkan
pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas
Ibrahimy. Santri yang mengaji d
pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung
semua siswa (santri dan murid sekolah
umum) berjumlah 4.100 orang. Kompleks
ini dijuluki “ kota santri”. Apalagi ada
lapangan di tengah pondok dan santri
setiap saat terlihat main bola – memakai
sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang
tidak begitu besar. Tetapi As’ad
membangun masjid yang jauh lebih besar
di luar kompleks Barangkali
dimaksudkan agar para santrl lebih
menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias
ini pernah mempunyai seekor kuda
putih warna kegemarannya. “Nabi Ibrahim
kudanya juga putih,” katanya tentang
kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati
dan belum ditemukan kuda putih sebagai
pengganti. Namun, ada “kuda” lebih gesit
yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu
mobil kolt. Juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam
hutannya, kiai ini juga memelihara
seekor burung beo yang pintar berbicara.
Jika ada tamu yang datang, burung
itu memberi salam: assalamu’alaikum. Dan
bila sang tamu membalas tegur sapa
sang beo, biasanya tamu lantas ketawa,
lantaran si beo membalas dengan
kata-kata assooiiii … Tapi burung beo
itu pun, menurut santrl di sana ,
menyerukan Allahuakbar bila bergema
suara azan. “Burung ini pemberian orang
sebagai hadiah,” kata seorang pembantu
Kiai As’ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren
yang populer di Jawa Timur ini.
Termasuk Kiai As’ad sendiri. Pasalnya,
adalah soal usia Kiai yang sudah
cukup sepuh, sementara pewaris
satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat
muda. “Saya tak tega menyekolahkan Ahmad
ke Arab Saudi, usianya masih muda –
mungkin tiga tahun lagi,” ujar Kiai.
“Sang putra mahkota”, walau tekun juga
mengaji bersama teman sebayanya,
kamarnya penuh dengan kaset, radio,
televisi, bahkan video. Sebagai anak
muda, “hampir setiap saat ia tenggelam
dengan hiburan itu,” ujar seorang
pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid memang
disediakan kamar khusus yang jauh dari
rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak
beberapa waktu lalu telah ditunjuk K.H.
Dhofir Munawar, menantu Kiai As’ad
dari anak pertamanya, sebagai pengelola
pesantren sehari-hari.
SETELAH menjadi anggota Konstituante
(1959), ia tak lagi tergiur pada
jabatan politik. Ia menolak jabatan yang
disodorkan Bung Karno untuk menjadi
menteri agama di zaman Nasakom. Bahkan,
sebagai ulama yang cukup terpandang
di kalangan Nahdatul Ulama (NU), ia juga
menolak ketika ditawari untuk
menjadi rois am, bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin,
pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah
Syafiiyah, Desa Sukorejo, Kecamatan
Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur, agaknya memang hanya tertarik
mengurusi pesantrennya. “Saya ini bukan
orang politik, saya ini orang
pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu.
Lebih-lebih karena pengalaman selama
menjadi anggota Konstituante
(1957-1959): selama itu pula
pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As’ad menyembunyikan
diri dari keriuhan politik dan
hingar-bingar NU, yang sampai kini tak
pernah selesai tuntas. Terbukti dari
kegiatannya menerima tamu yang tak
putus-putusnya. Banyak pengamat menilai,
Kiai As’ad adalah salah seorang dari
sedikit ulama yang pandai menjembatani
jika ada “ketegangan” antara pemerintah
dan umat Islam, khususnya NU. Ketika
ribut-ribut soal buku PMP, Kiai As’ad
tanpa banyak bicara, langsung menemui
Pak Harto. “Bagaimana Pak, buku PMP ini
‘ kan bisa merusak akidah umat
Islam,” kata Kiai mengulang pembicaraan
yang sudah setahun lebih itu.
Berbicara begitu, Kiai As’ad memberi
beberapa contoh yang semestinya
dikoreksi. Pak Harto, menurut Kiai,
berjanji akan menyelesaikannya.
“Ternyata buku itu akhirnya
disempurnakan,” kata Kiai, yang sudah 15 kali ke
Mekah.
Di saat ribut-ribut soal asas tunggal
Pancasila, awal Agustus, untuk
kesekian kalinya, Kiai As’ad menemui Pak
Harto di Cendana. Pertemuan itu,
yang dihadiri juga oleh Menteri Agama
K.H. Munawir Syadzali yang
direncanakan cuma 15 menit, mekar
menjadi 1 jam. Kepada Presiden ditegaskan
pendirian NU yang menerima Pancasila.
“Ini penting ditegaskan, karena NU
sejak semula berlandaskan Pancasila dan
UUD 45,” tuturnya. Presiden, menurut
Kiai, manggut-manggut. Bahkan Kiai As’ad
lebih menegaskan, “Islam wajib
menerima Pancasila, dan haram hukumnya
bila menolaknya. Sila pertama itu
selaras dengan doktrin tauhid dan
Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut NU, Rois Am K.H. Ali
Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya,
mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad
dipercayai menjadi “penengah”
penyelesaian kericuhan setelah K.H.
Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan
PBNU, menyatakan mundur – tapi kemudian
mencabut pernyataan itu.
Di pesantrennya, Kiai menempati rumah
sederhana berdinding papan berukuran 3
x 6 meter. Rumah yang terletak di antara
asrama santri wanita dan santri
pria itu tergolong paling jelek di Desa
Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu
boleh berkunjung ke rumah itu – sebab
yang diterima di sana hanya yang sudah
dianggap keluarga. Para pejabat, dari
lurah sampai menteri, diterima di
rumah yang lebih bagus, milik anaknya.
Di rumah si anak tersedia ruang
berukuran sekitar 30 m2 yang digelari
permadani untuk tamu yang ingin bermlm
TANBIH
Bismillahir
Rohmanirrohiim
Tanbih
ini dari Syekhuna Almarhum Syekh Abdullah Mubarrok bin Nur Muhammad
yang bersemayam di patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah.
Sabda
beliau khususnya kepada segenap murid – murid pria maupun wanita, tua maupun
muda :
Semoga
ada dalam kebahagiaan, dikaruniai Allah SubhanahuWa Ta’ala kebahagiaan yang
kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan dalam lingkungan kita
sekalian.
Pun
pula semoga Pimpinan Negara bertambah kemuliaanya dan keagunganya supaya dapat
melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan aman, adil dan makmur
dhohir mupun bathin.
Pun
kami tempat orang bertanya tentang THOREQOT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH,
menghaturkan dengan tulus ikhlas wasiat kepada segenap murid – murid :
Berhati
hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan
peraturan AGAMA maupun NEGARA.
Taatilah
kedua – duanya tadi sepantasnya demikianlah seharusnya sikap manusia yang tetap
dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Hadhirat Ilahi
Robbi yang membuktikan perintah dalam AGAMA maupun NEGARA.
INSYAFILAH
HAI MURID – MURID SEKALIAN !, jangan terpaut oleh
bujukan nafsu, terpengaruh oleh godaan syetan, WASPADALAH akan jalan
penyelewengan terhadap terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA agar
dapat meneliti diri, kalau – kalau tertarik oleh bisikan iblis yang selalu
menyelinap dalam hati sanubari kita semua.
Lebih
baik buktikanlah kebajikan yang timbul dari kesucian :
1.
Terhadap orang –orang yang derajatnya
lebih tinggi dari pada kita, baik dhohir maupun batin, harus kita hormati
begitulah seharusnya hidup rukun, saling harga menghargai.
2.
Terhadap sesama yang sederajat dengan
kita dalam segala –galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaiknya
harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah AGAMA
maupun NEGARA, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan,
kalau – kalau kita terkena FirmanNYA “ AZABUN ALIIM “, yang
berarti duka nestapa untuk selama – lamanya dari DUNIA sampai AKHIRAT
( badan payah hati susah ).
3.
Terhadap orang – orang yang keadaanya
ada dibawah kita, janganlah hendak menghinakanya atau berbuat tidak senonoh,
bersikap angkuh, sebaiknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka
merasa senang dan gembira hatinya, jangan smpai merasa takut dan liar,
sebaliknya harus dituntun, dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan
memberikan keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
4.
Terhadap fakir miskin, harus belas kasih
sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan
bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika
dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlh acuh tak acuh, hanya diri
sendiri yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukanya kehendak
sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Demikian
sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran, meskipun terhadap orang asing
karena mereka masih keturunan Nabi Adam Alaihi Salaam, mengingat ayat 70 Surat
AL-Isro yang artinya :
“Sangat
kami muliyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala apa yang didarat dan di
lautan. Dan kami beri mereka Riski yang ada didarat dan dilautan. Juga kami
mengutamakan mereka lebih utama dari makhluk lainya.”
Kesimpulan
dari ayat ini, bahwa kita sekalian seharusnya saling menghargai, jangan timbul
kekecewaan, mengingat Surat AL-Maidah, yang artinya :
Hendaklah
tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan dengan
sungguh – sungguh terhadap AGAMA maupun NEGARA. Sebaliknya
janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah AGAMA
maupun NEGARA.
Adapun
soal keagamaan, itu terserah agamanya masing – masing, mengingat Surat
Al-Kafirun ayat 6 : AGAMAMU UNTUK KAMU, AGAMA KU UNTUK AKU,
maksudnya jangan sampai terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan
damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali – kali ikut campur.
Cobalah
renungkan pepatah leluhur kita : Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan
damai, andaikan tidak demikian, pasti “ Sesal dahulu pendapatan, Sesal
kemudian tak berguna” karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu
adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam
Surat An-Nahl ayat 112 diterangkan bahwa:
Tuhan
Yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat maupun kampung,
desa maupun Negara yang dahulunya aman dan tenteram, gemah ripah, loh jinawi,
namun penduduknya mengingkari nikmat – nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah
bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang disebabkan sikap dan
perbuatan mereka sendiri.
Oleh
karena itu, hendaklah murid – murid bertindak teliti dalam segala jalan yang
ditempuh, guna kebaikan dhohir, bathin, dunia maupun akhirat, hati tenteram,
jasad nyaman, jangan sekali – kali timbul persengketaan, tidak lain tujuan kita
adalah “BUDI UTAMA JASMANI SEMPURNA” ( CAGEUR – BAGEUR ).
Tiada
lain amalan kita, THOREQOT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH, amalkan
sebaik – baiknya guna mencapai segala kebajikan, menjauhi segala kejahatan
dohir maupun bathin yang bertalian dengn jasmani mupun rohani, yang selalu
diliputi bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan.
Wasiat
ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh segenap murid – murid agar supaya
mencapai keselamatan DUNIA dan AKHIRAT.
Aamiin…
PATAPAN
SURYALAYA, 13 Februari 1956
Wasiat
ini disampikan kepada sekalian ikhwan
t.t.d
(Syekh
Akhmad ShohibulWafa Tajul Arifin)
Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu
URUTAN
DAN TATA CARA MANAQIB TQN SURYALAYA
Manaqib
adalah salah satu pilar dari pengamalan tarekat Qodiriyyah WannaqsyabandiyyAh
Suryalaya sebelum upacara dimulai terlebih dahulu diberikan penjelasan oleh
sesepuh atau yang dipercaya untuk memimpin jalanya manaqib agar peserta yang
hadir berdisiplin, khusyu dan tawadhu hati harus selalu ingat kepada Allah
dalam mengikuti upacara manaqiban sampai selesai :
Urutan susunan mata acara manaqib :
1.
Pembukaan
2.
Pembacaan Ayat Suci Al-Quran ( Jika
ada Qari )
3.
Pembacaan Tanbih
4.
Pembacaan tawasul
5.
Pembacaan manaqib
6.
Dawah / ceramah dari mubaligh
7.
Pembacaan shalawat bani hasyim
8.