Jadual Shalat Kab Pamekasan

Sabtu, 30 Juni 2012

Para Syaikh Sufisme Thoriqoh


Tarekat ini dimasyhurkan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Al-Uwaisi al Bukhari Naqsyabandi Q.S. (Mursyid yang berada pada silsilah ke-15 dalam Tarekat Naqsyabandiyah). Pada sumber lain nama beliau ditulis Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukharisementara ada pula yang menyebutnya dengan nama Bahauddin Shah Naqsyabandi.  Beliau lahir di Qashrul ‘Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah (Uzbekistan), pada Muharram tahun 717 H, atau tahun 1318 Masehi. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab sa’adah (bentuk jamak dari kata sayyid), sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, "Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid."
Shah Naqsyabandi diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk jamak dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’, yang dalam Persia berarti para kiai agung/mahaguru). Mahaguru tersohor pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Baba As Sammasi Q.S. (yang berada pada silsilah ke 13).
Ketika Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi melihat cahaya menyemburat dari arah Qashrul ‘Arifan, yaitu saat beliau mengunjungi desa sebelahnya. Menurut riwayat lain, tanda-tanda aneh yang muncul sebelum kelahiran Shah Naqsyabandi, berupa bau harum semerbak ke penjuru desa kelahirannya. Bau harum itu tercium ketika rombongan Khoja Baba Sammasi, bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu Khoja Baba Sammasi berkata, "Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki-laki yang akan lahir di desa ini." Sekitar tiga hari sebelum Shah Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Setelah Shah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Khoja Baba Sammasi di daerah Sammas (sekitar 4 km dari Bukhara). Khoja Baba Sammasi menerimanya dengan gembira dan berkata, "Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya."
Sumber lain meriwayatkan, setelah 18 tahun Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya kehadapan dirinya dan langsung dibai’at. Beliau lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.

Sebelum meninggal dunia, Khoja Baba Sammasi memberi wasiat kepada penerusnya, Syaikh As Sayyid Amir Kulal Q.S. (silsilah ke 14), agar mendidik Shah Naqsyabandi meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Tarekat ini dimasyhurkan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Al-Uwaisi al Bukhari Naqsyabandi Q.S. (Mursyid yang berada pada silsilah ke-15 dalam Tarekat Naqsyabandiyah).  Pada sumber lain nama beliau ditulis Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari sementara ada pula yang menyebutnya dengan nama Bahauddin Shah Naqsyabandi.  Beliau lahir di Qashrul ‘Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah (Uzbekistan), pada Muharram tahun 717 H, atau tahun 1318 Masehi. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab sa’adah (bentuk jamak dari kata sayyid), sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, "Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid."
Shah Naqsyabandi diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk jamak dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’, yang dalam Persia berarti para kiai agung/mahaguru). Mahaguru tersohor pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Baba As Sammasi Q.S. (yang berada pada silsilah ke 13).
Ketika Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi melihat cahaya menyemburat dari arah Qashrul ‘Arifan, yaitu saat beliau mengunjungi desa sebelahnya. Menurut riwayat lain, tanda-tanda aneh yang muncul sebelum kelahiran Shah Naqsyabandi, berupa bau harum semerbak ke penjuru desa kelahirannya. Bau harum itu tercium ketika rombongan Khoja Baba Sammasi, bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu Khoja Baba Sammasi berkata, "Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki-laki yang akan lahir di desa ini." Sekitar tiga hari sebelum Shah Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Setelah Shah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Khoja Baba Sammasi di daerah Sammas (sekitar 4 km dari Bukhara). Khoja Baba Sammasi menerimanya dengan gembira dan berkata, "Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya."
Sumber lain meriwayatkan, setelah 18 tahun Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya kehadapan dirinya dan langsung dibai’at. Beliau lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.

Sebelum meninggal dunia, Khoja Baba Sammasi memberi wasiat kepada penerusnya, Syaikh As Sayyid Amir Kulal Q.S. (silsilah ke 14), agar mendidik Shah Naqsyabandi meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"

Meniti Suluk Sufi

Shah Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf. Beberapa sumber sepakat, beliau belajar tasawuf kepada Khoja Baba Sammasi sejak berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya wafat. Sebelum Khoja Baba Sammasi wafat, beliau mengangkat Shah Naqsyabandi sebagai khalifahnya.
Shah Naqsyabandi berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulal di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Khoja Baba Sammasi. Antara lain berupa ajaran, bahwa jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan Guru.
Shah Naqsyabandi juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Shah Naqsyabandi ketika dihentikan oleh seorang laki-laki berkuda yang memerintahkan kepada dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tapi sopan, ia menolak seraya menyatakan bahwa ia tahu siapa laki-laki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh, meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Shah Naqsyabandi.
Setiba di hadapan Sayyid Amir Kulal, Shah Naqsyabandi langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS itu? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!"
Di bawah asuhan Sayyid Amir Kulal, Shah Naqsyabandi mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya secara rohani mendapat pengajaran dari Syaikh Abdul Khalik Fajduani Q.S. (silsilah ke 9). Sehingga, meskipun Shah Naqsyabandi belajar tasawuf dari Khoja Baba Sammasi, dan tarekat yang diperoleh dari Sayyid Amir Kulal juga berasal dari Khoja Baba Sammasi, namun Tarekat Naqsyabandiyah tidak persis sama dengan Tarekat As Sammasi. Dzikir dalam Tarekat As Sammasi diucapkan dengan suara keras bila dilaksanakan berjamaah, namun bila dilakukan sendiri-sendiri adalah dzikir qalbi. Sedangkan dzikir Tarekat Naqsyabandiyah adalah dzikir qalbi, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Sesungguhnya dzikir qalbi yang dikembangkan oleh Tarekat Naqsyabandiyah ini telah diajarkan oleh Syaikh Abu Yakub Yusuf Al-Hamadani q.s. (silsilah ke 8). Beliau adalah seorang sufi yang hidup sezaman dengan wali akbar Syaikh Abdul Qadir Jaelani Q.S. (470 - 561 H/1077 - 1166 M). Syaikh Al-Hamadani mempunyai dua orang khalifah utama, yaitu, Syaikh Abdul Khalik Fajduani - wafat 1220 M, dan Syaikh Ahmad Al-Yasawi - wafat 1169 M.
Syaikh Abdul Khalik Fajduani inilah yang meneruskan silsilah tarekat ini sampai dengan Syaikh Bahauddin Shah Naqsyabandi. Syaikh Abdul Khalik Fajduani menyebarluaskan ajaran tarekat ini sampai ke daerah Transoxania di Asia Tengah. Adapun dari Syaikh Ahmad Al-Yasawi kemudian muncul dan berkembang Tarekat Yasawiyah di Asia, lalu menyebar ke daerah Turki dan Anatolia - Asia Kecil.
Syaikh Abdul Khalik Fajduani yang tarekatnya disebut Khwajakhan atau Khwajakhaniah (Baca : Mozaik No. 05/2009 ), telah menetapkan 8 (delapan) ajaran dasar tarekatnya, yang kemudian ditambah 3 (tiga) ajaran dasar lagi oleh Syaikh Bahauddin Shah Naqsyabandi.
Dalam perjalanan hidupnya, Shah Naqsyabandi pernah bekerja untuk Sultan Khalil, penguasa Samarkand dan memberi andil yang besar dalam membina masyarakat menjadi makmur sehingga pemerintahan Sultan Khalil menjadi terkenal. Setelah Sultan Khalil wafat (1347 M), Shah Naqsyabandi pergi ke Zerwatun (Khurasan) dan hidup sebagai sufi yang zuhud, sambil melakukan amal kebaikan untuk umat manusia dan alam selama 7 tahun. Pencatatan segala amal perbuatannya dilakukan dengan baik oleh salah seorang muridnya yang setia, bernama Saleh bin al-Mubarak. Himpunan catatan tersebut dimuat dalam sebuah karya berjudul, "Maqamaat Sayyidina Syah Naqsyaband."

Profile Hadrotus Syaikh Mohammad Bahauddin An-Naqsyabandy



Syeikh Bahauddin Naqsybandi.QS(ahli sisilah-15 dari rantai emas Naqsyabandiah) adalah Samudra Ilmu yang tak bertepi. Ombaknya dianyam oleh mutiara Ilmu Ilahi. Beliau menjernihkan kemanusiaan dengan Samudra Kemurnian dan Kesalehan. Beliau melepaskan dahaga jiwa dengan air yang berasal dari dukungan spiritualnya. Seisi dunia, termasuk samudra dan benua, berada dalam genggamannya. Beliau adalah bintang yang berhiaskan Mahkota Petunjuk. Beliau mensucikan seluruh jiwa manusia tanpa kecuali dengan nafas sucinya.Cahayanya menembus setiap lapisan ketidakpedulian. Keluarbiasaannya melahirkan bukti terhempasnya asa tertepis dari keraguan hati kemanusiaan. Keajaibannya yang penuh kekuatan membawa kehidupan kembali ke dalam hati setelah kematiannya dan menyiapkan jiwa-jiwa dengan perbekalan mereka bagi kehidupan spiritual di masa mendatang. Beliau terpelihara di Maqam Busur Perantara tatkala beliau masih dalam buaian. Beliau menghisap nektar ilmu ghaib secara terus-menerus dari Cangkir Makrifat (Realitas). Segala Puji bagi Allah swt. yang telah mengirimkan seorang mujaddid (yang menghidupkan agama Islam dan menyesuaikan dengan Zaman). Beliau mengangkat hati manusia, menyebabkan mereka mengangkasa ke langit spiritual. Beliau membuat raja-raja berdiri di pintunya. Beliau menyebarkan petunjuknya dari Utara hingga Selatan, dan dari Timur hingga ke Barat. Beliau tidak meninggalkan seorang pun tanpa dukungan surgawi, termasuk binatang-binatang liar di rimba raya. Beliau adalah Ghawts teragung, Busur Perantara, Sultannya para Awliya, Kalung bagi seluruh mutiara spiritual yang dipersembahkan di alam semesta ini oleh Hadirat Ilahi. Dengan cahaya petunjuknya, Allah swt. membuat yang baik menjadi yang terbaik, dan mengubah yang jahat menjadi baik.

Beliau adalah Salah satu Guru dari tarekat ini dan syekh dari Mata Rantai Emas serta merupakan pembawa alur Khwajagan yang terbaik.
Beliau dilahirkan di bulan Muharram pada tahun 717 H/1317 M, di desa Qasr al-`Arifan, dekat Bukhara. Allah SWT menganugerahkannya kekuatan-kekuatan ajaib di masa kecilnya. Beliau telah diajari rahasia tarekat ini oleh guru pertamanya, Sayyid Syeikh Muhammad Baba As-Samasi QS (*13). Kemudian beliau diberikan rahasia dan kemampuan dari tarekat ini oleh Syaikhnya, Sayyid Amir al-Kulal QS (*14). Beliau juga merupakan Uwaysi dalam hubungannya dengan Rasulullah SAW, karena beliau dibesarkan dalam hadirat spiritual Abdul Khaliq fadjuwani al-Ghujdawani QS (*9) yang telah mendahuluinya selama 200 tahun.

Awal Mula dari Bimbingannya dan Bimbingan dari Awal Mulanya

Syah Naqsyband QS berumur delapan belas tahun ketika beliau dikirim kakeknya ke kampung Samas untuk melayani Syekh agung tarekat, Muhammad Baba as-Samasi QS., yang telah memintanya. Dari awal persahabatannya dengan syekh tersebut, beliau melihat anugerah yang tak terhitung di dalam dirinya, dan kebutuhan yang amat sangat akan kesucian dan ibadah. Dari masa mudanya, beliau bercerita,

Aku akan bangun lebih awal, tiga jam sebelum shalat Fajar, berwudhu, dan setelah melaksanakan shalat sunnah, aku akan bersujud, memohon pada Tuhan dengan doa berikut, “Wahai Tuhanku, berilah hamba kekuatan untuk menjalankan kesulitan-kesulitan dan rasa sakit dari Cinta-Mu.” Lalu aku akan shalat Fajar bersama dengan syekh.

Ketika beliau keluar, suatu hari beliau melihat ke arahku dan berkata, seolah-olah beliau telah bersamaku ketika aku berdoa tadi, “Wahai anakku, kau harus mengubah cara berdoamu. Daripada berkata,;Ya Allah swt! Anugerahkanlah ridha-Mu pada hamba yang lemah ini.; Tuhan tidak senang hamba-Nya berada dalam kesulitan. Walau Tuhan dalam kearifan-Nya mungkin memberikan kesulitan pada hamba-Nya untuk mengujinya, sang hamba tak boleh meminta untuk berada dalam kesulitan. Hal ini berarti tidak menghormati Tuhanmu.”

Ketika Syekh Muhammad Baba as-Samasi QS. wafat, kakekku membawaku ke Bukhara dan aku menikah di sana. Aku tinggal di Qasr al-Arifan, yang merupakan pemeliharaan yang khusus dari Allah swt. bagiku, karena aku menjadi dekat dengan Sayyid Amir Kulal QS. Aku tinggal dan melayaninya, dan beliau mengatakan padaku bahwa Syekh Muhammad Baba as-Samasi QS. telah berkata jauh hari sebelumnya bahwa “Aku tak akan senang denganmu bila engkau tidak memeliharanya dengan baik.”

Suatu hari, Aku duduk bersama seorang teman, dalam pengasingan (khalwat), tiba-tiba langit terbuka dan suatu pemandangan yang agung datang padaku dan Aku mendengar sebuah suara yang berkata, “Tidakkah cukup bagimu meninggalkan setiap orang dan datang ke Hadirat Kami sendirian saja?” Suara ini membuatku gemetar dan lari dari rumah itu. Aku berlari ke sebuah sungai di mana aku lalu menyeburkan diri. Aku mencuci pakaianku lalu shalat dua rakaat dengan cara yang belum pernah aku lakukan sebelumnya, aku merasa seolah-olah sedang shalat dalam Hadirat-Nya. Segalanya begitu terbuka ke dalam hatiku dalam bentuk tanpa sekat (kasyf). Seluruh semesta lenyap dan aku tak menghiraukan segala hal kecuali berdoa ke Hadirat-Nya.

Di awal keadaan ketertarikanku, Aku pernah ditanya, “Mengapa engkau ingin memasuki jalan ini?” Aku menjawab, “Agar segala yang aku katakan dan aku kehendaki akan terjadi.” Aku dijawab, “Itu mustahil. Segala yang Kami katakan dan segala yang Kami kehendaki, itulah yang akan terjadi.” Dan aku berkata, “Aku tak bisa melakukan hal itu. Aku harus diizinkan untuk berkata dan untuk melakukan segala yang aku suka, atau, aku tak menginginkan jalan ini. Lalu aku menerima jawabannya, “Tidak bisa. Segala yang Kami kehendaki untuk dikatakan dan apapun yang Kami kehendaki untuk terjadi pastilah terucapkan dan terjadi.” Lalu Aku berkata lagi, “Segala yang aku katakan dan segala yang aku kerjakan itulah yang pasti terjadi.” Kemudian aku pun ditinggalkan sendirian selama lima belas hari, hingga aku menderita depresi yang luar biasa. Kemudian aku mendengar sebuah suara, “Wahai Baha-uddin, segala yang kau inginkan, akan Kami kabulkan.” Aku amat bergembira. Aku berkata, “Aku ingin diberi sebuah tarekat yang akan memimpin semua orang yang berjalan di atasnya akan langsung menuju ke Hadirat Ilahi.” Dan Aku melihat suatu pemandangan yang agung dan sebuah suara berkata, “Yang kau minta telah dikabulkan.”

Kemajuan dan Perjuangannya dalam Tarekat

Syah Naqsybandi QS menyatakan,
Suatu saat Aku sedang mengalami ekstase dan tanpa akal pikiran (tidak sadar), berpindah dari sini ke sana, tak menyadari apa yang tengah kulakukan. Kakiku robek dan berdarah karena duri pada saat gelap. Aku merasa diriku ditarik ke rumah Syaikhku, Sayyid Amir Kulal QS. Saat itu malam sungguh gelap tanpa bulan dan bintang. Udara amat dingin dan Aku tak memiliki apapun kecuali sebuat jubah kulit yang sudah usang. Ketika Aku tiba di rumahnya, Aku menemukan beliau sedang duduk bersama para sahabatnya. Ketika beliau melihatku, beliau berkata kepada para pengikutnya, Bawa dia keluar, Aku tak menginginkan dia berada di rumahku. Mereka lalu mengeluarkan aku dan Aku merasakan ego berusaha menguasaiku, mencoba meracuni kepercayaanku kepada Syaikhku. Pada saat itu hanya Perlindungan Allah dan Rahmat-Nya-lah satu-satunya pendukungku dalam menerima penghinaan ini Demi Allah dan Demi Syaikhku. Lalu Aku berkata pada egoku, Aku tak memperkenankanmu untuk meracuni kepercayaanku terhadap Syaikhku. Aku begitu lelah dan tertekan sehingga Aku merendahkan hati di depan pintu kesombongan, meletakkan kepalaku di bawah pintu rumah guruku, dan bersumpah dengan Nama Allah I bahwa Aku tak akan pindah sampai beliau menerimaku kembali. Salju mulai turun dan udara yang begitu dingin menembus tulangku, membuatku gemetar dalam gelapnya malam. Bahkan cahaya rembulan pun tak ada untuk sedikit membuatku merasa nyaman. Aku ingat keadaan tersebut, hingga Aku membeku. Namun cinta akan pintu Ilahi Syaikhku yang ada dalam hatiku, membuatku tetap hangat. Subuh pun datang dan Syaikhku keluar dari pintu tanpa melihatku secara fisik. Beliau menginjak kepalaku, yang masih berada di bawah pintunya. Merasakan adanya kepalaku, dengan segera beliau menarik kakinya, membawaku ke dalam rumahnya dan berkata kepadaku, Wahai anakku, kau telah dihiasi dengan pakaian kebahagiaan. Kau telah dihiasi dengan pakaian Cinta Ilahi. Kau telah dihiasi dengan pakaian yang tidak pernah Aku dan Syaikhku kenakan. Allah senang denganmu, Rasulullah e senang denganmu, semua Syaikh dari Matarantai Emas senang denganmu. Kemudian dengan telaten dan sangat hati-hati beliau mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh lukaku. Pada saat yang sama beliau menuangkan ilmu pada hatiku yang tak pernah Aku alami sebelumnya. Hal ini membukakan suatu pandangan di mana Aku melihat diriku memasuki rahasia Muhammadun Rasul-Allah . Aku melihat diriku memasuki rahasia ayat yang merupakan Haqiqa Muhammadiyya (Realitas Muhammad ). Hal ini mengantarkan aku untuk memasuki rahasia dari LA ILAHA ILLALLAH yang merupakan rahasia dari wahdaniyyah (Keunikan Allah). Hal ini lalu mengantar aku untuk memasuki rahasia Asma Allah dan Atribut-Nya yang dinyatakan dengan rahasia ahadiyya (Ke-Esa-an Allah ). Keadaan-keadaan tersebut tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, hanya dapat diketahui lewat rasa di dalam hati.

Di awal perjalananku di thariqat ini, Aku biasa berkeliaran di malam hari dari satu tempat ke tempat lainnya di pinggiran kota Bukhara. Sendirian di gelapnya malam, khususnya di musim dingin, Aku mengunjungi pemakaman untuk memetik pelajaran dari yang telah meninggal. Suatu malam Aku dibimbing untuk mengunjungi nisan Syaikh Ahmad al-Ajgharawa k dan membacakan al-Fatihah baginya. Ketika Aku tiba, Aku menemukan dua orang yang belum pernah kutemui sebelumnya. Mereka menungguku dengan seekor kuda. Mereka menaikkan aku ke atas kuda dan mengikatkan dua bilah pedang di sabukku. Mereka mengarahkan kudanya ke nisan Syaikh Mazdakhin . Ketika kami tiba, kami semua turun dan memasuki makam dan masjid Syaikh tersebut. Aku duduk menghadap qiblat, tafakur, dan menghubungkan hatiku dengan hati Syaikh itu. Selama proses meditasi tersebut sebuah pandangan terbuka padaku dan Aku melihat dinding yang menghadap qiblat tiba-tiba runtuh. Sebuah singgasana raksasa muncul. Seseorang yang tinggi besar dan tak dapat dilukiskan dengan kata-kata sedang duduk di singgasana itu. Aku merasa mengenalnya. Kemanapun Aku palingkan wajah di semesta ini yang kulihat adalah orang itu. Di sekelilingnya terdapat kerumunan besar yang terdiri dari Syaikh-Syaikhku, Syaikh Muhammad Baba as-Samasi QS dan Sayyid Amir Kulal QS. Kemudian Aku merasa takut dengan orang yang tinggi besar itu sementara pada saat yang bersamaan Aku juga merasakan cinta terhadapnya. Aku memiliki ketakutan akan kehadirannya yang makin membesar dan cinta kasih akan kecantikan dan pengaruhnya. Aku berkata pada diriku sendiri, Siapa gerangan manusia agung ini? Aku mendengar sebuah suara di antara orang-orang di kerumunan itu berkata, Orang agung yang membesarkanmu di jalan spiritualmu ini adalah Syaikhmu. Dia melihat jiwamu manakala masih berupa atom di Hadirat Ilahi. Kau telah berada dalam pelatihannya selama ini. Dialah Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani QS (*9) dan kerumunan yang sedang kau lihat itu adalah khalifah yang membawa rahasia agungnya,Matarantai Emas tariqat agung ini. Kemudian Syaikh tersebut mulai menunjuk kepada masing-masing Syaikh seraya berkata, Yang ini Syaikh Ahmad (*23) , ini Arif Riwakri (*10) , ini Syaikh Ali Ramitani (*12) , yang ini Syaikhmu, Muhammad Baba as-Samasi QS (*13), yang semasa hidupnya memberikan jubahnya untukmu. Apakah kau mengenalnya? Ya, kataku.

Kemudian beliau berkata kepadaku, Jubah itu, yang dia berikan kepadamu beberapa saat silam sekarang masih ada di rumahmu, dan dengan berkah Allah telah menyembuhkan banyak penderitaan dalam hidupmu. Lalu suara lain datang dan berkata, Syaikh yang berada di singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau perlukan selama berjalan lewat jalan ini. Aku bertanya apakah mereka akan mengizinkan Aku untuk bersalaman dengannya. Mereka mengizinkannya dan membuka hijab-nya (sekat) dan Aku pun mengambil tangannya. Kemudian beliau mulai menceritakan tentang suluk (perjalanan), awal, pertengahan dan akhirnya. Beliau berkata, Kau harus membenahi sumbu yang ada dalam dirimu sehingga cahaya dari yang tak terlihat dapat dikuatkan dalam dirimu dan rahasia-rahasianya dapat terlihat. Kau harus memperlihatkan ketetapanmu dan kau harus kukuh dalam syari'ah Rasulullah SAW dalam setiap keadaanmu. Kau harus menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah kepada yang munkar (QS 3:110, 114) dan tetap pada standar tertinggi dari syari'ah dan meninggalkan kemudahan-kemudahan, dan menyingkirkan penemuan baru dalam segala bentuknya (bid'ah), dan buatlah al-Hadits sebagai qiblatmu. Kau harus menyelidiki kehidupannya (sirah) dan sirah para sahabatnya, dan membuat orang untuk mengikuti dan membaca al-Quran baik siang maupun malam, serta melaksanakan shalat dengan segala ibadah tambahannya (nawafil). Jangan abaikan hal sekecil apapun dari kebaikan dan perbuatan-perbuatan mulia yang telah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW

Begitu Abdul Khaliq QS selesai, khalifahnya berkata padaku, Agar yakin akan kebenaran pandangan ini, beliau mengirimkan suatu tanda begimu. Besok, pergi dan kunjungilah Maulana Syamsuddun al-Ambikuti , yang akan menghakimi dua orang. Katakan padanya bahwa si Turkilah yang benar dan si Saqqa-lah yang salah. Katakan padanya, Kau mencoba membantu si Saqqa, namun kau salah. Perbaikilah dirimu dan bantulah si Turki. Bila si Saqqa menyangkal apa yang kau katakan, dan si hakim terus membela si Saqqa, katakan padanya, Aku memiliki dua bukti. Yang pertama harus bilang pada si Saqqa, Wahai Saqqa, engkau sedang dahaga. Dia akan mengerti apa arti dahaga itu. Sebagai bukti kedua, kau harus bilang kepada si Saqqa, Kau telah meniduri seorang wanita dan dia menjadi hamil, dan kau telah memiliki bayi yang telah digugurkan, dan kau kuburkan bayi itu di bawah pohon pinus. Dalam perjalananmu menuju Maulana Syamsuddin QS , bawalah tiga butir kismis dan lewati Syaikhmu, Sayyid Amir al-Kulal QS. Dalam perjalananmu menuju beliau kau akan bertemu dengan seorang Syaikh yang akan memberimu sebantal roti. Ambillah rotinya dan jangan bicara sepatah kata pun dengan Syaikh tersebut. Lanjutkan hingga kau menemukan sebuah karavan. Seorang petarung akan mendekatimu. Nasihati dan dekati dia kembali. Dia akan menyesal dan akan menjadi salah seorang pengikutmu. Kenakanlah topimu dan bawa jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal QS.

Setelah itu mereka memindahkan aku dan pandangan itu pun berakhir. Aku kembali pada diriku sendiri. Hari berikutnya Aku pulang ke rumahku dan bertanya kepada keluargaku tentang jubah yang telah disebutkan dalam pandangan itu. Mereka membawanya ke hadapanku dan berkata, Ini telah ada di sana sejak lama sekali. Ketika Aku melihat jubah itu keharuan yang mendalam melandaku. Aku mengambil jubah itu dan pergi ke desa Ambikata, di pinggiran Bukhara, menuju masjid Maulana Syamsuddin QS. Aku shalat Fajar bersamanya dan kemudian Aku menyampaikan tanda yang sangat membuatnya terkejut. Si Saqqa itu ada dan dia menyangkal bahwa si Turki itu yang benar. Lalu Aku menyampaikan bukti-bukti itu kepada beliau. Dia menerima yang pertama namun menyangkal yang kedua. Lalu Aku mengajak orang-orang yang berada di masjid itu untuk pergi ke pohon pinus yang ada di dekat masjid. Mereka menurut dan menemukan seorang anak yang terkubur di sana. Si Saqqa lalu datang dan menangis serta memohon maaf atas apa yang telah dia perbuat, namun semuanya telah berakhir. Maulana Syamsuddin QS dan orang lain yang berada di masjid itu benar-benar terkejut.

Aku bersiap untuk melakukan perjalanan keesokan harinya ke kota Naskh dan telah memegang ketiga kismis kering. Maulana Syamsuddin k mencoba menahanku dengan berkata, Aku sedang melihat dalam dirimu ada penyakit karena merindukan kami dan hasrat yang membara untuk menggapai Ilahi. Penyembuhmu berada di tangan kami. Aku menjawabnya, Wahai Syaikhku, Aku adalah anak dari orang lain dan Aku adalah pengikutnya. Bahkan bila kau tawarkan untuk merawatku dengan susu dari maqam yang lebih tinggi, Aku tak dapat menerimanya, kecuali dari seseorang yang kepadanya Aku berikan hidupku dan daripadanya Aku mengambil bai'at. Kemudian beliau terdiam dan mengizinkan aku untuk melanjutkan perjalanan. Aku bergerak seperti yang telah diperintahkan hingga Aku bertemu dengan Syaikh itu dan dia memberiku sebantal roti. Aku tidak bicara dengannya. Aku mengambil rotinya seperti yang telah diperintahkan. Kemudian Aku menemukan sebuah karavan. Mereka bertanya dari mana Aku berasal. Aku bilang, Ambikata! Mereka bertanya kapan Aku berangkat. Aku bilang, Pada saat matahari terbit. Mereka terkejut dan berkata, Desa itu bermil-mil jauhnya dan akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menempuh jarak itu. Kami meninggalkan desa itu tadi malam dan kau di saat matahari terbit, namun kau telah menyusul kami. Aku melanjutkan (perjalanan) hingga Aku bertemu dengan seorang tukang kuda. Dia menyapaku, Siapa kau? Aku takut kepadamu! Aku bilang, Di tangankulah kau akan bertobat. Dia lalu turun dari kudanya, menunjukkan seluruh kerendahannya di hadapanku dan bertobat dan melemparkan seluruh botol anggur yang dibawanya. Dia menemaniku menemui Syaikhku, Sayyid Amir Kulal k. Ketika Aku menemuinya, Aku menyerahkan jubah kepadanya.

Beliau terdiam untuk beberapa saat dan kemudian beliau berkata, Ini adalah jubah Azizan. Aku diberi tahu tadi malam bahwa kau akan membawanya kepadaku, dan Aku telah diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapisan penutup. Lalu beliau menyuruhku untuk memasuki ruangan pribadinya. Beliau mengajariku dan menempatkan dzikir khafa di dalam hatiku. Beliau memerintahkan Aku untuk memelihara dzikir itu siang dan malam. Sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani dalam pandangan itu untuk berketetapan pada cara yang sulit, maka Aku memelihara dzikir khafa yang merupakan bentuk dzikir tertinggi. Sebagai tambahan, Aku biasa menghadiri kumpulan murid-murid luar untuk belajar ilmu syari'ah dan al-Hadits, dan belajar mengenai sifat-sifat Rasulullah QS dan para Sahabatnya. Aku melakukannya karena pandangan itu menyuruhku demikian, dan hal ini menyebabkan perubahan besar dalam kehidupanku. Semua yang diajarkan Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujdawani QS dalam pandangan itu melahirkan buah yang diberkahi dalam kehidupanku. Ruhnya selalu menemani dan mengajariku.

Hubbu Ilahi Robbi

MANAQIB para mursyid tarekat


Ya Tuhanku Engkaulah Yang Menjadi Tujuanku Dan Keridhoan-Mulah Yang Daku Cari Izinkanlah Daku Untuk Mencintaimu Dan Ma’rifat Kepadamu
MANAQIB
SYEKH AHMAD SHOHIBUL WAFA TA’JUL ARIFIN
(ABAH ANOM)
DAN PARA mursyid tarekat

Dikumpulkan
 oleh :
Para Pecinta Awlia
Semoga Menjadi Wujud Khidmad Dan Mahabbah Kepada Beliau Guru Tercinta Dan Para Awlia Serta Bermanfaat Bagi Para Ikhwan Tarekat Qodiriyyah Wannaqsyabandiyyah
MANAQIB




Salam Untuk Wali Mursyid
SYEKH AHMAD SHOHIBUL WAFA TA,JUL ARIFIN ( ABAH ANOM )
السَّلَامُ عَلَيْكَ – Salam untukmu
يَا مَالِكَ الزَّمَانِ wahai penguasa zaman
,وَ يَا إِمَامَ الْمَكَانِ pemimpin wilayah
,وَ يَا قَائِمَ بِأَمْرِ الرَّحْمَانِ penegak ketentuan ar-Rahman
,وَ يَا وَارِثَ الْكِتَابِ pewaris kitab
,وَ يَا نَائِبَ الرَّسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ wakil Rasulullah s.a.w.
,يَا مَنْ مِنَ السَّمَاءِ وَ الْأَرْضِ عَائِدَتُهُ yang selalu pergi pulang antara bumi dan langit
,يَا مَنْ أَهْلَ وَقْتِهِ كُلُّهُمْ عَائِلَتُهُ yang orang-orang sezamannya adalah keluarganya
,يَا مَنْ يُنَـزَّلُ الْغَيْثُ بِدَعْوَتِهِ yang diturunkan pertolongan karena doanya
,وَ يُدَرُّ الضَّرْعُ بِبَرَكَتِهِ – yang dikucurkan limpahan susu karena keberkahannya
وَ رَحْمَةُ اللهِ وَ بَرَكَاتُهُ – الْفَاتِحَةُ beserta rahmat Allah dan keberkahanNya, al-Fatihah…
Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu
RIWAYAT SINGKAT
SYEKH AHMAD SHOHIBULWAFA TAJUL ARIFIN
(ABAH ANOM)
Syekh A Shohibulwafa Tajul Arifin yang dikenal dengan nama Abah Anom, dilahirkan di Suryalaya tanggal 1 Januari 1915. Beliau adalah putra kelima Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad, pendiri Pondok Pesantren Suryalaya, dari ibu yang bernama Hj Juhriyah. Pada usia delapan tahun Abah Anom masuk Sekolah Dasar (Verfolg School) di Ciamis antara tahun 1923-1928. Kemudian ia masuk Sekolah Menengah semacan Tsanawiyah di Ciawi Tasikmalaya. Pada tahun 1930 Abah Anom memulai perjalanan menuntut ilmu agama Islam secara lebih khusus. Beliau belajar ilmu fiqih dari seorang Kyai terkenal di Pesantren Cicariang Cianjur, kemudian belajar ilmu fiqih, nahwu, sorof dan balaghah kepada Kyai terkenal di Pesantren Jambudipa Cianjur. Setelah kurang lebih dua tahun di Pesantren Jambudipa, beliau melanjutkan ke Pesantren Gentur, Cianjur yang saat itu diasuh oleh Ajengan Syatibi.
Dua tahun kemudian (1935-1937) Abah Anom melanjutkan belajar di Pesantren Cireungas, Cimelati Sukabumi. Pesantren ini terkenal sekali terutama pada masa kepemimpinan Ajengan Aceng Mumu yang ahli hikmah dan silat. Dari Pesatren inilah Abah Anom banyak memperoleh pengalaman dalam banyak hal, termasuk bagaimana mengelola dan memimpin sebuah pesantren. Beliau telah meguasai ilmu-ilmu agama Islam. Oleh karena itu, pantas jika beliau telah dicoba dalam usia muda untuk menjadi Wakil Talqin Abah Sepuh. Percobaan ini nampaknya juga menjadi ancang-ancang bagi persiapan memperoleh pengetahuan dan pengalaman keagaman di masa mendatang. Kegemarannya bermain silat dan kedalaman rasa keagamaannya diperdalam lagi di Pesantren Citengah, Panjalu, yang dipimpin oleh H. Junaedi yang terkenal sebagai ahli alat, jago silat, dan ahli hikmah.
Setelah menginjak usia dua puluh tiga tahun, Abah Anom menikah dengan Euis Siti Ru’yanah. Setelah menikah, kemudian ia berziarah ke Tanah Suci. Di tanah suci mekkah beliau banyak menimba ilmu seperti Fiqh, Hadits, Tauhid, Tafsir dan lain sebagainya dari ulama ulama di mekah dengan system bandungan, di mekah beliau juga memperdalam ilmu tasawuf di Ribath Naqsyabandy yang terletak di Jabal Qubaisy yang waktu itu dibimbing oleh Syekh Romli. Syekh Romli merupakan salah seorang wakil talqin dari Abah Sepuh. Sepulang dari Mekah, setelah bermukim kurang lebih tujuh bulan (1939), dapat dipastikan Abah Anom telah mempunyai banyak pengetahuan dan pengalaman keagamaan yang mendalam. Pengetahuan beliau meliputi tafsir, hadits, fiqih, kalam, dan tasawuf yang merupakan inti ilmu agama. Oleh Karena itu, tidak heran jika beliau fasih berbahasa Arab dan lancar berpidato, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Sunda, sehingga pendengar menerimanya di lubuk hati yang paling dalam. Beliau juga amat cendekia dalam budaya dan sastra Sunda setara kepandaian sarjana ahli bahasa Sunda dalam penerapan filsafat etnik Kesundaan, untuk memperkokoh Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Bahkan baliaupun terkadang berbicara dalam bahasa Jawa dengan baik.
Ketika Abah Sepuh Wafat, pada tahun 1956, Abah Anom harus mandiri sepenuhnya dalam memimpin pesantren. Dengan rasa ikhlas dan penuh ketauladan, Abah Anom gigih menyebarkan ajaran Islam. Pondok Pesantren Suryalaya, dengan kepemimpinan Abah Anom, tampil sebagai pelopor pembangunan perekonomian rakyat melalui pembangunan irigasi untuk meningkatkan pertanian, membuat kincir air untuk pembangkit tenaga listrik, dan lain-lain. Dalam perjalanannya, Pondok Pesantren Suryalaya tetap konsisten kepada Tanbih, wasiat Abah Sepuh yang diantara isinya adalah taat kepada perintah agama dan negara. Maka Pondok Pesantren Suryalaya tetap mendukung pemerintahan yang sah dan selalu berada di belakangnya.
Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Abah Anom juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Maka sejak tahun 1961 didirikan Yayasan Serba Bakti dengan berbagai lembaga di dalamnya termasuk pendidikan formal mulai TK, SMP Islam, SMU, SMK, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Madrasah Aliyah kegamaan, Perguruan Tinggi (IAILM) dan Sekolah Tinggi Ekonomi Latifah Mubarokiyah serta Pondok Remaja Inabah. Didirikannya Pondok Remaja Inabah sebagai wujud perhatian Abah Anom terhadap kebutuhan umat yang sedang tertimpa musibah. Berdirinya Pondok Remaja Inabah membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin Ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Abah Anom menunjuk tiga orang pengelola, yaitu KH. Noor Anom Mubarok BA, KH. Zaenal Abidin Anwar, dan H. Dudun Nursaiduddin.
Sejarah Pondok Pesantren Suryalaya
Pondok Pesantren Suryalaya dirintis oleh Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad atau yang dikenal dengan panggilan Abah Sepuh, pada masa perintisannya banyak mengalami hambatan dan rintangan, baik dari pemerintah kolonial Belanda maupun dari masyarakat sekitar. Juga lingkungan alam (geografis) yang cukup menyulitkan.
Namun Alhamdullilah, dengan izin Allah SWT dan juga atas restu dari guru beliau, Syaikh Tholhah bin Talabudin Kalisapu Cirebon semua itu dapat dilalui dengan selamat. Hingga pada tanggal 7 Rajab 1323 H atau 5 September 1905, Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad dapat mendirikan sebuah pesantren walaupun dengan modal awal sebuah mesjid yang terletak di kampung Godebag, desa Tanjung Kerta. Pondok Pesantren Suryalaya itu sendiri diambil dari istilah sunda yaitu Surya = Matahari, Laya = Tempat terbit, jadi Suryalaya secara harfiah mengandung arti tempat matahari terbit.
Pada awalnya Syeikh Abdullah bin Nur Muhammad sempat bimbang, akan tetapi guru beliau Syaikh Tholhah bin Talabudin memberikan motivasi dan dorongan juga bimbingan khusus kepadanya, bahkan beliau pernah tinggal beberapa hari sebagai wujud restu dan dukungannya. Pada tahun 1908 atau tiga tahun setelah berdirinya Pondok Pesantren Suryalaya, Abah Sepuh mendapatkan khirqoh (legitimasi penguatan sebagai guru mursyid) dari Syaikh Tholhah bin Talabudin
Seiring perjalanan waktu, Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang dan mendapat pengakuan serta simpati dari masyarakat, sarana pendidikan pun semakin bertambah, begitu pula jumlah pengikut/murid yang biasa disebut ikhwan.
Latar belakang Masjid Nurul Asror dan Menaranya
Dukungan dan pengakuan dari ulama, tokoh masyarakat, dan pimpinan daerah semakin menguat. Hingga keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya dengan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah-nya mulai diakui dan dibutuhkan. Untuk kelancaran tugas Abah Sepuh dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dibantu oleh sembilan orang wakil talqin, dan beliau meninggalkan wasiat untuk dijadikan pegangan dan jalinan kesatuan dan persatuan para murid atau ikhwan, yaitu TANBIH.
Syaikh Abdullah bin Nur Muhammad berpulang ke Rahmattullah pada tahun 1956 di usia yang ke 120 tahun. Kepemimpinan dan kemursyidannya dilimpahkan kepada putranya yang kelima, yaitu KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin yang akrab dipanggil dengan sebutan Abah Anom. Pada masa awal kepemimpinan Abah Anom juga banyak mengalami kendala yang cukup mengganggu, di antaranya pemberontakan DI/TII. Pada masa itu Pondok Pesantren Suryalaya sering mendapat gangguan dan serangan, terhitung lebih dari 48 kali serangan yang dilakukan DI/TII. Juga pada masa pemberontakan PKI tahun 1965, Abah Anom banyak membantu pemerintah untuk menyadarkan kembali eks anggota PKI, untuk kembali kembali ke jalan yang benar menurut agama Islam dan Negara.
Perkembangan Pondok Pesantren Suryalaya semakin pesat dan maju, membaiknya situasi keamanan pasca pemberontakan DI/TII membuat masyarakat yang ingin belajar Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah semakin banyak dan mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia. Juga dengan penyebaran yang dilakukan oleh para wakil talqin dan para mubaligh, usaha ini berfungsi juga untuk melestarikan ajaran yang tertuang dalam asas tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan Tanbih. Dari tahun ke tahun Pondok Pesantren Suryalaya semakin berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman, maka pada tanggal 11 maret 1961 atas prakarsa H. Sewaka (Alm) mantan Gubernur Jawa Barat (1947 – 1952) dan mantan Menteri Pertahanan RI Iwa Kusuma Sumantri (Alm) (1952 – 1953). Dibentuklah Yayasan Serba Bakti Pondok Pesantren Suryalaya. Yayasan ini dibentuk dengan tujuan untuk membantu tugas Abah Anom dalam penyebaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah dan dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa.
Setelah itu Pondok Pesantren Suryalaya semakin dikenal ke seluruh pelosok Indonesia, bahkan sampai ke Negara Singapura, Malaysia, Brunai Darussalam, dan Thailand, menyusul Australia, negara-negara di Eropa dan Amerika. Dengan demikian ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah pun semakin luas perkembangannya, untuk itu Abah Anom dibantu oleh para wakil talqin yang tersebar hampir di seluruh Indonesia, dan juga wakil talqin yang berada di luar negeri seperti yang disebutkan di atas.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, Pondok Pesantren Suryalaya berperan aktif dalam kegiatan Keagamaan, Sosial, Pendidikan, Pertanian, Kesehatan, Lingkungan Hidup, dan Kenegaraan. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diperoleh baik dari presiden, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, bahkan dari dunia internasional atas prestasi dan jasa-jasanya. Dengan demikian eksistensi atau keberadaan Pondok Pesantren Suryalaya semakin kuat dan semakin dibutuhkan oleh segenap umat manusia.
           
KAROMAH ABAH ANOM MENYADARKAN TANTANGAN KIAI SAKTI PILIH TANDING

       Diterima dari mantan ketua Yayasan Pondok Pesantren Suryalaya Perwakilan Sumedang Bapak Etje Juardi beliau  menerima dari orang yang bersangkutan, Kiai Sakti.
       Diceritakan Bapak Etje Juardi, ada Ulama yang dikenal sakti mandraguna tanpa pilih tanding, namanya Kiai Jured. Beliau sudah mengenal akan kemasyhuran dan ke Ulamaannya Abah Anom yang memiliki jutaan pengikutnya dan terus berkembang sampai keluar negeri.
       Suatu hari Kiai tersebut memiliki rencana untuk menguji karomah Abah Anom dengan kesaktian yang dimilikinya. Kiai tersebut datang ke Pondok Pesantren Suryalaya dengan satu bis yang membawa 70 santrinya. Semua santri disebar disekitar Pesantren Suryalaya, setelah Kiai itu masuk ke halaman Abah Anom, tidak disangka Abah Anom sudah berada didepan madrasah dan menyuruh Kiai untuk masuk ke madrasah Abah Anom bersama 70 santrinya yang telah disebar. Kiai tersebut merasa kaget akan  kasyaf (penglihatan batin)nya Mursyid TQN. Abah Anom meminta Kiai tersebut dan para santrinya untuk makan dahulu yang telah Beliau sediakan  di madrasah.
       Di dalam madrasah Kiai memuji Abah Anom tentang pesantren Beliau yang sangat luas nan indah, tetapi dibumbui kritik secara halus tentang kekurangan pesantrenya yaitu tidak adanya burung cendrawasih, burung yang terkenal akan bulunya yang indah. Beliau hanya tersenyum dan menimpalinya dengan jawaban yang singkat : “Tentu saja Kiai”. Suatu di luar jangkauan akal setelah jawaban itu burung cendrawasih yang berbulu indah melayang-layang di dalam madrasah yang sesekali hinggap. Kejadian itu membuat terpesonanya akan karomah yang dimiliki Beliau, Kiai itu diam seribu bahasa.
       Keajaiban lagi, ketika makan dengan para santrinya yang 70 pun nasi yang di sediakan dalam bakul kecil itu tidak pernah habis, hal itu mengingatkan akan kejadian mujizatnya Rosulullah saw . Kiai itu sangat kagum akan karomah yang dimiliki Beliau dan merasa kesaktian yang dimilikinya dan dibanggakannya itu sudah tidak ada artinya dihadapan Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin atau yang lebih dikenal dengan sebutan Abah Anom.
       Benarlah ungkapan : “diatas langit ada langit”. Namun, Kiai ini masih penasaran dan tidak mau kalah begitu saja, setelah makan Kiai tersebut meminta kepada Beliau untuk mengangkat kopeah/peci yang telah “diisi“, yang sebelumnya dicoba oleh para santrinya tidak terangkat sedikitpun. Subhanallah .. hanya dengan tepukan tangan Abah Anom ke lantai kopeah itu melayang-layang, Kiai merasa malu dan kalah lagi.
       Selanjutnya Kiai tersebut mengeluarkan batu yang telah disediakan sebelumnya, dan batu itu dipukul dengan “kekuatan” tangannya sendiri sehingga terbelah menjadi dua, sedangkan belahannya diberikan kepada Abah Anom. Kiai itu meminta kepada Abah Anom untuk memukulnya sebagaimana yang telah dicontohkannya.
      Abah Anom mengatakan kepada kiai itu : “Abah tidak bisa apa-apa, yang bisa membelah itu adalah Allah, baiklah abah hanya minta kepada Allah itu pun kalo diizinkan,” selanjutnya batu itu diusap oleh tangan Mursyid dan batu itu menjadi air ,subhanallah…
      Namun kiai tersebut masih penasaran karena kesaktiannya belum bisa mengalahkan karomah Abah Anom sebagai Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah. Kiai mencoba menguji lagi karomah Beliau dengan  kelapa yang telah dibawa santri dari daerahnya. Kiai tersebut meminta yang aneh-aneh kepada Abah Anom agar isi dalam kelapa tersebut ada ikan yang memiliki sifat dan bentuk tertentu.
      Dengan tawadlunya Abah Anom menjawab: “Masya Allah, kenapa permintaan kiai ke Abah berlebihan?, Abah tidak bisa apa-apa . Seharusnya minta kepada Allah saja ,jangan kepada Abah. Hanya Allah lah yang bisa mewujudkan segala sesuatu karena Dia Maha Berkehendak dan Berkuasa”. Kiai itu masih penasaran akan permohonanya kepada Abah Anom, selanjutnya Abah Anom berkata : “ Baiklah kalau begitu, kita memohon kepada Allah. Mudah-mudahan Allah mengabulkan kita”. Setelah berdoa Beliau menyuruh kelapa itu untuk dibelah dua, dan dengan izin Allah didalam kelapa itu ada ikan yang sesuai dengan permintaan sang kiai. Subhanalllah…
      Selanjutnya, entah darimana datangnya di tangan Abah Anom sudah ada ketepel, dan ketepel itu diarahkan atau ditembakan kelangit-langit madrasah, sungguh diluar jangkauan akal, muncul dari langit-langit  burung putih yang jatuh dihadapan Kiai dan Beliau
       Setelah kejadian itu, Kiai menangis dipangkuan Abah Anom, sadar dan memohon maaf atas kesombongan dan kesalahannya. Akhirnya Kiai memohon kepada Abah Anom untuk diangkat menjadi muridnya dan menjadi seorang pengamal Thoriqat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah .
       Kiai itu ditalqin dzikir TQN (diajarkan dzikir Thoriqat Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah), dengan talqin dzikir itu menyadarkan akan adanya Allah Yang Maha Mengetahui akan perbuatan jahat makhluqnya baik lahir maupun batin dan Maha Kuasa atas segala sesuatu. Setelah ditalqin Kiai menangis dipangkuan Abah Anom sampai tertidur. Anehnya, Bangun dari tidur sudah berada dimesjid. Subhanallah.
ABAH ANOM DAN PEMUDA YANG SUKA MELACUR
       Salah satu wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat Indonesia. Diceritakan ada seorang pemuda yang hobinya melacur, pemuda tersebut berniat untuk berhenti dari pebuatannya yang tercela. Sudah berbagai cara dilakukan untuk menghentikannya itu tidak membuat minat lacurnya berhenti. Padahal, pelaksanaan amalan ibadah yang “super ketat” atas petunjuk dari para kiai yang pernah dikunjungi dari berbagai daerahpun belum berhasil. Jadi, Sudah tidak asing lagi baginya riyadloh (latihan) seperti puasa, dzikir, sholat baik yang sifatnya wajib maupun sunat dan amalan lainnya.
       Dalam keadaan kondisi jiwa yang begitu kritis, datanglah pemuda itu ke Pondok Pesantren Suryalaya untuk menemui seorang Wali Allah yaitu Abah Anom sebagai Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah dan menceritakan maksud kedatangannya. Abah Anom berkata : “Tidak apa-apa, asal jangan dilakukan didepan Abah”. Setelah itu pemuda yang hobi “jajan” perempuan ditalqin dzikir (diajarkan dzikir Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah) untuk diamalkan.
       Seperti biasa pemuda tersebut datang ke hotel yang telah dipesan untuk melaksanakan hasrat nafsunya “meniduri” wanita pelacur. Setelah siap-siap semuanya, terbesit dalam benak pikiran dan jiwanya akan bayangan wajah Abah Anom sebagai Mursyid TQN dan berkata : “Asal jangan dihadapan Abah!”, pemuda itu terkejut dan gelisah, dengan segera meninggalkan hotel. Gagallah keinginan nafsunya.
       Dihari yang lain, pemuda itu datang lagi ke hotel untuk melaksanakan hasrat nafsunya yang tidak terbendung. Namun, disaat detik-detik akan melaksanakan maksiatnya, terulang kembali kemunculan wajah Abah Anom dalam jiwa dan pikirannya dan mengatakan : “Tidak apa-apa, asal jangan dihadapan Abah”. Pemuda itu kembali mengurungkan niatnya dan kembali pulang.
Abah Anom sedang bersama para pemuda
Cerita ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul atau Ajengan Gaos
       Begitupun dihari-hari selanjutnya, kejadian itu terus terulang jiwa dan pikirannya selalu dihantui bayangan tatapan wajah Abah Anom seorang Wali Allah dan perkataannya disaat-saat akan melakukan maksiat dengan pelacur. Kegagalan-kegagalan hasrat syetan yang terulang dalam jiwa pemuda itu dikarenakan kemunculan wajah Wali Allah Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah.
       Akhirnya, dengan kejadian itu pemuda tersebut menghentikan dari hobinya melacur untuk selamanya dan menjadi pengamal Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah. Sesungguhnya kejadian itu suatu anugrah dari Allah untuk hamba yang dicintai dengan perantara Mursyid sebagai pilihan-Nya. Subhanallah. Bayangan wajah Mursyid itu adalah sebagai burhana robbihi (cahaya / tanda dari Allah) yang membawa berkah terhadap pemuda tersebut.
       Kita teringat akan kisah salah satu utusan Allah yaitu Nabi Yusuf as. yang ditolong Allah ketika akan terjadi maksiat dengan Siti Zulaikha. Dalam al-Qur’an Surat Yusuf ayat 24: “Sesungguhnya wanita itu telah bemaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf-pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu (Zulaikha) andaikata tidak melihat burhana robbihi yaitu tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS: Yusuf 24)
       Dalam ayat ini terdapat perkataan Allah “Burhana Rabbihi”. Menurut perkataan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir, juz II / 474 : “Adapun maksud “Burhaana Rabbihi” yang terlihat oleh Yusuf, maka terdapat beberapa pendapat. Menurut sahabat Abdullah bin Abbas, Said, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Muhamad bin Sirin, Hasan, Qatadah, Ibnu Sholeh, Dlohah, Muhammad bin Ishaq dan lain-lain yakni Yusuf melihat bayangan ayahnya (Ya’kub), rupanya, bentuknya seakan-akan ayahnya marah-marah. Menurut sebagian riwayat memukul dada Yusuf. Al-‘Aufi berpendapat dari Ibnu Abbas, maksud perkataan itu ialah Yusuf teringat kepada bayangan wajah suami Zulaikha yaitu raja Qithfir yang seolah-olah ada dirumah dan mengetahui apa yang akan diperbuat Yusuf. Demikian juga Muhammad bin Ishaq berpendapat yang sama.” (Tafsir Ibnu Katsir, II / 474) Subhanallah…
ABAH ANOM DAN KIAI TOHIR
 
       Tersebutlah seorang kiayi bernama KH.Tohir yang sedang menimba ilmu di salah satu pesantren di kotanya. Konon Sang Guru yang mengajarkan ilmu di pesantrennya tersebut melarang Kiayi Tohir untuk tidak menemui seorang kiayi besar yang tinggal di Suryalaya bernama Abah Anom, apalagi berguru kepadanya. Namun, setelah melalui penelusuran dan pembelajaran ilmu tassawuf yang diajarkan di Pesantren Suryalaya, akhirnya kiayi Tohir meminta kepada Abah Anom untuk dibaiayat atau ditalqin dzikir (di ajarkan dzikir Thoriqoh). Namun, tentu saja dalam benak kiayi Tohir kunjungannya ke Abah Anom yang tanpa sepengatahuan gurunya itu akan membuat murka di pesantren dikotanya. Apalagi, setelah di talqin dzikir (pengajaran dzikir thoriqat) ada suatu amanat dari Abah Anom yakni ucapan salam yang harus disampaikan kepada guru dipesantrennya. Ketika kiayi Tohir sedang duduk menunggu sholat berjamaah di Mesjid Nurur Asror di Kompleks Pesantren Suryalaya sebelum ia kembali bertolak ke kampung halamannya, pikirannya terus berkecamuk tidak bisa tenang. Ketika dalam benaknya terbersit bagaimana wajah murka gurunya yang sedang memarahinya habis-habisan karena ketidak taatannya, tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya dengan sorban dan berkata: “Tong sok goreng sangka kabatur, komo ka guru soranganmah, boa teuing teu kitu! dalam bahasa Indonesia : “jangan selalu berburuk sangka terhadap orang lain, apalagi terhadap guru sendiri, belum tentu seperti itu “. Kiyai Thohir begitu kaget ternyata yang menepuk pundak dan membaca pikirannya itu adalah guru ruhaninya yang baru, yaitu Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra (Abah Anom). Dari kejadian itu Kiai Thohir mendapatkan pelajaran yang berharga bahwa seorang guru ruhani Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah bisa mengetahui hati murid-muridnya dimanapun mereka berada. Mursyid akan terus mengawasi dan membimbing hati murid-muridnya agar hati selalu menuju Allah
       Sepulang dari Pesantren Suryalaya dan kembali ke Pesantren dikampungnya, Kiai Thohir menyampaikan amanat salam dari Mursyid Kammil Mukammil Syekh ahmad Shohibul Wafa Tajul ‘Arifin ra kepada gurunya. Dan ternyata, diluar dugaan Kiayinya yang dipesantren itu malah memuji Abah Anom bahkan Kiayi Thohir sebagai salah satu murid kesayangannya itu dianjurkan untuk menjalankan ajaran yang di bawa oleh Abah Anom sebagai pewaris para Nabi. Selanjutnya, Kiayi Thohir mengabdikan diri sepenuhnya kepada Abah Anom dan mengamalkan ajaran yang telah diajarkannya. Akhirnya Kiai Thohir dipercaya menjadi salah satu wakil Talqin, yaitu orang yang di izinkan untuk mengajarkan atau mengijazahkan dzikir Thoriqoh kepada orang yang membutuhkannya.
       Cerita ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul atau Ajengan Gaos salah satu wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat Indonesia.
BERKAT KAROMAH ABAH ANOM
KANKER RAHIM JADI JANIN HIDUP
Abah Anom
       Cerita ini diambil dari ceramahnya KH.M.Abdul Gaous Saefulloh Al-Maslul atau Ajengan Gaos salah satu wakil Talqin Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya, Jawa Barat Indonesia.
KH. Maksum memiliki seorang istri yang sedang mengandung. Menurut fonis dokter, istri kiayi tersebut bukanlah kehamilan normal yang biasanya terjadi pada seorang wanita. Namun istri KH.Maksum di vonis menderita kangker dan harus segera dioperasi. Sang Kiayi akhirnya datang ke Suryalaya ingin bertemu Pangersa Abah Anom untuk meminta doa beliau agar istrinya diberi kelancaran saat operasinya nanti. Ketika kiayi Maksum mengutarakan maksudnya tersebut, Abah hanya berkata: “Heug, sing jadi jelema”, dalam bahasa Indonesia: iya, jadi manusia, maksudnya adalah semoga kandungan istri kiayi Maksum menjadi manusia dengan izin Allah.
       Dan ternyata, baru saja istri kiayi Maksum satu langkah keluar dari rumah Pangersa Abah, dia merasakan gerakan-gerakan dalam rahimnya itu, subhanallah. Kontan saja istri kiayi Maksum kaget, dan langsung memeriksakan dirinya ke Dokter. Lalu apa kata Dokter? Subhanallah, Dokter pun sama terkejutnya dengan pasangan suami istri Kiayi Maksum tersebut. Allahu Akbar, kun fayakun, dengan izin-Nya melalui doa Kekasih-Nya, daging jadi yang asalnya akan diangkat tersebut, ternyata berubah menjadi sesosok manusia kecil yang menggemaskan berjenis kelamin laki-laki. Ya, ternyata setelah dioperasi daging jadi itu berubah menjadi seorang bayi, yang diberi nama Sufi Firdaus. Idos panggilan anak ini, hingga saat ini masih hidup dan mengabdikan dirinya untuk menjadi murid Syeikh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin qs. (Abah Anom).
Diposkan oleh Rajanya Para Waliullah Zaman ini Abah Anom di 01:10
WANITA  MEMANGGIL- MANGGIL ABAH ANOM
SELAMAT DARI TINDAK PERKOSAAN
 
       Abdul telah tiada. Bunga di atas kuburan Abdul yang terletak di area kuburan blok Nyongklang Selajambe Kab. Kuningan tampak masih segar sekalipun sudah tiga hari terpanggang panas terik matahari. Begitu pula gundukan tanah merah tampak terlihat masih basah padahal kuburan sekelilingnya sudah kering bahkan terlihat retak-retak akibat kemarau berkepanjangan.
Text Box: Abah Anom Muda       Sepintas, tak ada yang istimewa pada kuburan tersebut. Sama saja seperti kuburan yang lainnya. Namun sesuatu yang beda akan terasa disana. Wangi bunga akan tercium manakala orang melewati kuburan tersebut. Emangnya, siapa sich, yang “tertidur” di dalam sana? Inilah kisahnya….
       Adalah Abdul, seorang laki-laki yang 3/4 usianya dihabiskan dalam lembah kemaksiatan. Di kota Metropolitan, Abdul menjelma menjadi bajingan yang Super Haram Jadah. Ia adalah jagoan yang tak pernah kenal rasa takut. Bagi sesama penjahat, Abdul adalah momok yang menakutkan. Bagi polisi lelaki yang sekujur tubuhnya dipenuhi tato wanita telanjang itu merupakan sosok penjahat yang super licin yang sulit ditangkap karena kepandaiannya menggunakan jampi-jampi sehingga mampu berkelit dari kejaran aparat. Kapanpun dan dimanapun, perbuatan maksiat tak pernah ia lewatkan.
       Hingga suatu malam di bulan November 2005….. Niat jahatnya muncul kembali ketika melihat seorang penumpang wanita sendirian di mobil omprengan daerah Plumpang, Jakarta Utara. Bersama dua orang temannya, ditodongkannya pisau ke arah sopir dan kernet yang tidak berdaya menghadapi ancaman tersebut. Keduanya lalu diikat lalu Abdul CS. membawa kendaraan tersebut ke salah satu tempat di Bogor yang sudah mereka persiapkan sebelumnnya.
       Sesampainya di tempat, Abdul CS. bermaksud untuk memperkosa wanita cantik tersebut. Dengan cara paksaan, wanita itu -sebut saja Sinta- diminta untuk melayani nafsu binatangnya. Namun Sinta berupaya sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari bahaya sambil berteriak : “Abah, Abah, Abah, tolong saya!”. Subhanalloh, atas kehendak-Nya, disaat Abdul akan melampiaskan nafsu kebinatangannya, tiba-tiba saja “burung” miliknya mendadak terkulai lemas dan ia merasakan kesakitan yang luar biasa. Begitu juga kedua temannya yang akan memperkosa Sinta mengalami hal serupa. Dalam keadaan seperti itu, Sinta langsung melarikan diri………..
       Setelah kejadian tersebut, Abdul CS mengalami nasib naas. Kemaluannya membengkak dan tiga bulan kemudian, dua orang temannya mati mengenaskan akibat “burung”nya MEMBESAR. Untunglah, Abdul cepat sadar. Ia tahu, bahwa peristiwa tersebut merupakan hukuman dari Allah atas dosa-dosa mereka yang telah diperbuat. Lalu, ia menemuia salah seorang temannya yang sudah terlebih dahulu insyaf dan bertaubat.
       Setelah diutarakan maksud dan kedatangannya, teman Abdul tersebut membawanya ke salah satu Majlis Dzikir dan kemudian bertaubat. Melalui Kiayi yang menuntunnya, iapun tahu bahwa taubat tidak berarti harus menghilangkan seluruh tato yang ada ditubuhnya. Dengan semangat yang kuat dan tekad yang membaja, Abdulpun mendapatkan Talqin Dzikir dan mengamalkan semua amaliahnya seperti Khotaman meskipun dia hafalkan dari latinnya.
       Teman-teman seprofesi dulu di Jakarta banyak yang ia temui sehingga dia memutuskan untuk hijrah dari Jakarta ke kampung halamannya, takut jika niat jahatnya kembali muncul. Di kampung halamannya, masyarakat tidak begitu saja bisa langsung menerimanya, malah menaruh rasa curiga bahkan tak jarang kata-kata pedas sering dilontarkan kepadanya. Berbekal TANBIH dan dzikrullah, ia tetap tersenyum dan berbaik budi. Sehingga akhirnya masyarakatpun dapat menerima, bahwa Abdul telah kembali ke jalan yang lurus. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dia menjadi buruh tani dan pekerjaan serabutan lainnya hanya untuk sesuap nasi sehingga tetap bisa melaksanakan amaliah dzikrullah seperti yang pernah didapatkannya di Jakarta. Hingga akhirnya, pada hari Jum’at di tahun 2006 selepas Subuh, ia dipanggil kembali oleh Allah dalam posisi Tawajuh.
ABAH ANOM ADALAH SULTHANUL AWLIA DI ZAMAN INI SEBAGAMANA FATWA SAYYID MUHAMMAD BIN ALWI AL-MALIKI AL-HASANI AS-SYADZILI. RA
KH. Dodi Firmansyah ditanya oleh almarhum Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani Ra pada saat 40 hari menjelang wafatnya. Kiyai muda asal Garut tersebut terperanjat saat al-‘alamah tersebut tiba2 menanyakan sosok guru yang telah menanamkan kalimat agung dilubuk hatinya. Lebih terkejut lagi saat Ulama tersebut “tercekat” sewaktu disebutkan nama Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin. Secara sepontan Al Imam al Alim al Alamah al Arif Billah Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syeikh Muhammad al Maliki al Hasni al Husaini as Syadzili Mekah menyebutkan bahwa Syekh ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah Sulthonul Awliya fi hadza zaman ( RAJANYA PARA WALI ZAMAN SEKARANG ) bahkan beliaupun menyebutkan QODDASALLAHU SIRROHU bukan rodliyallohu ‘anhu seperti yang kebanyakan disebutkan oleh para ikhwan. Walaupun secara dhohir Syekh Muhammad Alawy Al-Maliki belum bertemu dengan pangersa Abah namun keduanya telah mengenal di alam ruhani yang tak dibatasi ruang dan waktu.
       Sayyid Prof. Dr. Muhammad ibn Sayyid ‘Alawi ibn Sayyid ‘Abbas ibn Sayyid ‘Abdul ‘Aziz al-Maliki al-Hasani al-Makki al-Asy’ari asy-Syadzili lahir di Makkah pada tahun 1365 H.
Sekilas profil KH.Dodi Firmansyah Usianya masih muda kelahiran garut tahun 1978. Sejak usia SMP ia dikenal ahli hikmah sedangkan ketertarikan dalam dunia tasawwuf ia ke Pondok Pesanttren Suryalaya sejak dimulai kelas 4 SD . Kiayi ini pernah di didik langsung oleh almarhum Al-Alamah Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki ra di mekkah selama 6 tahun. Pulang mesantren dari mekkah pada tahun 2006, kiyai ini menikah dengan Hj.Siti Fatimah putri seorang pengusaha asal Tasikmalaya dan dikaruniai putra yang diberinama M.Lutfi L. Makki.
Pendapat KH.Dodi tentang sosok Pangersa Abah Anom : Saya tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Cukuplah 2 pendapat Ulama kelas dunia yang mengomentarinya. Pertama ungkapan dari guru saya sendiri di mekkah, yaitu Sayyid Muhammad bin Alawy bin Abbas Al-Maliki Al-Hasani ra. Beliau sendiri yang mengungkapkan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin qs. Adalah Sulthonul Awliya fi Hadza Zaman dan kedua Mursyid Kammil Mukammil Thoriqoh Naqsyabandi Al-Haqqani, As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani, sufi kenamaan dari Cyprus-Turkey yang menyebutkan Pangersa Abah (Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin qs) adalah Sufi agung di timur jauh.Dalam majalah sintoris (Sinar thoriqoh islam) disebutkan As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani ra mengatakan bahwa Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin adalah WALI AGUNG DITIMUR JAUH.. hal itu pernah disampaikan juga di kampus oleh KH.Wahfiuddin setelah mendampingi syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani ke P.P.Suryalaya.












Syekh Muhammad Al-Maliki Al-Hasani Ra
ABAH ANOM DIMATA AS-SAYYID AL-‘ALAMAH AL-‘ARIF BILLAH SYEKH MOHAMMAD NAZIM ADIL AL-HAQQANI AL-HASANI
As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani al-Hasani dari Cyprus Turkey telah menegaskan :
"Banyak para alim ulama dan para cendikiawan muslim memberikan pengetahuan agama kepada umat, pengetahuan itu bagaikan lilin-lilin, apalah artinya lilin-lilin yang banyak meskipun lilin-lilin itu sebesar pohon kelapa kalau lilin-lilin itu tidak bercahaya. Dan cahaya itu salah satunya berada dalam qalbunya beliau ( Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul 'Arifin).
         Saya tidak tahu apakah Nur Illahi yang dibawanya akan putus sampai pada beliau saja, atau masih akan berlanjut pada orang lain. Tapi saya yakin dan berharap, sesudah beliau nanti masih akan ada orang lain yang menjadi pembawa Nur Illahi itu. Siapakah orangnya, saya tidak tahu.
       Maka Anda sekalian para hadirin, ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini. Mumpung beliau masih ada, mumpung beliau masih hadir di tengah kita, sulutkan Nur Illahi dari qalbu beliau kepada qalbu anda masing-masing. Sekali lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang seperti Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul 'Arifin.
Dari qalbu beliau terpancar pesan-pesan kepada qalbu saya. Saya berbicara dan menyampaikan semua pesan ini bukan dari isi qalbu saya sendiri. Saya mengambilnya dari qalbu beliau. Di hadapan beliau saya terlalu malu untuk tidak mengambil apa yang ada pada qalbu beliau. Saya malu untuk berbicara hanya dengan apa yang ada pada qalbu saya sendiri."
       As-Sayyid Al-‘Alamah Al-‘Arif billah Syekh Mohammad Nazim Adil al-Haqqani al-Hasani dari Cyprus Turkey telah menegaskan :
"Banyak para alim ulama dan para cendikiawan muslim memberikan pengetahuan agama kepada umat, pengetahuan itu bagaikan lilin-lilin, apalah artinya lilin-lilin yang banyak meskipun lilin-lilin itu sebesar pohon kelapa kalau lilin-lilin itu tidak bercahaya. Dan cahaya itu salah satunya berada dalam qalbunya beliau ( Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul 'Arifin).
       Saya tidak tahu apakah Nur Illahi yang dibawanya akan putus sampai pada beliau saja, atau masih akan berlanjut pada orang lain. Tapi saya yakin dan berharap, sesudah beliau nanti masih akan ada orang lain yang menjadi pembawa Nur Illahi itu. Siapakah orangnya, saya tidak tahu.
       Maka Anda sekalian para hadirin, ambillah Nur Illahi itu dari beliau saat ini. Mumpung beliau masih ada, mumpung beliau masih hadir di tengah kita, sulutkan Nur Illahi dari qalbu beliau kepada qalbu anda masing-masing. Sekali lagi, dapatkanlah Nur Ilahi dari orang-orang seperti Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul 'Arifin.
       Dari qalbu beliau terpancar pesan-pesan kepada qalbu saya. Saya berbicara dan menyampaikan semua pesan ini bukan dari isi qalbu saya sendiri. Saya mengambilnya dari qalbu beliau. Di hadapan beliau saya terlalu malu untuk tidak mengambil apa yang ada pada qalbu beliau. Saya malu untuk berbicara hanya dengan apa yang ada pada qalbu saya sendiri."
PROF. DR. BUYA HAMKA KETUA UMUM MUHAMMADIYYAH DI BAI’AT TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH DAN MENJADI MURID ABAH ANOM
SIAPA sangka mantan pimpinan Muhammadiyah Buya Hamka ternyata mengikuti Thoriqoh Qodiriyah Naqsabandiyah. Ketua MUI pertama ini berbaiat kepada Abah Anom, mursyid tarekat dari pesantren Suryalaya Tasikmalaya.
Hal ini diungkapkan Dr Sri Mulyati, pengajar tasawwuf UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baru-baru ini. Ini penelitian pribadi saya ketika menyelesaikan disertasi, ada fotonya ketika berbaiat dengan Abah Anom. Cuma ada sebagian orang Muhammadiyah yang tak percaya, katanya.
Mantan Ketua Umum Fatayat NU ini menuturkan, Buya Hamka sendiri pernah berujar di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya bahwa dirinya bukanlah Hamka, tetapi Hampa. Saya tahu sejarahnya, saya tahu tokoh-tokohnya, tetapi saya tidak termasuk di dalamnya, karena itu saya mau masuk. Akhirnya beliau masuk, karena mungkin haus spiritual, tandasnya. Buya Hamka berkata: diantara makhluk dan kholik itu ada perjalanan yg harus kita tempuh. inilah yg kita katakan thoriqoh.
Hamka memang dikenal memahami dunia thoriqoh. Salah satu karyanya adalah Tasawuf Modern, yang mengupas dunia tasawuf dan penerapannya pada era modern ini.



Syekh Ahmad Shohibul wafa Tajul ‘Arifin ( Abah Anom ) memberikan jubah dan tongkat kepada Prof. DR. Buya Hamka saat jadi Ketua MUI
PROF. DR. HARUN NASUTION TOKOH YANG DIKENAL PALING RASIONAL DI BAI’AT TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
DAN MENJADI MURID ABAH ANOM
Tokoh lain yang dikenal publik sangat rasional tetapi juga mengikuti tarekat adalah Harun Nasution. Menurut Sri Mulyati yang lulus doctor dari McGill University ini, persentuhan Harun dengan dunia tarekat dimulai ketika mengantar proses penyembuhan anaknya ke Suralaya. Ia melihat, hanya dengan sholat tahajjud saja, seseorang bisa sembuh. Akhirnya, sampai akhir hayatnya, beliau sangat sufi, ikut Abah Anom. Padahal beliau seorang profesor yang sangat rasional, terangnya.
Ibnu Taimiyah, yang oleh sebagian orang dipercaya anti-thoriqoh, ternyata juga menjelang akhir hayatnya secara pribadi mengikuti tarekat.
Dalam buku Syeikh Hisyam Kabbani, dia belajar dan mempraktekkan tarekat, memang tidak mengajarkan. Seperti Imam Ghozali, belajar dan mempraktekkan, meskipun bukan mursyid, setelah dia tidak puas di ilmu kalam, akhirnya belajar tasawwuf dan mengamalkan sehingga menghasilkan rekonsiliasi, ujarnya.
ABAH ANOM DAN JAGOAN DARI SURABAYA
K.H. M. Ali Hanafiah Akbar, itulah nama seorang kiai yang berasal dari Surabaya. Tidak terbayangkan kiai pemimpin pesantren tersebut adalah mantan jagoan jalanan. Ini berdasarkan cerita beliau KH. Ali Hnafiah Akbar yang saat itu di wawancarai oleh wartawan majalah Nuqtoh beliau menceritakan bahwa dirinya sejak kecil tidak kefikiran punya cita-cita jadi kiai apalagi memimpin pesantren tetapi cita-citanya sejak kecil adalah ingin menjadi seorang jagoan. Keinginanya yang sangat kuat inilah membuat ia sangat gigih didalam mendalami ilmu kanuragan atau bela diri bahkan setiap ada orang yang terkenal jago silat pasti ia datangi. Berbekal ilmunya tersebut Ali berusaha menjadi jagoan jalanan di Surabaya dan akhirnya ia pun hijrah ke Jakarta. Dan di Jakarta ia menjadi tukang pukul salah satu perusahaan bahkan karena kemampuanya berkelahi yang tidak terkalahkan ia pernah dikontrak oleh Edi Tansil untuk mengamankan proyek besar. Ternyata hidayah merubah jalan hidup jagoan ini ia bertemu dengan salah seorang ikhwan TQN dan entah apa yang terjadi didalam hatinya terbesit ingin bertemu dengan Abah Anom Mursyid Toriqoh Qodiriyyah Wannaqsyabandiyah. Iapun pergi dari Jakarta bermaksud menemui Abah Anom, dan maksudnya pun terlaksana dan ia mendapat Talqin Dzikir oleh Abah Anom setelah itu abah anom menyuruhnya pulang. Rupanya hatinya berkecamuk dan iapun mengeluh “jauh-jauh datang dari Jakarta Cuma diajarin dzikir ,….huh….”. Tetapi apa yang terjadi setelah ada dalam perjalanan mulutnya terasa terkunci, enggan berbicara kepada siapapun, bahkan ia disangka orang stress…dari diamnya ia inilah ia merasa abah anom selalu disampingnya dan mengajarinya berbagai macam ilmu tentang agama dan entah kenapa setelah mulut mau berbicara kembali ia sudah bisa ceramah mengenai ilmu-ilmu agama. Akhirnya beliau mendirikan pesantren dan mendapat Khirqah sebagai wakil talqin Abah Anom di Surabaya.
ABAH ANOM DAN PEMUDA JAGO SILAT
             Diceritakan oleh KH Komaruddin yang merupakan wakil talqin senior Abah Anom beliau menuturkan bahwa ada salah seorang pemuda jago di dunia persilatan ( beliau KH Komaruddin tidak menyebutkan nama pemuda tersebut). Pemuda tersebut  suatu hari mendatangi Mursyid Kammil Mukammil Syekh Ahmad Shohibul wafa’tajul Arifiin (Abah Anom ) dengan maksud menantang untuk berduel denganya, hal ini karena pemuda tersebut mendengar kemasyhuran Abah Anom. Tetapi Abah Anom dengan suara lembutnya menolak tantangan pemuda tersebut, seraya mengatakan bahwa Abah tiada bisa apa-apa…. Setelah beberapa kali mendapat tolakan dari abah anom ternyata pemuda tersebut semakin geram dan marah, sehingga ia berusaha menerjang badan Abah Anom yang yang sedang duduk bersila, tetapi apa yang terjadi …pemuda tersebut terpental seraya menjerit………aing jin ……aing jin…..aing jin,…..aing jin,…….padahal Abah Anom tiada bergerak dari tempat duduknya.
ABAH ANOM DAN UPAYA PEMULIHAN KORBAN PENYALAH GUNAAN NARKOBA
Dalam rangka memberikan andil terhadap bangsa dan Negara Abah Anom memiliki peram serta dengan merintis dan membentuk sebuah lembaga yang khusus menangani dan menyembuhkan para korban kecanduan NARKOBA yang disebut dengan INABAH. Metode yang diterapkan oleh Abah Anom di dalam INABAH menggunakan metode dzikir dan shalat serta mandi taubat yang merupakan amalan TQN Suryalaya, dengan metode ini ribuan pecandu NARKOBA berhasil disembuhkan bahkan INABAH sekarang sudah berkambang ke beberapa daerah di Indonesia dan mancanegara.

ABAH ANOM TELAH ADA DALAM PENGLIHATAN BATIN SYEKH TOLHAH KALISAPU CIREBON
Syekh Abdullah Mubarrok Bin Nur Muhammad ( Abah Sepuh ) ayahanda sekaligus guru Abah Anom
       Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad r.a, diangkat menjadi mursyid di Mesjid Kholwat oleh Syeikh Tolhah r.a. dari Kalisapu Cirebon. Kemudian beberapa tahun setelah itu, Syeikh Tholhah r.a menyuruh beliau untuk mendirikan pesantren dan diamanati dengan nama Pesantren itu SURYALAYA yang artinya TEMPAT CAHAYA juga amanat agar pesantren itu dikembangkan, karena dalam pandangannya, Pesantren dengan nama Suryalaya ini nantinya akan menjadi pusat perkembangan Thoriqoh Qodiriyyah Naqsyabandiyyah di manca negara oleh putranya kelak yakni Syekh Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin ( Abah Anom )
      Diceritakan ketika Syeikh Abdullah Mubarok ( Abah Sepuh ) pulang berguru dari pulau Madura kepada Syeikh Kholil Bangkalan Abah Sepuh langsung naik perahu tanpa dibekali dayung atau layar, dengan hanya bekal sholawat Bani Hasyim yang dibacanya sepanjang perjalanan, beliau sampai ke Cirebon. Artinya perahunya dijalankan hanya dengan bacaan sholawat Bani Hasyim yang beliau dapatkan dari gurunya Syeikh Kholil Bangkalan.

SHALAWAT BANI HASYIM
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى النَّبِىِّ الْهَاشِمِىِّ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمً
Artinya :
Ya Allah, Berikanlah rahmat serta salam kepada seorang nabi keturunan Bangsawan Hasyim,
yakni Muhammad beserta keluarganya, semogalah tetap selamat dan sejahtera.
Silsilah Muktabar Thoriqoh Qodiriyah Wannaqsyabandiyyah Suryalaya
Robbul Arbaabi Wamu tqurroobi Allah SWT
Sayyiduna Jibriil a.s
Sayyiduna Muhammad SAW
Sayyiduna Aliyyu Karomallahu Waj’hah
Sayyiduna Husain r. a
Sayyiduna Zainal Abidin r.a
Sayyiduna Muhammadul Baaqir r.a
Sayyiduna Imam Musa Al kadziim ra
Sayyiduna Imam Musa Al kadziim ra
Sayyiduna  Abul hasani Aliyyubnu Musa ArRidho ra
Syekh Ma’rufil Karkhi ra
Syekh Sirri Saqthii ra
Syekh Abul Qaasim Junaidi Al Baghdaadi ra
Syekh Abu Bakar Diifisyibili ra
Syekh Abul Fadli A.W  Atamimi ra
Syekh Abul Fraji Alturthuushi ra
Syekh Abul Hasan Aliyyubnu Yuusuufal Qirsli Alkhaari ra
Syekh Abu Sa’id Almubarrak Ibnu Alliyyu Almakhzuumi ra
Syekh Abdul Qoodir Al- Jaelani. Qsa
Syekh Abul Aziiz ra
Syekh Muhmmad Hattaak ra
Syekh Syamsuddin ra
Syekh Syaroffuddin ra
Syekh Nuuruddiin ra
Syekh Waliyyuddin. Ra
Syekh Hisyammuddin ra
Syekh Yahya ra
Syekh Abu Bakr ra
Syekh Abdurrohiim ra
Syekh Utsman ra
Syekh Abdul Fattah ra
Syekh Muhammad Muraad ra
Syekh Syamsuddiin ra
Syekh Ahmad KHaatib Syambas Ibni Abdil Ghofar ra
Syekh Tholhah ra Cirebon
Syekh Abdulah Mubarrak Bin Nur Muhammad ra ( Abah Sepuh )
Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin ( Abah Anom )
KEMULIAAN ABAH ANOM
MENURUT ( GURU SEKUMPUL ) ALLAMAH AL ‘ARIF BILLAH SYEKH M. ZAINI ABD. GHANI MURSYID TAREKAT SAMMANNIYYAH
Ada cerita menarik dari Subhan seorang Dosen IAILM Suryalaya pernah silaturahmi kepada Tuan Guru Ijai Martapura Kalimantan Selatan. Di kisahkan Tuan guru Ijai menyampaikan bahwa SYEH A. SHOHIBUL WAFA TAJUL ARIFIN ADALAH LAUTAN THORIQOH, hal ini disampaikan kepada Pangersa Abah Anom kemudian di balas oleh Abah Anom bahwa Tuan Guru Ijai adalah LAUTAN ILMU ....
Al 'Arif Billah Syekh Muhammad Zaini Abd. Ghani al Aidrus Martapura (kanan) dan Al 'Arif Billah Sayyid Muhammad al Maliki al Hasani as Syadzily Mekah
‘Alimul ‘allamah Al ‘Arif Billah Syekh M. Zaini Abd. Ghani adalah seorang ulama yang menghimpun antara thariqat dan haqiqat, dan beliau seorang yang Hafazh AI-Quran beserta hafazh Tafsirnya, yaitu Tafsir Al-Quran Al-‘Azhim Lil-Imamain Al-Jalalain. Beliau seorang yang “mahfuzh”, yaitu suatu keadaan yang sangat jarang sekali terjadi, kecuali bagi orang orang yang sudah dipilih oleh Allah SWT. beliau tidak pernah ihtilam.
Pada usia 9 tahun di malam jumat beliau bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Safinah al-Auliya”. Beliau ingin masuk, tapi dihalau oleh penjaga hingga tersungkur. Beliaupun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, beliau kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, beliau kembali bermimpi serupa. Tapi kali ini beliau dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah seorang syaikh. Ketika sudah masuk beliau melihat masih banyak kursi yang kosong. Ketika beliau merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak disangka orang yang pertama kali menyambut beliau dan menjadi guru adalah orang yang menyambut beliau dalam mimpi tersebut.
Dalam usia 10 tahun sudah mendapat khususiat dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa-apa yang ada di dalam atau yang terdinding. Pernah rumput-rumputan memberi salam kepada beliau dan menyebutkan manfaatnya untuk pengobatan dari beberapa penyakit, begitu pula batu-batuan dan besi.
Di masa remaja 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy-Syekh H. M. Zaini Abd Ghani pernah bertemu dengan Saiyidina Hasan dan Saiyidina Husin yang keduanva masing-masing membawakan pakaian dan memasangkan kepada beliau lengkap dengan sorban dari lainnya. Dan beliau ketika itu diberi nama oleh keduanya dengan nama Zainal 'Abidin.
Karomah- Karomahnya
Ketika beliau masih tinggal di Kampung Keraton, biasanya setelah selesai pembacaan maulid, beliau duduk-duduk dengan beberapa orang yang masih belum pulang sambil bercerita tentang orang-orang tua dulu yang isi cerita itu untuk dapat diambil pelajaran dalam meningkatkan amaliyah. Tiba-tiba beliau bercerita tentang buah rambutan, pada waktu itu masih belum musimnya; dengan tidak disadari dan diketahui oleh yang hadir beliau mengacungkan tangannya ke belakang dan ternyata di tangan beliau terdapat sebuah buah rambutan yang masak, maka heranlah semua yang hadir melihat kejadian akan hal tersebut. Dan rambutan itupun langsung beliau makan.
Ketika beliau sedang menghadiri selamatan dan disuguh jamuan oleh shahibul bait maka tampak ketika itu makanan tersebut hampir habis beliau makan, namun setelah piring tempat makanan itu diterima kembali oleh yang melayani beliau, ternyata makanan yang tampak habis itu masih banyak bersisa dan seakan-akan tidak di makan oleh beliau.
Pada suatu musim kemarau yang panjang, di mana hujan sudah lama tidak turun sehingga sumur-sumur sudah hampir mengering, maka cemaslah masyarakat ketika itu dan mengharap agar hujan bisa turun. Melihat hal yang demikian banyak orang yang datang kepada beliau mohon minta doa beliau agar hujan segera turun, kemudian beliau lalu keluar rumah dan menuju pohon pisang yang masih berada di dekat rumah beliau itu, maka beliau goyang goyangkanlah pohon pisang tersebut dan ternyata tidak lama kemudian, hujan pun turun dengan derasnya.
Ketika pelaksanaan Haul Syekh Muhammad Arsyad yang ke 189 di Dalam Pagar Martapura, kebetulan pada masa itu sedang musim hujan sehingga membanjiri jalanan yang akan dilalui oleh 'Alimul 'allamah Al 'Arif Billah Asy Syeikh H. M. Zaini Abd. Ghani menuju ke tempat pelaksanaan haul tersebut, hal ini sempat mencemaskan panitia pelaksanaan haul tersebut, dan tidak disangka sejak pagi harinya jalanan yang akan dilalui oleh beliau yang masih digenangi air sudah kering, sehingga dengan mudahnya beliau dan rombongan melewati jalanan tersebut; dan setelah keesokan harinya jalanan itupun kembali digenangi air sampai beberapa hari.
Banyak orang-orang yang menderita sakit seperti sakit ginjal, usus yang membusuk, anak yang tertelan peniti, orang yang sedang hamil dan bayinya jungkir serta meninggal dalam kandungan ibunya, sernuanya ini menurut keterangan dokter harus di operasi. Namun keluarga mereka pergi minta do'a dan pertolongan. 'Allimul'allamah 'Arif Billah Asy Syekh H. M. Zaini Abd. Ghani. Dengan air yang beliau berikan kesemuanya dapat tertolong dan sembuh tanpa di operasi.
Kesaksian al-Aalimul faadhil Guru Haji Ahmad Bakri : Jika saya berdusta dalam kesaksian ini maka bolehlah saya dicap sebagai munafik. Ketika saya akan berangkat haji pada suatu tahun, saya sowan kepada Guru Sekumpul. Dalam kesempatan itu saya bertanya: wahai Abah! Siapakah Wali Qutub di negeri Makkah pada masa sekarang? Guru Sekumpul tersenyum seraya berkata : “Bakri, Bakri… nama beliau adalah Habib Abu Bakar bin Abdullah al-Habsyi. Guru Bakri Berkata: “Dimanakah ulun dapat menjumpai beliau?”. Guru Sekumpul menjawab; “engkau pasti akan berjumpa dengan beliau”
Saya pun (Guru Bakri) berangkat haji. Satu minggu sebelum pulang ke tanah air, belum juga saya jumpa dengan beliau (Habib Abu Bakar). Akhirnya saya bertanya kepada salah seorang mukimin di Makkah, dimanakah ada seorang yang terkenal sebagai Wali di Makkah ini. Maka dijawab: “ada, beliau tinggal di daerah jabal Nur, nama beliau adalah Habib Abu Bakar al-Habsyi”. Sayapun mencarter taxi ke sana dengan satu orang teman (tidak ramai-ramai, karena ahlussunnah wal jama’ah sangat dicurigai dan diawasi di Saudi). Sesampainya di sana pas waktu Ashar. Selesai sholat Ashar, saya kagum dan terkejut karena ternyata wiridan yang dibaca di sana persis seperti wiridan di sekumpul. Setelah selesai wirid dilanjutkan dengan majelis ta’lim dengan membaca kitab syarah ‘ainiyyah, inipun ternyata sama seperti di sekumpul (waktu itu Guru sekumpul pun sedang mengajarkan kita syarah ‘ainiyyah). Setelah selesai majelis, maka sayapun minta izin untuk bertemu dengan beliau. Tidak lama beliaupun keluar. Ternyata orangnya sudah tua tetapi tampak masih sangat kuat dan bertenaga. Belum sempat saya mengucap salam, beliau langsung berkata
مرحبا العالم الكبير شيخ زيني غني مرتابورا
(selamat datang, seorang Alim yang Besar syaikh Zaini Ghani Martapura),
padahal saya tidak pernah memberi tahu beliau. Ternyata yang beliau lihat bukan saya, tetapi Guru Sekumpul. Berarti Guru sekumpul sudah memberi tahu beliau (entah bagaimana caranya) kalau saya akan sowan kepada beliau. Tanpa panjang pembicaraan saya pun pulang. Karena sebelumnya sudah dinasehati oleh Guru sekumpul untuk tidak banyak bicara. Yang penting minta diakui sebagai murid, itu sudah cukup, sebab seorang guru akan memberi syafaat kepada muridnya. Setibanya di Banjarmasin saya pun sowan ke Guru sekumpul dengan niat menceritakan kepada beliau apa yang terjadi sekaligus menggembirakan beliau dengan kajadian itu. Malam itu pas malam kamis, selesai pengajian, saya ikuti beliau dari belakang. Beliau menoleh dan berkata: “Naik, Bakri”. Sayapun mengikuti beliau. Kami masuk ke rumah beliau sampai ke dalam kamar beliau. Beliau mematikan lampu dan berdoa agak lama. Setelah kurang lebih sepuluh menitan, selesai berdoa beliau berkata: “sudah Bakri, kada usah bakesah lagi, Abah Tahu ai (yang terjadi).” ا.ه. (selesai kisah Guru Haji Bakri)
Dalam kitab al-Futuhat, Ibnu 'Arabi menyebutkan kitabnya yang berjudul Mawaqi' al-Nujum, yang sering dipujinya sebagai kitab yang sangat bagus dalam mengupas masalah karamah yang muncul dari anggota-anggota tubuh yang taat. Anggota tubuh itu adalah mata, telinga, lidah, tangan, perut, kemaluan, kaki, dan hati. Apabila masing-masing anggota tubuh menaati hukum syara' dan dilakukan oleh orang yang bertanggung jawab, maka akan muncul karamah. Dalam kitab tersebut disebutkan berbagai pengetahuan, rahasia ilmu hakikat, dan manfaat ilmu syariat.
Mata
Di antara karamah mata jika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu melihat tamu dari jarak jauh sebelum ia datang, bisa melihat dari balik dinding tebal, melihat Ka'bah ketika shalat, dan lain-lain. Di antara karamah lainnya adalah dapat menyaksikan alam malakut spiritual baik malaikat, penghuni ketinggian (mala'ul a'la), jin, Nabi Khidir, dan para Abdal.
Di antaranya pula ada yang dibukakan baginya alam ghaib di hadapan pandangan matanya, sehingga ia dapat melihat apa saja yang terselubung di sebalik dinding, bahkan ia dapat mengetahui apa yang dilakukan oleh orang dirumahnya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah kasyaf. Misalnya jika seorang wali mendatangi rumah seorang yang telah berbuat zina atau mabuk atau mencuri atau berbuat maksiat, maka wali itu dapat mengetahuinya, seperti yang terjadi pada Syeikh Ibnu Arabi. Mukasyafah semacam ini dikhususkan bagi mereka yang hidup secara wara’. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat mengetahui gerak gerik orang, misalnya seorang wali bergerak hatinya ingin bertemu dengan gurunya, maka gurunya segera hadir di hadapannya. Ada pula jenis karamah berupa didatangkannya sebuah pohon kepada seorang wali, kemudian wali itu menikmati buah dari pohon yang hadir di hadapannya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat mengetahui segala jenis batu-batu mulia dan logam-logam mulia yang ada di perut bumi, meskipun demikian, seorang wali yang diberi karamah jenis ini tidak memperdulikan sedikit pun tentang harta kekayaan yang terpendam itu.
karamah Abu Ishak As-Syirazi dapat melihat Ka’bah sedangkan beliau berada di kota Baghdad. Adakalanya seorang wali diberi kehebatan peribadi yang dapat menyebabkan kematian orang tertentu ketika ia melihat diri wali tersebut. Hal ini pernah terjadi pada seorang pembesar yang mati ketika berhadapan dengan Abu Yazid Al Busthami. Adakalanya seorang yang berhadapan dengan seorang wali seperti ini, maka ia akan tunduk, bahkan akan mengakui apa sahaja yang tersembunyi dalam hatinya. Kejadian seperti ini banyak terjadi. Mendapat perlindungan Allah dari segala kejahatan yang akan menimpa. Bahkan kejahatan yang semula direncanakan itu akan berbalik jadi kebaikan. Hal ini terjadi pada diri Imam Syafi’I apabila beliau akan dihukum oleh khalifah Harun Rasyid, tetapi akhirnya dengan izin Allah beliau dibebaskan.
Telinga
Bila telinga digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mendengar kabar gembira bahwa sang pemiliknya merupakan salah seorang yang diberi hidayah dan akal oleh Allah. Ini merupakan karamah terbesar, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah, Sebab itu sampaikanlah kabar kembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya (QS Al-Zumar [39]: 17-18).
Karamah lainnya adalah dapat mendengar ucapan benda mati, sehingga terdengar semua benda bertasbih kepada Allah dengan bahasa yang jelas, sebagaimana bahasa manusia.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa ilmu yang dapat memahami segala ucapan benda-benda yang mati, sehingga seorang wali yang diberi karamah seperti ini, ia dapat mendengar ucapan tasbih benda-benda yang mati. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat mengetahui segala rahsia benda-benda yang hidup. Di antaranya pula ada yang diberi karamah segala macam ilmu pengetahuan, baik yang berupa ilmu-ilmu zahir mahupun ilmu-ilmu bathin. Seorang yang diberi karamah berupa ini, ia akan dapat memahami berbagai macam persoalan dunia dan akhirat. Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa tingkatan-tingkatan Al Quthbiyah. Di antaranya pula ada yang diberi karamah pengetahuan dan kasyaf, sehingga dapat membedakan mana-mana pendapat mazhab-mazhab yang benar. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat melihat dan mendengar hal-hal yang ghaib, sehingga antara yang terang dan yang terselubung tidak ada beda baginya. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berbicara dengan makhluk alam malakut dan dapat mendengar guratan-guratan pena di Lauh Mahfuz.
Karomah Syeikh Ibrahim Bin Adham. Beliau pernah mendengar suara dari pohon delima yang minta dimakan. Ketika Ibrahim Bin Adham makan buahnya, tiba-tiba pohon itu bertambah tinggi dan buahnya yang masam berubah jadi manis, serta dapat menghasilkan dua kali setiap tahun.
Lidah
Ketika lidah digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menghindari kemaksiatan, karamah yang akan muncul adalah mampu berbicara dan bercakap-cakap dengan alam yang lebih tinggi (alam a'la). Jadi, apabila seorang hamba memperoleh karamah atas telinganya, maka ia akan bisa memanggil dan berhubungan dengan para penghuni alam yang lebih tinggi. Apabila ia hanya sekedar berbicara dengannya, penghuni alam itu tidak menjawabnya. Apabila terjadi pembicaraan antara dia dengan mereka, maka kemampuannya berbicara dengan mereka adalah karamah lisan, kemampuannya mendengar ucapan mereka adalah karamah telinga, dan kemampuannya menyaksikan mereka adalah karamah mata. Demikian juga anggota-anggota tubuh lainnya, karena ada hubungan antara anggota-anggota badan dan ketaatan yang dilakukannya. Di antara karamah lainnya adalah mampu mengatakan suatu keadaan sebelum terjadinya, memberitahukan hal-hal gaib, dan akan munculnya benda-benda.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat berkata-kata dengan makhluk alam arwah, sehingga ia dapat mengetahui keadaan mereka yang sudah wafat, walaupun telah wafat bertahun tahun. Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat melenyapkan dirinya dari alam wujud ke alam ghaib, sehingga ia dapat menghilang dari suatu majlis tanpa pengetahuan mereka yang hadir.
Karamah Abu Said ibnu Abil Khair Al Maihani. Singa dan binatang yang lain takut kepadanya. Ada pula sebahagian wali yang dipatuhi segala benda seperti yang terjadi pada diri Syeikhul Islam Izzudin Ibnu Abdis Salam beliau pernah berkata kepada angin di waktu peperangan antara kaum Muslimin dan umat Nasrani: “Hai angin terbangkan musuh-musuh kami”. Dengan izin Allah kaum Nasrani diterbangkan angin dan dilempar ke tanah sampai binasa.
Karamah lain pernah terjadi pada seorang wali yang diancam oleh seorang raja zalim. Raja zalim itu berkata: “Tunjukkanlah padaku bukti kebenaranmu, jika tidak, aku akan hukum kamu”. Pada waktu itu si wali melihat dekatnya kotoran unta. Maka ia berkata: “Lihatlah itu”. Tiba-tiba kotoran unta itu jadi sebungkal emas. Kemudian ia melihat sebuah tempat air yang tidak ada airnya. Si wali itu melemparkan tempat air yang kosong itu ke udara. Ketika tempat air itu jatuh tiba-tiba telah berisi air penuh dan tempat air itu terjungkir. Namun air yang didalamnya tidak tertumpah setitik pun. Melihat kejadian tersebut raja itu hanya berkata: “Ini hanyalah perbuatan sihir belaka”. Kemudian raja memerintahkan untuk melemparkan si wali ke dalam api yang bernyala-nyala. Tidak lama si wali tersebut segera keluar dan menarik putera raja yang masih kecil ke tengah api yang sedang menyala. Melihat kejadian ini raja hampir jadi gila, kerana putera satu-satunya diseret ke tengah api yang sedang menyala. Setelah beberapa saat, si wali keluar bersama putera raja itu dari api, sedang ditangan kanan putera raja itu memegang buah apel dan dikirinya memegang buah delima. Raja bertanya pada puteranya: “Wahai puteraku, dari mana kamu tadi?” Jawab si putra: “Aku dapat dari sebuah kebun”.Mendengar keterangan putera raja itu para pembesar kerajaan hanya berkata: “Itu hanyalah suatu sihir belaka”. Kemudian raja berkata kepada si wali: “Jika kamu dapat minum racun ini, aku akan percaya padamu”. Setelah itu, si wali minum racun itu. Namun ia tidak mati hanya bajunya sahaja yang koyak. Kemudian ditambah lagi meminum racun. Setiap kali minum racun ia tetap hidup hanya bajunya saja yang koyak-koyak. Pada terakhir kali ketika ia diberi minuman racun lagi bajunya tidak koyak dan ia pun selamat.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah dapat menjadikan air asin atau payau menjadi air tawar dan segar. Karamah seperti ini pernah diberikan kepada Syeikh Abdullah Ibnul Ustad Al Marwazi sahabat Syeikh Abu Madyan.
Tangan
Di antara karamah yang akan muncul bila tangan dipergunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah munculnya warna putih bersih tanpa noda di tangan ketika dimasukkan ke dalam saku seperti yang terjadi pada Nabi Musa as, memancarkan air di sela-sela jari yang terjadi pada Nabi Muhammad Saw., melemparkan tanah ke muka musuh, sehingga mereka kalah. Para wali Allah dengan kehendak-Nya mengepalkan tangan ke udara, lalu ketika mereka membukanya muncullah perak, emas, dan lain-lain.
Diriwayatkan bahawa sebahagian wali ada yang diikuti oleh hujan. Salah seorang dari mereka bernama Syeikh Abul Abbas As Syatir, ia sering menjual hujan dengan harga beberapa dirham. Kisah semacam ini banyak terjadi, sehingga sukar untuk dimungkiri kewujudannya.
Karamah Abu Turab, ketika beliau menghentakkan kakinya ke bumi, maka Allah mengeluarkan air dari tanah itu. Kata Imam Subki: “Di antara jenis karamah seperti ini ialah terpancarnya sumber mata air di musim kemarau dan bumi tunduk pada seorang yang memukulkan kakinya ke bumi”. Pernah diceritakan bahawa ada seorang yang berjalan ke kota Mekkah untuk berhaji. Dalam perjalanan itu ia merasa haus sekali. Namun ia tidak mendapat seteguk air pun. Kemudian ia menemui seorang fakir yang bertongkat. Tepat di tempat itu terpancarlah sumber mata air yang dapat memberikan minuman kepada para jemaah haji yang sedang lewat di tempat itu. Semua jemaah haji yang lewat di tempat itu membekali dirinya dengan air yang terpancar di bawah tongkat si fakir.
Karomah lain Adakalanya untuk menulis sebuah karangan sahaja seorang akan menghabiskan seluruh umurnya. Apalagi akan menulis berpuluh-puluh buah karangan dalam waktu yang sangat singkat. Karamah semacam ini termasuk jenis karamah waktu dapat menjadi panjang. Jenis karamah ini pernah dialami oleh Imam Syafi’i Rahimullah. Beliau mampu mengarang berpuluh-puluh kitab, padahal sebenarnya waktunya tidak akan cukup untuk melakukan hal itu, disebabkan kesibukan beliau sehari-harinya untuk mengkhatamkan Al Qur’an setiap harinya dengan bacaan yang penuh oleh tadabbur dan di bulan Ramadhan pun beliau dapat mengkhatamkannya dua kali setiap harinya. Di samping itu, beliau juga di sibukkan oleh banyaknya memperdalami ilmu pengetahuan, memberikan pelajaran, berzikir dan banyaknya penyakit yang dialaminya. Dalam suatu riwayat dikatakan bahawa beliau menderita tiga puluh macam penyakit. Karamah semacam ini dialami juga oleh Imamul Haramain Abul Ma’ali Al Juwaini. Dengan umur yang tidak panjang, beliau mampu mengarang beberapa buah kitab. Sebenarnya umur yang sependek itu tidak akan cukup untuk mengarang berpuluh-puluh kitab disebabkan kesibukan beliau dalam belajar dan mengajar serta berzikir.
Jenis karamah seperti ini diberikan juga kepada seorang wali yang mampu mengkhatamkan Al Quran sebanyak lapan kali dalam sehari. Imam Nawawi juga diberi Allah kemampuan untuk mengarang berpuluh-puluh kitab dalam waktu singkat. Sebenarnya umur beliau yang sedemikian itu tidak cukup untuk mengarang kitab sebanyak itu. Ditambah lagi dengan berbagai macam ibadah yang beliau lakukan setiap harinya. Karamah seperti ini diberikan juga kepada Imam Taqiuddin As Subki. Beliau mampu menulis berpuluh-puluh kitab. Sebenarnya umur yang sependek itu tidak akan cukup untuk menulis kitab sebanyak itu disebabkan beliau sangat sibuk memberi pengajaran, tekun beribadat, banyak membaca Al Quran dan berzikir. Sebenarnya jika kita hitung pekerjaan besar yang dikerjakannya dengan umurnya yang singkat, pasti tidak cukup untuk memenuhi sepertiganya, namun Allah memberinya barakah dalam umur, sehingga beliau dapat merampungkan segala tugas besar dipikulnya.
Perut
Di antara karamah yang muncul bila perut digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan —tidak termasuk dalam kategori makr dan istidraj— adalah terpeliharanya perut dari makanan, minuman, dan pakaian yang tidak halal dengan munculnya tanda yang disampaikan oleh Allah. Adakalanya tanda itu muncul dalam dirinya sendiri atau dari sesuatu yang bersifat syubhat atau haram, sehingga ia hanya memperoleh sesuatu yang baik saja. Dikisahkan bahwa ketika disajikan makanan syubhat kepada Al-Harits al-Muhasibi r.a., mengucurlah keringat di sela-sela jarinya. Begitu juga yang terjadi pada ibunda Abu Yazid al-Busthami r.a. ketika sedang mengandung Abu Yazid, tangannya tidak pernah menyentuh makanan haram. Pada wali lain, muncul suara yang berkata "jauhi". Wali lainnya jatuh pingsan ketika menemukan makanan yang tidak halal. Ada juga wali yang makanan haram di hadapannya berubah menjadi darah, berwarna hitam, seekor babi, dan lain-lain yang Allah khususkan bagi para wali dan orang-orang suci-Nya.
Karamah lain yang muncul karena ketaatan perut adalah makanan yang sedikit bisa mengenyangkan orang banyak. Ini merupakan warisan dari Rasulullah Saw. Ketika itu, Rasulullah menggelar sebuah tikar kulit dan didatangi oleh pemilik gandum dengan memberikan setangkai gandumnya dan pemilik biji-bijian dengan memberikan setangkai biji-bijiannya, hingga terkumpullah sedikit makanan. Beliau berdoa agar makanan itu diberkati, lalu orang-orang mengisi tempat yang mereka bawa dengan makanan itu sampai penuh, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih riwayat Muslim.
Karamah perut yang lainnya adalah dapat membuat satu macam makanan di atas piring menjadi berbagai macam jenis makanan sesuai dengan keinginan orang-orang yang hadir di tempat itu. Termasuk karamah perut lainnya adalah didatangi jin atau raja yang membawakan makanan, minuman, dan pakaiannya, atau menggantungkannya di udara.
Karamah lain dalam maqam ini adalah mampu mengubah air minum yang asin dan pahit menjadi manis. Ibnu 'Arabi berkata, "Saya pernah meminum minuman seperti itu dari tangan Abu Muhammad 'Abdullah bin Ustad Al-Marwazi Al-Hajj, termasuk murid khusus Abu Madyan r.a., beliau selalu disebut sebagai Al-hajj al-mabrur. Makanan halal itu adakalanya diperoleh dengan bekerja atau dengan menjauhi dosa-dosa, seperti yang dikatakan beberapa syaikh, "Ahli ma'rifat adalah orang yang tidak memadamkan cahaya ma'rifatnya sebagai cahaya wara'nya, maka ketika diperoleh barang halal, sedikit saja cukup baginya. Bila ia melaksanakan hal ini, maka tumbuh dalam batinnya keinginan melakukan perbuatan baik yang diwujudkan Allah dalam jiwa hamba ini sebagai karamah karena kedudukan dan kejujurannya." Dan dari kehendak kuat itu keluar semua yang telah kami sebutkan dan banyak karamah yang belum terlintas dalam benak manusia.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah tidak tersentuh makanan, minuman dan pakaian yang berasal dari hasil syubhat, apa lagi yang haram. Jenis karamah ini, biasanya si wali diberi tanda tertentu oleh Allah jika ada makanan, minuman dan pakaian dari hasil syubhat yang menyentuh dirinya. Di antara yang mendapat karamah macam ini adalah ibunya Abu Yazid Al Bustami. Setiap kali ia mendapat makanan atau minuman yang syubhat, maka tangannya berpeluh dan gementar, sehingga ia harus menjauhi makanan dan minumannya.
Di antaranya pula ada yang diberi karamah berupa makanan atau minuman sedikit yang dihidangkan dapat menjadi banyak. Karamah ini pernah diberikan kepada Syeikh Abu Abdullah At Tawudi ketika ia menyuruh kawannya ke tukang jahit, maka ia mengeluarkan sepotong kain yang sempit dari balik bajunya, kemudian ia menyuruh kawannya untuk membawanya ke tukang jahit seraya berkata: “Dari kain yang sempit ini buatlah pakaian yang cukup untuk beberapa orang”. Nyatanya kain yang sedemikian sempit itu dapat mencukupi pakaian untuk beberapa orang.
Disebutkan bahawa ada seorang ingin menguji karamah Syeikh Isa Al Hattar. Ia menyuruh pelayannya membawa dua botol minuman keras kepada beliau. Setelah kedua botol itu diterima oleh Syeikh Isa, maka ia menuang isi kedua botol itu seraya berkata kepada sebilangan orang yang ada di sisinya: “Minumlah minyak samin ini”. Maka minuman keras yang ada di kedua botol itu berubah menjadi minyak samin yang rasanyaamat lazat. Kisah karamah jenis ini sering terjadi.
Kemaluan
Di antara karamah yang dihasilkan ketika kemaluan dipergunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah anugerah dari Allah berupa rahasia menghidupkan orang-orang mati, menyembuhkan orang yang buta sejak lahir dan penderita lepra, dan meninggalkan semua perkara yang membuatnya melupakan Allah. Allah berfirman, Dan Maryam puteri 'Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh Kami (QS Al-Tahrim [66]: 12). Dan Kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam (QS Al-Anbiya' [21]: 91). Dalam hal ini, Ibnu 'Arabi juga telah menjelaskan secara mendalam hubungan-hubungan lain antara ketaatan anggota tubuh dan karamah yang dikeluarkannya, hikmah-hikmah dan rahasia ilmu hakikat.
Karamah seperti ini pernah terjadi pada Syeikh Sirri As-Saqathi. Seorang pernah menemuinya ketika beliau sedang menyembuhkan orang yang sakit kusta dan buta. Syeikh Abdul Qadir Jailani pernah berkata kepada seorang anak yang sakit lumpuh, buta dan kusta: “Berdirilah engkau dengan izin Allah”. Dengan izin Allah, maka anak tersebut segera bangun tanpa suatu cacat pun.
Imam Taajus Subki memberi contoh karamah Abi Ubaid Al Busri. Beliau pernah berdoa kepada Allah agar kudanya yang mati ditengah medan perang dihidupkan kembali. Doa beliau terkabul dan kuda Abi Ubaid akhirnya hidup kembali.
Pernah Mifraj Ad Damamini berkata kepada anak burung yang telah dipanggang: “Terbanglah wahai burung dengan izin Allah”. Ucapan beliau terkabul dan burung itu hidup kemudian terbang.
Syeikh Ahdal pernah memanggil kucing yang telah mati. Akhirnya kucing itu hidup dan datang kepada Syeikh Ahdal.
Syeikh Abdul Qadir Al Jailani pernah berkata kepada seekor ayam yang baru di makan dagingnya: “Hai ayam hiduplah kau dengan izin Zat yang dapat menghidupkan tulang belulang”. Dengan izin Allah, tulang belulang tersebut berubah wujudnya menjadi ayam kembali.
Pernah Abi Yusuf Dahmani berkata kepada seorang mayat:
“Hai fulan, hiduplah dengan izin Allah”. Ucapan beliau terkabul sehingga mayat itu hidup kembali selama beberapa waktu.
Imam Subki pernah bercerita: “Aku pernah dengar kisah Syeikh Zainuddin Al Faruqy Asy Syafi’i, bahawa pada suatu hari ada seorang anak kecil jatuh dari atap rumahnya lalu mati. Ketika Syeikh Zainuddin melihat kejadian itu, beliau berdoa kepada Allah. Maka dengan izin Allah, anak kecil yang mati itu hidup kembali.
Selanjutnya Imam Subki berkata: “Sesungguhnya kejadian semacam itu tidak terhitung banyaknya. Dan aku yakin benar adanya karamah seperti itu. Hanya saja yang belum pernah kudengar adanya seorang wali yang dapat menghidupkan orang mati yang telah lama atau yang sudah menjadi tulang belulang. Yang kami dengar hanyalah pada diri sebagian Nabi di zaman dulu.Dan itu pun merupakan suatu mukjizat baginya. Bukan termasuk jenis karamah. Yang mungkin terjadi pada diri seorang Nabi terdahulu adalah menghidupkan suatu kaum yang telah mati beberapa abad, kemudian mereka dihidupkan. Dengan izin Allah kaum itu hidup selama beberapa waktu. Yang tidak mungkin terjadi dimasa ini adalah adanya seorang wali yang menghidupkan Imam Syafi’i atau Abu Hanifah, kemudian keduanya dapat hidup lama dan bergaul dengan masyarakat seperti pada waktu sebelumnya.
Kaki
Di antara karamah yang akan muncul jika digunakan untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan ada-lah mampu berjalan di atas air, dapat mengelilingi bumi, dan berjalan di udara. Hikayat-hikayat tentang maqam ini sangat terkenal, saking terkenalnya hingga tidak perlu lagi kami jelaskan di sini. Kitab-kitab kumpulan syair dipenuhi hikayat-hikayat tentang karamah ini. Karena Allah Swt. adalah pemilik para wali, maka Dia memunculkan semua karamah ini bersama mereka. Ibnu 'Arabi menyatakan, "Kami telah menyaksikan dengan jelas penempuh jalan ini berjalan di atas air dan di udara, dan dapat melipat bumi."
Karamah seperti ini pernah terjadi pada diri seorang wali yang berada di Masjid kota Tursus (Turki). Wali tersebut pernah tergerak dalam hatinya ingin pergi ke Masjidil Haram, kemudian beliau memasukkan kepalanya dikantungnya lalu mengeluarkannya kembali. Maka dengan izin Allah, wali itu telah berada di Masjidil Haram . Kisah semacam ini pada umumnya dikisahkan secara berurutan dari orang-orang yang dapat dipercaya.
Karamah di kalangan ahli Sufi dengan “Alamul Mithsal, iaitu antara alam yang nyata dan alam arwah. Orang yang yang mendapat karamah seperti ini dapat berubah bentuk dan berpindah tempat dengan bebas. Karamah seperti jenis ini pernah di alami oleh seorang wali yang bernama Qadhibul Bani. Orang yang tidak mengenal beliau akan menyangkanya tidak pernah melakukan solat dan ia membencinya. Pada suatu hari, ketika beliau dicela oleh seorang yang menyangkanya tidak pernah melakukan solat, di saat itu Allah memperlihatkan karamahnya, sehingga beliau dapat berubah dalam beberapa bentuk yang menunjukkan bahawa beliau sedang melakukan solat. Beliau bertanya : “Dalam gambaran atau bentuk manakah yang kamu lihat aku tidak solat?” Perkara serupa ini pernah terjadi pula pada seorang wali yang pernah dilihat oleh seorang ketika beliau sedang berwudhu di Masjid Sayufiah di Cairo. Orang itu menegur: “Hai orang tua, nampaknya cara kamu berwudhu itu tidak tertib”. Jawab si wali: “Aku tidak pernah berwudhu dengan cara yang tidak tertib. Hanya saja anda tidak dapat melihatku, kalau anda dapat melihat, pasti kamu akan melihat ini”. Beliau berkata demikian sambil memegang tangan orang itu, sampai ia dapat melihat Ka’bah, kemudian beliau membawanya ke Mekkah dan menetap di sana selama beberapa tahun.
Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibn Athoillah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim, di Mas'aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya : "Siapa saja yang kamu temui ?" lalu si murid menjawab : "Tuanku... saya melihat tuanku di sana ". Dengan tersenyum al-arif billah ini menerangkan : "Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya".
Hati
Di antara karamah hati ketika digunakan untuk melakukan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan adalah mampu mengetahui sesuatu sebelum terjadi. Ibnu 'Arabi berkata, "Ketahuilah anakku, Allah telah menolongmu, menerangi hatimu, melapangkan dadamu, dan menyucikan pakaian serta hatimu. Segala karamah yang berkaitan dengan anggota tubuh lainnya merujuk dan kembali kepada hati. Kalau tidak ada hati, maka seluruh anggota tubuh lainnya tidak berarti.
Setiap perbuatan berasal dari hati, kalau tidak didasari keikhlasan sebagai aktivitas hati, maka amal tersebut bagai debu beterbangan, tidak bermanfaat dan tidak mendatangkan kebahagiaan." Allah berfirman, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agama dengan lurus (QS Al-Bayyinah [98]: 5). Dan Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan tiap-tiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya adalah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa berhijrah kepada dunia dan perempuan yang akan dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa yang menjadi tujuan hijrahnya." Dari sini jelaslah bahwa sudi dan ternodanya semua perbuatan lahir maupun batin tergantung pada hati. Jadi, gerakan atau diamnya anggota tubuh untuk menaati syariat dan melakukan maksiat hanya berdasarkan pada perintah dan kehendak hati.
Gagasan muncul pertama kali di dalam hati. Apabila hati ingin mewujudkan gagasan itu, maka ia mempertimbangkan anggota tubuh mana yang sesuai untuk melakukan gagasan itu, lalu hati menggerakkan anggota tubuh yang dipilihnya untuk mewujudkan gagasan itu, baik untuk ketaatan maupun kemaksiatan, dan atas anggota tubuh itulah pahala dan siksa diberikan. Tidakkah kamu merenungkan bagaimana Allah menganggap pandangan pertama kepada seorang perempuan bukan muhrim yang dilakukan tanpa sengaja dan tidak diniati dalam hati sebagai suatu hal yang dimaafkan dan tidak dikenai siksa?
Demikian pula ketika seorang hamba melakukan perbuatan salah tanpa sengaja, maka Allah benar-benar telah mengampuni perbuatannya itu, sebagaimana bila hati menghendaki dan berniat melakukan kemaksiatan, tetapi tidak jadi melakukannya, maka niatnya itu tidak ditulis dan tidak dihitung, selama belum dilakukan atau hanya sebatas ucapan semata. Adapun jika hati berniat melakukan ketaatan, maka ia akan diberi ganjaran sesuai dengan niat dan harapannya, meskipun ia belum melakukan ketaatan yang telah diniatkannya, niatnya telah ditulis sebagai kebaikan. Bila kamu meyakini hal ini, maka tetaplah yakin bahwa hati adalah pemimpin raga. Seluruh karamah yang muncul dari anggota tubuh merujuk kepada hati, dan hati itu sendiri dapat memunculkan karamah-karamah tertentu.
Karamah hati lainnya adalah Allah Swt. memperlihatkan kepadanya semua yang tersimpan di dunia, berupa rahasia-rahasia, alasan dan sebab perintah-Nya, atau apa pun yang mewujud dalam alam, baik spiritual maupun non spiritual.
Seorang Wali besar Tuan Guru Sapat Syek Abdurraham Siddiq Mufti Kerajaan Indragiri dimakamkan di desa Hidayat (dekat Sapat) Kec. Kuala Indragiri, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau berpendapat bahwa Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari adalah keturunan Alawiyyin melalui jalur Sultan Abdurrasyid Mindanao.
Jalur nasabnya ialah Maulana Muhammad Arsyad Al Banjari bin Abdullah bin Abu Bakar bin Sultan Abdurrasyid Mindanao bin Abdullah bin Abu Bakar Al Hindi bin Ahmad Ash Shalaibiyyah bin Husein bin Abdullah bin Syaikh bin Abdullah Al Idrus Al Akbar (datuk seluruh keluarga Al Aidrus) bin Abu Bakar As Sakran bin Abdurrahman As Saqaf bin Muhammad Maula Dawilah bin Ali Maula Ad Dark bin Alwi Al Ghoyyur bin Muhammad Al Faqih Muqaddam bin Ali Faqih Nuruddin bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khaliqul Qassam bin Alwi bin Muhammad Maula Shama’ah bin Alawi Abi Sadah bin Ubaidillah bin Imam Ahmad Al Muhajir bin Imam Isa Ar Rumi bin Al Imam Muhammad An Naqib bin Al Imam Ali Uraidhy bin Al Imam Ja’far As Shadiq bin Al Imam Muhammad Al Baqir bin Al Imam Ali Zainal Abidin bin Al Imam Sayyidina Husein bin Al Imam Amirul Mu’minin Ali Karamallah wa Sayyidah Fatimah Az Zahra binti Rasulullah SAW.
SYEKH KHOLIL BANGKALAN MADURA MURSYID TAREKAT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH GURU ABAH SEPUH
Berguru Dalam Mimpi
Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya.Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Di Datangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah Syeikh Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang.Mendengar teriakan Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh Kholil.
Santri Mimpi Dengan Wanita
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikuts ertaan Bahar sholat subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri kurang ajar.....Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ; Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada menyelidik.Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya.Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Jawaban Syeikh Kholil kepada tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Khalil bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin itu. Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Tongkat Syeikh Kholil Dan Sumber Mata Air
Suatu hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.
Diposkan oleh Rajanya Para Waliullah Zaman ini Abah Anom di 00:53
AMALIYAH TQN..., AMALKAN SAJA
Pertama : Kalimat Laa ilaaha Ilallah (dzikir Jahar yang kita amalkan), pada mulanya diletakkan oleh Allah (tertulis) pada tiang tiang 'Arsy dan tidak ada satupun makhluk yang diciptakan oleh Allah kecuali ruhnya berdzikir dengan Laa Ilaaha Illallah. Karena kalimat Laa Ilaaha Illallah itu tidak lain merupakan huruf ALIF, LAM, LAM, HA (ALLAHU). Karena itu talqin dzikir (khofi) yang telah diisikan oleh Pangersa Abah atau Wakil Talqin yang telah ditunjuk oleh beliau, merupakan sesuatu perkara yang amat besar. Dalam suatu hadits disebutkan Laqqiinuu mautaakum laa ilaaha illallah. Ajarkanlah orang yang akan (hampir) mati dengan laa ilaaha illallah. Hadits ini jangan diartikan kepada orang yang sedang menghadapi sakaratul maut tapi yang akan mati itu adalah kita sendiri.
Laa ilaaha illallah memberikan kekuatan kepada kita sebagai muslim, laa ilaaha illallah menghubungkan kita langsung kepada Allah, laa ilaaha illallah memfanakan diri kita dari dunia yang akan kita tinggalkan, laa ilaaha illallah yang menjamin diri kita masuk surga, laa ilaaha illallah sebagai kekuatan umat Islam seperti yang diajarkan selama 12 tahun di Mekkah oleh Rasulullah Saw. Bilal bin Rabah telah mencontohkan kepada kita bagaimana kekuatan kalimat tersebut meskipun siksaan-siksaan didapatinya tapi dia tetap berkata, Ahadun, ahad, Allahu, Allah ... Kita harus mempunyai keyakinan yang sempurna dengan kalimat tersebut. Karena banyak yang mengucapkan kalimat tersebut tapi tidak bisa sampai kepada Allah. Sayyidina 'Alipun diajarkan oleh Nabi tentang hal tersebut sebagai suatu cara yang paling dekat, paling cepat, paling mudah, paling unggul untuk dekat kepada Allah. Dzikir inilah sebagai benteng kita untuk menghadapi setiap permasalahan kehidupan dunia. Dengan penuh kesabaran, keimanan, kegungan kalimat ini, hadapilah semua permasalahan itu sehingga timbul kesadaran bahwa kita adalah makhluk dan Allah adalah Khaliq.
Kedua Khatam atau khataman. Sebagai murid, hendaknya tidak perlu bertanya kepada Mursyid tentang amaliyah yang diperintahkan olehnya untuk mengamalkannya. Dzikir, amalkan saja, Khataman, amalkan saja, makaqiban amalkan saja, Tanbih amalkan saja. Kalau kita lihat isi dari khataman tersebut, maka akan tampak bahwa didalamnya terdapat sesuatu perkara dunia yang tersirat tapi tidak tersurat. Misalnya Allahumma yaa qoodiyal Haajaat. Banyak hajat dunia yang ingin kita penuhi, tapi dalam khataman tersebut cukup itu saja yang disampaikan kepada Allah, meskipun pendek tapi penuh dengan makna. Begitulah orang-orang yang telah berma'rifat kepada Allah menyampaikan hajatnya. Tidak perlu kita tambah dengan hal-hal lain. Cukup saja dengan Allahumma yaa qoodiyal Haajaat. Dan seterusnya. Dengan mengamalkan khataman, berarti kita telah menghubungkan diri dengan para nabi, para malaikat, para khulafaur rosyidin, para sholihin, para 'ulama, orang tua kita, kaum muslimin dan lain-lain. Meskipun kalimat-kalimat dalam khataman pendek-pendek, tapi bisa mengadung seribu makna. Karena itu, amalkan saja! Itulah yang saya rasakan selama 25 tahun mengamalkannya. Jangan lupa kuncinya adalah sabar. Insya Allah dengan berkah dzikir dan khataman setiap permasalah hidup yang kita hadapi akan diberikan jalan keluar oleh Allah.
Ketiga Manaqiban. Meskipun didalamnya terdapat bermacam-macam karomah Syekh Abdul Qodur Jailani yang berada diluar kebiasaan manusia, kita harus percaya, jangan agu-ragu, karena itulah karomah. Di dalam al-Qur'anpun bermacam-macam keluarbiasaan dari seorang manusia yang telah dimuliakan oleh Allah bisa kita baca seperti dalam kisah Ashabul Kahfi, kisah Siti Maryam dan lain-lain. Mereka bukanlah Rasul yang diberikan mu'jizat tapi hanya seorang yang telah dimuliakan oleh Allah dengan karomahnya dengan berkahnya. Syekh 'Abdul Qodir Jailani sampai berani mengatakan, barang siapa yang ingin berhubungan denganku, ingin aku sampaikan kepada Allah permohonanmu, maka ucapkanlah : Bismillaahi, 'alaa niyyati sayyidi syekh 'abdul Qodir Jailani. Jauh-jauh kita datang ke Suryalaya ini untuk mengikuti Manaqib Syekh Abdul Qodir Jailani, tidak lain untuk mendapatkan berkah dari Pangersa Abah dan Syekh Abdul Qodir Jailani.
Yakinkanlah, dengan mengamalkan dzikir, khataman, manaqiban dan amal shaleh yang lain baik secara lahiriyah maupun batiniah, maka Allah akan mengabulkan hajat-hajat kita. Amalkan dengan ikhlas dan bersabarlah.
HABIB MUHAMMAD LUTHFI ALI YAHYA









              Maulana Habib dilahirkan di Pekalongan pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah al Karimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.
Sementara nasab beliau dari jalur ayah:
Rasulullah Muhammad SAW
Sayidatina Fathimah az-Zahra + Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib
Imam Husein ash-Sibth
Imam Ali Zainal Abiddin
Imam Muhammad al-Baqir
Imam Ja’far Shadiq
Imam Ali al-Uraidhi
Imam Muhammad an-Naqib
Imam Isa an-Naqib ar-Rumi
Imam Ahmad Al-Muhajir
Imam Ubaidullah
Imam Alwy Ba’Alawy
Imam Muhammad
Imam Alwy
Imam Ali Khali Qasam
Imam Muhammad Shahib Marbath
Imam Ali
Imam Al-Faqih al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy
Imam Alwy al-Ghuyyur
Imam Ali Maula Darrak
Imam Muhammad Maulad Dawileh
Imam Alwy an-Nasiq
Al-Habib Ali
Al-Habib Alwy
Al-Habib Hasan
Al-Imam Yahya Ba’Alawy
Al-Habib Ahmad
Al-Habib Syekh
Al-Habib Muhammad
Al-Habib Thoha
Al-Habib Muhammad al-Qodhi
Al-Habib Thoha
Al-Habib Hasan
Al-Habib Thoha
Al-Habib Umar
Al-Habib Hasyim
Al-Habib Ali
Al-Habib Muhammad Luthfi
Masa Pendidikan
       Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
Ø Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah  al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas
Ø Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri)
Ø Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi
Ø Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
       Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.
Perjalanan Ilmiah

            Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu beliau melaksanakan ibadah haji serta menjiarahi datuknya Rasulullah Saw., disamping menimba ilmu dari ulama dua tanah Haram; Mekah-Madinah. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.
             Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.

       Silsilah Thariqah dan Baiat:

       Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al ‘Aliah

Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim al Alamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
Sanad Naqsyabandiayah  al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik
dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi
dari Qutb al Arif Sulaiman al Quraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi
dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid
sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi al Hasni.
Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik
dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki
dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.

Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
  • Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas.
  • Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
  • Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
  • Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid Al Qutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
  • Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas Singapura.
  • Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.

Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
  • Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali.
  • Dari Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad  Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.

Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:

Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.

Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.

Thariqah Tijaniah:
Dari Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.

Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:
  • Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami'ul Usul thariq al Aulia).
  • Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
  • Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
  • Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
  • Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
  • Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
  • Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.
Jabatan Organisasi:
  • Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
  • Ketua Umum MUI Jawa Tengah dll.
KH Muhammad Sami’un
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Keberadaan Pondok Pesantren Parakan Onje Purwokerto yang kini dikenal dengan Pesantren Ath-Thohiriyyah, tak dapat dilepaskan dari sosok KH Muhammad Sami’un. Pasalnya, beliaulah yang mula pertama melakukan babad ke-Islam-an di wilayah ini. Siapakah KH Muhammad Sami’un itu? Beliau adalah putera K Muhammad Maksum, seorang katib di Purwokerto yang hidup semasa penjajahan Belanda. Sami’un kecil mengenyam pendidikan formal di bangku HIS dan MULO. Ilmu pengetahuan agama diperolehnya dari Kyai Imam Tabri Kauman. Setamat MULO, Sami’un muda bekerja pada Pemerintah Belanda, menangani proyek pembangunan rel kereta api jurusan Purwokerto-Jakarta. Saat berada di Jakarta, yakni ketika sedang memberesi tempat tidur, Sami’un dikejutkan oleh seekor kalajengking yang muncul dari balik kasur. Sejak saat itu, bayangan akan siksa kubur bergelayut di benaknya. Pengalaman rohani ini membuatnya berkeputusan berhenti kerja, dan putar haluan untuk mendalami ilmu agama.
Berbekal gaji yang ditabungnya semasa kerja, Sami’un menjalani kehidupan baru sebagai santri. Pertama-tama yang ditujunya adalah Pesantren Lirap Kebumen yang dikenal sebagai pesantren alat (nahwu). Hafalan kitab Jurumiyah, Imriti dan Alfiyah dikhatamkan dalam tempo tiga bulan. Di pesantren ini, Sami’un berguru kepada Kyai Ibrahim selama dua tahun (1911-1913). Selepas dari Lirap, ia melanjutkan ke Pesantren Termas untuk berguru pada KH Dimyati (1914-1924). Semasa di Termas, secara temporer Sami’un menyempatkan ngaji kitab Ihya Ulumaddin pada KH Abdullah bin Abdul Muthalib di Kaliwungu Kendal.
Pergi ke Tanah Suci adalah tekad yang ingin segera ia wujudkan. Lantas, ia melamar sebagai juru bahasa bagi kapal-kapal yang masuk ke Serawak. Hasil tes wawancara mensyaratkan, ia akan diterima kerja jika sudah berkeluarga. Maka, ia segera kembali ke kampung halaman untuk menikah dan memboyong sang isteri (Sartinah) ke Serawak. Bekerja di Serawak adalah pilihan sebagai batu loncatan menuju Mekkah. Lima tahun lamanya Sami’un-Sartinah tinggal di negeri orang (1925-1930). Tahun 1929 mereka dikaruniai momongan yang pertama dan diberi nama Abu Hamid (Pengasuh Pesantren Al-Ikhsan Beji Purwokerto).
Saat mengandung putera kedua, Sartinah mendesak sang suami agar pulang ke tanah air. Sejak 1930, KH Sami’un beserta keluarga kembali ke Purwokerto dan memulai berdakwah di Masjid Wakaf Sokanegara. Sepuluh tahun lamanya KH Sami’un mengajar para santri di Sokanegara, sebelum akhirnya hijrah ke Parakan Onje pada 1940.
KH Sami’un menetap di Parakan Onje hingga akhir hayatnya pada 23 Ramadan 1372. Sepeninggal almarhum, para santrilah yang meneruskan dakwah beliau di kemudian hari. Mereka antara lain KH Zaid Abu Mansyur (Lesmana), KH Muhyiddin (putera menantu), Kiai Dimyati dan Kiai Abdul Ngalim (Kober), Kiai Romli (Pasir Kulon), Kiai Sulaeman, Kiai Ishak, dan lain-lain. KHM Sami’un juga dikenal sebagai mursyid tarekat Syadziliyyah. Ijazah wirid tarekat ini diperoleh dari KH Abdullah bin Abdul Muthalib Kaliwungu (Kendal). Penerus tarekat beliau adalah KH Zaid Abu Mansyur Lesmana dan KH Abu Hamid Beji.
Meski fasih berbahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Arab, KH Sami’un lebih suka mengajar para santri dengan Bahasa Jawa. Bahkan, beberapa karya almarhum ditulis dalam dalam bahasa Arab-Jawa, seperti Lubabuz Zaad, Aqoid 50, Terjemah Yasin dan Doa Sholat Bahasa Jawa.
SYAIKH ABDUL MALIK BIN ILYAS
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
 
           Beliau adalah sosok ulama yang cukup di segani di kebumen propinsi jawa tengah,Syaikh Abdul Malik semasa hidupnya memegang dua thariqah besar (sebagai mursyid) yaitu: Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah dan Thariqah Asy-Syadziliyah. Sanad thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah telah ia peroleh secara langsung dari ayah beliau yakni Syaikh Muhammad Ilyas, sedangkan sanad Thariqah Asy-Sadziliyah diperolehnya dari As-Sayyid Ahmad An-Nahrawi Al-Makki (Mekkah).Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan sangat besar, yaitu membaca Al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang membaca shalwat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali menghatamkan Al-Qur’an. Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir AS atau lebih sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan murid beliau.
Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat Al-Fatih, Al-Anwar dan lain-lain.Beliau juga dikenal sebagai ulama yang mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri beliau. Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping dikenal memiliki hubungan yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Soleh bin Muhsin Al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta), Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli (Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Soleh berkata kepada para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah Jawa.” Tidak lama kemudian datanglah Syaik Abdul Malik dan jamaah pun terkejut melihatnya.Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi Al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata, ”Aku harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”Asy-Syaikh Abdul Malik lahir di Kedung Paruk, Purwokerto, pada hari Jum’at 3 Rajab 1294 H (1881). Nama kecilnya adalah Muhammad Ash’ad sedang nama Abdul Malik diperoleh dari ayahnya, KH Muhammad Ilyas ketika ia menunaikan ibadah haji bersamanya. Sejak kecil Asy-Syaikh Abdul Malik telah memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara langsung dari kedua orang tuanya dan saudara-saudaranya yang ada di Sokaraja, Banyumas terutama dengan KH Muhammad Affandi.Setelah belajar Al-Qur’an dengan ayahnya, Asy-Syaikh kemudian mendalami kembali Al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen, Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai disiplin ilmu agama diantaranya ilmu Al-Qur’an, tafsir, Ulumul Qur’an, Hadits, Fiqh, Tasawuf dan lain-lain.
Asy-Syaikh belajar di Tanah suci dalam waktu yang cukup lama, kurang lebih selama limabelas tahun.Dalam ilmu Al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia berguru kepada Sayid Umar Asy-Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in). Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Tha bin Yahya Al-Magribi (ulama Hadramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin Yahya, Sayid Muhsin Al-Musawwa, Asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah At-Tirmisi. Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar Al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas (Bogor), Kyai Soleh Darat (Semarang).Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad Amin Ridwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas Al Maliki Al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi Al Maliki Al-Hasani), Sayid Ahmad An-Nahrawi Al Makki, Sayid Ali Ridha.Setelah sekian tahun menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, Asy-Syaikh Abdul Malik pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut).
 Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, Asy Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.Sesudah sang ayah wafat, Asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke- 100 dari hari wafat sang ayah, dan saat itu umur Asy Syaikh berusia tiga puluh tahun.Sepulang dari pengembaraan, Asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja, tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Perlu diketahui, Asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh. Mereka bekerjasama dengan Asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama.Sehingga wajarlah kalau selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan para ulama dan syaikh yang ada di sana. Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes. Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya kepada para ulama yang telah memperoleh gelar Al-‘Allamah.Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto, seringkali menyempatkan diri singgah di rumah Asy-Syaikh Abdul Malik dan mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan (meminta barakah) kepada Asy-Syaikh Abdul Malik. Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil (Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji, Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal Al-Qur’an, mereka kerap sekali belajar ilmu Al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, di samping itu ia juga sangat santun dan ramah kepada siapa saja.
 Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahiem kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum silaturrahiem para pengikut Thariqah An-Naqsyabandiyah Al-Khalidiyah Kedung paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan tawajjuhan).Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqah An-Naqsabandiyah Al-Khalidiyah sekarang), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah (Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya, Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya Al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan, yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun shalihin.”Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu Al-Miftah al-Maqashid li-ahli at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad Ridhwani Al-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.Syaikh Abdul Malik wafat pada hari Kamis, 2 Jumadil Akhir 1400 H (17 April 1980) dan dimakamkan keesokan harinya lepas shalat Ashar di belakang masjid Baha’ul Haq wa Dhiya’uddin, Kedung Paruk Purwokerto
SYAIKH NAHROWI DALHAR
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH

Kiai Haji Nahrowi Dalhar atau Mbah Dalhar dikenal sebagai ulama yang mumpuni. Belum lama ini sosok Kiai Ahmad Abdul Haq meninggal dunia. Kiai kharismatik ini adalah putra dari kiai Dalhar yang juga dikenal sebagai salah satu wali yang masyhur di tanah Jawa. Mbah Dalhar begitu panggilan akrabnya adalah mursyid tarekat Syadziliyah dan dikenal sebagai seorang yang wara’ dan menjadi teladan masyarakat.
Kiai Haji Dalhar , Watucongol, Magelang dikenal sebagai salah satu guru para ulama. Kharisma dan ketinggian ilmunya menjadikan rujukan umat Islam untuk menimba ilmu. Mbah Dalhar , begitu panggilan akrabnya adalah sosok yang disegani sekaligus panutan umat Islam, terutama di Jawa Tengah. Salah satu mursyid tarekat Syadziliyah ini dikenal juga menelorkan banyak ulama yang mumpuni.
Mbah Dalhar dilahir kan pada 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M) di Watucongol, Muntilan, Magelang, Jawa Tengah. Lahir dalam lingkungan keluarga santri  yang taat. Sang ayah yang bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo adalah cucu dari  Kyai Abdurrauf. Kekeknya mbah Dalhar dikenal sebagai salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Adapun nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Semasa kanak – kanak, Mbah Dalhar belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri. Pada usia 13 tahun baru mondok di pesantren. Ia dititipkan oleh ayahnya pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Ngadirejo, Salaman, Magelang. Di bawah bimbingan Mbah Mad Ushul , ia belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Kemudian tercatat juga mondok di Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen pada umur 15 tahun. Pesantren ini dipimpin oleh Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Selama delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Selama itulah Mbah Dalhar berkhidmah di ndalem pengasuh. Hal itu terjadi atas dasar permintaan ayahnya kepada Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Jalan Kaki dan Pemberian Nama Baru
            Tidak hanya di daerah sekitar Mbah Dalhar menimba ilmu. Di Makkah Mukaramah berliau berguru kepada beberapa alim ulama yang masyhur. Perjalalannya ke tanah suci untuk menuntut ilmu terjadi pada tahun 1314 H/1896 M. Mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya, Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani untuk menuntut ilmu di Mekkah. Syeikh As Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani berkeinginan menyerahkan pendidikan puteranya kepada shahib beliau yang menjadi mufti syafi’iyyah Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani.
Keduanya berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Ada sebuah kisah menarik tentang perjalanan keduanya. Selama perjalanan dari Kebumen da singgah di Muntilan , kemudian lanjut sampai di Semarang, Mbah Dalhar memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Hal ini dikarenakan sikap takdzimnya kepada sang guru. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan.
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk mendoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirrnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq. Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Murid dan Karya – karyanya
            Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dan lain sebagainya. Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. http://www.sufinews.com/index.php/Tokoh-Sufi/waliyullah-gunung-pring.sufi
Mbah Kyai Dalhar PART II
Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.
Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.
Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.
Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.
Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.
Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.
Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.
Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.
Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.
Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.
Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
* Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
* Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
* Dll
Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.
Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.
Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.

Al-Habib Umar bin Salim bin Hafiz

MURSYID TAREKAT QODIRIYYAH


Al-Imam Al-’Arifbillah Al-Musnid Al-Hafidz Al-Mufassir Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz.  Beliau adalah Al-Habib ‘Umar putera dari Muhammad putera dari Salim putera dari Hafidz putera dari Abdallah putera dari Abi Bakr putera dari‘Aidrous putera dari Al-Hussain putera dari Al-Syaikh Abi Bakr putera dari Salim putera dari ‘Abdallah putera dari ‘Abdarrahman putera dari ‘Abdallah putera dari Al-Syaikh ‘Abdarrahman Assaqof putera dari Muhammad Maula Al-Daweela putera dari ‘Ali putera dari ‘Alawi putera dari Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad putera dari ‘Ali putera dari Muhammad Sahib Al-Mirbat putera dari ‘Ali Khali‘ Qasam putera dari ‘Alawi putera dari Muhammad putera dari ‘Alawi putera dari ‘Ubaidallah putera dari Al-Imam Al-Muhajir Ilallah Ahmad putera dari ‘Isa putera dari Muhammad putera dari ‘Ali Al-‘Uraidi putera dari Ja’far Asshadiq putera dari Muhammad Al-Baqir putera dari ‘Ali Zainal ‘Abidin putera dari Hussain sang cucu laki-laki, putera dari pasangan ‘Ali putera dari Abu Talib dan Fatimah Azzahra puteri dari Rasul Muhammad SAWW.
            Beliau terlahir di Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan berlimpahnya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan kota ini selama berabad-abad. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang adalah seorang pejuang martir yang terkenal, Sang Intelektual, Sang Da’i Besar, Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Syaikh Abu Bakr bin Salim. Ayahnya adalah salah seorang ulama intelektual Islam yang mengabdikan hidup mereka demi penyebaran agama Islam dan pengajaran Hukum Suci serta aturan-aturan mulia dalam Islam. Beliau secara tragis diculik oleh kelompok komunis dan diperkirakan telah meninggal, semoga Allah mengampuni dosa-dosanya. Demikian pula kedua kakek beliau, Al-Habib Salim bin Hafiz dan Al-Habib Hafiz bin Abdallah yang merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum ulama dan intelektual Muslim pada masanya. Allah seakan menyiapkan kondisi-kondisi yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar dalam hal hubungannya dengan para intelektual muslim disekitarnya serta kemuliaan yang muncul dari keluarganya sendiri dan dari lingkungan serta masyarakat dimana ia dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan ia juga menghafal berbagai teks inti dalam fiqh, hadith, Bahasa Arab dan berbagai ilmu-ilmu keagamaan yang membuatnya termasuk dalam lingkaran keilmuan yang dipegang teguh oleh begitu banyaknya ulama-ulama tradisional seperti Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab dan Syaikh Fadl Baa Fadl serta para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari berbagai ilmu termasuk ilmu-ilmu spiritual keagamaan dari ayahnya yang meninggal syahid, Al-Habib Muhammad bin Salim, yang darinya didapatkan cinta dan perhatiannya yang mendalam pada da’wah dan bimbingan atau tuntunan keagamaan dengan cara Allah s.w.t. Ayahnya begitu memperhatikan sang ‘Umar kecil yang selalu berada di sisi ayahnya di dalam lingkaran ilmu dan dhikr. Namun secara tragis, ketika Al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk sholat Jum‘ah, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan sang ‘Umar kecil sendirian pulang ke rumahnya dengan masih membawa syal milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak pernah terlihat lagi. Ini menyebabkan ‘Umar muda menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya dalam bidang Da‘wah sama seperti seakan-akan syal sang ayah menjadi bendera yang diberikan padanya di masa kecil sebelum beliau mati syahid. Sejak itu, dengan sang bendera dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulai, secara bersemangat, perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk Majelis-majelis dan da’wah. Perjuangan dan usahanya yang keras demi melanjutkan pekerjaan ayahnya mulai membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi anak muda maupun orang tua di mesjid-mesjid setempat dimana ditawarkan berbagai kesempatan untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu tradisional. Ia sesungguhnya telah benar-benar memahami Kitab Suci sehingga ia telah diberikan sesuatu yang khusus dari Allah meskipun usianya masih muda. Namun hal ini mulai mengakibatkan kekhawatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan beliau dikirim ke kota Al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara yang menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang ingin mencelakai sang sayyid muda. Disana dimulai babak penting baru dalam perkembangan beliau. Masuk sekolah Ribat di Al-Bayda’ ia mulai belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan ahli dari yang Mulia Al-Habib Muhammad bin ‘Abdullah Al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan ulama madzhab Shafi‘i Al-Habib Zain bin Smith, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya ia ditunjuk sebagai seorang guru tak lama sesudahnya. Ia juga terus melanjutkan perjuangannya yang melelahkan dalam bidang Da‘wah.
Kali ini tempatnya adalah Al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang terlewat dalam usahanya untuk mengenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul  SAW pada hati mereka seluruhnya. Kelas-kelas dan majelis didirikan, pengajaran dimulai dan orang-orang dibimbing, usaha beliau yang demikian gigih mulai menunjukkan hasil yang besar,  mereka tersentuh dengan ajarannya, terutama para pemuda yang sebelumnya telah terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan dangkal, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka sadar bahwa hidup memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentitas baru mereka sebagai orang Islam, mengenakan sorban dan mulai memusatkan perhatian mereka untuk meraih sifat-sifat luhur dan mulia dari Rasul SAWW. Sejak saat itu, sekelompok besar orang-orang yang telah mengikuti beliau mulai berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah maupun keteguhan beliau dalam mengajar di berbagai kota besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini beliau mulai mengunjungi kota-kota maupun masyarakat diseluruh Yaman, mulai dari kota Ta’iz di utara, beliaupun belajar ilmu dari mufti Ta‘iz Al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mulai menunjukkan pada beliau perhatian dan cinta yang besar sebagaimana ia mendapatkan perlakuan yang sama dari Syaikh Al-Habib Muhammad Al-Haddar,  sehingga ia memberikan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang agung.
Tak lama setelah itu, beliau melakukan perjalanan melelahkan demi melakukan ibadah Haji di Mekkah dan untuk mengunjungi makam Rasul SAWW di Madinah. Dalam perjalanannya ke Hijaz, beliau diberkahi kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab dari para ulama terkenal disana, terutama dari Al-Maghfurlah Al-Qutub Al-Habib ‘Abdul Qadir bin Ahmad Assaqaf yang menyaksikan bahwa di dalam diri ‘Umar muda, terdapat semangat pemuda yang penuh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya SAWW dan sungguh-sungguh tenggelam dalam penyebaran ilmu dan keadilan terhadap sesama umat manusia sehingga beliau dicintai oleh Al-Habib Abdul Qadir salah seorang guru besarnya. Begitu pula beliau diberkahi untuk menerima ilmu dan bimbingan dari kedua pilar keadilan di Hijaz, yakni Al-Habib Ahmed Mashur Al-Haddad dan Al-Habib ‘Attas Al-Habsyi.
Sejak itulah nama Al-Habib Umar bin Hafiz mulai tersebar luas terutama dikarenakan kegigihan usaha beliau dalam menyerukan agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopuleran dan ketenaran yang besar ini tidak sedikitpun mengurangi usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya, beliau mendapatkan sumber tambahan dimana tujuan-tujuan mulia dapat dipertahankan. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingat Allah SWT dan Rasul SAW  dalam berbagai situasi dan lokasi yang berbeda. Perhatiannya yang mendalam terhadap membangun keimanan terutama pada mereka yang berada didekatnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling terlihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke Dunia Baru.
Negara Oman akan menjadi fase berikutnya dalam pergerakan menuju pembaharuan abad ke-15. Setelah menyambut baik undangan dari sekelompok Muslim yang memiliki hasrat dan keinginan menggebu untuk menerima manfaat dari ajarannya, beliau meninggalkan tanah kelahirannya dan tidak kembali hingga beberapa tahun kemudian. Bibit-bibit pengajaran dan kemuliaan juga ditanamkan di kota Shihr di Yaman timur, kota pertama yang disinggahinya ketika kembali ke Hadramaut, Yaman. Disana ajaran-ajaran beliau mulai tertanam dan diabadikan dengan pembangunan Ribat Al-Mustafa. Ini merupakan titik balik utama dan dapat memberi tanda lebih dari satu jalan, dalam hal melengkapi aspek teoritis dari usaha ini dan menciptakan bukti-bukti kongkrit yang dapat mewakili pengajaran-pengajaran di masa depan. Kepulangannya ke Tarim menjadi tanda sebuah perubahan mendasar dari tahun-tahun yang ia habiskan untuk belajar, mengajar, membangun mental agamis orang-orang disekelilingnya, menyebarkan seruan dan menyerukan yang benar serta melarang yang salah. Dar-Al-Mustafa menjadi hadiah beliau bagi dunia, dan di pesantren itu pulalah dunia diserukan. Dalam waktu yang dapat dikatakan demikian singkat, penduduk Tarim akan menyaksikan berkumpulnya para murid dari berbagai daerah yang jauh bersatu di satu kota yang hampir terlupakan ketika masih dikuasai para pembangkang komunis. Murid-murid dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Kepulauan Comoro, Tanzania, Kenya, Mesir, Inggris, Pakistan, Amerika Serikat dan Kanada, juga negara-negara Arab lain dan negara bagian di Arab akan diawasi secara langsung oleh Habib Umar bin Hafiz. Berdirinya berbagai institusi Islami serupa di Yaman dan di negara-negara lain dibawah manajemen Al-Habib Umar akan menjadi sebuah tonggak utama dalam penyebaran Ilmu dan perilaku mulia.
Habib ‘Umar kini tinggal di Tarim Yaman, dimana beliau mengawasi perkembangan di Dar al-Mustafa dan berbagai sekolah lain yang telah dibangun dibawah manajemen beliau. Beliau masih memegang peran aktif dalam penyebaran agama Islam, sedemikian aktifnya sehingga beliau meluangkan hampir sepanjang tahunnya mengunjungi berbagai negara di seluruh dunia demi melakukan kegiatan-kegiatan mulianya. Sumber: http://hotarticle.org/al-habib-umar-bin-hafiz/
KH. TUBAGUS MUHAMMAD FALAK
MURSYID TAREKAT QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
KH. Tubagus Muhammad Falak bin KH. Tubagus Abbas adalah seorang kiai kharismatik yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dan kemudian dikenal luas Oleh kalangan masyarakat sebagai pemimpin rohani dalam gerakan sufi sebagai mursyid Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang mengambil ijazah langsung dari Syekh Abdul Karim Banten. Beliau adalah tokoh agama yang dikenal pula karena keahliannya dalam ilmu kasyaf yang memiliki kedalaman ilmu agama dan memiliki keluhuran budi pekerti yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat luas.
KH. Tubagus Muhammad Falak dilahirkan pada tahun 1842 di Sabi, pandeglang banten. Sejak kecil beliau mendapatkan pendidikan agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya KH. Tubagus Abbas adalah kiai pemimpin pesantren yang hidup dari hasil bertani dan sangat aktif dalam melakukan kegiatan dakwah dan syiar Islam di daerah pandeglang dan sekitarnya bersama isterinya yaitu Ratu Quraisyn.
Secara  garis kuturunan, KH.Tubagus Muhammad Falak tidak saja berasal dari keturunan kiai pesantren, tetapi juga keturunan dari keluarga kesultanan Banten melalui ayah beliau, KH. Tubagus Abbas. Silsilah keturunan beliau sarnpai kepada salah seorang dari sembilan wali yang memiliki putera bernama Sultan Maulana Hasanuddin Banten yaitu Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Kebangsawanan beliau diperkuat pula oleh garis keturunannya dari sang ibu yaitu Ratu Quraisyn yang masih merupakan keturunan Sultan banten.
Dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pesantren di Sabi, pandeglang banten menjadi awal yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup beliau. Suasana keagamaan serta bimbingan agama Islam yang diberikan oleh orangtuanya semasa kecil sangat mempengaruhi pembentukan karakter dan semangat KH. Tubagus Muhammad Falak untuk menuntut ilmu pengetahuan agama Islam serta mengamalkan ilmu tersebut demi kepentingan masyarakat luas.
Setelah selesai mempelajari beberapa kitab dalam bidang bahasa, fiqh dan terutama aqidah dari orangtuanya hingga usia 15 tahun, KH. Tubagus Muhammad Falak yang sejak kecil mempelajari Al-Quran dan tergolong cerdas dalam menyerap pengetahuan Islam serta pintar dalam menguasai ilmu beladiri ini pernah memperdalam pengetahuan agamanya di Cirebon dan beberapa ulama banten diantaranya Syekh Abdul Halim Kadu Peusing atas anjuran KH. Tubagus Abbas.
Di usia 15 tahun tepatnya pada tahun 1857, MH. Tubagus Muhammad Falak diberangkatkan oleh orangtuanya ke Mekah untuk menunaikan lbadah haji dan menuntut berbagai bidang ilmu perngetahuan agama di sana. Selama mukim di Mekkah beliau bertempat tinggal bersama salah seorang gurunya yang merupakan ulama besar lndonesia bernama Syekh Abdul Karim banten sesuai dengan anjuran salah seorang gurunya selama di Banten yaitu Syekh Sohib Kadu Pinang.
Mula-mula KH. Tubagus Muhammad Falak belajar ilmu tafsir Quran dan fiqh kepada Syekh Nawawi Al-Bantany dan Syekh Mansur Al-Madany yang keduanya berasal dari Indonesia. Dalam bidang ilmu Hadist beliau belajar kepada Sayyid Amin Qutbi dan dalam ilmu tasawwuf beliau belajar kepada Sayyid Abdullah Jawawi. Sedangkan dalam ilmu falak beliau belajar kepada seorang ahli ilmu falak bernama Sayyid Affandi Turki. Khusus dala ilmu fiqh, beliau belajar kepada Sayyid Ahmad Habasy, dan Sayyid Umar Baarum. Setelah dewasa KH. Tubagus Muhammad Falak memperdalam ilmu hikmat dan ilmu tarekat kepada Syekh Umar Bajened, ulama dari Mekkah dan Syekh Abdul Karim dan Syekh Ahmad Jaha yang keduanya berasal dari Banten. Di bidang fiqh beliau belajar pula kepada Syekh Abu Zahid dan Syekh Nawawi Al-Falimbany. Di samping nama-nama di atas, selama di Mekkah beliau juga menuntut ilmu di bawah bimbingan ulama-ulama besar lainnya antara lain: Syekh Ali Jabrah Mina, Syekh Abdul Fatah Al-Yamany. Syekh Abdul Rauf Al-Yamany. dan Sayyid Yahya Al-Yamany. Bahkan selama di Indonesia, baik sebelum pergi maupun pada saat kembali dari Mekkah, KH. Tubagus Muhammad Falak berguru dan memperdalam ilmu pengetahuan kepada beberapa ulama besar banten diantaranya Syekh Salman, Syekh Soleh Sonding. dan Syekh Sofyan.
Selama berada di Timur tengah, KH.Tubagas Muhammad Falak berkunjung ke Baghdad Irak dan sempat berguru kepada ulama Mekkah yang sedang berada di Baghdad yaitu Syekh Zaini Dahlan. Di sana beliau pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Qodir Jailani. Sedangkan selama berada di Madinah beliau berziarah ke makam Nabi Besar Muhammad SAW. Selama mukim pertama di Mekkah dan Madinah, KH.Tubagus Muhammad Falak seangkatan dengan Syekh Kholil Bangkalan yang pada periode yang sama tepatnya sekitar tahun 1860-an menuntut ilmu di Mekkah. Setelah periode mukim pertama di Mekkah selama kurang lebih 21 tahun lamanya, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Nusantara pada tahun 1878.
Dalam konteks pergerakan kebangsaan melawan penguasa kolonial, dalam salah satu keterangan disebutkan bahwa KH.Tubagus Muhammad falak menjadi salah satu kiai banten yang turut aktif dalam pemberontakan petani banten 1888 yang dimotori oleh para kiai tarekat, diantaranya Syekh Abdul Karim, KH. Asnawi Caringin, KH. Tubagus Wasid dan KH.Tubagus lsmail. Akibat aktifitas politik tersebut beliau menjadi salah seorang yang menjadi sasaran untuk ditangkap oleh Belanda. Periode tersebut bertepatan dengan periode kepulangan beliau dari timur tengah ke Nusantara.
Pada tahun 1892, KH. Tubagus Muhammad Falak kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan kembali memperdalam ilmu di sana hingga menjelang awaI abad ke-20 dan mengalami masa kebersamaan dalam kurun waktu yang sama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, kedua tokoh agama pendiri dua organisasi besar di Nusantara yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. selama berada di Mekkah dan Madinah pada periode pertama dan kedua, beliau sangat dikenal oleh para ulama baik seangkatan maupun angkatan yang lebih muda khususnya yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara yang sedang menuntut dan memperdalam ilmu di sana.
Kemudian pada awal abad 20 setelah kepulangannya dari Timur Tengah, KH. Tubagus Muhammad Falak memulai aktititas pendirian pesantren setelah melalui masa perintisan yang cukup panjang baik setelah melalui aktititas dakwah dan syiar Islam sejak dari pandeglang hingga ke pelosok-pelosok di daerah bogor dan sekitarnya maupun setelah merintis pengajian di daerah pagentongan.
Pendirian Pesantren Al-Falak di pagentongan bogor oleh KH. Tubagus Muhammad Falak merupakan perwujudan akhlak yang ditunjukan oleh beliau sebagai seorang ulama yang telah mengalami perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang di Timur Tengah untuk memberikan pendidikan dan pengajaran kepada masyarakat serta mernberikan penerangan-penerangan bagi ummat dalam hal keislaman. begitu banyak kalangan yang datang kepada beliau untuk menjadikan dirinya sebagai guru yang dipandang memiliki kedalaman dan keluasan ilmu pengetahuan agama Islam.
Dan begitu banyak pula para santri yang telah mendapatkan bimbingan beliau menjadi kiai, tokoh agama yang merupakan pendiri dan pemimpin pondok pesantren dan majelis ta`lim serta guru-guru agama Islam yang tersebar di berbagai pelosok di Indonesia dan Mancanegara. bahkan banyak pula para santri beliau yang telah menjadi birokrat dan politisi di Indonesia.
Khusus dalam konteks pergerakan, aktifitas KH. Tubagus Muhammad Falak dalam gerakan kebangsaan semakin terlihat mantap ketika beliau semakin banyak berinteraksi dengan para tokoh pergerakan nasional dari berbagai kalangan diantaranya H.O.S Cokroaminoto, Ir. Soekarno, dan berbagai tokoh pergerakan nasional lainnya. kemudian pada masa sebelum dan masa revolusi fisik 1945-1949, KH. Tubagus Muhammad Falak telah tercatat sebagai salah searang ulama besar Indonesia yang menjadi tokoh Spiritual dalam bidang kerohanian di laskar Hizbullah yang pelatihannya berpusat di daerah Cibarusa dan pemimpin spiritual di bogor yang senantiasa membangkitkan semangat Jihad fii Sabilillah melawan penjajah untuk membela dan mempertahankan republik Indonesia. Pada masa-masa kritis beliau banyak didatangi oleh banyak masyarakat dari kalangan sipil dan militer untuk meminta keberkahan atas karomah yang diyakini di miliki oleh beliau.
Peran beliau tersebut secara langsung telah mendorong semangat dan kemantapan rakyat khususnya di daerah bogor untuk memperjuangkan Republik Indonesia sebagai negeri berdaulat. Karena aktifitas perlawanan tersebut, pasukan belanda yang berada di bogor melakukan penyerangan ke Pagentongan yang mengakibatkan wafatnya. tujuh orang warga Pagentongan. Setelah melakukan aksi penyerangan tersebut pasukan belanda kemudian menangkap KH. Tubagus Muhammad Falak dan sebagian besar warga Pagentongan yang kemudian dipenjarakan di daerah Gilendek. Namun atas kehendak Allah SWT dan atas wasilah pengaruh KH. Tubagus Muhammad Falak yang sangat besar di masyarakat dan dikhawatirkan dapat membangkitkan semangat perlawanan yang lebih besar lagi maka KH. Tubagus Muhamrnad Falak kemudian dibebaskan bersama warga lainnya.
Selama hidupnya KH. Tubagus Muhammad Falak yang dikenal sebagai tokoh kharismatik yang memiliki pengaruh yang sangat mendalam di Masyarakat serta menjadi pusat kunjungan para tokoh politik dari kalangan sipil maupun militer dan tokoh agama di tingkat lokal dan nasional serta para ulama dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka datang berkunjung kepada beliau untuk berbagai macam keperluan, bersilaturahmi, menuntut ilmu, meminta keberkahan, dan beramah tamah dengan beliau. Selama hidupnya, KH. Tuhagus Muhammad Falak telah memenuhi fungsi sosial sebagai seorang ulama yang memberikan pengobatan dengan metode spiritual healing yaitu suatu usaha penyembuhan penyakit dengan iman dan keyakinan. Adapun gelar falak yang selama hidupnya melekat pada beliau rnerupakan gelar yang diberikan oleh gurunya yang bernama Sayyid Affandi Turki oleh karena kecerdasan dan keahlian beliau dalam menguasai ilmu hisab dan ilmu falak yang diajarkan oleh gurunya tersebut. Beliau yang dikenal di Mekkah dengan sebutan Sayyid Syekh Muhammad Falak ini selama hidupnya memiliki hubungan interaksi yang amat luas dan memiliki kedekatan dengan ulama-ulama besar di dalam dan luar Nusantara yang sebagian besar pernah berkunjung kepada beliau di Pagentongan antara lain: Syekh Abdul Halim Palembang, Syekh Abdul Manan Palembang, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syeikh Ahmad Ambon, Syekh Daud Malaysia, Tuan Guru Zainuddin Lombok, Guru Zaini Ghoni Martapura, Habib Soleh Tanggul Jawa Timur, Habib Umar Alatas, Habib Idrus Pekalongan, Habib Ali Al-Habsy Kwitang, Habib Abu Bakar
Kwitang dan para habaib dan kiai dari berbagai daerah lainnya di Nusantara.
Ayahandanya KH. Tubagus Abas dikenal sebagai seorang ulama besar di Banten. Ia sebagai pendiri dan pemimpin pondok pesantren Sabi, hampir separuh usianya dihabiskan untuk mendidik santri-santrinya. Dari beliaulah pertama kali KH. Falak mendapat pendidikan dalam bidang baca tulis Al Qur’an, Sufi dan terutama pemantapan Aqidah Islam, bahkan karena cintanya kepada ilmu, di usianya yang masih muda, K.H Falak sempat mengembara selama 15 tahun untuk menggali dan menuntut ilmu ke beberapa ulama besar yang ada di daerah Banten dan Cirebon.
Melalui garis keturunan dari Ayahnya. KH Falak berasal dari keturunan keluarga besar kesultanan di Banten, bahkan merujuk kepada silsilah keluarganya, KH. Falak termasuk keturunan salah seorang mubalighin utama (Walisongo) yang memiliki putra bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Djati. Selama di Mekah KH. Falak tinggal bersama Syekh Abdul Karim, dari Syeh Abdul Karim hingga akhirnya mendapatkan kedalaman ilmu tarekat dan tasawuf, bahkan oleh Syekh Abdul Karim yang dikenal sebagai seorang Wali Agung dan ulama besar dari tanah Banten yang menetap di Mekah itu. KH. Falak dibai’at hingga mendapat kepercayaan sebagai mursyid (guru besar) Thoriqoh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah.
            Pada tahun 1878. KH Falak kembali ketanah air. Selama beberapa pekan K.H. Falak tinggal di tempat kelahirannya Pandeglang Banten dan mendapat kepercayaan untuk memimpin pesantren Sabi yang ditinggalkan oleh ayahnya. Tetapi seperti pada umumnya perjalanan seorang mubalighin, aktivitas da’wah dan tablignya untuk menyebarkan dan menyiarkan Islam tidak akan terhenti sampai disana demikian juga dengan apa yang dilakukan oleh KH Falak, sebagai wujud untuk mengembangkan dan mengamalkan ilmunya, sejak tahun itu juga beliau mulai melancarkan aktivitas tablig dan da’wah secara estafet. Dimulai dari daerah Pandeglang, Banten hingga sampai ke Pagentongan Bogor dan bermukim disana hingga wafatnya.
Selanjutnya Abah Falak menikah dengan seorang putri Pagentongan yang bernama Hajah Siti Fatimah dan mempunyai seorang putra tunggal yang bernama KH. Tb. Muhammad Thohir Falak (dikenal sebagai Bapak Aceng).
                                                              Karomah KH Falak

            KH. Tubagus Muhammad Falak bin Tubagus Abbas adalah seorang ulama kharismatik yang sampai saat ini masih diziarahi oleh banyak orang, ini menunjukan suatu bukti bahwa semasa hidupnya beliau memiliki kedalaman ilmu dan pengaruh yang sangat luas diberbagai khayalak. Pernyataan seperti itu didukung oleh pengakuan beberapa ulama besar termasuk para Habib di nusantara, mereka memberikan pengakuan bahwa KH Falak merupakan seorang Waliyullah, hal itu pernah disampaikan oleh Habib Umar Bin Muhammad bin Hud Al-Attas (Cipayung ), Habib Soleh Tanggul Jawa Timur dan Habib Ali Al-Habsyi Kwitang. Jakarta.
Salah satu karomah KH. Falak adalah ketika tiga hari menjelang wafatnya beliau sempat dikunjungi oleh para gurunya yang telah tiada, seperti Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Said Abdul Turki, Syekh Abdul Karim bahkan juga Syekh Abdul Qodir Jailani. Selain itu diterangkan pula, bahwa KH. Falak sering melakukan perjalanan singkat antara Pagentongan–Banten. Selama di Banten beliau menjadi seorang ulama besar yang menjadi pusat kunjungan berbagai kalangan masyarakat Banten. Artinya, disana dapat dilihat tidak semata-mata seorang individu yang memiliki pengaruh luas. Tapi, jelas ada konteks kekaromahan yang dimilikinya dan diyakini khalayak masyarakat yang tidak mungkin dapat dituangkan secara keseluruhan didalam tulisan yang serba singkat ini.
Menurut KH. Zein Falak yang pernah menuturkan pengalamannya selama menjadi pengawal pribadi KH Falak. “Subhanallah -Tabarakallah. Abah Falak itu seorang yang Alim, Wali, ‘allamah, perawakannya kecil, kulitnya putih berseri. Beliau sangat ramah dan selalu tersenyum kepada yang menyapanya”, tutur KH. Zein. Lebih jauh, lelaki keturunan kelima dari KH Falak yang lahir tahun 1940 itu menuturkan, “Abah Falak tinggi badannya sekitar 150 cm, Abah selalu memakai udeng (sorban yang dililitkan dikepala-red), wajahnya selalu berseri, tutur katanya lembut namun tegas dan jelas. Bahkan dikagumi oleh semua orang, baik dengan para ulama, habaib dan sahabat-sahabatnya yang datang bersilaturahmi kepadanya, Abah Falak dalam berbicara selalu menggunakan bahasa Arab yang fasih, sedangkan kalau kepada santri-santri dan tamunya selalu menggunakan bahasa sunda atau bahasa Indonesia.
Abah Falak, termasuk ulama besar yang selalu menjaga kebersihan dan kesehatan tubuhnya Karena itu sudah menjadi kebiasaan setiap pagi memakan dua telur ayam kampung, kemudian jalan-jalan sambil melihat-lihat pondok pesantren, madrasah, majlis ta’lim dan masjid”, tutur KH Zein. Semasa hidupnya KH. Falak dikenal sebagai seorang yang dermawan, banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta tolong dan beliau selalu memberikan pertolongan kepada orang-orang yang meminta pertolongan.
Yang tidak kalah menarik menurut penuturan KH. Zein, bahwa apabila kedatangan tamu yang niatnya tidak bagus, maka beliau seperti orang tuli. “Pernah suatu saat Abah Falak kedatangan tamu yang minta nomor buntut. Pada saat orang itu mengutarakan maksudnya, Abah Falak bertanya berulang kali seolah-olah sama sekali tidak mendengar apa yang diutarakan orang itu, bahkan secara tiba-tiba, Abah Falak menyuruh orang itu pulang”. ujar KH Zein.
KH. Tubagus Muhammad Falak wafat pada waktu subuh pukul 04.15 hari Rabu tanggal 19 Juli 1972 atau tanggal 8 Djumadil Akhir 1392 H di usianya yang ke, 130 tahun di Pagentongan, Bogor. Beribu-ribu jemaah datang dari berbagai kalangan baik tokoh agama, politik dan militer serta masyarakat luas yang berasal dari dalam dan luar negeri. Alhamdulillah, hingga saat ini Pesantren Al-Falak peninggalan KH. Tubagus Muhammad Falak diteruskan oleh anak cucu dari keturunan beliau. Semoga anak cucu dan keturunan beliau diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan untuk meneruskan toriqoh dan perjuangan beliau ilaa yaumil qiyamah
Syekh Abdul Wahab Rokan
Tarekat+syadziliyahMURSYID TAREKAT NAQSYABANDIYYAH BABUSSALAM
Kendati telah wafat sejak sekitar 77 tahun silam, keberadaannya terasa di Kampung Babussalam, Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara. Peziarah mengalir ke makamnya di kampung yang didirikannya. Syekh Abdul Wahab Rokan memang dikenal sebagai ulama ternama di Sumaera. Lahir pada 19 Rabiul Akhir 1230 H (28 September 1811) di Kampung Danau Runda, Rantau Binuang Sakti, Negeri Tinggi, Rokan Tengah, Kab. Rokan hulu, Riau, Wahab tumbuh di lingkungan keluarga yang menjunjung agamanya. Nenek buyutnya, H Abdullah Tembusai, dikenal sebagai alim ulama besar yang disegani.
Salah seorang putra Abdullah Tembusai, bernama M Yasin menikah dengan Intan. Buah perkawinan itu melahirkan di antaranya Abdul Manap. Putra tertuanya ini, kemudian menikah dan melahirkan Syekh Wahab Rokan. Dengan titisan darah demikian, Wahab sejak kecil terdidik, terutama untuk pelajaran agama. Demi menghapal AlQuran, Wahab kecil tak jarang bermalam, di rumah gurunya. Ia pun patuh pada guru, bahkan kerap mencucikan pakaian orang yang mendidiknya itu. Keistimewaan telah tampak sejak Wahab masih bocah. Suatu ketika, saat orang terlelap pada dinihari, Wahab masih menekuni AlQuran. Mendadak muncul seorang tua mengajarinya membaca aLQuran. Setelah rampung satu khatam, orang tua itu menghilang.
Kesalihannya ini tak jarang mengalami godaan. Saat ia melanjutkan pendidikan di Tembusai, seorang wanita menggodanya, bahkan mengunci pintu tempat Wahab berada. Wahab terus melantunkan doa sehingga terlepas dari jebakan wanita yang tergila-gila padanya. Begitu pun, suatu ketika saat mandi di sungai, seorang gadis melarikan sarungnya.
Godaan itu tak membuat imannya meleleh. Bahkan, ia kian kukuh mendalami ilmu agama. Setelah dari Tambusai, ia pun ke Malaysia, untuk mendalami ilmu agama kepada Syekh H M Yusuf asal Minangkabau. Wahab yang tumbuh menjadi pemuda berdagang untuk menopang kehidupannya. Menariknya, berkat kesalihannya, ia menyuruh pembeli menimbang sendiri barang yang dibeli. Ini demi menghindarkan kecurangan. Melanjutkan pendidikan ke MAkkah, ia belajar kepada beberapa guru, di antaranya Zaini Dahlan (mufti mazhab Syafii), Syekh Zainuddin Rawa. Terakhir, ia mendalami ilmu tarEkat kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di puncak Jabal Abi Kubis. Sulaiman Zuhdi dikenal sebagai penganut tarEkat Naqsyabandiah.
Menyimak ketekunan muridnya, suatu ketika Sulaiman Zuhdi, resmi mengangkat Wahab sebagai khalifah besar. Penabalan itu diiringi dengan bai’ah dan pemberian silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW hingga kepada Sulaiman Zuhdi yang kemudian diteruskan kepada Wahab. Ijazahnya ditandai dengan dua cap. Ia pun mendapat gelar Al Khalidi Naqsyabandi. Setelah kurang lebih enam tahun di MAkkah, ia kembali ke Riau. Di sana, ia yang saat itu berusia 58, mendirikan Kampung Mesjid. Dari sana, ia mengembangkan syiar agama dan tarEkat yang dianutnya, hingga Sumatra Utara dan Malaysia. Namanya pun semerbak. Raja di berbagai kerajaan di Riau dan Sumatra Utara mengundangnya.
Suatu ketika, Sultan Musa Al-Muazzamsyah dari Kerajaan Langkat, gundah. Putranya sakit parah dan akhirnya wafat. Rasa kehilangan ini tak terperikan. Syekh HM Nur yang — sahabat karib Wahab saat di MAkkah — menjadi pemuka agama di kerajaan, menyarankan agar Sultan bersuluk di bawah bimbingan Wahab. Sultan menyetujui dan mengundang Wahab.
Wahab pun datang ke Langkat. Ia mengajarkan tarEkat Naqsyahbandi dan bersuluk kepada Sultan. Setelah berulang bersuluk, Sultan Musa — yang belakangan melepaskan tahtanya dan memilih menekuni agama — memenuhi saran Wahab, menunaikan ibadah haji, sekaligus bersuluk kepada Sulaiman Zuhdi di Jabal Kubis.
Berkat kekariban hubungan guru-murid, Sultan Musa menyerahkan sebidang tanah di tepi Sungai Batang Serangan, sekitar 1 km dari Tanjung Pura. Sultan berharap gurunya dapat mengembangkan syiar agama dari tanah pemberiannya. Wahab menyetujui dan menamakan kampung itu Babussalam (pintu keselamatan). Maka pada 15 Syawal 1300 H, ia bersama ratusan pengikutnya, menetap di sana.
Babussalam berkembang menjadi kampung dengan otonomi khusus. Menjadi basis pengembangan tarEkat Naqsyahbandiyah di Sumatra Utara, Wahab membentuk ‘pemerintahan’ sendiri di kampung itu. Perangkatnya antara lain dengan membuat Lembaga Permusyawaratan Rakyat (Babul Funun).
Hingga kini, kampung itu terjaga sebagai pusat pengembangan tarekat Naqsyahbandiyah. Tetap mendapatkan perlakuan khusus dari Pemda setempat, aktivitas sehari-hari — ditandai dengan kegiatan suluk setiap hari — dipimpin khalifah. Saat ini khalifah kesepuluh Syekh H Hasyim yang memimpin. Kendati terjalin erat, hubungan Wahab dan Sultan, tak berarti selalu harmonis. Bahkan antara keduanya sempat renggang, saat Wahab difitnah membuat uang palsu. Akibatnya, Sultan memerintahkan penggeledahan ke rumah Wahab. Kendati tak terbukti, bahkan saling memaafkan, Wahab seusai peristiwa itu pindah ke Malaysia. Kepindahannya ini kabarnya menyebabkan sumur minyak di Pangkalan Brandan surut penghasilannya.
Begitu pun, suatu kali penjajah Belanda ‘menekan’ Sultan. Dalihnya, berbekal potret Wahab, ditengarai Tuan Guru Babussalam — demikian panggilan kehormatannya — turut bertempur membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Padahal, pada saat bersamaan, pengikutnya menegaskan Tuan Guru berdzikir di kamarnya.
Kembali ke Babussalam, setelah terharu menyaksikan kampung yang dibangunnya menyepi, Tuan Guru menetap di Babussalam. Bersama pengikutnya, ia kembali membangun Babussalam. Tak sekadar berkembang pesat, Tuan Guru bersama Babussalam tumbuh disegani. Tak ayal, Belanda berusaha menjinakkannya.
Maka pada 1 Jumadil Akhir 1241 H, Asisten Residen Van Aken, menyematkan bintang kehormatan kepadanya. Kendati demikian, tak berarti Tuan Guru, terpedaya. Bahkan, di saat prosesi penyematan, Tuan Guru dalam sambutan meminta Van Aken menyampaikan kepada Raja Belanda untuk masuk Islam. Menilai pemberian bintang itu sindiran, ia meminta pengikutnya lebih giat. Bintang kehormatan itu pun kemudian diserahkan kepada Sultan Langkat.
Kendati dikenal sebagai pemuka agama, tak berarti Tuan Guru tak memiliki kepedulian pada politik. Ia mengutus anaknya untuk menemui HOS Cokroaminoto pada 1913. Tujuannya untuk membicarakan pembukaan cabang Sarekat Islam di Babussalam. Tak lama kemudian, SI pun berdiri di kampung yang dipimpinnya. Tuan Guru wafat di usia 115, pada 21 Jumadil Awal 1345 H (27 Desember 1926), meninggalkan 4 istri, 26 anak, dan puluhan cucu. Hingga kini, setiap peringatan hari wafat (haul), dirayakan besar-besaran. Ratusan pengikutnya yang memegang tarekat Naqsyahbandiah dari berbagai kota di Sumatra hingga Malaysia, dan Thailand hadir.

Syeikh Bahauddin Naksyahbandi

PELETAK DASAR TAREKAT NAQSYABANDIYYAH

 

Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada bulan Muharram tahun 717 H/1317 M. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA. Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab saadah (bentuk plural dari kata sayyid) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, ”Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid.” Shah Naqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’ dalam bahasa Persia berarti para kiai agung). Dan, pembesar mereka adalah Khoja Baba Sammasi yang ketika Muhammad Bahauddin lahir, ia melihat cahaya menyemburat dari arah Qasrel Arifan, yaitu saat Sammasi mengunjungi desa sebelah.
Sammasi lalu memberitahukan bahwa dari desa itu akan muncul seorang wali agung. Sekitar 18 tahun kemudian, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya ke hadapan dirinya dan langsung dibaiat. Ia lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.
Sebelum meninggal dunia, Baba Sammasi memberi wasiat kepada penggantinya, Sayyid Amir Kulali, agar mendidik Bahauddin meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, “Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!”
Meniti jalan spiritual
Bahauddin pun berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulali di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Baba Sammasi. Sammasi menyatakan jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan guru. Bahauddin juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Bahauddin ketika dihentikan oleh seorang lelaki berkuda yang memerintahkan dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tetapi sopan; ia menolak seraya menyatakan bahwa dia tahu siapa lelaki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh; meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Bahauddin.
Setelah tiba di hadapan Sayyid Amir Kulali, Bahauddin langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS? Beliau menjawab, “Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!” Di bawah asuhan Amir Kulali, Bahauddin mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya, beliau pernah ditangkap oleh dua orang tak dikenal dan dikirimkan ke makam seorang wali. Di sana, dia mendapatkan lentera yang minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang, tetapi apinya hampir padam.
Bahauddin mendapat ilham untuk menggerakkan sedikit sumbu itu agar aliran bahan bakar menjadi lancar. Dengan khusyuk, ia melakukannya, tahu-tahu sekat pembatas antara dunia nyata dan alam barzakh terbuka di hadapan beliau. Di balik tabir ruang dan waktu itu, Bahauddin mendapatkan semua mahaguru khawajakan yang sudah meninggal dunia, termasuk guru pertamanya, Khoja Baba Sammasi.
Oleh salah seorang guru mereka, Bahauddin dihadapkan kepada kepala aliran khawajakan, yaitu Khoja Abdul Khaliq Gujdawani. Dari mahaguru yang agung ini, Bahauddin mendapatkan bimbingan langsung dalam meniti suluk sufi. Sejak saat itu, Bahauddin dikenal dengan gelar Al-Uwaysi karena mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari seorang guru yang sudah meninggal dan tidak pernah ditemuinya di dunia. Hal ini sama dengan Uways Al-Qarny, seorang tabiin yang mendapatkan pelajaran spiritual langsung dari roh Sayyidina Rasulillah SAW.
Di bawah bimbingan Amir Kulali pula, Bahauddin terus mempraktikkan semua ajaran Abdul Khaliq Gujdawani, sebagaimana beliau juga mempelajari dengan tekun ilmu-ilmu Islam lainnya, khususnya akidah, fikih, hadis, dan sirah Nabi SAW.
Dan, karena wasiat dari Baba Sammasi, tidak heran kalau Amir Kulali memberikan perhatian khusus kepada Bahauddin. Setelah semua ilmu dan pencerahan spiritual yang ada pada gurunya diserap habis, Sayyid Amir Kulali memerintahkan Bahauddin untuk mengembara seraya menunjuk ke puting dadanya dan berkata, “Semua yang ada di sumber ini sudah habis kamu sedot, maka mengembaralah!”
Bahauddin kemudian belajar kepada beberapa mahaguru lain, seperti Khoja Arif Dikkarani dan Hakim Ata, hingga beliau menjadi mahaguru sufi terbesar yang pernah muncul dari kawasan Asia Tengah (sekarang adalah negara-negara persemakmuran bekas USSR), Persia, Turki, dan Eropa Timur. Beliau meninggal pada malam Senin, 3 Rabiul Awwal 791 H/1391 M.
Karena di dadanya terukir Lafdzul Jalalah (Allah) yang bercahaya, ia dikenal juga sebagai “Naqshaband” (bahasa Persia yang berarti: gambar yang berbuhul). Dan, kepada beliau, dinisbahkan Tarekat Naqshabandiyah yang merupakan salah satu tarekat terbesar di dunia. Tarekat ini tersebar luas di Turki, Hejaz, kawasan Persia, Asia Tengah, serta anak benua India dan Indonesia.
Adanya Tarekat Naqshabandiyah ternyata mampu mempertahankan identitas keislaman di Asia Tengah dan Eropa Timur, di tengah prahara komunisme yang menerpa selama lebih dari setengah abad. Para pemimpin kebangkitan Islam di Turki, seperti Erbakan dan Erdogan, juga berafiliasi kepada tarekat ini. Bahkan, akhir-akhir ini, Tarekat Naqshabandiyah memainkan peranan sangat penting dalam penyebaran Islam di Eropah dan Amerika.
Sementara itu, di Indonesia, ada beberapa cabang Tarekat Naqshabandiyah, seperti Khalidiyah, Mujaddidiyah, dan Muzhariyah. Yang terbesar adalah Tarekat Qadiriyah-Naqshabandiyah yang–sesuai namanya–merupakan hasil simbiosis dua tarekat terbesar di dunia. Mengembalikan Esensi Tasawuf Shah Naqshaband muncul untuk merevitalisasi perilaku beragama dengan mengajak kembali kepada tradisi yang hidup pada zaman Nabi SAW. Bagi Shah Naqshaband, hakikat sebuah tarekat adalah penerapan ajaran syariat dalam wujud yang paling sempurna dan konsisten. Sementara itu, hakikat adalah terealisasikannya “maqam kehambaan” seorang anak manusia di hadapan Allah semata.
Shah Naqshaband menyatakan bahwa tasawuf adalah inti agama dan inti terdalam dari tasawuf itu sendiri adalah muraqabah, musyahadah, dan muhasabah. Muraqabah adalah melupakan segala sesuatu yang selain Allah dengan hanya memfokuskan hati dan perbuatan hanya kepada-Nya. Musyahadah adalah menyaksikan keagungan dan keindahan Allah dalam seluruh eksistensi. Sementara itu, muhasabah adalah instropeksi diri yang terus-menerus agar tidak lalai dari jalan yang mulia ini. Dengan ketiga inti tasawuf itu, hati seorang saleh terus hidup dan dihidupkan oleh zikir dan kebersamaan bersama Allah dalam setiap detak jantung dan embusan napasnya sampai dia tertidur sekalipun!
Agar mencapai maqam tersebut, seorang saleh harus menjalani pelatihan di bawah bimbingan seorang mahaguru spiritual. Dialah yang akan mengajarkannya prosesi berzikir dalam hati sesuai dengan firman Allah, “Dan, sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu dengan penuh kesungguhan dan rasa takut (akan tidak diterima amal perbuatanmu), tanpa mengangkat suara pada siang dan sore hari dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah” (QS Al-A`raaf: 205). Zikir dalam hati dipilih karena silsilah utama tarekat ini bersambung melalui Abu Bakar Ash-Shiddiq. Metode zikir ini diajari oleh Rasulullah dan berbeda dengan tarekat lain yang semuanya bersambung melalui Ali bin Abi Thalib yang diajari berzikir dengan menggunakan suara jelas. Zikir dalam hati adalah ibadah yang terbesar (sesuai dengan bunyi tekstual QS Al-`Ankabuut: 45) dan bisa dilaksanakan dalam keadaan apa pun.
Zikir dalam hati yang dilakukan oleh seorang Naqsyabandi menggunakan Lafdzul Jalalah (Allah) dan Laa Ilaaha illalLaah yang dilafalkan dengan cara tertentu sebagaimana diajarkan langsung oleh seorang mahaguru sufi (syekh). Dengan prosesi zikir ini, seorang Naqshabandi meniti tangga-tangga makrifat. Shah Naqshaband pernah menyatakan bahwa shalat adalah titian spiritual yang paling efektif bagi seorang saleh asalkan shalatnya khusyuk. Untuk mewujudkannya, seorang saleh diharuskan mengonsumsi makanan yang halal baginya dan tidak pernah lalai mengingat atau “bersama” dengan Allah dalam kesehariannya, lebih khusus lagi saat berwudhu serta bertakbiratul ihram.
Di sisi lain, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah sebuah perilaku sosial yang positif. Bukan sekadar berbudi pekerti yang luhur, melainkan juga berbuat kebajikan kepada sesama makhluk Allah. Seorang saleh tidak boleh merasa dirinya lebih mulia dari seekor anjing sekalipun. Dia juga selalu siap mengulurkan tangan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuan. Bahkan, bantuan tersebut bukan sekadar diberikan dalam bentuk material semata, tetapi juga rohaniah dan spiritual.
Selain itu, bertasawuf juga berarti menghormati waktu. Shah Naqshaband pernah menegaskannya dalam bahasa Persia, “Orang yang berakal pasti tidak suka berkawan dengan seorang yang suka menunda-nunda pekerjaan jika mampu dilakukannya hari ini.” Waktu harus digunakan untuk ibadah dalam pengertiannya yang paling komprehensif: berbuat kebajikan, baik yang ritual maupun yang sosial. Dan, tidak boleh ada waktu yang berlalu sedetik pun tanpa yakin bahwa kita selalu “mengingat” dan “bersama” Allah.
Dengan demikian, bertasawuf bagi Shah Naqshaband adalah mewujudkan ketundukan penuh kepada Nabi Muhammad SAW secara paripurna: menjalankan perintahnya, menghindari larangannya, meneladani perbuatannya, dan menghayati spiritualitasnya, sesuai dengan ajaran Islam menurut mazhab ahlussunnah wal jamaah.
Tidak heran kalau banyak ulama yang mengakui bahwa Tarekat Naqshabandiyah adalah saripati semua tarekat sufi. Dan, barang siapa yang suluknya tidak sesuai dengan ajaran Shah Naqshaband di atas berarti sudah keluar dari jalur yang benar meskipun mengaku sebagai pengikut beliau. Shah Naqshaband pernah menegaskan, “Tasawuf adalah syariat. Dan, barang siapa yang mengaku sebagai pengikut tasawuf, tetapi tidak menerapkan syariat, berarti dia telah tersesat!” aunul abied shah/taq
Syaikh Muhammad Bahaa'uddin Naqshband (qs)
PART II
Maulana Syaikh Naqsyaband, Imam ut Thariqah adalah Pir. Pir berarti Imam. Imam berarti Tiang. Dia adalah Tiang utama Tarekat kita. Semoga Allah memberkati Beliau dan memberkati kita semua di dunia ini dan akhirat kelak. Maulana Syaikh Naqsyaband berkata “Thariqathun isthufal khalqa jamii-an”. Kita mencoba mengikut dan menjadi pengikut. Ini adalah cara yang mudah dan enak untuk menuju kekuatan.
Ada suatu mesin yang bekerja di depan rangkaian kereta api. Semua kerja yang berat dikerjakan oleh mesin itu. Dibelakang mesin itu ada beberapa gerbong yang bergabung bersama gerbong lainnya membentuk suatu rangkaian, tapi kekuatan utama berasal dari mesin itu, yaitu mesin yang berada didepan dalam rangkaian kereta api. Karena gerbong yang lain bergabung dengan mesin itu, mereka bergerak sesuai dengan arah dari mesin itu. Kemana saja mesin itu menuju rangkaian gerbong itu mengikuti. Walaupun rangkaian gerbong atau pengikut tidak punya kekuatan sendiri, tapi kemanapun mesin mengarah, mereka dapat menuju kesana juga. Mereka bisa juga berjalan menuju tempat tujuan mesin itu.
Karena itu, setiap Tarekat memiliki seorang Imam Tarekat. Imam-ut-Thariqah (Imam Tarekat) telah dikaruniai kekuatan untuk membawa kita dari asfala safiliina ilaa alaa illiyyiin, dari tingkatan terendah ke tingkatan tertinggi. Kalau hanya mengandalkan kemampuan diri kita sendiri mustahil kita bisa mencapainya. Anda tidak akan bisa terbang tanpa naik pesawat udara. Dengan menumpang pesawat udara Anda bisa menempuh perjalanan bahkan dari satu benua ke benua lainnya. Karena itu, Anda harus menggunakan sarana (tarekat) ini untuk beranjak dari maqam terendah Anda hingga ke maqam tertinggi yang mungkin dicapai.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lahir di desa Qasr al-Arifan dekat Bukhara pada tahun 711 H/1317 M. Beliau dikabarkan telah menunjukkan berbagai keajaiban yang luar biasa sejak masa kecilnya. Ketika Beliau masih muda, Muhammad Baba as Samasi, seorang Syaikh dari Tarekat Naqsyabandi memintanya datang dan untuk memenuhi permintaan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband berangkat ke kota Samas untuk berkhidmat kepada Maulana Syaikh Muhammad Baba as Samasi. Tentang kehidupan Beliau dalam periode ini Maulana Syaikh Bahauddin (ral), mengisahkan:
Bangun dari tidur setidaknya tiga jam sebelum subuh aku mengerjakan rangkaian shalat sunah dan setelah itu ketika dalam keadaan sujud aku memohon kepada Allah Yang Maha Kuasa untuk memberiku kekuatan untuk memikul Cinta Ilahiah Nya. Kemudian aku shalat subuh bersama Syaikh ku. Kelihatannya Syaikh mengetahui apa yang kuminta dalam sujudku, karena Beliau mengatakan kepadaku: Kamu harus mengubah apa yang kau minta dalam sujudmu, karena Allah Yang Maha Kuasa tidak suka hambaNya meminta kesukaran. Memang Dia memberi beberapa kesulitan kepada mahlukNya untuk menguji mereka. Hal ini berbeda. Seorang hamba tidaklah boleh meminta untuk diberi kesulitan-kesulitan karena hal ini tidak menunjukkan penghormatan kepada Allah. Karena itu ubahlah permohonan dalam sujudmu dengan berdoa “untuk hambaMu yang lemah ini wahai Tuhanku, karuniakanlah ridhoMu”.
“Sepeninggal Syaikh Muhammad Baba Samasi aku pergi ke Bukhara dan menikah disana. Aku tinggal di Qasr al-Arifan dekat tempat tinggal Syaikh Sayyid Amir Kulal dalam rangka berkhidmat kepada Beliau”. Menurut riwayat lama sebelumnya Syaikh Baba Samasi telah mengatakan kepada Sayyid Amir Kulal untuk mengasuh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband.
Maulana Syaikh Bahauddin (ral) mengisahkan pengalamannya. “Suatu ketika aku sedang melakukan khalwat bersama seorang kawan ketika tiba-tiba surga dan suatu pemandangan yang luar biasa ditampakkan didepanku. Dalam visi itu kudengar suara berkata “Tinggalkan semuanya dan datanglah ke Hadirat Kami sendirian”. Aku mulai gemetar dan lari meninggalkan tempat khalwat ke suatu tempat yang ada sungainya dan melompat ke dalam sungai itu. Aku mencuci pakaianku lalu shalat dua rakaat dengan cara yang aku belum pernah melakukan sebelumnya karena aku merasakan sedang shalat dihadapan Hadirat Ilahi. Terjadi Penyingkapan (futuh) di hatiku dan itu merupakan pembuka atas segala sesuatu. Seluruh alam semesta lenyap dan aku tidak sadar akan apapun selain sedang shalat dihadapan Hadirat Ilahi”. Ada riwayat luar biasa lainnya yang dikisahkan Wali Agung Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral). Beliau bercerita “Pada tahap awal dari keadaan kertertarikanku aku ditanya mengapa aku menempuh jalan ini. Kujawab supaya aku mendapat kekuatan sehingga apapun yang kukatakan dan kuinginkan akan terwujud. Dijawab bahwa tidak bisa seperti itu, karena sesungguhnya apa yang Kami sabdakan dan yang Kami kehendaki adalah yang akan terjadi. Kujawab lagi bahwa aku tidak setuju dengan hal itu. Aku harus mampu berkata dan berbuat apapun yang kuinginkan, jika hal ini tidak bisa kudapat maka kenapa aku harus menempuh jalan ini? Lalu kuterima jawaban: tidak, sesungguhnya apapun yang Kami kehendaki Kami sabdakan dan apapun yang Kami kehendaki akan terwujud. Kujawab lagi apapun yang kukatakan dan kulakukan adalah jalan yang kutempuh. Setelah itu aku ditinggalkan sendirian.
Selama lima belas hari aku sendirian. Hal ini membuatku tenggelam dalam depresi yang mendalam. Lalu tiba-tiba saja terdengar suara “Wahai Bahauddin seperti yang kau inginkan maka Kami mengaruniaimu apapun yang kau inginkan”. Aku memohon agar diberi jalan yang bisa langsung menuju Hadirat Ilahi. Lalu aku mengalami visi yang luar biasa dan mendengar suara yang mengatakan bahwa aku telah dikarunia apa yang kuminta”.
Kisah ini luar biasa karena biasanya orang patuh pada Perintah Ilahi dan tidak meminta pemenuhan keinginan mereka sendiri. Biasanya tindakan menolak untuk mematuhi Perintah Ilahi dan memaksa untuk mendapatkan apa yang diingini akan dianggap tidak adab. Walaupun pada awalnya ditolak, permohonan Maulana Syaikh Bahauddin (ral) akhirnya dikabulkan. Permohonannya dikabulkan mungkin karena Beliau memohon untuk kemaslahatan orang banyak dan bukan untuk kepentingan diri sendiri.
Ada kisah lain yang tak kalah menariknya kala Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) diuji oleh Syaikh nya. Ini sungguh ujian yang berat. Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menuturkan kejadian ini. “Suatu ketika aku berada dalam tarikan Ilahiah yang begitu kuat sehingga aku tidak sadar akan diriku dan berjalan tanpa menyadari apa yang kulakukan. Ketika malam tiba kulihat kedua kakiku berdarah akibat luka sobek dan tertusuk duri. Lalu kurasakan bahwa aku harus pergi ke rumah Syaikh ku, Sayyid Amir Kulal. Malam itu terasa sangat dingin dan gelap tanpa ada bulan dan bintang sama sekali. Untuk melawan dinginnya malam aku hanya mengenakan jubah tua terbuat dari kulit. Ketika sampai di rumah Syaikh ku, kulihat Beliau sedang bersama teman-teman dan para pengikut Beliau. Ketika Syaikh melihatku Beliau memerintahkan pengikutnya untuk mengusirku keluar dari rumah. Syaikh ku tidak suka aku berada di dalam rumahnya. Pengikut Syaikh mendatangiku dan membawaku keluar dari rumah. Aku tidak terima diperlakukan seperti ini.
Terasa egoku akan mengalahkanku dan mengambil alih kendali perasaanku dengan mencoba meracuniku dengan menggoyah keyakinanku yang tulus pada Syaikh ku. Bagaimana aku bisa menanggung malu dan rasa terhina seperti ini? Lalu Rahmat Ilahi datang kepadaku sehingga aku mampu menanggung ini semata-mata hanya demi Allah dan demi Syaikh ku. Dengan tegas kukatakan pada egoku bahwa aku tidak akan membiarkan egoku membuatku kehilangan cinta dan keyakinanku pada Syaikh ku.
Lalu kurasakan depresi yang mendalam melandaku. Langsung kuarahkan diriku pada keadaan kerendahan hati, meletakkan kepalaku didepan pintu masuk rumah Syaikh dan berjanji bahwa aku tidak akan bergerak dari keadaan seperti itu sampai Beliau menerimaku lagi. Terasa salju dan angin dingin menyusup tulang yang membuatku menggigil dan gemetar menahan dinginnya malam yang kelam. Bahkan tak tampak cahaya bulan dan bintang sedikitpun pun untuk membuatku sedikit nyaman dan hangat. Tubuhku nyaris membeku. Hanya hangatnya cinta kepada Allah Yang Maha Kuasa dan kepada Syaikh ku saja yang menghangatkanku.
Aku menanti dengan tetap dalam keadaaan seperti itu hingga pagi hari. Lalu Syaikh ku melangkah keluar rumah dan tanpa melihatku kakinya menginjak kepalaku. Ketika Syaikh melihatku, dengan cepat dibawanya aku masuk ke dalam rumahnya dan dengan telaten serta penuh perhatian Beliau mencabuti duri dari kakiku. Beliau berkata “Wahai anakku, hari ini kau telah dihiasi dengan busana kebahagiaan dan Cinta Ilahi. Busana yang menghiasimu ini belum pernah dikenakan oleh siapapun, baik diriku maupun Syaikh-syaikh sebelumku. Allah dan Nabi Muhammad (sal) telah ridho kepadamu. Demikian juga Para Auliya dalam silsilah Rantai Emas, mereka semua telah ridho kepadamu”.
Sambil mencabuti duri-duri dari kakiku dan membasuh luka di kakiku, Syaikh ku menuangkan kedalam hatiku pengetahuan yang belum pernah kualami sebelumnya. Lalu dalam visiku kulihat diriku memasuki rahasia dari Muhammadur RasuluLlah. Ini berarti memasuki rahasia dari ayat yang merupakan Realitas Muhammad. Setelah itu membawaku memasuki rahasia dari la ilaha illaLlah yang merupakan rahasia dari Keesaan Allah. Kemudian membawaku memasuki rahasia-rahasia dari nama-nama dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa yang berada dalam rahasia dari Keesaan Allah. Tidak mungkin kata-kata bisa menerangkan keadaan yang kualami ini. Hal ini hanya bisa dialami dengan merasakannya melalui qalbu”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) dididik oleh Syaikh Baba as Samasi dan Syaikh Sayyid Amir Kulal, keduanya merupakan figur Syaikh terkemuka dari Rantai Emas Tarekat Naqsyabandi. Beliau juga dididik langsung oleh Grand Syaikh terkemuka lainnya dari Rantai Emas yang sama (yang hidup tidak sejaman dengan mereka). Kejadian ini dikisahkan oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband dalam tuturan berikut: Pada awal mula langkahku menempuh Jalan Sufi aku biasa berjalan-jalan dimalam hari dari satu tempat ke tempat lain di desa Bukhara. Untuk belajar dari mereka yang sudah meninggal dunia aku banyak mengunjungi kuburan di kegelapan malam dan ini biasanya juga kulakukan di musim dingin. Suatu malam aku pergi mengunjungi makam dari Syaikh Ahmad al Kashghari dan membaca fatihah untuk Beliau. Di makam Beliau kutemui dua orang yang sedang menantiku. Aku belum pernah bertemu mereka sebelumnya. Mereka disertai seekor kuda. Mereka mendudukanku diatas pelana kuda itu dan mengikatkan dua buah pedang di pinggangku, lalu menuntun kuda ke makam dari Syaikh Mazdakhin. Kami lalu turun dari kuda dan memasuki makam dan mesjid dari Syaikh ini dan mulai melakukan meditasi (murakabah).
Dalam keadaan murakabah kulihat dalam dalam visiku tembok yang menghadap Ka’bah runtuh. Seorang laki-laki bertubuh raksasa kulihat sedang duduk diatas singgasana yang sangat besar. Aku merasa sangat familiar dengannya, sepertinya aku telah pernah bertemu dengannya sebelumnya. Kemanapun aku menghadapkan wajah kulihat orang ini. Disekeliling orang ini ada Syaikh Baba Samasi and Sayyid Amir Kulal berkumpul bersama dengan sekelompok besar orang yang hadir. Aku merasakan rasa cinta yang mendalam kepada laki-laki bertubuh besar ini dan pada saat bersamaan merasa takut padanya. Sosoknya memesona sekaligus menakutkanku dan keindahannya penampilannya menimbulkan rasa cinta dan ketertarikan. Aku bertanya pada diriku sendiri siapa sebenarnya lelaki agung dan bertubuh besar ini. Tiba-tiba kudengar seseorang yang berada disekitar lelaki itu berkata “Orang ini adalah Syaikh mu dan dialah yang menjagamu dalam jalur spiritualmu. Dia mengawasi jiwamu sejak masih berupa sebuah atom di Hadirat Ilahi. Kau telah dilatihnya selama ini. Namanya adalah Abdul Khaliq Al Gujduwani dan kumpulan orang yang terlihat disekelilingnya adalah para Auliya yang membawa rahasia-rahasia besarnya, rahasia-rahasia dari Rantai Emas”. Lalu Syaikh Abdul Khalik mulai menunjuk masing-masing Syaikh yang ada disitu dan berkata “Ini adalah Syaikh Ahmad, ini Arif ar-Riwakri, ini Syaikh Ali ar-Ramitani, ini Syaikh mu Baba as Samasi yang memberimu jubah semasa hidupnya”. Dia bertanya padaku “Apakah kau mengenalnya?”. Kujawab “Ya”. Lalu Beliau berkata “Jubah yang diberikannya kepadamu masih berada dirumahmu dan dengan perkenan Syaikh mu maka Allah Yang Maha Kuasa telah menghapus banyak kesulitan-kesulitan yang semestinya menimpamu”.
Lalu terdengar suara lain yang berkata ”Syaikh yang duduk diatas yang singgasana itu akan mengajarimu sesuatu yang kau butuhkan dalam menempuh jalan sufi ini”. Aku bertanya kepada mereka apakah aku diperbolehkan menyentuh tangan Beliau. Setelah diijinkan aku memegang tangan Beliau. Lalu Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani mulai mengajariku tentang jalan sufi, permulaannya, pertengahan dan akhirnya. Beliau berkata “Kau harus menyesuaikan sumbu hakikat dirimu sehingga cahaya yang tak kasat mata akan diperkuat didalam dirimu dan rahasia-rahasianya menampak. Kau harus menunjukkan istiqomah dan harus menjaga Syariah Suci dari Nabi Muhammad (sal) pada apapun keadaanmu”.
Beliau juga berkata “Kau harus meninggalkan kesenangan hidup duniawi dan menjauhi perbuatan bid’ah dan pusatkan dirimu hanya pada sunah-sunah Nabi Muhammad (sal). Kau harus menghayati dan menyelami peri kehidupan Nabi Muhammad (sal) dan para sahabatnya. Kau harus mengajak orang untuk membaca dan mengikuti tuntunan Qur’an baik siang maupun malam dan menegakkan shalat wajib serta semua ibadah sunah. Jangan sekali-kali memandang rendah bahkan pada hal-hal kecil dari perbuatan dan amal shalih Nabi Muhammad”.
Begitu Syaikh Abdul Khaliq al-Ghujduwani (ral) menyelesaikan ucapannya, wakil Beliau berkata padaku ”Agar kau yakin bahwa visi yang kau lihat ini benar adanya Beliau akan mengirimu suatu pertanda”. Dijelaskan bahwa hal-hal dan kejadian-kejadian tertentu akan terjadi sebagaimana mustinya terjadi dan pada saat yang telah ditentukan. Demikianlah kejadian-kejadian itu terjadi persis sebagaimana telah dikatakan kepada Maulana Syaikh Bahauddin (ral) yang kemudian juga berbuat persis sebagaimana Beliau diperintahkan, hal ini membuktikan kebenaran visi yang dialami Maulana Syaikh Bahauddin (ral). Beliau juga diminta untuk memberikan jubah Azizan kepada Sayyid Amir Kulal (ral). “Setelah visi itu berakhir aku pulang kerumah dan mencari jubah itu dan bertanya kepada keluargaku dimana adanya jubah itu. Mereka mengatakan kepadaku bahwa jubah itu sudah berada disana sejak lama, sambil membawa jubah itu dan menyerahkannya kepadaku. Aku mulai menangis didalam hati ketika melihat jubah itu”.
Setelah memenuhi segala hal yang dikatakan dalam visiku, sebagaimana diperintahkan aku membawa jubah Azizan ke Syaikh Sayyid Amir Kulal (ral) dan memberikan padanya. Setelah terdiam beberapa saat Syaikh Amir Kulal berkata padaku “Aku diberitahu tentang jubah Azizan ini semalam yaitu bahwa kamu akan membawa dan menyerahkannya padaku. Aku diperintahkan untuk menyimpannya dalam sepuluh lapis selubung yang berbeda“. Beliau lalu memintaku masuk ke dalam kamarnya dan mengajarkan serta menempatkan didalam hatiku zikir tanpa bersuara. Aku diminta untuk terus menerus berzikir seperti itu siang dan malam. Aku terus mengamalkan zikir ini yang merupakan bentuk tertinggi dari zikir.
Aku juga berguru kepada ulama-ulama lain untuk belajar Syariah dan sunah-sunah Nabi Muhammad (sal) dan juga mengkaji sifat-sifat Nabi Muhammad (sal) dan para sahabatnya. Sejak aku melaksanakan apa-apa yang diperintahkan dalam visiku, hidupku mengalami perubahan besar. Semua yang diajarkan oleh Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) dalam visi itu bermanfaat bagiku dan membuahkan hasil. Ruh Beliau selalu menyertaiku dan mendidikku. Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) adalah salah satu dari beberapa Guru/Syaikh dari Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) walaupun Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) hidup dimasa sebelum jaman Maulana Syaikh Naqsyaband (ral). Hubungan ini dalam dunia sufi dikenal sebagai Hubungan Uwaisy, yang berarti bimbingan dan hubungan spiritual terjadi walaupun masing-masing berasal dari jaman yang berbeda. Syaikh Abdul Khaliq Al Gujduwani (ral) juga merupakan salah satu Syaikh dari Rantai Emas Tarekat Naqsyabandi.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengikuti dan belajar pada Mawlana Arif ad-Din Karani selama tujuh tahun. Setelah itu Beliau mengikuti Maulana Kuthum Syaikh selama beberapa tahun. Beliau juga menyertai seorang darwis bernama Khalil Ghirani yang tentangnya Beliau berkata “Selama menyertai Syaikh Khalil Ghirani banyak pengetahuan baru yang selama ini tersembunyi mulai tersingkap di hatiku dan Beliau selalu menjagaku, memujiku dan mengangkat derajatku”. Ada Kekasih Allah lainnya yang disebut oleh Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) “Beliau memerintahkanku untuk menolong dan melayani orang miskin dan menolong mereka yang sedang hancur hatinya. Beliau memintaku untuk rendah hati dan bersikap toleran. Beliau juga mengatakan padaku untuk menyayangi hewan-hewan dan menyembuhkan sakit dan luka mereka dan memberi mereka makanan”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqshband (ral) mengisahkan tentang kejadian lain yang masih berhubungan dengan jubah Azizan. “Suatu hari aku sedang berada di kebunku dan dikelilingi oleh murid-muridku. Aku mengenakan jubah Azizan. Tiba-tiba aku diliputi oleh rahmat dan tarikan surgawi dan kurasakan diriku dihiasi dengan busana sifat-sifat Allah Yang Maha Kuasa. Kurasakan diriku mulai gemetar sedemikian rupa yang tak pernah kualami sebelumnya sehingga aku tak mampu lagi berdiri. Lalu tampak olehku visi yang luar biasa dimana keberadaanku sama sekali lenyap (fana) dan aku tidak melihat apapun kecuali Wujud Tuhanku.
Lalu kulihat diriku keluar dari Hadirat Ilahiah-Nya yang tampak terpantul dari cermin Muhammadur RasuluLlah yang berbentuk sebuah bintang dalam samudra cahaya tanpa batas. Wujud luarku lenyap dan kusaksikan makna sesungguhnya dari la ilaha illaLlah Muhammadur Rasulullah. Kemudian kusaksikan makna sejati dari nama-nama Allah yang kemudian membawaku kepada Yang Maha Ghaib yang merupakan esensi dari nama Allah ‘Huwa” (Dia). Begitu aku memasuki samudra ini jantungku berhenti berdetak dan hidupku berakhir. Aku berada dalam keadaan mati. Semua orang yang berada disekelilingku mulai menangis karena mengira aku sudah meninggal dunia. Akan tetapi setelah kitra-kira enam jam aku diperintahkan untuk kembali ke ragaku. Aku bisa menyaksikan ruhku kembali memasuki ragaku perlahan-lahan dan visi itu berakhir”.
Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) juga mengatakan kalau Beliau menerima rahasia-rahasia spiritual dari berbagai pihak dan khususnya dari Uways al-Qarani (ral) yang memberi pengaruh besar dalam hal meninggalkan keduniawian dan melekatkan diri Beliau kepada hal-hal spiritual (ukhrowi). Beliau berkata “Aku melakukan ini dengan menjaga sunnah dan perintah-perintah Nabi Muhammad (sal) sampai aku mulai menyebarkan hikmah dan dikarunia rahasia-rahasia Ilahiah dari yang Maha Esa yang tidak pernah diberikan pada seorangpun sebelumku”
Ada kisah menarik lainnya yang dituturkan oleh Wali Agung Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) mengenai kekuatan spiritual Beliau. Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) berkata: Suatu hari aku pergi ke gurun bersama salah satu muridku yang tulus yang bernama Muhammad Zahid. Kami mulai menggali tanah dengan menggunakan sebuah beliung (alat untuk menggali) dan pada saat bersamaan juga sambil membicarakan secara mendalam tingkatan-tingkatan pengetahuan. Sambil terus mengayun beliung pembicaraan kami terus berlangsung dan semakin mendalam. Lalu tiba-tiba muridku bertanya “Sampai batas apakah pencapaian ibadah?”. Kujawab ”Peribadatan mencapai suatu tingkatan dimana kau mampu menunjuk pada seseorang dan berkata “Matilah” dan lalu orang itupun mati”. Ketika aku sedang mengatakan itu tanpa sadar sambil telunjukku menunjuk pada Muhammad Zahid. Ketika kukatakan kata “Mati” terjadilah hal yang mengerikanku yaitu muridku jatuh dan meninggal dunia. Waktu terus berlalu dari pagi sampai tengah hari dan muridku masih dalam keadaan mati. Pada saat tengah hari terasa sangat panas dan jenasah muridku mulai semakin memburuk karena panas yang sangat. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dan merasa takut serta kebingungan. Yang bisa kulakukan adalah membawa jenasahnya ketempat teduh dibawah pohon. Aku lalu duduk mulai berfikir dan merenung akan apa yang harus kulakukan dalam situasi ini. Tiba-tiba muncul Ilham dalam pikiranku dan aku berkata sambil menunjuk pada jenasah muridku “Wahai Muhammad Hiduplah!” tiga kali. Timbul rasa legaku ketika perlahan-lahan nyawanya kembali ke tubuhnya dan secara bertahap muridku kembali ke kesadarannya. Dengan bergegas aku menemui Syaikh ku dan menceritakan kejadian itu. Syaikh ku kemudian berkata “Wahai anakku, Allah Yang Maha Kuasa telah memberimu suatu rahasia yang tak pernah diberikannya kepada siapapun”.
Dihari-hari akhir masa hidupnya Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) lebih sering mengurung diri di kamarnya. Banyak orang yang datang mengunjungi Beliau. Semakin banyak orang yang berkunjung ketika sakit Beliau semakin parah. Saat ajal Beliau makin dekat, Beliau memerintahkan agar dibacakan Surah Yaasin. Selesai dibacakan Surah Yaasin Beliau mengangkat tangan sambil membaca Dua Kalimah Syahadat, yaitu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad (sal) adalah Utusan Allah. Dengan Syahadat ruh suci Beliau kembali kepada Allah. Ketika itu tanggal 3 Rabiul Awwal, 791 H/1388 M, pada hari Senin malam. Sesuai permintaannya Beliau dimakamkan di taman miliknya. Mengenai kejadian ini seorang Wali Agung masa itu Abdul Wahab asy-Syarani berkata: Ketika Syaikh dimakamkan di makamnya terbukalah untuk Beliau sebuah jendela ke surga, sehingga makamnya menjadi sebuah taman surga. Dua mahluk spiritual berpenampilan memesona datang dan memberi salam kepada Beliau sambil berkata “Kami telah menanti sekian lama untuk melayani Anda sejak Allah menciptakan kami dan sekarang waktunya telah tiba bagi kami untuk melayani Anda”, terhadap ucapan ini Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral) menjawab “Aku tidak butuh apapun selain Dia. Aku tidak butuh kamu, aku butuh Dia”. Dengan cara seperti itu Beliau mangkat.
Itulah kisah kebesaran dari Pir atau Tiang dari Tarekat Naqsyabandi yang mulia. Tarekat ini sebelum jaman Beliau dikenal sebagai Tarekat Siddiqiyah. Setelah Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral), tarekat ini dikenal sebagai Tarekat Naqsyabandiyah. Semoga Allah merahmati Maulana Syaikh Bahauddin Naqsyaband (ral).Amiin.
Tuang Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al amfani Al Fancuri
PELETAK DASAR TAREKAT HIZIB NAHDHATUL WATHAN


Beliau adalah sosok ulama karismatik yang berasal dari Indonesia bagian timur. Kedalaman ilmu yang dimilikinya menjadikannya beliau sosok ulama yang cukup di segani dan termasyhur serta menjadi kebanggaan indonesia bahkan dunia. Ulama Ahli Hadist Mekkah Habib Muhammad Alwi al maliki bahkan pernah mengatakan ” Tidak ada para ulama dan Pelajar  di Mekkah yang tidak mengenal Syech Zainuddin , beliau adalah ulama besar yang memiliki segudang ilmu bukan hanya milik bangsa Indonesia tapi milik umat islam sedunia. Ucapan Habib Muhamad alwi almaliki tersebut bukan tanpa alasan. Sosok Zainuddin bin Abdul madjid sudah terkenal memiliki kecerdasan yang luar biasa sejak usia remaja. Para guru-gurunya pun mengakui kelebihan yang dimiliki oleh Zainuudin.
Ulama asal Lombok ini terkenal dengan sebutan Tuang Guru Zainuddin bin Abdul Madjid Al amfani Al Fancuri, Lahir di Desa Pancor lombok timur tangal  11 may 1906. Ayah beliau  KH. Abdul Madjid seorang ulama dan pejuang yang cukup di segani di lombok . Menjelang kelahiran Putranya, ayahnya bermimpi didatangi Waliyulloh dari Tarim Hadromaut , dalam mimpi tersebut di beri pesan agar anaknya di beri Nama  ”Saqqap” yang artinya “Orang yang memperbaiki atap”  Orang Indonesia  menyebutnya “assegap” dan secara kebetulan Waliyulloh tersebut bernama  “Saqqop”. Sejak kecil Zainuddin dipanggil dengan dialek sasak dengan sebutan “Segep” atau “gep”. Setelah Menunaikan Ibadah Haji  baru Namanya di ganti dengan Haji  Zainuudin bin Abdul Madjid.
Sejak kecil Tuan Guru ZAinuddin belajar kepada ayahnya dan ulama ulama di Lombok. Menginjak usia Remaja Tuan Guru Zainuddin di kirim ayahnya untuk belajar di Mekkah. Kecerdasan yang dimilki Tuan Guru Zainuddin mampu menyerap ilmu-ilmu yang di berikan gurunya. Diantara guru -guru beliau di Mekkah adalah Syech Hasan Muhamad Al masysyat, Al alamah Syech Salim rahmatulloh dan lain-lain. Kejeniusan Tuan Guru Zainuddin sangat di kagumi oleh guru guru beliau. Bahkan ketika masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah sebagaimana lazimnya setiap pelajar yang akan belajar di sana harus melalui tes, dan yang memberikan tes tersebut adalah direktur Al Shaulatiyyah sendiri Al alamah Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan Muhammad Al-Masysyath. Dan hasilnyapun sungguh mencengangkan, Tuan Guru Zainuddin lulus tes dan ditempatkan langsung di tingkat tiga. Namun dengan kerendahan hatinya Tuan Guru Zainuddin meminta agar dirinya masuk ke tingkat 2 saja dengan alasan untuk memperdalam ilmu Nahwu Shorof. Dengan demikian akhirnya Zainuddin belajar di Madrasah Al Shaulatiyyah langsung ke tingkat 2. Tuan Guru Zainuddin tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepadanya untuk belajar dengan sungguh sungguh. Dengan di temani oleh ibunya selama di Mekkah, Tuan Guru Zainuddin selalu minta Ridho dan do’a dari ibunya demi kesuksesannya dalam belajar. Dan terbukti Tuan guru Zainuddin lulus dengan predikat “Mumtaz” (camlaude). Sebagai penghargan atas prestasinya Direktur Madrasah Al-Shaulatiyah Syaikh Salim Rahmatullah mengundang Ahli Kaligrafi terbaik di Mekkah untuk menulis Ijazah Tuan guru Zainuddin, bahkan Beliau mengatakan bahwa “Madrasah Al shaulatiyah tidak perlu memiliki murid banyak , cukup satu orang saja asalkan memilki prestasi dan berkualitas seperti ZAinuddin”. Prestasi yang didapat oleh Tuan guru Zainuddin bukan tanpa pengorbanan, Ibunda yang selalu mendampingi dan mendo’kannya telah meninggal dunia di Makkah.
Hampir 13 tahun Ta’lim di Makkah Tuan Haji Zainuddin kembali ketanah air. Suasana konflik di tanah air dengan Belanda , telah membangkitkan semangat beliau untuk berdakwah dan melakukan perlawanan terhadap penjajah. Beliau melakukan dakwah ke berbagai plosok daerah dan terkenal dengan sebutan “Guru Bajang” . Tahun 1934 Tuan Guru Haji Zainuddin mendirikan Pesantren bernama “Al Mujahidin” yang merupakan Cikal bakal berdirinya “Nahdlatul Wathon” yang di didirikan tgl 22 Agustus 1937 . Pembawaanya yang berwibawa dan keluasan ilmu yang mendalam menjadikan beliau sosok ulama yang menjadi panutan dan rujukan para ulama, sikapnya yang sederhana tak menunjukan bahwa beliau seorang ulama. Selalu mendengar keluh kesah warganya dan mencoba di carikan jalan keluarnya. Maka beliau begitu sangat di cintai murid dan warganya. Perkembangan Nahdlatul Wathon sangat pesat sampai saat ini telah memilki hampir 1000 cabang di seluruh nusantara, perkembangan tersebut tak lepas dari peran para muridnya yang membuka cabang di daerah tinggalnya masing masing.
Jaringan Intelektual
TGH Muhammad Zainuddin AM memiliki jaringan intelektual yang luar biasa, terutama silsilah guru-guru yang didapatinya selama di Makkah al-Mukarromah. Jaringan ini mencerminkan betapa luasnya pengembaraan mencari ilmu dan matangnya keilmuwan TGH Muhammad Zainuddin AM. Silsilah keilmuwan yang diperolehnya tidak dalam satu mata rantai dalam setiap cabang keilmuwan, melainkan beberapa guru yang memiliki kemampuan dan pengetahuan agama yang luas.
Guru-guru yang mengajarkan al-Qur’an dan kitab melayu:
1. T.G.H. Abdul Majid
2. T.G.H. Syarafuddin Pancor Lombok Timur
3. T.G.H. Abdullah bin Amak Dujali Kelayu Lombok Timur
4. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Syaik al-Kabir al-Arifubillah Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat
5. Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana al-Syaikh Umar Bajunaid al- Syafi’i
6.  Al ‘Alim al-‘Allamah al-Faqih Maulana Syaikh Muhammad Syaid al-Yamani al-Syafi’i
7. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Mutaffanin Sibawaihi Zanamihi Maulana Syaikh Ali al-Maliki
8. Maulana Syaikh Abu Bakar al-Falimbangi
9. Maulana Syaikh Hasan Jambi al-Syafi’i
10. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muffasir Maulana al-Syaikh Abdul Qadir al-Mandili al-Syafi’i
11. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Shufi Maulana Syaikh Muhtar Betawi al-Syafi’i
12. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Umar Hamdan al Mihrasi al-Maliki
13. Al ‘Allim al- ‘Allamah al-Muhaddis Maulana Syaikh Abdul Qadir al-Syibli al-Hanafi
14. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Shufi Maulana Syaikh al-Syayid Muhammad Amin al-Kuthbi al-Hanafi
15.  Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Muhsin al-Musahwa al-Syafi’i
16. Al ‘Allim al-‘Allamah al-Falaqi Maulana Syaikh Khalifah al-Maliki
17. Al ‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh Jamal al-Maliki
18. Maulana Syaikh al-Shahih Muhammad Shalih Mukhtar al-Makhdum al-Hanafi
19. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syafi’i Maulana Syaikh Mukhtar al-Makhdum Al Hanafi
20. Maulana Syaikh al-Syayid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
21. Maulana Syaikh Salim Cianjur al-Syafi’i
21. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Muarrikh Maulana Syaikh Salim Rahmatullah al-Maliki
22. Maulana Syaikh Abdul Gani al-Maliki
23. Maulanasyaikh al-Syayid Muhammad Arabi al-Tubani al-Jasairi al-Maliki
24. Maulana Syaikh al-Faruq al-Maliki
25. Maulana Syaikh al-Wa’id al- Syaikh Abdullah al-Farisi
26. Maulana Syaikh Mala Musa
Guru Ilmu Tajwid, al-Qur’an dan Qiraat Sab’ah:
1. Al-Syaikh Jamal Mirdad (Imam dimakam Imam Hanafi di Masjidil Haram)
2. Al-Syaikh Umar Arba’in (Ahli Qur’an dan Qasidah yang sangat terkenal)
3. Al-Syaikh Abdul Latif Qari (Guru besar di Qiraat Sab’ah di Madrasah 4. Ashaulatiyah)
4. Al-Syaikh Muhammad Uba’id (kepala guru/Guru besar dalam bidang Tajwid dan  Qiraat yang sangat terkenal di Makkah).
Ilmu Fiqih, Tasawuf, Tajwid, Usulul Fiqih dan Tafsir:
1. Al-‘Alamah ‘al-Syaihk Umar Bajunaid al-Syafi’i
2. Al-‘Alimul al-Alamah  al-Syaikh Muhammad Said al-Yamani
3. Al-‘Alamah al-Syaikh Muhtar Betawi
4. Al-‘Alamah al-Syaihk Abdul Qadir al-Mandili (Murid Khusus dari al- Allamah
5. Syaikh Ahmad Hamud Minangkabau Sumatera Barat)
6. Al-‘Alamah al-Faqih Abdul Hamid Abdur Rabb al-Yamani
7. Al-‘Mutaffanin al-‘Allamah al-Syayid Muhsin al-Musawa (Musisi Pendiri Darul Ulum al-Diniyah Makkah Mukarramah)
8. Al-‘Allamah al-Adib al-Syaikh Abdullah al-Lajahi al-Farisi (Pengarang Yang Sangat Terkenal)
Guru Ilmu Arud (Syair Bahasa Arab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Syaikh Abdul Qani al-Qadli
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adib al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi
Guru Ilmu Falak:
1. Maulana Syaihk Cianjur (Jawa Barat)
2. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Falaki Maulana Syaikh  Khalifah al-Makki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Sayyid Ahmad Dahlan Sadakah al-Syafi’i
Guru Ilmu Hadits, Mustalahul Hadits, Mustahul Tafsir, Ilmu Fara’id, Sirah (Tarikh) dan Berbagai Ilmu Alat (Nahu-Syaraf):
1. Al-‘Allamah al-Qabir Sibawaihi Zamanihi al-Syaikh al-Maliki
2. Al-‘Allamah al-Jalil Asyaikh Jamal al-Maliki
3. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaihk Umar Hamdan al-Mihrazi al-Syafi’i
4. Al ‘Allimul ‘Allamah al-Kabir al-Muhaddist Maulana Syaikh Abdullah al-Buhari al-Syafii (Mufti Istanbul)
5. Maulanna Wamurabbi Abil Barokah al-‘Allim al-‘Allamah al-Ushuli al-Muhaddist al-Shufi al-‘Arifubillah Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat al-Maliki
6. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Shorfi Maulana Syaikh Muftar Makdum al-Hanafi
7. Al-‘Allim al-‘Allamah Maulana Syaikh al-Sayyid Muhsin al-Musawa
8. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Adeb al-Shufi Maulana Shaihk al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi
9. Al-‘Allim al-‘Allamah  al-Syaikh Umar al-Faruk al-Maliki
10. Al-‘Allim al-‘Allamah al-Kabier al-Syaikh Abdul Qadir al-Syalabi al-Hanafi
Guru Ilmu Arwad (Ahzab):
1. Al-‘Allim al-‘Allamah (Kyai Falaj) (Bogor Jawa Barat)
2. Maulana Syaihk Malla Musa al-Maqribi
Guru Khat (Kaligrafi):
1. Al-Khattah  al-Syaikh Abdul Aziz Langkat
2. Al-Khattah al-Syaihk Dau al-Rumani al-Fhatani
3. Al-Khattah al-Syaihk Muhammad al-Ra’is al-Maliki
Dari semua guru TGH Muhammad Zainuddin AM, ada lima guru/ulama yang sangat berjasa dalam membimbing dan mendidiknya di Mekah: Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat al-Maliki, Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi al-Hanafi, Syaikh Umar al-Faruk al-Maliki, dan Syaikh al-Sayyid Umar Hamdan al-Mihrasi al-Syafi’i.

Kiprah Sosial-Keagamaan
Melihat kondisi masyarakat Lombok yang masih terbelenggu oleh kebodohan dan keterbelakangan, TGH Muhammad Zainuddin AM merasa tertantang untuk membenahi masyarakatnya yang masih dalam jajahan Belanda, Jepang, Hindu Bali (Anak Agung Karangasem) melalui pencerdasan agama. Kepulangannya dari Mekah pada tahun 1934 ketika terjadi peperangan antara Raja Syarif Husein dengan Raja Abdul Aziz bin Abdurrahman  sehingga ia kembali ke Lombok untuk membuka pengajian pemula untuk masyarakat dengan sistem halaqah (Abdul Hayyi Nu’man, 1998).
Pondok Pesantren yang didirikan diberi nama Pondok Pesantren Nahdlatul Wathan (membela tanah air) sesuai dengan obsesinya untuk membela tanah air dari kaum penjajah. Dengan berbekal ilmu yang dimiliki, ia mampu tampil sebagai seorang ulama yang mempunyai kompetensi besar dalam membentuk kader ulama. jenjang pendidikan yang khusus untuk mencetak kader ulama diberi nama Ma’had Darul Qur’an Wal Hadits. Sebagai seorang Mujahid, TGH Muhammad Zainuddin AM berupaya melakukan inovasi untuk meningkatkan pengetahuan agama masyarakat. Itu sebabnya, ia membuat rintisan dengan memperkenalkan sistem madrasi dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran agama di NTB, membukan lembaga pendidikan khusus bagi wanita, mengadakan Syafatul Qubra, meciptakan hizib tarekat Nahdaltul Wathan, membuka sekolah umum di samping sekolah agama, menyususn nazham berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia.
Berikut ini kiprah sosial-keagamaan TGH Muhammad Zainuddin AM:
1. Pada tahun 1943 mendirikan Pesantren Al-Mujahidin
2. Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
3. Pada tahun 1943 mendirikan Madrasah NBDI
4. Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
5. Pada tahun 1946 Pelopor Penggempuran Nica di Selong Lombok Timur
6. Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Hajji dari negara Indonesia Timur
7. Pada tahun 1948/1949 Anggota delegasi Negara Indonesia Timur ke Saudi Arabia
8. Pada tahun 1950 Konsultan NU Sunda Kecil
9. Pada tahun 1952 Ketua badan penasehat Masyumi Daerah Lombok
10. Pada tahun 1953 Mendirikan organisasi Nahdlatul Wathan
11. Pada tahun 1953 Ketua Umum PBNW pertama
12. Pada tahun 1953 Merestui terbentuknnya NU dan PSII di Lombok
13. Pada tahun 1954 Merestui terbentuknya PERTI Cabang Lombok
14. Pada tahun 1955 Anggota Konstituante RI hasil Pemilu I 1955
15. Pada tahun 1964 Menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
16. Pada tahun 1964 Mendirikan Akademi Paedagogik NW
17. Pada tahun 1965 Mendirikan Ma’had Darul Qur’an Wal  Hadist Al Majidiah Asy Syafi’iyah   Nadlatul Wathan
18. Pada tahun 1972/1982 Anggota MPR RI hasil Pemilu II dan III
19. Pada tahun 1971/1982 Penasehat Majelis Ulama’ Indonesia Pusat
20. Pada tahun 1974 Mendirikan Ma’had Lil Banat
21. Pada tahun 1975 Ketua Penasehat bidang Syara’ Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram
22. Pada tahun 1977 Menjadi Rektor Universitas Hamzan Wadi
23. Pada tahun 1977 Mendirikan Universitas Hamzan Wadi
24. Pada tahun 1977 Mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzan Wadi
25. Pada tahun 1978 Mendirikan STKIP Hamzan Wadi
26. Pada tahun 1978 Mendirikan Sekolah Ilmu Syari’ah Hamzan Wadi
27. Pada tahun 1982 Mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzan Wadi
28. Pada tahun 1987 Mendirikan Universitas Nahdlatul Nathan di Mataram
29. Pada tahun 1987 Mendirikan Sekolah Ilmu Hukum Hamzan Wadi
30. Pada tahun 1990 Mendirikan Sekolah Ilmu Da’wah Hamzan Wadi
31. Pada tahun 1994 Mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) putra putri
32. Pada tahun 1996 Mendirikan Institut Agama Islam Hamzan Wadi
Pemikiran dan Karyanya
Konsep pendidikan yang diajarkan adalah bahwa pendidikan tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan (kognitif), tetapi juga pemupukan moral, melatih dan mempertinggi nilai-nilai kemanusiaan. Karena pendidikan adalah kewajiban manusia untuk mengabdi kepada Allah SWT. Dalam hal ini, usaha yang ia pikirkan dan praktikkan adalah pengembangan pendidikan Islam melalui pesantren. Yakni, berusaha mengembangkan pesantren dengan menerima beberapa pemikiran alternatif yang dapat dijadikan sebagai masukan/kontribusi bagi pengembangan pesantren sejalan dengan perubahan zaman. Karena itu, menurut TGH Muhammad Zainuddin AM, pesantren mesti merubah orientasinya dengan tidak sekadar berorientasi pada pencarian ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu yang lain.

TGH Muhammad Zainuddin AM dikenal sebagai ulama yang tidak sekadar menekuni dunia pendidikan di pesantren dan masyarakat, tetapi juga sebagai penulis dan pengarang yang produktif yang bakatnya ini timbul sejak masih belajar di Madrasah Ash-Shaulatiyah di Mekah. Beberapa karya yang dihasilkannya di antaranya dalam bentuk kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia, dan Sasak.
Karya-karyanya antara lain:
1.   Risalah al-Tauhid
2.   Sullam al-Hija’
3.   Syarah Safinah al-Najah
4.   Nahdlah al-Zainiyyah
5.   Al-Tuhfah al-Ampananiyah
6.   Al-Fawakih al-Nahdliyyah
7.   Mi’raj al-Sibyan ila Samaim al-Bayan
8.   Anfat ‘Ala Tarikah al-Tsaniyah
9.   Hizib Nahdlatul Wathan
10. Hizib Nahdlatul Banat
11. Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan
12. Batu Ngumpal Anak Nunggal
13. Tarekat Batu Ngumpal
14. Wasiat Renungan Masa I
15. Wasiat Renungan Masa II
16. Ta’sis NWDI
17. Imamuna al-Syafi’i
18. Mi’raj al-Sibyan
19. Siraj a-Qulub fi Da’iyat ‘Alamat al-Guyub
            Banyaknya karya yang telah ia terbitkan mencerminkan ketinggian ilmu yang dimilikinya, sehingga oleh guru-gurunya TGH Muhammad Zainuddin AM mendapat pujian dan kepercayaan yang besar. Di antaranya, ia pernah diberi kesempatan untuk memberikan kata pengantar dari gurunya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat. Dalam kata pengantar yang ia tulis untuk kitab Baqi’ah al-Mustarsyidin karya Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat sambil mengutip hadist Nabi Saw mengatakan: “Janganlah kamu mempelajari ilmu syariat dari seseorang kecuali dari orang yang baik riwayat hidupnya dan hatinya dan kamu sekalian telah menyelidiki atas keamanahannya”. Dari Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Mahsyat inilah, ia pernah mendapatkan risalah/ijazah dengan seluruh isi kitabnya, “al-Irsyad bi al-Dzikr ba’da Ma’alim al-Ijazah wa al-Asnaf”. Dari sinilah, ia menukil sebagian ucapan gurunya tentang kehidupan pribadinya yang mantap, tetapi tetap menganggap dirinya adalah orang yang hina dan fakir dalam pengetahuan agama.
Syaikh Muhammad al-Mahsyat pernah memberikan sanjungan kepada TGH Muhammad Zainuddin AM. Berikut kutipannya: “Demi Allah saya kagum kepada Zainuddin, kagum pada kelebihannya atas orang lain pada kebesaran yang tinggi dan kecerdsannya yang tiada tertandingi, jasanya bersih ibarat permata menunjukkan kebersihan ayah bundanya dan karya-karya tulisnya indah lagi menawan penaka bunga-bungaan yang tumbuh di lereng pegunungan. Di lapangan ilmu ia dirikan ma’had, tetap dibanjiri thullab dab thalibat menuntut ilmu dan menggali kitab. Ia kobarkan semangat generasi muda menggapai mustawa dengan karyanya Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan. Semoga Alah memanjangkan usianya dan dengan perantarannya ia memajukan ilmu pengetahuan agama di Ampanan bumi Selaparang. Terkirimlah salam penghormatan harum semerbak bagaikan kasturi dari tanah Suci menuju “Rinjani” (Syaikh Muhammad Zainuddin AM dalam Mi’raj al-Sibyan ila Sama’i ‘Ilm al-Bayan). Dengan demikian, TGH Muhammad Zainuddin AM selain dikenal sebagai ulama yang memiliki kepedulaian yang tinggi terhadap dunia pendidikan Islam, ia juga mampu menuliskan pikiran-pikirannya untuk memberikan warisan yang paling berharga bagi penerus
KIAI AS'AD SYAMSUL ARIFIN
MURSYID QODIRIYYAH WANNAQSYABANDIYYAH
Siapa tidak kenal Kiai As'ad Syamsul Arifin. Sang pembawa tongkat berisi pesan penting dari Kiai Kholil Bangkalan untuk Khadratus Syekh KH. Hasyim Asy'ari itu adalah sosok ulama kharismatik, unik dan pemberani. Beliau adalah salah satu tokoh sentral lahirnya ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama.
Kini, Kiai As'ad sudah lama berpulang ke rahmatullah. Namun, warisan keilmuan dan semangat juangnya masih tetap membara. Ribuan santrinya telah menyebar di berbagai nusantara. Jelas, kenyataan itu menunjukkan kapasitas keilmuan dan kekeramatannya. Dawuh atau wejangan Kiai As'ad, selalu melekat dan diikuti para santri dan pecintanya. Sekali beliau berkata, untaian kalimatnya begitu membekas dalam hati.
Pernah suatu hari, Ustadz Basori Alwi sengaja diundang oleh Kiai As'ad untuk membacakan al-Quran di hadapan ribuan jamaah pengajian rutin yang diasuh oleh Kiai As'ad. Usai Ustadz Basori -yang kini menjadi pengasuh Pesantren Ilmu al-Qur'an (PIQ) Singosari Malang- melantunkan ayat-ayat suci al-Quran, Kiai As'ad memintanya untuk memberikan sedikit tawsiyah di hadapan para hadirin.
Tak bisa menolak, akhirnya Ustadz Basori pun menyampaikan beberapa pelajaran terkait dengan pentingnya membaca al-Quran secara bertajwid dan perlunya mendalami ilmu-ilmu agama, khususnya ilmu al-Quran.
Setelah kurang lebih 30 menit berceramah, Kiai Basori menutup pidatonya dengan doa singkat. Pada sesi berikutnya, Kiai As'ad lalu tampil sebagai penceramah. Dalam muqaddimah pidatonya yang disampaikan dalam bahasa Madura, Kiai As'ad berkata:
"Tan tretan sedejeh! Engak gi, Kiai Basori neka, guruna be'en kabbih. Inga' le, molai setiyah, Kiai Basori nika, guruna be'en kabbih".
"Saudara-saudara! Ingat, Kiai Basori ini adalah guru kalian semua. Saya peringatkan lagi, sejak hari ini, beliau ini menjadi guru kalian semua".
Sungguh luar biasa, akhlaq Kiai As'ad terhadap ilmu. Kiai kharismatik itu ingin mengajarkan betapa seseorang yang telah berjasa mengajarkan sebuah ilmu, meski hanya satu huruf, maka orang tersebut adalah gurunya. Pernyataan Kiai As'ad di atas, mengingatkan pada statemen Sayyidina Ali bin Abu Thalib, "Ana abdu man 'allamani wa law harfan wahidan". Artinya, "Aku adalah hamba setiap orang yang mengajariku meski hanya satu huruf".
Setelah acara pengajian itu bubar, Kiai Basori pun pulang ke rumahnya di Singosari, Malang. Saat itu, beliau memang telah rutin mengajar al-Quran pulang-pergi antara Singosari-Situbondo. Karena belum punya kendaraan pribadi dan bahkan bus angkutan umum pun masih jarang ada, maka terkadang Kiai Basori harus "ngandol" alias numpang truk barang. Sebuah perjuangan demi al-Quran.
Kembali ke kisah tadi. Ketika Kiai Basori naik bus kota di Situbondo, sepulang dari pengajian tadi, kontan saja para penumpang bus mengenali sosok penumpang itu yang tak lain adalah seseorang yang baru saja didaulat oleh Kiai As'ad sebagai guru mereka semua.
Menyadari hal itu, syahdan para penumpang bus berebut untuk salaman dengan Kiai Basori. Jelas hal ini membuat kiai muda itu nervous. Yang lebih mengejutkan lagi, ternyata setiap penumpang itu menyalaminya dengan uang seadanya. Ada memberi salam tempel sebesar 10.000, 5.000, hingga 1.000 rupiah.
Sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Madura, bila bersalaman dengan kiai, sebagai bentuk ta'dzim terhadap guru adalah memberi salam tempel berupa uang, walaupun mungkin nilainya tidak besar. Bahkan, beberapa orang Madura pantang bersalaman dengan seorang ulama dengan hanya tangan kosong. Mereka menilai salam tempel kosongan adalah su'ul adab dan tidak tahu hormat terhadap ahli ilmu.
Sungguh luar biasa, bentuk penghormatan para jamaah dan santri Kiai As'ad yang notabene-nya adalah orang Madura. Sekali mereka di-dekrit oleh Kiai As'ad bahwa Kiai Basori adalah juga guru mereka yang harus dihormati, maka sejak itu pula mereka tunduk dan memperlakukan Kiai Basori layaknya guru yang harus dimuliakan dalam segala hal, termasuk juga mensalaminya.
Hingga kini, di setiap acara haul Kiai As'ad, Kiai Basori selalu diundang untuk membacakan surah Yasin atau ayat-ayat al-Quran. Kiai Fawaid, putra Kiai As'ad dan juga penerusnya, sama sekali tidak mau menggantikan posisi Kiai Basori dalam membacakan ayat-ayat suci al-Quran di acara haul Kiai As'ad. Mengapa? Salah satu alasannya karena ayahanda beliau telah mendaulat Kiai Basori sebagai Sang Guru Quran.
Sekali seseorang mengajari kita tentang ilmu, meski satu huruf saja, maka sejak itu pula dialah guru kita. Inilah yang dipegangi Kiai As'ad Syamsul Arifin persis seperti prinsip Saydina Ali bin Abu Thalib, Sang Pintu Ilmu dari Madinatul Ilmi.
Syeikh Abdul Karim Banten
(Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah)
http://teguhimanprasetya.files.wordpress.com/2008/09/gambar-haji1.jpg?w=224&h=356&h=356 Pemimpin Tarekat dan Haji-haji Pemberontak
Gerakan kebangkitan kembali (revival) yang dipimpin Syekh Abdul Karim alias Kiai Ageng memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula.
Senin, 13 Februari 1876. Haji Abdul Karim meninggalkan Tanara. Ia terpaksa meninggalkan Banten menuju tanah airnya yang kedua, Makkah, menyusul pengangkatannya sebagai Pemimpin Tarekat Qadiriah, menggantikan Syekh Ahmad Khatib Sambas. Ikut bersamanya 10 anggota keluarga, enam orang pengawal, dan 30 atau 40 orang yang menyertainya hanya sampai Batavia. Khawatir akan kemungkinan turunnya rakyat secara besar-besaran ke jalan, Residen Banten meminta Kiai Abdul Karim mengubah rute perjalanannya. Rencananya singgah di beberapa tempat di Tangerang dibatalkan; diputuskan ia akan menumpang kapal langsung ke Batavia. Padahal banyak haji dari Tangerang dan Distrik Bogor sudah berangkat ke Karawaci. Selain itu, satu pertemuan besar akan digelar di rumah Raden Kencana, janda Tumenggung Karawaci dan ahli waris perkebunan swasta Kali Pasir, yang selain oleh anggota keluarganya juga bakal dihadiri orang-orang yang dicap pemerintah kolonial sebagai “fanatik” dan pembangkang. Semuanya urung. Toh murid dan para pengikut Abdul Karim berduyun-duyun bertolak dari desa-desa pantai, seperti Pasilian dan Mauk, dengan menggunakan berbagai perahu, untuk menyatakan salam perpisahan—dan semoga Kiai kembali.
Tak syak lagi, Haji Abdul Karim adalah salah satu ulama yang sangat dihormati dan paling berpengaruh di Nusantara pada penghujung abad ke-19. Ia digelari Kiai Agung. Bahkan sebagian orang menganggapnya sebagai Wali Allah, yang telah dianugerahi karamah. Di antara peristiwa yang disebut-sebut sebagai petunjuk kekaramatannya, pertama, ia selamat ketika seluruh daerah dilanda banjir air Sungai Cidurian; kedua, setelah ia dikenai hukuman denda, residen diganti dan bupati dipensiun.
Besarnya pengaruh Kiai Abdul Karim, juga tampak ketika ia melangsungkan pernikahan putrinya. Seluruh desa Lampuyang, tempat tinggalnya, dihias dengan megah. Kiai-kiai terkemuka – termasuk dari Batavia dan Priangan – datang di pesta yang antara lain dimeriahkan rombongan musik dari Batavia dan berlangsung sepekan itu. Sejak muda Abdul Karim berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Pemimpin tarekat yang juga menguasai hampir semua cabang ilmu keislaman ini dilahirkan di Sambas, Kalimantan Barat, dan bermukim di Makkah sejak perempat kedua abad ke-19. Pengarang Fathul ‘Arifin ini – kitab pedoman praktis untuk para pengamal tarekat di Asia Tenggara – mengajar di Masjidil Haram sampai wafatnya pada 1875. Ulama terkemuka ini punya banyak pengikut, sehingga ajaran Qadiriah menyebar di berbagai daerah di Nusantara, seperti Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura, dan Banten. Kecuali di Madura, semua pengikut tersebut berada di bawah bimbingan Haji Abdul Karim. Boleh dikatakan, Abdul Karim adalah murid Syekh Sambas yang paling terkemuka. Tak heran, jika dia mendapat kepercayaan gurunya untuk menyebarkan ajaran Tarekat Qadiriyah.
Tugas pertama yang diemban Haji Abdul Karim adalah menjadi guru tarekat di Singapura. Setelah beberapa tahun, ia kembali ke desa asalnya, Lampuyang, Tanara, pada tahun 1872. Ia mendirikan pesantren, dan karena sudah amat terkenal, dalam waktu singkat ia sudah banyak memperoleh murid dan pengikut. Sulit diperkirakan berapa jumlah pengikutnya. Yang pasti, dialah yang paling dominan di kalangan elite agama di Banten kala itu.
Kurang lebih tiga tahun Kiai Abdul Karim tinggal di Banten. Ditunjang kekayaan yang dimiliknya, ia mengunjungi berbagai daerah di negeri ulama dan jawara itu, sambil menyebarkan ajaran tarekatnya. Selain kalangan rakyat, ia juga berhasil meyakinkan banyak pejabat pamong praja untuk mendukung dakwahnya. Tidak kurang dari Bupati Serang sendiri yang menjadi pendukungnya. Sedangkan tokoh-tokoh terkemuka lainnya, seperti Haji R.A Prawiranegara, pensiunan patih, merupakan sahabat-sahabatnya, dan mereka amat terkesan dengan dakwahnya. Alhasil, Kiai Abdul Karim sangat populer dan sangat dihormati oleh rakyat; sedangkan para pejabat kolonial takut kepadanya. Kediamannya dikunjungi Bupati Serang dan Residen Banten. Dan tentu saja kunjungan kedua petinggi di Banten itu membuat gengsinya semakin naik. Tidak berlebihan jika dikatakan, Kiai Abdul Karim benar-benar orang yang paling dihormati di Banten.
Sebelum kedatangan Kiai Agung dengan tarekat Qadiriahnya, para kiai bekerja tanpa ikatan satu sama lainnya. Tiap kiai menyelenggarakan pesantrennnya sendiri dengan caranya sendiri dan bersaing satu sama lainnya. Maka, setelah kedatangan Kiai Abdul Karim, tarekat Qadiriah bukan saja semakin mengakar di kalangan rakyat, tapi mampu mempersatukan para kiai di Banten. Penyebaran tarekat ini diperkuat oleh kedatangan Haji Marjuki, murid Haji Abdul Karim yang paling setia, dari Makkah
Kiai Abdul Karim memang orang kaya. Dan kekayaan itu memungkinkannya menjelajahi berbagai daerah di Banten. Dalam kunjungan-kunjungan itu dia tak henti-henti berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama mereka dengan jalan lebih taat beribadah.Ia menjelaskan bahwa aqidah (keyakinan) dan ibadah (praktek agama) harus terus dimurnikan. Abdul Karim memfokuskan zikir sebagai tema keangkitan kembali kehidupan agama (revival). Maka zikir diselenggarakan di mana-mana, menggelorakan semangat keagamaan rakyat. Dan Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Kiai Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap penduduk.
Dalam waktu singkat, setelah Haji Abdul Karim memulai kunjungannya dari satu tempat ketempat lain, daerah Banten diwarnai kehidupan keagamaan yang luar biasa aktifnya. Pengaruh dari meluasnya kegiatan keagamaan ini adalah bangkitnya semangat di kalangan umat dalam menentang penguasa asing. Kebetulan pada waktu itu sudah berkembang rasa ketidakpuasaan rakyat kepada pemerintah kolonial akibat tindakan politik dan ekonomi mereka yang merugikan rakyat. Dalam situasi demikian, para ulama secara bertahap membangunkansemangat rakyat untuk melawan pemerintah kolonial Belanda. Ketidakpuasan itu kemudian memuncak sedemikian rupa sehingga beberapa ulama merencanakan waktu untuk memberontak terhadap Belanda. Kiai Abdul Karim sendiri menganggap bahwa pemberontakan belum tiba saatnya karena rakyat belum siap.
Haji-haji Berjiwa Pemberontak
Seperti diungkapkan sejarawan Sartono Kartodirdjo, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin Kiai Abdul Karim memang memperlihatkan sikap yang keras dalam soal-soal keagamaan dan bernada puritan. Tetapi ia bukan seorang revolusioner yang radikal. Kegiatan-kegiatannya terbatas pada tuntutan agar ketentuan-ketentuan agama, dengan tekanan khusus kepada salat, puasa, mengeluarkan zakat dan fitrah, agar benar-benar dilaksanakan. Dan tentu saja, zikir merupakan kegiatan yang pokok pula. Setelah Haji Abdul Karim meninggalkan Banten, menurut Sartono, gerakan itu berpaling dari semata-semata sebagai gerakan kebangkitan kembali. Semangat yang sangat anti asing mulai merembesi gerakan tarekat yang telah ditumbuhsuburkan Kiai Abdul Karim. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru tarekat yang berjiwa pemberontak menempatkan ajaran tarekat sepenuhnya di bawah tujuan politik.
Syekh Abdul Karim disebut sebagai salah satu di antara tiga kiai utama yang memegang peranan penting dalam pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888. Dua tokoh kunci lainnya adalah KH Wasid dan KH Tubagus Ismail. Sebelum bertolak ke Makkah, sekali lagi ia berkeliling Banten. Di tempat-tempat yang dikunjunginya, ia berseru kepada rakyat agar berpegang teguh pada ajaran agama, dan menjauhkan diri dari perbuatan mungkar. Ia memilih beberapa ulama terkemuka untuk memperhatikan kesejahteraan tarekat qadiriah. Ia juga pamit kepada para pamong praja terkemuka, dan berpesan kepada mereka untuk menyokong perjuangan para ulama dalam membangun kembali kehidupan keagamaan, dan agar selalu minta nasihat kepada mereka mengenai soal-soal keagamaan.
Menjelang keberangkatannya, kepada murid-murid dekatnya Syekh Abdul Karim mengatakan bahwa dia tidak akan kembali lagi ke Banten selama daerah ini masih dalam genggaman kekuasaan asing. Dia memang tidak terlibat secara langsung pemberontakan yang meletus 12 tahun setelah keberangkatannya ke Tanah Suci itu. Tapi dialah yang menjadi perata jalan bagi murid-murid dan pengikutnya untuk melakukan jihad atau perang suci. Di antara murid-muridnya yang terkemuka, yang mempunyai peranan penting dalam pemberontakan Banten, antara lain Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, Haji Abu Bakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir, dan Haji Marjuki dari Tanara. Mereka juga dikenal sebagai pribadi-pribadi yang punya karisma.
Kepergian Abdul Karim ke Makkah, ternayata tidak menyurutkan pengaruhnya di Banten. Popularitasnya bahkan meningkat. Rakyat selah dilanda rindu dan ingin bertemu dengannya. Sementara para muridnya sendiri sudah tidak sabar menantikan seruannya untuk berontak. Snouck Hurgronje, yang menghadiri pengajiannya di Makkah pada 1884-1885, menceritakan: “Setiap malam beratus-ratus orang yang mencari pahala berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar zikir dari dia, untuk mencium tangannya, dan untuk menayakan apakah saatnya sudah hampir tiba, dan berapa tahun lagi pemerintahan kafir masih akan berkuasa.”
Tetapi Syekh Abdul Karim tidak memberikan jawaban pasti. Dia selalu memberikan jawaban-jawaban yang samar tentang soal-soal yang sangat penting seperti mengenai pemulihan kesultanan atau saat dimulainya jihad. Dia hanya mengisyaratkan bahwa waktunya belum tiba untuk melancarkan perang sabil.***
Dilema Guru, Dilema Murid
Pada 1883 murid Syekh Abdul Karim, Kiai Haji Tubagus Ismail, kembali dari Makkah, mendirikan pesantren dan mendirikan cabang tarekat Qadiriah di kampung halamannya, Gulacir. Bangsawan yang ingin menghidupkan kembali kesultanan Banten ini juga dianggap sebagai wali – ia tidak mencukur rambutnya seperti umumnya para haji, dan dalam setiap jamuan hampir tidak pernah makan apa-apa. Ditambah bahwa ia juga cucu Tubagus Urip, yang sudah dikenal sebagai wali, maka dalam waktu singkat KH Tubagus Ismail sudah punya banyak pengikut , dan kepemimpinannya semakin diakui di Banten. Menyadari dirinya mulai menarik perhatian umum, ia pun segera melancarkan propaganda untuk melawan penguasa kafir. Banyak ulama yang mendukungnya seperti Haji Wasid dari Beji, Haji Iskak dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, selain kiai-kiai seperguruannya seperti Haji Abu Bakar, Haji Sangadeli dan Haji Asnawi. Untuk mengkonkretkan rencana pemberontakan, rapat pertama diadakan pada tahun 1884 di kediaman Haji Wasid.
Pada Maret 1887 Haji Marjuki, yang sering pulang pergi Banten-Makkah, tiba di Tanara. Murid kesayangan dan wakil Haji Abdul Karim ini juga sahabat dekat Haji Tubagus Ismail. Menurut dugaan para pendudukung pemberontakan, kedatangan Haji Marjuki itu adalah atas permintaan sahabatnya itu. Haji Marjuki segera melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia, dan Bogor untuk mendakwahkan gagasan tentang jihad. Propagandanya cepat diterima umum, karena ia bertindak atas nama Haji Abdul Karim. Dilaporkan, setelah berbagai kunjungannya itu, masjid-masjid dipenuhi orang-orang yang beribadah, jamaah pada hari-hari Jum’at meningkat tajam. Dalam berdakwah di luar Banten, Haji Marjuki dibantu oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiai di daerah Jawa Barat. Dikatakann, kedua haji ini sesungguhnya merupakan jiwa gerakan jihad di Banten. Bahkan pejabat-pejabat tertentu di Banten, seperti residen, menganggap bahwa Haji Marjuki bertanggung jawab sepenuhnya atas pemberontakan itu.
Tetapi, menjelang pemberontakan meletus, Haji Marjuki segera berangkat ke Makkah bersama istri dan anaknya. Sebelum berangkat ia sempat memberkati pakaian putih yang akan dikenakan para pemberontak di masjid kediamannya di Tanara. Rupanya ia tidak sependapat dengan kiai lainnya, khususnya Haji Wasid, yang akan memulai pemberontakan pada bulan Juli. Kepada mereka ia menjelaskan bahwa pemberontakan itu terlalu dini, dan ia meninggalkan Banten sebelum pemberontakan pecah. Dan jika pemberontakan itu berhasil, ia akan mengundang Syekh Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten dan ikut serta dalam perang sabil.
Di Makkah Haji Marjuki melanjutkan pekerjaan lamanya, yatu mengajar nahwu, sharaf, dan fikih. Muridnya tergolong banyak. Ia juga tidak pernah menyembunyikan sikap politiknya. Ia misalnya mengecam pemberontakan yang dipimpin Haji Wasid yang dinilainya terlalu pagi dan menimbulkan korban yang sia-sia. Menurutnya, agar berhasil, pemberontakan harus pecah di seluruh Nusantara, selain bahwa pemberontak harus punya cukup uang dan senjata. Karena pendapatnya itu, terjadilah perselisihan yang sulit didamaikan dengan Haji Wasid dan kawan-kawan. Dan kepada mereka ia mengatakan bahwa tangan kananya yang berpuru tidak memungkinnya aktif dalamperjuangan. Andaikan dia tetap di Banten, ia pasti akan menghadapi dilema: dibunuh oleh seradu-serdadu Belanda atau tidak berbuat apa-apa dan menghadapi risiko tindakan pembalasan Haji Wasid. Maka hanya satu alternatif – pergi ke Makkah. Lagi pula istri dan anak-anaknya masih ada di sana. Apakah alasana-alasan itu merupakan dalih yang dibuat-buat untuk meninggalkan medan pertempuran menjelang saat meletusnya pemberontakan, dan merupakan bukti bahwa pada saat-saat terakhir Haji Marjuki hanya mementingkan keselamatannya sendiri? .
Kedudukan pribadi yang sulit seperti itu, sebenarnya pernah dialami beberapa tahun sebelumnya oleh guru Haji Marjuki sendiri, Syekh Abdul Karim. Hanya saja sang guru tampaknya lebih “beruntung” karena keburu dipanggil untuk menggantikan kedudukan Syekh Sambas. Bukankah Haji Abdul Karim dulu, ketika masih di Banten, berpendapat bahwa rakyat sebenarnya belum siap untuk mengadakan pemberontakan? Bahkan, di tahun-tahun ketika murid-muridnya tidak sabar menungu “fatwa” untuk mulai berjihad, dia tidak pernah memberikan kepastian waktu. Sementara itu, sebagai kiai agung dan pengaruh, ia dituntut untuk merestui dan secara tidak langsung memimpin pemberontakan. Jadi, apakah sang murid kesayangan sebenarnya hanya mengikuti pendapat gurunya, Syekh Abdul Karim? Wallahu a’lam.
Yang pasti, setelah pemberontakan dipadamkan, pemerintah kolonial terus memburu orang-orang yang terlibat atau mereka yang diduga terlibat dalam terlibat. Ada yang dihukum mati dengan cara digantung di Alun-alun Cilegon, diasingkan, dipenjara, dan, yang laing ringan, dikenai hukuman kerja paksa. Beberapa pemimpin pemberontak berhasil meloloskan diri, dan di antaranya ada yang lari ke Makkah. Dan meskipun diburu sampai Tanah Suci, pemerintah tidak bisa menjangkau mereka. Sementara itu, Kiai Abdul Karim dan Haji Marjuki terus dimata-matai.
Sekarang, jejak Syekh Abdul Karim kita temukan dalam pelbagai kumpulan tarekat. Organisasi-organisasi tarekat di Tanah Air, terutama Jawa (di pesantren-pesantren Cilongok, Tangerang, Pagentongan, Bogor, Suralaya, Tasikmalaya, Mranggen, Semarang, Bejosa dan Tebuireng, keduanya di Jombang), yang paling berpengruh dan memiliki puluhan ribu pengikut, menyambungkan silsilah mereka ke Syekh Abdul Karim.***
Daftar Silsilah dan Aspek Sosiologis
Kyai pada masyarakat Banten sebagai elit sosial dalam melakukan peran-peran kemasyarakatannya memiliki jaringan sosial. Karenanya, nilai-nilai yang diajarkan tersebar secara luas dan tetap lestari dalam kehidupan masyarakat. Jaringan sosial itu terbentuk melalui sistem kekerabatan, perkawinan hubungan intelektual guru-murid, kerjasama antar pesantren dan lembaga-lembaga sosial. [33] Melalui jaringan tersebut para kyai dapat berperan secara maksimal dan juga status sosialnya selalu terjaga.
a. Kekerabatan
Seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren memiliki garis keturunan yang selalu dijaga, yang sebagai besar para pendahulunya adalah para kyai dan keturunan Sultan Banten. K.H. Asytari, seorang kyai keturunan Imam Nawawi Tanara, Tirtayasa, Serang Banten. [34] Garis keturunannya tersebut apabila dicermati adalah para kyai, sultan Banten, para tokoh-tokoh ulama tasawuf sampai dengan Nabi Muhmmad Saw. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
  1. K.H. Asytari
  2. Imam Nawawi
  3. Kyai Umar
  4. Kyai Arabi
  5. Kyai Ali
  6. Kyai Jamad
  7. Kyai Janta
  8. Kyai Masbugil
  9. Kyai Masqun
  10. Kyai Masnun
  11. Kyai Maswi
  12. Kyai Tajul Arusy Tanara
  13. Maulana Hasanuddin Banten
  14. Maulana Syarif Hidayatullah
  15. Raja Atamuddin Abdullah
  16. Ali Nuruddin
  17. Maulana Jamaluddin Akhbar Husain
  18. Imam Sayyid Akhmad Syah Jalal
  19. Abdullah Adzmah Khan
  20. Amir Abdullah Malik
  21. Sayyid Alwi
  22. Sayyid Muhammad Mirbath
  23. Sayyid Ali Khali’ Qasim
  24. Sayid Alwi
  25. Imam Ubaidiilah
  26. Imam Ahmad Muhajir Ilallahi
  27. Imam Isa al-Naqib
  28. Imam Muhmmad Naqib
  29. Imam Ali Ardhi
  30. Imam Ja’far al-Shadiq
  31. Imam Muhammad al-Baqir
  32. Imam Ali Zainal Abidin
  33. Sayyidina Husain
  34. Sayyidatuna Fathimah Zahra
  35. Nabi Muhammad Saw.
Seorang kyai dan keturunannya sering dipercayai oleh masyarakat mendapat karamah dan berkah dari Allah. Karamah dan berkah ini merupakan hal penting bagi seorang kyai dan keturunan untuk mengembangkan dan melanjutkan kepemimpinan pesantrennya. Dengan adanya hal tersebut para kyai dan keturunannya mendapat legitimasi kuat untuk tetap mempertahankan kedudukannya sebagai pemimpin pesantren dan elit sosial di masyarakatnya dengan segala prestise sosial yang dimilikinya.
b. Guru-Murid
Perkembangan Islam di Indonesia tidak lepas dari terjalinannya ikatan jaringan intelektual antara para ulama di pusat-pusat intelektual Islam, seperti Mekkah dan Madinah di Arab Saudi dan Kairo Mesir, dengan para muridnya di Nusantara. Jaringan intelektual itu sedemikian penting, sehingga setiap ada gerakan keagamaan di pusat-pusat Islam itu akan memiliki pengaruh dalam kehidupan keagamaan di Nusantara. Demikian pula kejadian-kejadian di Nusantara akan menjadi perhatian para ulama atau syaikh-syaikh yang tinggal di negeri-negeri Arab tersebut [35] .
Berikut ini contoh dari jaringan intelektual seorang murid dengan para guru-gurunya. Kyai Tb. Khodim, putra K.H. Asnawi, yang telah menjadi seorang mursyid dari tarekat Qodariyah wa Naqsabandiyah memiliki silsilah guru-guru tarekat yang memang diakui oleh kyai-kyai lain yang seangkatan dengannya. Silsilah tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Nabi Muhammad Saw.
  2. Ali bin Abi Thalib
  3. Husein bin Fatimah Al-Zahra
  4. Imam Zainal Abidin
  5. Syeikh Muhamad al-Baqir
  6. Syeikh Ja’far al-Shadiq
  7. Syaikh Musa al-Kadzim
  8. Syeikh Abi Hasan Alif bin Musa al-Ridha
  9. Syeikh Ma’ruf al-Karkhi
  10. Syaikh Sari al-Saqati
  11. Syeikh Abi al-Qasim Junayd
  12. Syeikh Abu Bakar al-Shibli
  13. Syeikh Abd al-Wahid al-Tamimi.
  14. Syeikh Abi al-Faraj al-Tartusi
  15. Syeikh Abi Hasan al-Hiraki
  16. Syeikh Abi Sa’id Mubarak al-Mahzum
  17. Syeikh Abd al-Qadir al-Jilani
  18. Syeikh Abd al-Aziz
  19. Syeikh Muhammad al-Hattaki
  20. Syeikh Syams al-Din
  21. Syeikh Syaraf al-Din
  22. Syeikh Zayn al-Din
  23. Syaikh Nur al-Din
  24. Syeikh Waliyu al-Din
  25. Syeikh Husham al-Din
  26. Syeikh Yahya
  27. Syeikh Abi Bakr
  28. Syeikh Abd al-Rahim
  29. Syeikh Ustman
  30. Syeikh Kamal al-Din
  31. Syeikh Abd al-Fattah
  32. Syeikh Murod
  33. Syeikh Syams al-Din
  34. Syeikh Ahmad Khatib Sambas
  35. Syeikh Abdul Karim Tanara
  36. K.H. Asnawi Caringin
  37. K.H. Ahmad Suhari
  38. K.H. Khodim
  39.  
c. Organisasi Massa
Para kyai di Banten dalam membangun jaringan sosialnya tidak hanya terbatas pada kekerabatan dan intelektual tetapi juga pada organisasi-organisasi sosial yang ada. Lembaga-lembaga sosial keagamaan yang ada di Banten adalah yang paling banyak di pergunakan oleh para kyai untuk membangun jaringan sosialnya. Jaringan sosial tersebut berskala baik nasional seperti Nahdatul Ulama (NU) maupun lokal, seperti Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar.
Para pendiri Al-Khaeriyah, Mathla’ul Anwar dan Masyarikul Anwar nampak dari awal tidak dimaksudkan untuk membentuk suatu organisasi sosial, tetapi lebih berorientasi kepada lembaga pendidikan yang dipimpinnya semata. [36] Pada tulisan ini akan dibahas salah satu dari ketiga organisasi lokal di daerah Banten, yakni Al-Khaeriyah. Hal ini dikarenakan ketiganya memiliki karateristik yang hampir sama. Maka, membahas salah satunya dianggap akan mewakili yang lain.
Alumni dari pesantren ini, selain menjadi guru agama atau tokoh masyarakat, juga banyak yang mendirikan pesantren atau madrasah. Lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan biasanya diberi nama Al-Khaeriyah. Pemberian nama yang sama tersebut menyimbolkan bahwa jalinan dengan lembaga induk dan antar para santri yang pernah mengenyam pendidikan di Al-Khaeriyah tetap terjaga dengan baik. Dari ikatan-ikatan yang terjalin secara emosional itu para alumninya mendirikan organisasi massa dengan nama yang sama. [37]
Para santri dari alumni pesantren Al-Khaeriyah yang mendirikan dan memimpin pesantren di daerahnya masing-masing adalah:
  1. K.H. Amad dari Pulo Merak-Serang
  2. K.H. Ali Jaya dari Ciwandan-Cilegon.
  3. K.H. Mohammad Nur dari Kramat Watu, Serang.
  4. K.H. Muhamad dari Bojonegara Serang
  5. K.H. Mohamad Zein dari Kramat Watu Serang
  6. K.H. Mohamad Syadeli Kejayaan dari Kramat Watu, Serang.
  7. K.H. Ismail dari Keragilan Serang.
  8. K.H. Karna dari Sumurwatu, Kragilan-Serang
  9. Kyai Rosyidin dari Kubang Benyawak, Pulo Merak-Serang
  10. Kyai Arifuddin dari Citangkil, Cilegon.
  11. K.H. Rafe’i dari Barugbug, Ciomas, Padarincang, Serang,
  12. K.H. Asy’ari dari Kadulesung, Pandeglang.
SYEKH MUHAMMAD NAZIM ADIL HAQQONI
MURSYID TAREKAT NAQSYABANDIYYAH HAQQONIYYAH


  

        Segala puji dan syukur bagi-Mu, wahai Tuhan kami, yang telah membimbing kami pada samudera Rahmat dari Kebenaran-Mu dan Cahaya-Mu. Allaahumma! Kirimkan barakah dan salam kedamaian bagi junjungan kami Muhammad saw., Penutup para Nabi dan Utusan-Mu, yang membawa Perjanjian Terakhir, Quran al-Karim, juga bagi keluarga Beliau dan seluruh Sahabat-Sahabat Beliau, dan pewaris-pewaris Beliau, baik yang hidup di masa lalu, maupun di masa kini, terutama pewaris dan wakil utama Beliau di zaman ini. Hamba yang lemah ini, Gibril ibn Fouad diminta untuk menulis biografi dan artikel tentang kekasih kita Mawlana Syaikh Nazim q.s. dalam beberapa kata-kata anda sendiri tentang kehidupan dan ajaran-ajaran Beliau dan pengalaman anda bersama Beliau. Bulan Rabi'ul Awwal 1425H (Mei 2004) adalah saat paling tepat untuk melakukan hal ini.
Semoga Allah swt. mengilhami baik penulis maupun pembaca tentang Mawlana Syaikh Nazim q.s. agar memiliki gambaran yang adil dan tepat terhadap subjek yang mulia ini. Tak ada daya maupun kekuatan melainkan dengan-Nya. Sebagaimana Dia melingkupi kebodohan kita dengan Ilmu-Nya, semoga pula Dia melingkupinya dengan Rahmat-Nya, Amin! (Al-Hamdulillah, izin telah diperoleh dari Mawlana untuk merilis tulisan ini pada hari ini.)
Nama lengkap Mawlana adalah Muhammad Nazim 'Adil ibn al-Sayyid Ahmad ibn Hasan Yashil Bash al-Haqqani al-Qubrusi al-Salihi al-Hanafi q.s., semoga Allah swt. mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya. Kunya (nama panggilan) beliau adalah Abu Muhammad, dari nama anak laki-laki tertua beliau, selain itu beliau pula adalah ayah dari Baha'uddin, Naziha, dan Ruqayya.
Beliau dilahirkan pada tahun 1341 H (1922 M) di kota Larnaka, Siprus (Qubrus) dari suatu keluarga Arab dengan akar-akar budaya Tatar. Beliau mengatakan pada saya bahwa ayah beliau adalah keturunan dari Syaikh 'Abdul Qadir Al-Jailani q.s. Diceritakan pula pada saya bahwa ibu beliau adalah keturunan dari Mawlana Jalaluddin ar-Ruumi q.s. Ini menjadikan beliau sebagai keturunan dari Nabi suci Muhammad saw., dari sisi ayahnya, dan keturunan dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, y, dari sisi ibundanya.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Siprus, Mawlana melanjutkan ke perguruan tinggi di Istanbul dan lulus sebagai sarjana Teknik Kimia. Di sana, beliau juga belajar bahasa Arab dan Fiqh, di bawah bimbingan Syaikh Jamal al-Din al-Alsuni q.s. (wafat 1375H/1955M) dan menerima ijazah dari beliau. Mawlana juga belajar tasawwuf dan Thariqat Naqsybandi dari Syaikh Sulayman Arzarumi q.s. (wafat 1368H/1948M) yang akhirnya mengirim beliau ke Syams (Syria).
Mawlana melanjutkan studi Syari'ah-nya ke Halab (Aleppo) Hama, dan terutama di Homs. Beliau belajar di zawiyyah dan madrasah masjid sahabat besar Khalid ibn Al-Walid di Hims/Homs di bawah bimbingan Ulama besarnya dan memperoleh ijazah dalam Fiqh Hanafi dari Syaikh Muhammad 'Ali 'Uyun al-Sud q.s. dan Syaikh 'Abd al-Jalil Murad q.s., dan ijazah dalam ilmu Hadits dari Muhaddits Syaikh 'Abd al-'Aziz ibn Muhammad 'Ali 'Uyun al-Sud al-Hanafi q.s.
Perlu dicatat bahwa yang terakhir adalah salah satu dari sepuluh guru hadits dari Rifa'i Hafizh di Aleppo, Syaikhul Islam 'Abd Allah Siraj al-Din q.s. (1924-2002 M), yang duduk berlutut selama dua jam di bawah kaki Mawlana Syaikh 'Abdullah Faiz Daghestani q.s. ketika yang terakhir ini mengunjungi Aleppo di tahun 1959 dan yang memberikan bay'at dalam Thariqat Naqsybandi pada Mawlana Syaikh Nazim q.s., ketika Mawlana Syaikh Nazim q.s. mengunjunginya terakhir kali di Aleppo di tahun 2001, sebagaimana diriwayatkan pada saya oleh Ustadz Muhammad 'Ali ibn Mawlana al-Syaikh Husayn 'Ali q.s. dari Syaikh Muhammad Faruq 'Itqi al-Halabi q.s. yang juga hadir pada peristiwa terakhir itu.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga belajar di bawah bimbingan Syaikh Sa'id al-Siba'i q.s. yang kemudian mengirim beliau ke Damaskus setelah menerima suatu pertanda berkaitan dengan kedatangan Mawlana Syaikh 'Abdullah Faiz Ad-Daghestani q.s. ke Syria. Setelah kedatangan awal beliau ke Syria dari Daghestan di akhir tahun 30-an, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. tinggal di Damaskus, tetapi sering pula mengunjungi Aleppo dan Homs.
Di kota yang terakhir inilah, beliau mengenal Syaikh Sa'id al-Siba'i q.s. yang adalah pimpinan dari Madrasah Khalid bin Walid. Syaikh Sa'id q.s. menulis pada beliau (Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s.),
'Kami mempunyai seorang murid dari Turki yang luar biasa, yang tengah belajar pada kami.
Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. menjawab padanya,
'Murid itu milik kami; kirimkan dia kepada kami!'
Sang murid itu adalah guru kita, Mawlana Syaikh Nazim q.s., yang kemudian datang ke Damaskus dan memberikan bay'at beliau pada Grandsyaikh kita pada kurun waktu antara tahun 1941 dan 1943.
Pada tahun berikutnya, Mawlana Syaikh 'Abdullah q.s. pindah ke rumah baru beliau yang dibeli oleh murid Syria pertamanya, dan khalifahnya yang masih hidup saat ini, Mawlana Syaikh Husayn ibn 'Ali ibn Muhammad 'Ifrini al-Kurkani ar-Rabbani al-Kurdi as-Syaikhani al-Husayni q.s. (lahir 1336H/1917M), semoga Allah swt. mensucikan ruhnya dan merahmati kakek moyangnya, di Qasyoun, suatu gunung yang menghadap Damaskus, yang Allah swt. berfirman tentangnya; 'Demi Tiin dan buah Zaitun! Demi Bukit Sinai!  (QS. 95:1-2).
Qatadah dan al-Hasan Al-Basri berkata, 'At-Tiin adalah Gunung di mana Damaskus terletak [Jabal Qasyoun] dan Zaitun adalah Gunung di mana Jerusalem terletak. Diriwayatkan oleh 'Abd al-Razzaq, al-Tabari, al-Wahidi, al-Bayzawi, Ibn al-Jawzi, Ibn Katsiir, al-Suyuti, as-Syaukani, dll., semua dalam tafsir-tafsir mereka.
Mawlana Syaikh Nazim q.s. juga membeli sebuah rumah dekat rumah Grandsyaikh dan bersama Mawlana Syaikh Husayn q.s., membantu membangun Masjid al-Mahdi, Masjid Grandsyaikh, yang akhir-akhir ini diperbesar menjadi sebuah Jami', di mana di belakangnya terletak maqam dan zawiyyah Grandsyaikh, di tempat mana, hingga saat ini, makanan dan sup ayam yang lezat disiapkan dalam kendi-kendi yang besar dan dibagi-bagikan bagi kaum fuqara dan miskin dua kali dalam seminggu.
Kemudian Mawlana Syaikh Nazimk tinggal di Damaskus sejak pertengahan tahun 40-an hingga awal 80-an, sambil sesekali melakukan perjalanan untuk belajar atau sebagai wakil dari Grandsyaikh, hingga Grandsyaikh wafat di tahun 1973. Setelah tahun itu, Mawlana tinggal di Damaskus beberapa tahun sebelum kemudian pindah ke Siprus.
Jadi, Mawlana, yang aslinya Cypriot, dan Grandsyaikh, yang asalnya Daghistani, keduanya telah menjadi penduduk Damaskus 'Syamiyyun' dan tinggal di distrik orang-orang salih (as-saalihiin) yang disebut Salihiyya! Tak ada keraguan lagi, bahwa pentingnya Damaskus bagi Mawlana dan Grandsyaikh adalah karena Syam adalah negeri yang penuh barakah dan terlindungi melalui para Nabi dan Awliya .
Imam Ahmad dan murid beliau, Abu Dawud meriwayatkan dengan isnad (rantai) yang sahih bahwa Nabi suci e bersabda, 'Kalian harus pergi ke Syam. Tempat itu telah terpilih secara Ilahiah oleh Allah swt. di antara seluruh tempat di bumi-Nya ini. Di dalamnya Dia melindungi hamba-hamba pilihan-Nya; dan Allah swt. telah memberikan jaminan padaku berkenaan dengan Syam dan penduduknya!'
Imam al-Nawawi berkata dalam kitab beliau Irsyad Tullab al-Haqa'iq ila Ma'rifati Sunan Khayr al-Khala'iq (s): 'Hadits ini berkenaan dengan fadhillah (keistimewaan) yang besar dari Syams dan merupakan suatu fakta yang dapat teramati!'
Direktur pimpinan Dar al-Ifta' (secara literal bermakna 'Rumah Fatwa', maksudnya Majelis Fatwa seperti MUI di Indonesia, penerj.) di Beirut, Lebanon, Syaikh Salahud Diin Fakhri q.s. mengatakan pada saya di rumah beliau di Beirut dan menulis dengan tangan beliau kepada diri saya,
Pada suatu pagi di hari Ahad, 20 Rabi'ul Akhir 1386 H, bertepatan dengan hari Minggu 7 Agustus 1966 M, kami mendapat kehormatan untuk mengunjungi Syaikh 'Abd Allah al-Daghistani q.s.rahimahullah (semoga Allah swt. merahmatinya) di Jabal Qasyoun di Damaskus atas inisiatif serta disertai pula oleh
Mawlana al-Syaikh Mukhtar al-'Alayli q.s. rahimahullah. Mufti Republik Lebanon saat itu; [yang adalah pula paman dari Syaikh Hisyam Kabbani q.s., penulis],
- Syaikh Husayn Khalid q.s., imam dari Masjid Nawqara;
- Hajj Khalid Basyir, rahimahumallah (semoga Allah swt. merahmati keduanya); Syaikh Husayn Sa'biyya q.s. [saat ini direktur dari Dar al-Hadits al-Asyrafiyya di Damaskus]; Syaikh Mahmud Sa'd q.s.; Syaikh Zakariyya Sya'r q.s.; dan Hajj Mahmud Sya'r.
Syaikh 'Abdullah q.s. menerima kami dengan amat baik dan penyambutan yang ramah serta penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Syaikh Nazim al-Qubrusi q.s. semoga Allah swt. merahmati dan menjaga beliau juga berada di situ saat itu!
Kami duduk dari pukul sembilan di pagi hari hingga tiba panggilan adzan Dzuhur, sementara Syaikh (Grandsyaikh 'Abdullah Faiz ad-Daghestani q.s., penerj.) rahimahullah menjelaskan tentang Syams (Syria), keutamaannya, kelebihan-kelebihannya yang luar biasa, dan bahwa tempat itu merupakan tempat Kebangkitan dan bahwa Allah swt. akan mengumpulkan seluruh manusia di dalamnya untuk penghakiman dan hisab.
Beliau menyebutkan pula hal-hal yang membuat hati dan pikiran kami tersentuh dan tergerak, dikuatkan pula oleh pengaruh suasana distrik Salihiyya yang suci, dan beliau berbicara pula tentang hubungan yang tak terpisahkan dalam praktik maupun dalam teori antara tasawwuf dengan Syari'ah.
Semoga Allah swt. membimbing dan menunjukkan pada kita petunjuk-Nya dalam perkumpulan dan suhbat dengan Awliya-Nya yang shiddiq. Aamiin, yaa Rabbal 'Aalamiin!
Masih ada banyak lagi nama-nama Ulama dan Awliya Syams yang prestisius yang mencintai dan bersahabat dengan Syuyukh kita dalam periode keemasan tersebut, seperti
- Syaikh Muhammad Bahjat al-Baytar q.s. (1311-1396),
- Syaikh Sulayman Ghawji al-Albani q.s. (wafat 1378 H), ayah dari guru kami,
- Syaikh Wahbi q.s., Syaikh Tawfiq al-Hibri q.s.,
Syaikh Muhammad al-'Arabi al-'Azzuzi q.s. (1308-1382H) Mufti dari Lebanon,
dan Syaikh utama dari guru kami Syaikh Husayn 'Usayran q.s.,
-al-'Arif Syaikh Syahid al-Halabi q.s.,
 al-'Arif Syaikh Rajab at-Ta'i q.s.,
 Syaikh al-Qurra' q.s. (ahli qira'at Quran, penerj.)
Syaikh Najib Khayyata al-Farazi al-Halabi q.s.,
al-'Arif Syaikh Muhammad an-Nabhan q.s.,
Syaikh Ahmad 'Izz ad-Din al-Bayanuni q.s.,
al-'Arif Syaikh Ahmad al-Harun q.s. (1315-1382H),
Syaikh Muhammad Zayn al-'Abidin al-Jadzba q.s., dan lain-lain, semoga Allah swt. merahmati mereka semuanya!
Dari tiga puluh tahun suhbat (asosiasi) yang barakah antara Mawlana dan Grandsyaikh tersebut, muncullah Mercy Oceans (secara literal berarti Samudera Kasih Sayang, merujuk pada buku-buku lama kumpulan suhbat Mawlana Syaikh Nazim al-Haqqani q.s., penerj.) yang tak tertandingi, yang hingga kini masih tersebar pada setiap salik/pencari dengan judul-judulnya:
- Endless Horizons (Cakrawala tanpa Batas, penerj.),
- Pink Pearls (Mutiara-Mutiara Merah Muda, penerj.),
- Rising Suns (Matahari-Matahari yang tengah terbit, penerj.).
Tak ada keraguan lagi, kumpulan-kumpulan suhbat awal tersebut adalah tonggak-tonggak utama dari seruan da'wah Islam seorang diri Mawlana Syaikh Nazim q.s. di Amerika Serikat dan Eropa, dengan karunia Allah swt.!
Semoga Allah swt. melimpahkan lebih banyak barakah-Nya pada Mawlana Syaikh Nazim q.s. dan mengaruniakan pada beliau maqam-maqam tertinggi yang pernah Dia karuniakan bagi kekasih-kekasih-Nya, berdekatan dengan junjungan kita, Sayyidina Muhammad saw., yang bersabda,
Jika seseorang melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, Allah swt. akan membuatnya berjalan di salah satu dari jalan-jalan Surga, dan para Malaikat akan merendahkan sayap mereka karena bahagia dan gembira pada ia yang mencari ilmu, dan para penduduk langit dan bumi serta ikan-ikan di kedalaman lautan akan memohonkan ampunan bagi seorang pencari ilmu!
Keutamaan dari seorang yang berilmu atas orang beriman kebanyakan adalah bagaikan terangnya bulan purnama di kegelapan malam atas segenap bintang-gemintang!
Ulama adalah pewaris-pewaris para Nabi, dan para Nabi tidaklah memiliki dinar maupun dirham, mereka hanya meninggalkan ilmu dan pengetahuan; dan ia yang mengambilnya sungguh telah mengambil bagian yang banyak!
Tempat pertama yang kudatangi untuk mencari pengetahuan Nabawi (pengetahuan kenabian) ini adalah London di bulan Ramadan 1411 H, setelah aku bersyahadat laa ilaaha illa Allah (bahwa tiada tuhan selain Allah swt.), Muhammadun Rasulullah e (Muhammad saw. adalah utusan Allah swt.). Di sanalah, aku meraih tangan suci Mawlana untuk pertama kali dan melakukan bay'at (sumpah setia) setelah diperkenalkan pada Thariqat ini oleh menantu beliau, dan khalifah beliau di Amerika Serikat, Syaikh Hisyam Kabbani q.s. semoga Allah swt. membimbingnya dan membimbing seluruh sahabat-sahabat Mawlana!
Aku mengunjungi Mawlana beberapa kali di rumah beliau di Siprus dan melihat pula beliau di Damaskus. Di antara hadiah Suhba yang diberikan Mawlana adalah pada dua minggu terakhir di bulan Rajab di tahun 1422H Oktober 2001 di rumah dan zawiyah beliau di kota Cypriot Turki, Lefke. Catatan akan pengalaman ini telah ditulis dalam bahasa Arab dan bahasa Inggris, serta diterbitkan dengan judul Qubrus al-Tarab fi Suhbati Rajab atau Kebahagiaan Siprus dalam Suhbat.
Pada saat itulah, dan juga saat-saat kemudian, selama dua kunjungan terakhirnya ke Amerika Serikat, ke Inggris, di Siprus, dan Damaskus, aku mendapatkan dari Mawlana, petunjuk agung yang sama bagi setiap pencari kebenaran:
Tujuan kita adalah untuk melindungi serta melukiskan Nabi Muhammad saw. dan sifat-sifat beliau yang luhur dan agung, baginya shalawat dan salam serta bagi ahli-bait dan sahabat-sahabat beliau; yang untuk ini Allah swt. mendukung kita!
Dari sini, aku mengerti bahwa Murid yang sesungguhnya dalam Thariqat Naqsybandi-Haqqani adalah sahabat, penolong dan pendukung dari setiap pembela Sayyidina Muhammad saw., dan adalah tugasnya untuk bersahabat dan berasosiasi dengan para pembela seperti itu karena mereka berada pada jalan Mawlana, tak peduli apakah mereka adalah Naqsybandi atau bukan.
Ketika seorang Waliyyu-llah yang telah berumur delapan puluh tahun-an di Johor, Malaysia, al-Habib 'Ali ibn Ja'far ibn 'Abd Allah al-'Aydarus menerima kami di rumahnya di bulan Mei 2003, mengenakan pakaian yang tak pernah berubah sejak tahun 1940-an, beliau terlihat seperti Mawlana dalam segenap aspeknya, dan bahkan terlihat menyerupainya ketika beliau meminta maaf atas bahasa Arab-nya yang tak fasih.
Ketika kami memohon du'a beliau bagi negeri-negeri kita yang terluka dan bagi penduduk-penduduknya, beliau menjawab, 'Ummah ini terlindungi dan berada pada tangan-tangan yang baik, dan pada Syaikh Nazim q.s. telah kau dapati kebercukupan!'
Dus, dengan setiap perjumpaan dari murid yang sederhana dan rendah hati dari Mawlana dengan Awliya' dari Ummat ini; Mereka (para Awliya' tersebut, penerj.) semuanya menunjukkan rasa hormat tertinggi serta kerendahan hati yang amat dalam bagi Mawlana dan silsilah beliau, sekalipun mereka secara harfiah (penampakan luar) berada pada jalan (thariqat) yang berbeda, seperti
- al-Habib 'Ali al- Aydarus q.s. di Malaysia,
- Sayyid Muhammad ibn 'Alawi al-Maliki q.s. di Makkah,
- al-Habib 'Umar ibn Hafiz q.s. di Tarim,
- Sayyid Yusuf ar-Rifa'i q.s. di Kuwait,
- Syaikh 'Isa al-Himyari q.s. di Dubai,
- Sayyid 'Afif ad-Din al-Jailani q.s. dan Syaikh Bakr as-Samarra'i q.s. di Baghdad,
- as-Syarif Mustafa ibn as-Sayyid Ibrahim al-Basir q.s. di Maroko tengah,
- Grandmufti Syria (alm.) Syaikh Ahmad Kuftaro ibn Mawlana al-Syaikh Amin q.s. dan sahabat-sahabatnya Syaikh Bashir al-Bani q.s., Syaikh Rajab Dib q.s., dan Syaikh Ramazan Dib q.s.; Syuyukh Kattani q.s. dari Damaskus;
- Syaikh (alm.) 'Abd Allah Siraj ud-Din q.s. dan keponakan beliau Dr. Nur ud-Din 'Itr; Mawlana as-Syaikh 'Abd ur-Rahman as-Shaghuri q.s.; Dr. Samer al-Nass; dan guru-guru serta saudara-saudara kita lainnya di Damaskus.
semoga Allah swt. selalu melindungi Damaskus dan melimpahkan rahmat-Nya bagi mereka dan diri kita! Aku telah bertemu dengan setiap nama yang kusebut di atas kecuali Syaikh Sirajud-Din q.s. dan mereka semua mengungkapkan tarazzi atas Mawlana as-Syaikh Nazim q.s., mengungkapkan keyakinan atas ketinggian wilayah-nya (derajat kewalian, penerj.) dan memohon do a beliau atau do a pengikut-pengikut beliau;
  Dan cukuplah Allah swt. sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah swt. 
(QS. 48:28-29)
Sudah menjadi suatu aturan yang disepakati di antara Rijal-Allah (maksudnya para Kekasih Allah swt., penerj.) bahwa keragaman jalan ini adalah tema (dandana, maksudnya kira-kira diperuntukkan bagi, penerj.) mereka yang belum terhubungkan (mereka yang belum mencapai akhir perjalanan, mereka yang belum mendapatkan amanat-nya, penerj.),
sementara mereka yang telah mawsul (sampai, penerj.) semua berada pada satu jalan dan dalam satu lingkaran dan mereka saling mengetahui dan mencintai satu sama lain. Mereka akan berada di mimbar-mimbar cahaya di Hari Kebangkitan.
Karena itu, kita, para Murid dari jalan-jalan (Thuruq, jamak dari Thariqat) itu mestilah pula saling mengetahui, mengenal dan mencintai satu sama lain demi keridhaan Allah swt. dan Nabi-Nya serta para Kekasih-Nya agar diri kita mampu memasuki cahaya penuh barakah tersebut dan masuk dalam lingkaran tertinggi dari suhba (persahabatan) dan jama'ah, jauh dari furqa (perpecahan) dan keangkuhan.
Sebagaimana Allah swt. berfriman: 'Yaa Ayyuha l-ladziina aamanu t-taqu ul-laaha wa kuunuu ma'as shadiqiin. 'Wahai orang-orang beriman takutlah kalian akan Allah swt. dan tetaplah berada [dalam persahabatan dan kesetiaan] dengan orang-orang yang Benar (Shiddiqiin)!;dan Nabi Suci kita e bersabda, 'Aku memerintahkan pada kalian untuk memgikuti sahabat-sahabatku dan mereka yang mengikutinya (tabi'in, penerj.), kemudian mereka yang mengikutinya (tabi'it tabi'in, penerj.); setelah itu, kebohongan akan merajalela. Tapi kalian mestilah tetap berada pada Jama'ah dan berhati-hatilah dari perpecahan!
Jama'ah inilah yang dilukiskan dalam suatu hadits mutawatir (diriwayatkan banyak orang, penerj.): Ia yang dikehendaki Allah swt. untuk beroleh kebajikan besar, akan Dia karuniakan padanya pemahaman yang benar (haqq) dalam Agama. Aku (mengacu pada Nabi e, penerj.) hanyalah membagikan dan adalah Allah swt. yang mengkaruniakan! Kelompok itu akan tetap menjaga Perintah dan Aturan Allah swt., tak akan terlukai oleh kelompok yang menentang mereka, hingga datangnya Ketetapan Allah swt.
Ya Allah swt., jadikanlah kami selalu bersyukur atas apa yang telah Kau karuniakan dan yang telah Rasul-Mu dan Habib-Mu bagikan!
Aku mendengar Mawlana Syaikh Nazim q.s. berkata beberapa kali atas nama guru beliau, Sultan al-Awliya' Mawlana as-Syaikh 'Abd Allah ibn Muhammad 'Ali ibn Husayn al-Fa'iz ad-Daghestani tsumma asy-Syami as-Salihi q.s. (ca. 1294-1393 H)[1]
    * dari Syaikh Syaraf ud-Din Zayn al- Abidin ad-Daghestani ar-Rasyadi q.s. (wafat 1354 H),
    * dari paman maternal (dari sisi ibu) beliau, Syaikh Abu Muhammad al-Madani ad-Daghistani al-Rasyadi q.s.[2],
    * dari Syaikh Abu Muhammad Abu Ahmad Hajj  Abd ar-Rahman Effendi Ad-Daghistani ats-Tsughuri q.s. (wafat 1299 H)[3],
    * dari Syaikh Jamal ud-Din Effendi al-Ghazi al-Ghumuqi al-Husayni q.s. (wafat 1292 H)[4],
    * juga (keduanya baik ats-Tsughuri maupun al-Ghumuqi) dari Muhammad Effendi ibn Ishaq al-Yaraghi al-Kawrali q.s. (wafat 1260 H)[5],
    * dari Khass Muhammad Effendi asy-Syirwani ad-Daghestani q.s. (wafat 1254  H)[6],
    * dari Syaikh Diya uddin Isma il Effendi Dzabih Allah al-Qafqazi asy-Syirwani al-Kurdamiri ad-Daghestani q.s. (wafat ???),
    * dari Syaikh Isma il al-Anarani q.s. (wafat 1242 H),
    * dari Mawlana Diya uddin Khalid Dzul-Janahayn ibn Ahmad ibn Husayn as-Shahrazuri al-Sulaymani al-Baghdadi al-Dimashqi an-Naqsybandi al- Utsmani ibn  Utsman ibn  Affan Dzun-Nurayn q.s. (1190-1242 H) dengan rantai isnad-nya yang masyhur hingga Syah Naqsyband Muhammad ibn Muhammad al-Uwaysi al-Bukhari q.s. yang berkata,
          Thariqat kami adalah SHUHBAH (persahabatan) dan kebaikannya adalah dalam JAMA'AH (kelompok)
Semoga Allah swt. meridhai diri mereka semuanya, merahmati mereka, dan mengaruniakan pahala-Nya bagi mereka, dan memberikan manfaat bagi kita lewat mereka melalui telinga kita, kalbu-kalbu kita, dan keseluruhan wujud diri kita, Amin!
Beberapa kritik dari 'Calon Sufi' atas Thariqat Haqqani mengatakan atas thariqat kita dengan apa yang mereka sebut sebagai 'kurang dalam sisi ilmu'. Seorang Sufi yang teliti akan menjadi orang terakhir yang mengatakan kritik yang menyesatkan seperti itu!
Semestinya mereka menjadi orang-orang pertama yang mengetahui bahwa ilmu, sebagai ilmu saja, tidak hanya tanpa manfaat, tapi juga dapat menjadi perangkap mematikan yang mengarah kepada kebanggaan syaithaniyyah.
Tak ada maaf baik bagi ia yang sombong (yaitu dengan ilmunya, penerj.) maupun ia yang bodoh; hanya Sufi yang penuh cinta, ketulusan, serta bertaubat-lah, walau memiliki kekurangan dalam ilmu dan adabnya, yang lebih dekat pada Allah swt. dan pada ma'rifatullah (pengenalan akan Allah swt.) daripada seorang Sufi berilmu yang menyimpan dalam kalbunya kebanggaan sekalipun hanya setitik debu. Semoga Allah swt. melindungi diri kalian dan diri kami!
Ibrahim al-Khawwass berkata bahwa ilmu (pengetahuan) bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi untuk menaati Sunnah dan mengamalkan apa yang diketahui sekalipun itu hanya sedikit.
Imam Malik berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui banyak hal, tapi ia adalah cahaya Allah swt. yang Dia timpakan pada hati.
Imam as-Syafi'i berkata bahwa ilmu bukanlah untuk mengetahui bukti dan dalil, melainkan untuk mengetahui apa yang bermanfaat.
Dan ketika seseorang berkata tentang Ma'ruf al-Karkhi (murid dari Dawud at-Ta i, yang merupakan murid dari Habib 'Ajami, murid dari Hasan al-Bashri; guru dari Sari as-Saqati, guru dari Sayyid Taifa Junayd al-Baghdadi, penerj.), Dia bukanlah seseorang yang amat alim (berilmu), Imam Ahmad pun berkata, Mah! Semoga Allah swt. mengampunimu! Adakah hal lain yang dimaksudkan oleh Ilmu selain dari apa yang telah dicapai oleh Ma'ruf?!
Kritik lain berisi keberatan atas Rabitah atau Ikatan, suatu karakteristik khusus dari Thariqat Naqsybandi. Lebih jelasnya, mereka yang mengkritik rabitah ini berkeberatan atas unsur tasawwur atau Penggambaran dalam rabitah yang meminta Murid untuk menggambarkan citra sang Syaikh dalam hatinya di permulaan maupun selama dzikir.
Tetapi Allah swt. telah berfirman, 'Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah swt. dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah swt.  [33:21]
dan Dia berfirman pula, 'Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya;   [2:189]
dan karena itulah kita datang kepada Nabi melalui ash-Shiddiq, dan datang kepada yang terakhir ini melalui Salman, dan masuk kepada yang terakhir ini melalui Qasim, dan kepada yang terakhir ini melalui Sayyid Ja'far, dan seterusnya.
Karena 'Ulama adalah pewaris para Nabi", dapat dipahami bahwa sang Mursyid adalah teladan kita akan teladan dari Nabi tersebut (di ayat 33:21 di atas, penerj.) dan ia (sang Mursyid) mestilah seseorang di antara mereka yang atas mereka,
Nabi bersabda, 'Jika kalian melihat mereka, kalian ingat akan Allah swt.!
Hadits ini diriwayatkan dari Ibn Abbas , Asma bint Zayd, dan Anas (semoga Allah swt. ridha atas diri mereka semua), juga dari Tabi'in Sa'id ibn Jubayr, 'Abd al-Rahman ibn Ghanam, dan Muslim ibn Subayh.
Beberapa orang memprotes terhadap konsep fana sang Murid dalam diri Syaikh, atau fana fis-Syaikh. Mereka berkata, 'Syaikhmu hanyalah seorang manusia; jadikanlah fana -mu pada diri Rasulullah.
Tetapi, adalah salah untuk menyamakan sang Syaikh pembimbing sama seperti yang lain. Syaikh Ahmad Sirhindi q.s.  qaddas-Allahu sirrahu - berkata:  Ketahuilah bahwa melakukan perjalanan (suluk) pada Thariqat yang paling Mulia ini adalah dengan ikatan (rabitah) dan cinta pada Syaikh yang kita ikuti.
Syaikh seperti itulah yang berjalan di Jalan ini dengan keteguhan (istiqamah), dan ia tercelupi (insabagha) dengan segenap macam kesempurnaan melalui kekuatan daya tarik Ilahiah (jadzbah). Pandangannya menyembuhkan penyakit-penyakit hati dan konsentrasinya atau pemusatan pikirannya (tawajjuh) mengangkat habis cacat-cacat ruhani. Pemilik dari kesempurnaan-kesempurnaan ini adalah Imam dari zaman ini dan Khalifah pada waktu itu  Dus, ikatan kita (padanya) adalah (melalui) cinta, dan hubungan (nisba) kita dengannya adalah pencerminan dan pencelupan diri, tak peduli apakah diri kita dekat atau jauh (secara fisik darinya, penerj.). Hingga kemudian sang murid akan tercelupkan dalam Jalan ini melalui ikatan cintanya pada sang Syaikh, jam demi jam, dan tercerahkan oleh pantulan cahaya-cahayanya.
Dalam pola seperti ini, pengetahuan akan proses bukanlah suatu prasyarat untuk memberi atau menerima manfaat. Buah semangka matang oleh panas Sang Surya jam demi jam dan menghangat dengan berlalunya hari  Sang Semangka semakin matang, namun pengetahuan macam apakah yang dimiliki sang semangka akan proses ini? Apakah sang Surya bahkan mengetahui bahwa dirinya tengah mematangkan dan menghangatkan sang Semangka?
Sebagaimana disebutkan di atas, berkeberatan atas konsep fana  fis-Syaikh adalah berarti pula berkeberatan akan cinta pada sang Syaikh. Kita semua memiliki keinginan dan tujuan untuk mencintai Syaikh kita dan mengetahui bahwa ia-lah objek yang paling patut menerima cinta dan hormat kita di dunia ini.
Sebagaimana sang penyair berpuisi:
Atas kesetiaan padamu yang suci dan tuluslah, aku mengatakan:
Cinta atasmu terpahat dalam kalbu dari kalbu-kalbuku,
Sebagai suatu ukiran yang dalam [NAQSY], suatu prasasti kuno.
Tak kumiliki lagi kehendak [IRADA] apa pun, selain cintamu,
Tak pula dapat kuucapkan apa pun padamu, selain "aku cinta padamu".
Tentang hal ini, Mawlana berkata pada suatu kesempatan baru-baru ini,  Kita telah diperintahkan untuk mencintai orang-orang suci. Mereka adalah para Nabi, dan setelah para Nabi, adalah para pewaris mereka,  Awliya . Kita telah diperintahkan untuk beriman pada para Nabi, dan iman memberikan pada diri kita  Cinta .
Cinta membuat manusia untuk mengikuti ia yang dicintai. ITTIBA  bermakna untuk mencintai dan mengikuti, sementara ITA AT bermakna [hanya] untuk mengikuti. Seseorang yang taat mungkin taat karena paksaan atau karena cinta, tetapi tidaklah selalu karena cinta.
Nah, Allah swt. menginginkan hamba-hamba-Nya untuk mencintai-Nya. Dan para hamba tidaklah mampu menggapai secara langsung cinta atas Tuhan mereka. Karena itulah, Allah swt. mengutus, sebagai utusan dari Diri-Nya, para Nabi yang mewakili-Nya di antara para hamba-Nya. Dan setiap orang yang mencintai Awliya  dan Anbiya , melalui Awliya  akan menggapai cinta para Nabi. Dan melalui cinta para Nabi, kalian akan menggapai cinta Allah swt.  Karena itu, tanpa cinta, seseorang tak mungkin dapat menjadi orang yang dicintai dalam Hadirat Ilahi. Jika kalian tak memberikan cinta kalian, bagaimana Allah swt. akan mencintai kalian?
 Namun manusia kini sudah seperti kayu, yang kering, kayu kering, mereka menyangkal cinta. Mereka adalah orang-orang yang kering   tak ada kehidupan! Suatu pohon, dengan cinta, terbuka, bersemi dan berbunga di kala musim semi. Tetapi kayu yang telah kering, bahkan seandainya tujuh puluh kali musim semi mendatanginya, tak akan pernah terbuka. Cinta membuat alam ini terbuka dan memberikan buah-buahannya, memberikan keindahannya bagi manusia. Tanpa cinta, ia tak akan pernah terbuka, tak akan pernah berbunga, tak akan pernah memberikan buahnya.
 Jadi Cinta adalah pilar utama paling penting dari iman. Tanpa cinta, tak akan ada iman. Saya dapat berbicara tentang hal ini hingga tahun depan, tapi kalian harus mengerti, dari setetes, sebuah samudera!  (akhir suhbat Mawlana).
Dengan dan melalui Mawlana, Allah swt. telah membuat segala macam hal yang sulit menjadi mudah. Kita amat bersyukur mengetahui beliau karena beliaulah jalan pintas bagi kita menuju nuur/cahaya dalam Agama ini. Nur ini adalah tujuan dan sasaran dari setiap orang yang sehat. Nur dan cahaya inilah yang dilukiskan dalam ayat yang Agung,
Allah swt. menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Qur'an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakal-lah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah swt.).  [2:269]
Semoga Allah swt. mengaruniakan bagi diri kita hikmah ini dan menjaga diri kita pada Jalan yang telah Dia perintahkan dan Dia sukai bagi diri kita! Semoga Allah swt. mengaruniakan pada Mawlana umur panjang dalam kesehatan dan mengaruniakan pada diri kita tingkatan (maqam) Murid yang Sejati demi kehormatan dari Ia yang paling terhormat, Nabi Muhammad saw.!
   1. Ada beberapa variasi pendapat tentang tahun lahir Mawlana as-Syaikh  Abd Allah q.s., berkisar dari 1284 H (dalam kitab at-Thariqat an-Naqsybandiyya, karangan Muhammad Darniqa) hingga 1294 H menurut murid tertua Syaikh  Abdullah q.s., Mawlana as-Syaikh Husayn q.s. (dalam kitab at-Thariqat an-Naqsybandiyya al-Khalidiyya ad-Daghistaniyya, karangan Ustadz Muhammad  Ali ibn as-Syaikh Husayn) hinga 1303 H dalam kitab al-Futuhat al-Haqqaniyya, karangan Syaikh  Adnan Kabbani q.s. hingga 1309 H dalam buku The Naqshbandi Sufi Way, karangan Syaikh Hisyam Kabbani q.s.
   2. Beliau menerima pula Thariqat Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s. (demikian pula Syaikh Jamaluddin q.s.) yang dengan bimbingannya, beliau memulai suluknya hingga Syaikh Ibrahim q.s. menyuruhnya ke Syaikh ats-Tsughuri q.s., lihat  Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 229).
   3. Lihat Hadaya al-Zaman fi Tabaqat al-Khawajagan an-Naqsybandiyya (halaman 375) karangan Syu ayb ibn Idris al-Bakini. Beliau mengambil pula dari al-Yaraghi, lihat Sullam al-Wusul karangan Ilyas al-Zadqari, sebagaimana dikuti di Hadaya (halaman 378).
   4. lihat Hadaya, al-Bakini (halaman 396). Beliau menerima Thariqat Qadiri dari Syaikh Ibrahim al-Qadiri q.s. dan memperkenalkan dzikir jahr dalam cabang Daghistani dari Naqshbandiyya melalui ijazah tersebut, lihat al-Bakini, Hadaya (halaman 396);  Ali, Tariqa Naqsybandiyya (halaman 229).
   5. dan bukannya 1254 H, sebagaimana secara salah disebutkan di beberapa sumber. Koreksi ini dari  Ali, Thariqat Naqsybandiyya (halaman 214). Muhammad al-Yaraghi juga mengambil secara langsung dari Syaikh Isma il asy-Syirwani q.s., lihat al-Bakini, Hadaya (hal. 350-351).
   6. dari Syirwan di masa sekarang di Azerbaijan. Beliau wafat di Damaskus dan dimakamkan di Jabal Qasyoun, di samping Mawlana Khalid q.s. dan Mawlana Isma il al-Anarani q.s. yang merupakan penerus pertama Mawlana Khalid q.s., yang wafat tujuh belas hari setelah wafatnya Mawlana Khalid q.s., keduanya karena wabah   semoga Allah swt. merahmati mereka semua dan seluruh Syuhada -Nya.
SYEKH MUHAIMINAN GUNARDHO
MURSYID TAREKAT SYADZILIYAH
Penerus Semangat Perjuangan Bambu Runcing
Ia sangat peduli pada gonjang-ganjing bangsa. Maka ia pun berkeliling tanah air: memimpin istigasah, menghibur umat, memberikan nasihat kepada pemerintah.
Jemaah istigasah menyambut Muktamar Jam’iyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah yang memadati Masjid Jami’ Pekalongan baru saja menarik napas, setelah sebelumnya melantunkan syair Simthud Durar. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar. Di shaf terdepan, sesosok tegap berpakaian putih-putih, lengkap dengan serban dan jubah, tampak khusyuk melantunkan tawasul kepada para aulia pendiri tarekat. Menilik perawakan dan suaranya, orang seakan tak percaya bahwa usianya telah melampaui 83 tahun. Pembacaan doa-doa istighatsah yang baru selesai sepertinya tak menyisakan keletihan di wajahnya yang selalu segar. Dialah K.H.R. Muhaiminan Gunardo dari kaki Gunung Sindoro, Jawa Tengah. Tema istighatsah malam itu, sebagaimana istighatsahnya yang lain, ialah memohon keselamatan bangsa dari berbagai bencana yang belakangan menghantam bertubi-tubi. Semangat kebangsaan pengasuh Pondok Pesantren Kyai Parak Bambu Runcing, Parakan, Temanggung, Jawa Tengah, ini memang luar biasa.
Usianya memang sudah cukup senja. Tapi kiprahnya semakin mengukuhkan profil ulama pejuang ini. Kepeduliannya akan gonjang-ganjing perjalanan bangsa mengantarkan langkahnya ke berbagai pelosok tanah air. Baik untuk memimpin istigasah, ngayemi-ayemi (menghibur) umat, maupun memberikan nasihat langsung kepada pemerintah.
Almarhum Mbah Hinan, panggilan akrab KH Muhaiminan Gunardo, dilahirkan di Parakan, .Beliau adalah keturunan Raden Santri salah seorang wali yang masih keturunan Pangeran Diponegoro. Beliau adalah pimpinan Pondok Pesantren Bambu Runcing Parakan, Suatu Pondok Pesantren yang dikenal sebagai pusat pendekar di jaman perjuangan Indonesia.Di Pesantren yang didirikan oleh kakek Beliau inilah nama senjata tradisional Bambu Runcing menjadi sangat terkenal dan ditakuti oleh penjajah Belanda. Pada jaman perjuangan para pendekar sering berkumpul di pesantren Parakan untuk mengatur strategi perjuangan melawan Belanda sekaligus diajarkan berbagai macam Ilmu Hikmah. Setiap kali berangkat berjuang selain ilmu beladiri para pendekar juga dibekali sebuah senjata yaitu Bambu Runcing, tetapi Bambu Runcing ini bukan bambu runcing biasa karena senjata ini telah di beri Asma oleh kyai. Konon setiap kali dilemparkan Bambu Runcing ini tidak saja dapat membunuh lawan bahkan dapat meledak spt bom. Itulah salah satu Karomah kyai Parakan.Sehingga Bambu Runcing Menjadi sangat terkenal di seluruh Indonesia dan ditakuti penjajah Belanda.
Lasykar Hizbullah
Di masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari ribuan pejuangan mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka dari ke front-front pertempuran di Magelang, Ambarawa, Ungaran, dan Semarang. Beberapa di antaranya bahkan datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Adalah Kiai Subeki atau Mbah Subki, saat itu 90-an tahun, magnet yang menarik mereka ke Parakan. Setelah wafat ia dijuluki Kiai Parak Awal.
Sebelum berangkat ke medan pertempuran, para pejuang – rata-rata anak-anak anggota Lasykar Hizbullah – sowan kepada kiai sepuh yang sangat tawaduk ini. Oleh Mbah Subeki mereka didoakan, dan satu per satu senjata mereka dijamah sambil berdoa: Bismillahi bi ‘aunillah. Ya Hafidz, ya Hafidz, ya Hafidz. Allahu akbar, Allahu akbar, Allah akbar (Dengan menyebut nama Allah, dengan pertolongan Allah. Wahai Zat yang Maha Menjaga, Allah, yang Mahabesar).
Begitulah “ijazah doa” yang diberikan oleh Mbah Subeki kepada para pejuang, yang kemudian terbukti menambah keberanian dan rasa percaya diri di medan perang. Bahkan diyakini mendatangkan perlindungan Allah dari hujan peluru dan bom lawan. Sejak itu, setiap hari ribuan orang memasuki Parakan untuk nyuwuake (memohonkan doa) buat senjata mereka. Mulai dari bambu runcing, pestol, bedil, karaben, bahkan kanon.
Dalam autobiografinya, Berangkat dari Pesantren, mantan Menteri Agama K.H. Saifudin Zuhri antara lain menulis, di antara pasukan yang singgah ke Parakan terdapat anggota Tentara Keamanan Rakyat dari Banyumas pimpinan Kolonel Soedirman – yang belakangan menjadi panglima besar. Mereka membawa peralatan tempur lengkap. Ketika itu mereka dalam perjalanan ke medan perang Ambarawa.
Parakan sendiri daerah unik, karena merupakan pertemuan berbagai budaya, sebagaimana diceritakan oleh Saifudin Zuhri, “Sejak tertangkapnya Pangeran Diponegoro, sisa-sisa prajurit Mataram dalam taktik mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, dan akhirnya Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang.
Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu, keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang.
Pencak Silat
Itulah Parakan, kota kecil tempat lahirnya K.H.R. Muhaiminan Gunardo. Ia adalah putra Raden Abu Hasan, yang lebih dikenal dengan nama K.H. Sumomihardho – salah seorang keturunan Sri Sultan Hamengkubuwono II. Sementara ibundanya, Hj. Mahwiyah, adalah putri Kiai Badrun, sesepuh Parakan yang berpengaruh karena kedalaman ilmu agamanya.
Sejak muda, Kiai Muhaiminan – yang termasuk dalam forum Kiai Khos Langitan – gemar berolahraga, khususnya pencak silat, yang digelutinya di sela-sela mengaji kepada beberapa ulama besar. Tamat Sekolah Rakyat di Parakan, ia mengaji kepada K.H. Dalhar alias Mbah Dalhar (Pesantren Watucongol, Magelang), ulama besar yang pernah selama delapan tahun berkhalwat – mengasingkan diri untuk memusatkan perhatian pada ibadah (berzikir dan tafakur) kepada Allah SWT – di Gua Hira, tempat Rasulullah SAW melakukan hal yang sama, beruzlah. Mbah Dalhar juga dikenal sebagai mursyid Tarekat Syadziliyah yang termasyhur.
Selepas dari Watucongol, Muhaiminan muda melanjutkan pengembaraannya dalam menuntut ilmu kepada K.H. Maksum (Lasem, Rembang), Kiai Muhajir di Bendo (Pare, Kediri), lalu ke Pesantren Tebuireng, Jombang.
Selain mengaji ilmu agama, di setiap pesantren yang disinggahinya Muhaiminan mendalami ilmu pencak silat. Pendekar tangguh yang pernah menjadi gurunya, antara lain, K.H. Nahrowi atau Ki Martojoto. Ia juga mendalami ilmu pencak silat di pesantren terakhir yang disinggahinya, yaitu Ponpes Dresmo (Surabaya), yang memang terkenal dengan keampuhan olah kanuragannya.
Sehari-hari, Mbah Minan selalu menyempatkan diri mendidik ratusan santrinya, dan mendampingi kurang lebih 30 orang pengajar. Terutama dalam mujahadah – zikir untuk meraih derajat yang tinggi di sisi Allah – dan istigasah setiap bakda magrib dan setiap malam Jumat dan Selasa Kliwon. Sementara pengelolaan sehari-hari pesantren yang berdiri pada 1955 itu diserahkan kepada sebuah kepengurusan yang dinamakan Idarah Ma’had Kiai Parak Bambu Runcing.
Idarah tersebut juga membawahkan beberapa lembaga yang mengurus kepentingan pesantren dan umat. Termasuk Lembaga Seni Bela Diri Garuda Bambu Runcing (LGBR), perguruan pencak silat yang mengajarkan dua jenis ilmu bela diri, yakni pencak silat sebagai bela diri fisik dan bela diri batin. LGBR tidak hanya diikuti para santri, tapi juga warga masyarakat umum. Hingga kini anggota aktifnya kurang lebih 45.000 orang, bahkan telah memiliki beberapa cabang di Jawa dan Sumatra.
Kemasyhuran Kiai Muhaiminan Gunardo dan pesantrennya dalam dunia spiritualitas memang telah membuah bibir di kalangan umat Islam, khususnya di Jawa Tengah. Di luar aktivitas keilmuan dan kanuragan, pesantren yang terletak di dataran tinggi eks Karesidenan Kedu ini memang selalu ramai dikunjungi orang. Baik yang hendak berkonsultasi masalah kehidupan, berguru ilmu hikmah, maupun untuk mengaji tasawuf kepada Mbah Nan.
Ketika terjadi heboh pembunuhan terhadap para kiai dan santri pada 1999 – yang terkenal sebagai “kasus ninja”, karena pembunuhnya bertopeng seperti ninja – pesantren ini menjadi tujuan utama warga nahdliyin yang belajar membentengi diri.
Barangkali memang sudah menjadi ketentuan Allah SWT bahwa ulama Parakan secara turun-temurun ditugasi menjadi benteng pertahanan terakhir umat dalam menghadapi berbagai kesulitan. Bisa dimaklum jika langkah Kiai Muhaiminan sepertinya masih harus panjang – selama keadaan Indonesia belum memenuhi harapan yang dicita-citakan para ulama pendahulunya.
Ahli Hikmah
Selama ini masyarakat lebih mengenal Mbah Hinan selain sebagai alim ulama yang ahli di bidang agama juga ahli di bidang ilmu hikmah. Tak sedikit yang berhubungan dengan almarhum berkaitan dengan ilmu kekebalan untuk pertahanan diri bahkan tak sedikit yang berkaitan dengan kedudukan dan jabatan. Salah satu Karomah Kiai khos ini Adalah ketika bermain pencak silat orang disekitarnya merasakan tanah disekeliling beliau bergetar seperti ada gempa bumi. Salah satu ilmu andalan Beliau adalah SASRA BIRAWA yaitu ilmu tenaga dalam yang dapat memecahkan benda keras dari jarak jauh seperti ilmu yang dimiliki Mahesa Jenar. Setiap Santri di Pesantren Parakan diajarkan ilmu pencak silat Garuda Bambu Runcing. Salah satu murid beliau yang dikenal sebagai pendekar di kota Solo adalah Almarhum KH. Hilal Adnan pimpinan Thoriqoh Syadziliyah di Solo Jawa Tengah.
Mursyid Thoriqoh Syadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah
Mengikuti jejak gurunya, Kiai Dalhar Watucongol, ia juga menjadi mursyid Tarekat Sadziliyah dan Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang bersanad sampai ke Rasulullah SAW. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Pengurus Pusat Jami'yyah Thariqoh Muqtabaroh An-Nahdliyyah serta pimpinan thoriqoh Syadziliyah.
Di organisai PBNU, almarhum menjabat sebagai Mustasyar. KH Muhaiminan Gunardo merupakan seorang tokoh panutan yang sangat dikenal masyarakat luas. Selain itu, beliau juga banyak memberikan sumbangan spiritual bagi kehidupan masyarakat.
KH Muhammad Dimyati
PANDEGLANG BANTEN

            KH Muhammad Dimyati atau dikenal dengan Abuya Dimyati adalah sosok yang kharismatis.  Beliau  dikenal sebagai pengamal tarekat Syadziliyah dan melahirkan banyak santri berkelas. Mbah Dim begitu orang memangilnya. Nama lengkapnya  Muhammad Dimyati bin Syaikh Muhammad Amin. Dikenal sebagai ulama yang sangat kharismatik. Muridnya ribuan dan tersebar hingga mancanegara.
Abuya dimyati orang Jakarta biasa menyapa, dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tidak kenal menyerah. Hampir seluruh kehidupannya didedikasikan untuk ilmu dan dakwah.
Menelusuri kehidupan ulama Banten ini seperti melihat warna-warni dunia sufistik. Perjalanan spiritualnya dengan beberapa guru sufi seperti Kiai Dalhar Watucongol. Perjuangannya yang patut diteladani. Bagi masyarakat Pandeglang Provinsi Banten Mbah Dim sosok sesepuh yang sulit tergantikan. Lahir sekitar tahun 1925 dikenal pribadi bersahaja dan penganut tarekat yang disegani.
            Abuya Dimyati juga kesohor sebagai guru pesantren dan penganjur ajaran Ahlusunah Wal Jama’ah. Pondoknya di Cidahu, Pandeglang, Banten tidak pernah sepi dari para tamu maupun pencari ilmu. Bahkan menjadi tempat rujukan santri, pejabat hingga kiai. Semasa hidupnya, Abuya Dimyati dikenal sebagai gurunya dari para guru dan kiainya dari para kiai. Masyarakat Banten menjuluki beliau juga sebagai pakunya daerah Banten. Abuya Dimyati dikenal sosok ulama yang mumpuni. Bukan saja mengajarkan ilmu syari’ah tetapi juga menjalankan kehidupan dengan pendekatan tasawuf. Abuya dikenalsebagai penganut tarekat Naqsabandiyyah Qodiriyyah.
            Tidak salah kalau sampai sekarang telah mempunyai ribuan murid. Mereka tersebar di seluruh penjuru tanah air bahkan luar negeri. Sewaktu masih hidup , pesantrennya tidak pernah sepi dari kegiatan mengaji. Bahkan Mbah Dim mempunyai majelis khusus yang namanya Majelis Seng. Hal ini diambil Dijuluki seperti ini karena tiap dinding dari tempat pengajian sebagian besar terbuat dari seng. Di tempat ini pula Abuya Dimyati menerima tamu-tamu penting seperti pejabat pemerintah maupun para petinggi negeri. Majelis Seng inilah yang kemudian dipakainya untuk pengajian sehari-hari semenjak kebakaran hingga sampai wafatnya.
 Lahir dari pasangan H.Amin dan Hj. Ruqayah sejak kecil memang sudah menampakan kecerdasannya dan keshalihannya. Beliau belajar dari satu pesantren ke pesantren seperti Pesantren Cadasari, Kadupeseng Pandeglang. Kemudian ke pesantren di Plamunan hingga Pleret Cirebon.
            Abuya berguru pada ulama-ulama sepuh di tanah Jawa. Di antaranya Abuya Abdul Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Achmad Bakri (Mama Sempur), Mbah Dalhar Watucongol, Mbah Nawawi Jejeran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Rukyat Kaliwungu dan masih banyak lagi. Kesemua guru-guru beliau bermuara pada Syech Nawawi al Bantani. Kata Abuya, para kiai sepuh tersebut adalah memiliki kriteria kekhilafahan atau mursyid sempurna, setelah Abuya berguru, tak lama kemudian para kiai sepuh wafat.
            Ketika mondok di Watucongol, Abuya sudah diminta untuk mengajar oleh Mbah Dalhar. Satu kisah unik ketika Abuya datang pertama ke Watucongol, Mbah Dalhar memberi kabar kepada santri-santri besok akan datang ‘kitab banyak’. Dan hal ini terbukti mulai saat masih mondok di Watucongol sampai di tempat beliau mondok lainya, hingga sampai Abuya menetap, beliau banyak mengajar dan mengorek kitab-kitab. Di pondok Bendo, Pare, Abuya lebih di kenal dengan sebutan ‘Mbah Dim Banten’. Karena, kewira’i annya di setiap pesantren yang disinggahinya selalu ada peningkatan santri mengaji.

Jalan Spritual

            Dibanding dengan ulama kebanyakan, Abuya Dimyati ini menempuh jalan spiritual yang unik. Dalam setiap perjalanan menuntut ilmu dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain selalu dengan kegiatan Abuya mengaji dan mengajar. Hal inipun diterapkan kepada para santri. Dikenal sebagai ulama yang komplet karena tidak hanya mampu mengajar kitab tetapi juga dalam ilmu seni kaligrafi atau khat. Dalam seni kaligrafi ini, Abuya mengajarkan semua jenis kaligrafi seperti khufi, tsulust, diwani, diwani jally, naskhy dan lain sebagainya. Selain itu juga sangat mahir dalam ilmu membaca al Quran.  Bagi Abuya hidup adalah ibadah. Tidak salah kalau KH Dimyati , Kaliwungu, Kendal Jawa Tengah pernah berucap bahwa belum pernah seorang kiai yang ibadahnya luar biasa. Menurutnya selama berada di kaliwungu tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Sejak pukul 6 pagi usdah mengajar hingga jam 11.30. setelah istirahat sejenak selepas Dzuhur langsung mengajar lagi hingga Ashar. Selesai sholat ashar mengajar lagi hingga Maghrib. Kemudian wirid hingga Isya. Sehabis itu mengaji lagi hingga pukul: 24 malam. Setelah itu melakukan qiyamul lail hingga subuh.
Di sisi lain ada sebuah kisah menarik. Ketika bermaksud mengaji di KH Baidlowi, Lasem. Ketika bertemu dengannya, Abuya malah disuruh pulang. Namun Abuya justru semakin mengebu-gebu untuk menuntut ilmu. Sampai akhirnya kiai Khasrtimatik itu menjawab, “Saya tidak punya ilmu apa-apa.” Sampai pada satu kesempatan, Abuya Dimyati memohon diwarisi thariqah. KH Baidlowio pun menjawab,” Mbah Dim, dzikir itu sudah termaktub dalam kitab, begitu pula dengan selawat, silahkan memuat sendiri saja, saya tidak bisa apa-apa, karena tarekat itu adalah sebuah wadzifah yang terdiri dari dzikir dan selawat.” Jawaban tersebut justru membuat Abuya Dimyati penasaran. Untuk kesekian kalinya dirinya memohon kepada KH Baidlowi. Pada akhirnya Kiai Baidlowi menyuruh Abuya untuk solat istikharah. Setelah melaksanakan solat tersebut sebanyak tiga kali, akhirnya Abuya mendatangi KH Baidlowi yang kemudian diijazahi Thariqat Asy Syadziliyah.

Dipenjara Dan Mbah Dalhar

Mah Dim dikenal seagai salah satu orang yang sangat teguh pendiriannya. Sampai-sampai karena keteguhannya ini pernah dipenjara pada zaman Orde Baru. Pada tahun 1977 Abuya sempat difitnah dan dimasukkan ke dalam penjara. Hal ini disebabkan Abuya sangat berbeda prinsip dengan pemerintah ketika terjadi pemilu tahun tersebut. Abuya dituduh menghasut dan anti pemerintah. Abuya pun dijatuhi vonis selama enam bulan. Namun empat bulan kemudian Abuya keluar dari penjara.
Ada beberapa kitab yang dikarang oleh Abuya Dimyati. Diantaranya adalah Minhajul Ishthifa. Kitab ini isinya menguraikan tentang hidzib nashr dan hidzib ikhfa. Dikarang pada bulan Rajab H 1379/ 1959 M. Kemudian kitab Aslul Qodr yang didalamya khususiyat sahabat saat perang Badr. Tercatat pula kitab Roshnul Qodr isinya menguraikan tentang hidzib Nasr. Rochbul Qoir I dan II yang juga sama isinya yaitu menguraikan tentang hidzib Nasr.
            Selanjutnya kitab Bahjatul Qooalaid, Nadzam Tijanud Darori. Kemudian kitab tentang tarekat yang berjudul Al Hadiyyatul Jalaliyyah didalamnya membahas tentang tarekat Syadziliyyah. Ada cerita-cerita menarik seputar Abuya dan pertemuannya dengan para kiai besar. Disebutkan ketika bertemu dengen Kiai Dalhar Watucongol Abuya sempat kaget. Hal ini disebabkan selama 40 hari Abuya tidak pernah ditanya bahkan dipanggil oleh Kiai Dalhar. Tepat pada hari ke 40 Abuya dipanggil Mbah Dalhar. “Sampeyan mau jauh-jauh datang ke sini?” tanya kiai Dalhar. Ditanya begitu Abuya pun menjawab, “Saya mau mondok mbah.” Kemudian Kiai Dalhar pun berkata,” Perlu sampeyan ketahui, bahwa disini tidak ada ilmu, justru ilmu itu sudah ada pada diri sampeyan. Dari pada sampeyan mondok di sini buang-buang waktu, lebih baik sampeyan pulang lagi ke Banten, amalkan ilmu yang sudah ada dan syarahi kitab-kitab karangan mbah-mbahmu. Karena kitab tersebut masih perlu diperjelas dan sangat sulit dipahami oleh orang awam.”
            Mendengar jawaban tersebut Abuya Dimyati menjawab, ”Tujuan saya ke sini adalah untuk mengaji, kok saya malah disuruh pulang lagi? Kalau saya disuruh mengarang kitab, kitab apa yang mampu saya karang?” Kemudian Kiai Dalhar memberi saran,”Baiklah, kalau sampeyan mau tetap di sini, saya mohon ajarkanlah ilmu sampeyan kepada santri-santri yang ada di sini dan sampeyan jangan punya teman.” Kemudian Kiai Dalhar memberi ijazah tareqat Syadziliyah kepada Abuya.
Namun, Kini, waliyullah itu telah pergi meninggalkan kita semua. Abuya Dimyati tak akan tergantikan lagi. Malam Jumat pahing, 3 Oktober 2003 M/07 Sya’ban 1424 H, sekitar pukul 03:00 wib umat Muslim, khususnya warga Nahdlatul Ulama telah kehilangan salah seorang ulamanya, KH. Muhammad Dimyati bin KH. Muhammad Amin Al-Bantani, di Cidahu, Cadasari, Pandeglang, Banten dalam usia 78 tahun.
HADLRATUS SYAIKH MUSTAQIM BIN HUSAIN
Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain lahir di desa Nawangan, kecamatan Keras, kabupaten Kediri, pada tahun 1901 M. Ayah beliau bernama Husain bin Abdul Djalil, yang merupakan keturunan ke 18 dari Mbah Panjalu, Ciamis, Jawa Barat (Ali bin Muhammad bin Umar). Ketika masih berusia 12-13 tahun, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain mengabdi kepada Kiai Zarkasyi di dusun Tulungagung. Beliau mengabdi dan belajar membaca Al-Quran serta ilmu agama kepada Kiai Zarkasyi. Pada usia tersebut, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain dikaruniai oleh Allah hati yang dapat berdzikir Allah, Allah, Allah …… tanpa berhenti.
Dari kekuatan dzikir yang demikian tadi, Hadlratus Syaikh Mustaqim bin Husain juga dikaruniai oleh Allah ilmu sirri atau ilmu mukasyafah . Beliau bisa mengetahui ilmu ghaib, alam barzakh dan alam jin, serta keinginan-keinginan yang terbersit di hati orang lain. Pada saat itu, Allah selalu menjaga beliau dari sifat-sifat madzmumah (sifat yang tercela).
Setelah beliau dewasa, Hadlratus Syaikh dinikahkan oleh Kyai Zarkasyi dengan putri dari Mbah H. Rois yang juga berdomisili di Kauman, yang bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah. Mbah H. Rois hanya mempunyai 2 anak, yang pertama bernama Sholeh Sayuthi, yang terkenal dengan sebutan Wali Sayuti. Yang kedua bernama Ibu Nyai Halimah Sa’diyyah yang dinikahkan dengan Hadlratus Syaikh Mustaqim.
Sebagai seorang suami, Hadlratus Syaikh melakukan kewajibannya dengan mencari nafkah untuk keluarganya dengan menjadi tukang potong rambut , tukang jahit sepatu dan berdagang. Hadlratus Syaikh pernah mendirikan toko yang diberi nama Bintang Sembilan. Meskipun kehidupan ekonomi keluarganya selalu memprihatinkan, pada saat itu beliau tidak pernah meninggalkan kewajiban untuk berbuat amar ma’ruf, yaitu dengan mengajarkan dzikir yang dimasukkan ke dalam jurus-jurus pencak silat.
Di zaman penjajahan Jepang, Hadlratus Syaikh mengalami suatu ujian bersama dengan para ulama seluruh Indonesia. Pemerintah Jepang menganggap bahwa para Ulama akan melakukan pemberontakan, sehingga para Kyai ditangkap, ada yang disiksa, dan banyak yang disakiti. Setelah selamat dari penyiksaan Jepang, Hadlratus syaikh meneruskan pengajarannya, yaitu dengan mengajarkan dzikir di dalam hati, serta akhlaqul karimah, terutama akhlaq kepada Allah. Rumusan amalan-amalan beliau menekankan bahwa sebelum dan sesudah wirid harus meminta pada Allah agar mendapat 4 hal:
1. Selamat di dunia dan akhirat.
2. Hati yang bersih dari sifat madzmumah (sifat tercela).
3. Kekalnya iman sampai sakaratul maut dan bisa membaca kalimat thayyibah, serta bisa husnul khatimah.
4. Semua hal yang barakah, maslahah, manfaat di dunia dan akhirat.
Sebab-sebab KH. Mustaqim Menerima Thariqah Syadzaliyyah
Menurut KH. Abdul Jalil Mustaqim, Romo KH. Mustaqim bin Husain sudah mempunyai hizib-hizib sebelumnya, seperti Hizib Baladiyyah, Hizib Kafi dan lain-lain. Pada suatu saat, murid Syaikh Mustaqim yang bernama Asfaham dari Ngadiluwih, Kediri, ketika riyadlah mengamalkan aurad Hizib Kafi dan masuk ke dalam maqam Jadzab Billah. Pada maqam jadzab tersebut, pak Asfaham berkelana sampai masuk Pondok Termas pacitan, Pak Asfaham berbicara banyak hal, termasuk mengajak beradu argumentasi (berdebat) kepada para Ustadz Pondok Termas Pacitan. Pada saat itu, Syaikh Abdur Razzaq mengetahui bahwa ilmunya Pak Asfaham itu haq. Kemudian Syaikh Abdur Razzaq memanggil Pak Asfaham dan bertanya, “siapa gurumu?” kemudian Pak Asfaham menjawab bahwa gurunya adalah KH. Mustaqim dari Kauman Tulungagung.
Di lain waktu, Kyai Abdur Razzaq bertamu (sowan) kepada KH. Mustaqim. Dalam persowanan tersebut Kyai Abdur Razzaq meminta ijazah ‘ammah kepada KH. Mustaqim. Akan tetapi keduanya malah saling menghindar untuk menjadi guru. Pada akhirnya, keduanya sepakat untuk sama-sama saling memberikan ijazah. Romo KH. Mustaqim memberikan ijazah Hizib Baladiyah kepada Romo Kyai Abdur Razzaq. Dan Romo Kyai Abdur Razzaq memberikan baiat Aurad Syadzaliyyah. Pada saat akan diberi baiat Aurad Syadzaliyyah, KH. Mustaqim menolak. Beliau berkata, “Aurad Syadzaliyyah itu berat, setahu saya ada amalan yang ngere (keluar dari rumah tidak boleh membawa bekal, makannya minta ke orang lain, membawa baju hanya satu setel saja untuk menutupi aurat)”. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Kalau anda pasti kuat”. Kemudian KH. Mustaqim jadi menerima baiat Aurad Syadzaliyyah dari Romo Kyai Abdur Razzaq. Setelah berjalan cukup lama, KH. Mustaqim sudah memberikan baiat kepada murid-murid yang menginginkan Aurad Syadzaliyyah. Romo Kyai Abdur Razzaq berkata, “Thariqah Syadzaliyyah ini nanti pusatnya akan pindah ke Kedung”, (yang dimaksud adalah akan pindah ke Syaikh Mustaqim Kauman, Tulungagung). Pada tahun 1947 M, Romo Kyai Abdur Razzaq datang ke Tulungagung. Beliau sangat senang dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim, dan pada saat itu KH. Abdul Jalil Mustaqim masih berusia 5 tahun. KH. Abdul Jalil Mustaqim digendong oleh Kyai Abdur Razzaq mengelilingi alun-alun Tulungagung. Sepertinya Romo Kyai Abdur Razzaq sudah mengetahui bahwa yang akan menjadi penerus guru mursyid setelah Syaikh Mustaqim adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim.
Musibah di Zaman Penjajahan Jepang (1942-1945)
Pada saat Jepang menjajah bangsa Indonesia , Jepang memaksa bangsa Indonesia untuk melakukan Seikerei , yang artinya pada saat matahari terbit, menghadap ke timur untuk menyembah kepada matahari (ibadah agama Shinto ). Dan pada saat jam 07.00 pagi harus membungkuk seperti posisi ruku’ menghadap ke utara agak serong ke barat menghadap ke arah kota Tokyo Jepang , untuk menyembah Tenno Haika, Raja Jepang. Kedua perintah Jepang tersebut dianggap musyrik oleh agama Islam. Oleh karena itu, Syaikh Mustaqim dan ulama lainnya menentang hal tersebut dan tidak mau melakukannya. Pemerintah Jepang mempunyai anggapan bahwa para ulama dan kyai akan melakukan pemberontakan kepada pemerintah Jepang. Sehingga pemerintah Jepang dengan biadabnya melakukan penyiksaan kepada para ulama termasuk Syaikh Mustaqim. Penyiksaan Jepang yang dialami oleh Syaikh Mustaqim antara lain: Tubuh beliau dijepit dengan satu bal es batu di dada, dan satu bal lagi di bagian belakang sambil tubuh beliau dirantai.
Beliau dijatuhkan dari ketinggian mencapai 10 meter. Perut beliau diisi air lewat hidung dengan menggunakan pipa kecil, seperti yang dialami oleh kyai-kyai lainnya. Pada saat Jepang memasukkan air ke dalam hidung KH. Mustaqim, yang dimasuki air malah bukan hidung beliau, tetapi kantong ikat pinggang yang sedang beliau pakai. KH. Mustaqim diberi keselamatan dari semua hal tersebut berkat perlindungan dari Allah.
Usaha Ekonomi
KH. Mustaqim bin Husain mempunyai istri dan putra-putri. Beliau juga melakukan usaha secara lahir, yaitu dengan berusaha mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya. Beliau pernah menjadi tukang potong rambut, penjahit sepatu dan sandal, dan membuka toko yang bernama Toko Bintang Sembilan.
Akan tetapi semua usaha lahir beliau tersebut tidak ada yang kelihatan menghasilkan banyak uang. Sepertinya beliau hanya melakukan ikhtiyar secara lahir saja. Buktinya, pada saat Kyai Muslim (Alm) akan pergi mondok ke Pondok Mojosari Loceret Nganjuk, Kyai Muslim meminta uang kepada KH. Mustaqim, dan KH. Mustaqim menyuruh beliau untuk mengambil sendiri uang yang terletak di bawah kasur. Pada saat Kyai Muslim membuka kasur tersebut, ternyata yang ada di bawah kasur tersebut adalah uang semua. Tetapi Kyai Muslim hanya mengambil seperlunya saja.
Perkataan-Perkataan Hikmah
Al-Maghfurullah KH. Mustaqim bin Husain jika berbicara (dawuh), banyak yang menggunakan kalam kinayah (kata sindiran) daripada kalam sharihah (kata terang-terangan). Begitu juga jika akan terjadi peristiwa yang aneh, beliau hanya memberikan isyarat saja. KH. Mustaqim memelihara ayam yang sebelah kanan berwarna merah, dan yang sebelah kiri berwarna putih bersih. Pada bulan Rabi’ul Awal, KH. Mustaqim berkata, “Bangsa Jepang berada di Indonesia masih 6 bulan lagi”. Dan terbukti setelah sampai pada hari Jumat Legi tanggal 9 Ramadhan 1363 H, yang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1945 M, Negara Indonesia merdeka dan mengibarkan bendera merah putih.
KH. Mustaqim bin Husain juga pernah mempunyai ayam yang berkaki satu, jika berjalan meloncat-loncat, di atas kepalanya dekat dengan jenggernya ditempati sarang lebah, jika ayam tersebut akan berpindah tempat, si lebah keluar dari sarangnya kemudian mengikuti ayam tersebut. Begitu juga dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim. Beliau pernah memelihara burung perkutut putih, dan selang beberapa tahun kemudian beliau memelihara burung gagak putih. Semua hal tersebut menunjukkan bahwa Mursyid Kamil itu tetap ada, tetapi sangat langka dan susah untuk dicari. Bisa ditemukan, tetapi harus lewat kesucian. KH. Mustaqim bin Husain kalau dawuh kepada murid-muridnya kebanyakan memakai kalam kinayah , begitu juga dengan KH. Abdul Jalil Mustaqim. Menurut perkataan KH. Shadiq Muslih Al-Hajari, jika mendengarkan perkataan-perkataan KH. Mustaqim dan KH. Abdul Jalil Mustaqim, harus dengan berdzikir kepada Allah, supaya kita bisa memahami makna dari perkataan beliau tersebut, karena sumber-sumber perkataan beliau tersebut berasal dari asrarillah (dawuh sirri). Perkataan-perkataan tersebut antara lain:
1. “Menjadi orang mukmin itu harus sering memotong kuku”
Artinya: jadi orang mukmin itu harus menghilangkan sifat ‘ujub (merasa dirinya paling baik) dan supaya bisa ikhlas.
2. “Menjadi murid thariqah itu seperti orang yang antri karcis di loket. Terkadang didesak oleh temannya, diserobot gilirannya, dan ketetesan keringat temannya. Akan tetapi semua itu jangan dihiraukan, tetaplah menghadap ke loket”.
Artinya: menjadi murid thaariqah itu terkadang mendapatkan gangguan dari orang lain, keluarga, bahkan dari sesama murid. Jangan hiraukan dan tetap menghadap ke depan. Hanya berharap barakah kepada guru mursyid supaya bisa cepat mendapat tiket pesawat Thariqah Syadzaliyyah.
3. “Mencari ilmu di depan guru mursyid harus seperti orang yang mencari rumput, tapi jangan seperti orang yang mencari rumput”.
Artinya: orang yang mencari rumput jika melihat ke bawah, akan mendapat rumput yang banyak, wadahnya cepat penuh. Tetapi jika melihat ke tempat lain, sepertinya rumput yang kita lihat di tempat yang lebih jauh terlihat lebih subur daripada rumput yang ada di dekat kita. Kenyataannya, rumputnya sama saja, bahkan lebih sedikit. Karena kebanyakan pindah-pindah maka waktunya habis dan wadah rumputnya tetap kosong. Orang yang mencari ilmu haqiqat harus menghadap pada satu guru, jangan sampai melirik guru yang lainnya. Malah akan menjadi hijab (penghalang) keberhasilannya. Kecuali jika diizini oleh sang guru. KH. Abdul Jalil Mustaqim pernah berkata, “Jangan berpoligami!” . Artinya, jika mengamalkan amalan Syadziliyyah tidak boleh mengamalkan amalan lainnya yang batal, atau yang tidak seizin guru mursyid.
Maqam dan Derajat KH. Mustaqim bin Husain
Pada tahun 1953, KH. Mustaqim bin Husain menerima dawuh sirri, bahwa yang akan meneruskan kemursyidan nanti adalah KH. Abdul Jalil Mustaqim (putra KH. Mustaqim). Pada saat itu, KH. Abdul Jalil Mustaqim sudah mulai disuruh membaiat, meskipun pada saat itu beliau masih berusia 11 tahun.
Pada tahun 1981, Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah (istri KH. Mustaqim), Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah (putri KH. Mustaqim), serta Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H (putra mantu KH. Mustaqim), bersama-sama melakukan ihram haji dan umrah. Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah dan Bapak H. Jam’an Prawiro, S.H mengamanatkan haji buat KH. Mustaqim yang dilaksanakan oleh H. Masduqi Tunjung, Udanawu, Blitar, di mana pada saat itu H. Masduqi masih bermukim di Makkah. Serban dan sertifikat KH. Mustaqim disimpan oleh KH. Arif Mustaqim. Sebelum menerima sertifikat tersebut, KH. Arif Mustaqim sudah inkisyaaf (diperlihatkan hal-hal sirri) bertemu dengan KH. Mustaqim yang menggunakan jubah, kopiah dan sorban (menggunakan pakaian haji).
KH. Mustaqim dikaruniai kelebihan oleh Allah bisa berbicara dengan menggunakan bahasa orang yang sedang bertamu (sowan). Menurut K. Lamri Kedung Sigit, Karangan, Trenggalek, KH. Mustaqim pernah menerima tamu dari India yang tidak membawa penerjemah bahasa. KH. Mustaqim langsung menemui tamu tersebut dan bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa India. K. Lamri tetap mendengarkan pembicaraan beliau sambil menyapu di halaman mushalla.
Menurut Pak Ahmad bin Badri Jeli, Karangrejo, Tulungagung, pada saat dia berkelana selama 18 tahun, hingga anak dan cucunya lahir dia tidak mengetahuinya. Di dalam perjalanan berkelananya, dia sempat bertamu (sowan) kepada KH. Muhammad Dalhar Magelang (yang makamnya ada di Gunung Pring), Pak Ahmad bin Badri ditanya oleh KH. Muhammad Dalhar, “Anda dari mana?”. Kemudian Pak Ahmad bin Badri menjawab bahwa dia berasal dari Jeli, Karangrejo, Tulungagung. Kemudian KH. Muhammad Dalhar bertanya lagi, “Sudah tahu KH. Mustaqim Kauman Tulungagung?. Pak Ahmad bin Badri menjawab, “Sudah, saya sudah tahu beliau. Malah bapak saya ikut amalan thariqah KH. Mustaqim”. Kemudian KH. Muhammad Dalhar berkata, “Bahwa KH. Mustaqim itu adalah Wali Quthub yang derajat kewaliannya mastur”. Padahal di daerah Tulungagung dan sekitarnya, banyak yang tidak mengetahui KH. Mustaqim. Yang mereka ketahui hanya Pak Takim tukang potong rambut.
KH. Mustaqim juga membaiat Thariqah Al-Mu’tabarah Al-Qadiriyah wa Al-Naqsyabandiyah. Beliau menerima baiat dari KH. Khudlari bin Hasan Malangbong, Garut, Jawa Barat. KH. Mustaqim menimba ilmu yang banyak sekali dari KH. Khudlari bin Hasan, termasuk belajar ilmu syari’at lengkap selama 6 bulan.
KH. Mustaqim bin Husain Wafat
Pada tahun 1970, pada hari Ahad tanggal 1 Muharram setelah Ashar, di mana di situ terdapat 4 orang yang menemani KH. Mustaqim yang sedang naza’ . Salah satunya adalah Mayor TNI AD Shomad Srianto (mantan komandan KODIM Tulungagung). Pada saat naza’ , KH. Mustaqim kelihatan nafasnya tersendat-sendat (idlthirob) dan sesak nafas. Akan tetapi sesak nafas beliau ini bukan berarti tanda-tanda su’ul khatimah . Menurut kitab Tanbihul Mughtarrin halaman 45, jika ada guru mursyid pada saat naza’ -nya terlihat kesakitan dan sesak nafas/nafas tersendat-sendat, itu dikarenakan dua hal:
1. Karena sangat senang akan bertemu dengan Allah.
2. Karena rasa kasihan beliau kepada semua murid beliau, ingin memberikan pendidikan (tarbiyah) kepada para murid hingga mencapai ma’rifat billah .
Oleh karena itu, karena saling tarik menariknya dua hal tersebut, sehingga jasad beliau terlihat mengalami nafas tersendat-sendat.
Putra-Putri KH. Mustaqim bin Husain dengan Ibu Nyai Hj. Halimah Sa’diyah
1. Ibu Nyai Thowilah Sumaranten.
2. Bapak KH. Arif.
3. Bapak Muhsin.
4. Bapak Yasin.
5. Ibu Maratun.
6. Bapak KH. Abdul Ghafur.
7. Ibu Nyai Hj. Anni Siti Fatimah.
8. Bapak KH. Kyai Ali Murtadlo.
9. Romo KH. Muhammad Abdul Jalil.
10. Ibu Nyai Siti Makhfiyah.
11. Bapak Hanshon Athlab.
SYEKH Ahmad Asrori Al-Ishaqi
          Beliau masih muda. Namun, Surabaya dan Jawa Timur bahkan seluruh Jawa hingga Jakarta dan Asia Tenggara seperti dalam genggaman pengaruhnya, itulah KH. Ahmad Asrori Al Ishaqi putra keenam KH. Utsman asal Kedinding Lor Surabaya Jawa Timur.
Minggu pagi akhir bulan Pebruari tahun 2006 lalu kawasan Lapangan Mataram Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh masyarakat yang ingin berolah raga ringan, berbelanja dan sekedar jalan jalan untuk menikmati udara pagi, hari itu tampak lain dari hari-hari minggu sebelumnya. Puluhan keamanan sejak subuh disibukkan oleh kehadiran puluhan ribu masyarakat berbaju putih putih dari berbagai penjuru kota di Jawa untuk mengatur arus lalu lintas. Saking padatnya, Jalan Wilis dan Sriwijaya merupakan jalur utama jurusan Semarang Jakarta harus ditutup total selama 24 jam dan disulap menjadi area parkir kendaraan roda dua dan empat atau lebih. Bahkan malam sebelumnya puluhan rombongan bis bis pariwisata dan reguler serta ratusan kendaraan pribadi sudah memasuki wilayah Kota Pekalongan yang terkenal dengan industri batiknya menuju satu titik, yakni Lapangan Mataram. Ada apa gerangan ?
Di Lapangan Mataram inilah tidak kurang dari lima puluh ribu kaum muslimin dan muslimat, dari anak-anak hingga orang dewasa dari berbagai penjuru tanah air secara bersama sama melakukan kegiatan istighotsah, manaqib Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa dan tahlil akbar dalam rangka “Haflah dzikir, Maulidurrasul dan Haul Akbar Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro RHa.” yang dipimpin langsung oleh ulama kharismatik penyejuk ummat asal Kedinding Lor, Semampir, Surabaya Jawa Timur, yakni KH. Ahmad Asrori Utsman Al Ishaqi.
Suara gema istighotsah dan tahlil akbar mengguncang langit Kota Pekalongan di pagi hari menembus cakrawala hingga radius dua kilometer. Kota Pekalongan yang biasanya ramai oleh hiruk pikuk masyarakat sibuk dengan urusannya masing masing, hari itu ikut larut dalam gema istighotsah dan tahlil. Apalagi kegiatan ini disiarkan langsung oleh tiga radio yang sudah punya nama di Kota Pekalongan dan Batang, yakni Radio Amarta FM, Radio Abirawa Top FM dan Radio PTDI Walisongo, maka lengkaplah suasana di pagi hari yang cerah dengan busana putih putih di atas hamparan rumput hijau dengan menyebut asma Allah hingga ribuan kali sampai menggetarkan kalbu yang gersang oleh kondisi zaman.
“Kegiatan bertaraf internasional ini diselenggarakan tidak hanya semata-mata mendo’akan istri Rasulullah SAW Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro saja, akan tetapi juga mendoa’akan sesepuh para ulama, syuhada’ dan sholihin serta ummat Islam yang telah ikut berjasa dalam pengembangan agama Islam di wilayah Kota Pekalongan dan sekitarnya”, ujar Ketua Umum Pengurus Pusat Jama’ah Al Khidmah H. Hasanuddin, SH. kepada NUBatik Online. Maka, tidaklah mengherankan jika masyarakat begitu antusias mengikuti acara yang baru pertama kali digelar di Kota Pekalongan.
Bayangkan saja, lapangan Mataram yang cukup luas itu disulap oleh panitia menjadi arena berdzikir bak tenda besar. Seluruh lapangan tertutup rapat oleh tenda tidak kurang dari 250 set layos (tratag) dan di dalamnya membentang panggung raksasa ukuran 50 x 16 meter persegi dengan dekorasi yang cukup mewah. Untuk persiapannya saja, memerlukan waktu tiga hari memasangnya dan pihak panitia mendatangkan secara khusus panggung dan dekorasi dari Ponpes Al Fithrah Semarang.
Bahkan untuk mengcover arena agar seluruh peserta dzikir dapat mendengar dengan baik, pihak panitia mendatangkan secara khusus sound system berkekuatan 30 ribu watt dari Malang Jawa Timur yang diangkut satu truk tronton, di tambah dengan 6 set sound system lokal dengan kekuatan masing masing 3 ribu watt, sehingga peserta / pengunjung yang hadir dapat mengikuti acara demi acara dengan baik dan khusu’, saking besarnya kekuatan sound system, acara tersebut dapat didengar hingga radius 2 kilometer.
Mayoritas jama’ah yang hadir memang datang dari seluruh pelosok Jawa Tengah. “Kami sengaja hadir di majelis ini, karena pada tahun ini hanya diselenggarakan di Pekalongan”, ujar Mukminin asal Jepara. Dirinya membawa beberapa bis untuk mengangkut rombongan asal kota ukir Jepara. “Kegiatan tahun kemarin di Kabupaten Demak kami juga membawa rombongan lebih besar, akan tetapi karena kali ini agak jauh maka tidak banyak yang kami bawa” kata pemuda yang masih lajang ini. Hal senada juga diungkapkan Rohman pimpinan rombongan asal Grobogan dan Nur Kholis asal Salatiga. Selain Jawa Tengah, tidak sedikit pula rombongan berasal dari Jawa Timur, Madura, Jawa Barat dan Jakarta. Hal ini terlihat dari kendaraan berplat nomor AG, L, W, N, B dan lain lain. Bahkan juga hadir puluhan jama’ah asal mancanegara, seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam dan Timur Tengah.
Rumah-rumah penduduk dan gedung-gedung di sekitar Lapangan Mataram seperti Gedung Wanita, Kantor MUI, Balai Kelurahan Podosugih, Balai Kelurahan Bendan, Rumah Singgah Dupan Mall, Gedung Balai Latihan Kerja (BLK), serambi-serambi Masjid, Musholla hingga ruko berubah fungsi menjadi tempat penginapan. “Saya setiap pagi selalu mendengarkan pengajian Kiai Asrori di Amarta FM, materinya sangat disukai masyarakat dan menyejukkan hati, jadi sangat wajar jika masyarakat sekitar sini dengan antusias rumahnya menjadi tempat penginapan”, kata Ibu Romlah asal Podosugih Kota Pekalongan. Bahkan Paguyuban warung makan Lamongan yang banyak tersebar di kawasan jalur Pantura secara ikhlas menyediakan makanan dan minuman gratis untuk para tetamu yang telah hadir pada malam sebelumnya.
Uswah khasanah
Kalau ada pertanyaan, faktor apa yang mempersatukan mereka, bahkan rela berdesak-desakan selama berjam-jam ? jawabannya ada dua, yaitu Thariqah dan sosok Kiyai Asrori sendiri selaku Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah (dinisbatkan kepada Kiai Utsman). Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.
Keturunan Rasulullah ke-38
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang. Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Baiat thariqah
Kini, ulama yang usianya belum genap lima puluh tahun itu menjadi magnet tersendiri bagi sebagian kaum, khususnya ahli thariqah. Karena kesibukannya melakukan pembinaan jama’ah yang tersebar di seluruh pelosok tanah air hingga mancanegara. Kiai Rori menyediakan waktu khusus buat para tamu, yakni tiap hari Ahad. Sedangkan untuk pembaiatan, baik bagi jama’ah baru maupun lama dilakukan seminggu sekali. (ada tiga macam pembaiatan, yaitu Baiat Bihusnidzdzan, bagi tingkat pemula, Baiat Bilbarokah, tingkat menengah dan Baiat Bittarbiyah, tingkat tinggi).
Untuk menapaki level level itu, tiap jama’ah diwajibkan dzikir rutin yang harus diamalkan oleh murid yang sudah berbaiat berupa dzikir jahri (dengan lisan) sebanyak 160 kali dan dzikir khafi (dalam hati) sebanyak 1000 kali tiap usai sholat. Kemudian ada dzikir mingguan berupa khususi yang umumnya dilakukan jama’ah per wilayah seperti kecamatan.
Thariqah yang diajarkan Kiai Rori memang dirasakan berbeda dengan thariqah atau mursyid mursyid lainnya pada umumnya. Jika kebanyakan para mursyid setelah membaiat kepada murid baru, untuk amaliyah sehari-hari diserahkan kepada murid yang bersangkutan di tempat masing-masing untuk pengamalannya, tidak demikian dengan Kiai Rori. Beliau sebagai Mursyid Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah memiliki tanggung jawab besar, yakni tidak sekedar membaiat kepada murid baru kemudian tugasnya selesai, akan tetapi beliau secara terus-menerus melakukan pembinaan secara rutin melalui majelis khususi mingguan, pengajian rutin bulanan setiap Ahad awal bulan hijriyah dan kunjungan rutin ke berbagai daerah.
Untuk membina jama’ah yang telah melakukan baiat, khususnya di wilayah Jawa Tengah, bahkan Kiai Rori telah menggunakan media elektronik yaitu Radio Siaran untuk penyebaran dakwahnya, sehingga murid muridnya tidak lagi akan merasa kehilangan kendali. Ada lima radio di Jawa Tengah yang dimilikinya setiap pagi, siang dan malam selalu memutar ulang dakwahnya Kiai Rori, yakni Radio Rasika FM dan “W” FM berada di Semarang, Radio Citra FM di Kendal, Radio Amarta FM di Pekalongan dan Radio Suara Tegal berada di Slawi.
Radio radio inilah setiap harinya mengumandangkan dakwahnya yang sangat khas dan disukai oleh banyak kalangan, meski mereka tidak atau belum berbaiat, bahkan ketemu saja belum pernah, toh tidak ada halangan baginya untuk menikmati suara merdu yang selalu mengumandang lewat istighotsah di awal dan tutup siaran radio. Kemudian juga dapat didengar lewat manaqib rutin mingguan dan bulanan serta acara-acara khusus seperti Haul Akbar di Kota Pekalongan beberapa waktu lalu disiarkan langsung oleh tiga radio ternama di Kota Pekalongan dan Batang.
Dalam setiap memberikan siraman rohani, Kiai Rori menggunakan rujukan Kitab Nashaihul Ibad karya Syekh Nawawi Al Bantani, Al Hikam karya Imam Ibnu Atha’illah dan lain lain. Selain pengajian yang lebih banyak mengupas soal tasawuf, Kiai Rori juga sering menyisipkan masalah fiqih sebagai materi penunjang. Seorang ulama asal Ploso Kediri Jawa Timur, KH. Nurul Huda pernah bertutur, sulit mencari ulama yang cara penyampaiannya sangat mudah dipahami oleh semua kalangan dan do’anya sanggup menggetarkan hati seperti Kiai Asrori. Hal senada diakui oleh KH. Abdul Ghofur seorang ulama asal Pekalongan, Kiai Asrori seorang figur yang belum ada tandingnya, baik ketokohannya maupun kedalaman ilmunya.
Jama’ah Al Khidmah sebagai wadah
Sadar bahwa manusia tidak akan hidup di dunia selamanya, Kiai Asrori telah berfikir jauh ke depan untuk keberlangsungan pembinaan jama’ah yang sudah jutaan jumlahnya. Perkembangan jumlah murid cukup menggembirakan ini sekaligus mengundang kekawatiran. Apa pasal ? banyaknya murid yang berbaiat di Thariqah Qadiriyah wan Naqsabandiyah Al Utsmaniyah menunjukkan bahwa ajaran ini memiliki daya tarik tersendiri. Apalagi murid murid yang telah berbaiat terus dibina melalui berbagai majelis, sehingga amalan-amalan dari sang guru tetap terpelihara.
Di sisi lain banyaknya murid juga mengundang kekhawatiran sang guru. Karena mereka tidak terurus dan terorganisir dengan baik, sehingga pembinaannya pun kurang termonitor. Kondisi inilah yang mendorong beberapa murid senior memiliki gagasan untuk perlunya membentuk wadah di samping dorongan yang cukup kuat dari Kiyai Asrori sendiri, sehingga diharapkan dengan terbentuknya wadah bagi para murid-muridnya dapat lebih mudah melaksanakan amalan amalan dari gurunya.
Maka dibentuklah wadah bernama “Jama’ah Al Khidmah”. Organisasi ini resmi dideklarasikan tanggal 25 Desember 2005 kemarin di Semarang Jawa Tengah, dengan kegiatan utamanya ialah menyelenggarakan Majelis Dzikir, Majelis Khotmil Al Qur’an, Maulid dan Manaqib serta kirim do’a kepada orang tua dan guru-gurunya. Kemudian menyelenggarakan Majelis Sholat Malam, Majelis Taklim, Majelis Lamaran, Majelis Akad Nikah, Majelis Tingkepan, Majelis Memberi nama anak dan lain lain.
H. Hasanuddin menjelaskan, organisasi ini sengaja dibentuk bukan karena latah apalagi berorientasi ke politik praktis, akan tetapi semata mata agar pembinaan jama’ah lebih terarah dan teratur. Siapapun bisa menjadi anggotanya, baik yang sudah baiat atau yang belum baiat. Seperti kegiatan kegiatan Haul Akbar di Kota Pekalongan tempo hari merupakan salah satu bukti bahwa kegiatan Jama’ah Al Khidmah banyak diminati oleh berbagai kalangan khususnya di wilayah Pekalongan dan sekitarnya.
Meskipun di wilayah ini belum banyak yang menyatakan baiat ke Kiai Asrori, ternyata magnet kiai yang berpenampilan kalem dan sederhana ini dapat menghadirkan puluhan ribu ummat Islam untuk duduk bersimpuh bersama-sama dengan para kiyai, ulama, habaib dan ratusan undangan lainnya untuk bersama-sama melakukan dzikir dan mendoa’akan istri Rasulullah Ummil Mukminin Sayyidatina Siti Khodijah Al Kubro yang kini telah mulai banyak dilupakan ummat Islam.
Acara ini memang tergolong khusus, pasalnya kegiatan Haul Sayyidatina Siti Khodijah tidak lazim dilaksanakan oleh ummat Islam. sehingga banyak yang tidak menyangka kegiatan ini akan mendapat perhatian yang cukup besar. Bahkan Habib Umar Bin Salim cucu Rasulullah SAW asal Hadramaut Yaman Yordania yang hadir dalam secara khusus di majelis dzikir itu mengatakan, sudah selayaknya ummat Islam mendoakan istri Rasulullah, karena beliau mempunyai peranan yang sangat penting dan banyak jasanya membantu Rasulullah dalam pengembangan ajaran Islam. ”Kami siap hadir setiap majelis ini digelar”, ujarnya usai acara. [mu’is]
BIOGRAFI KH. AHMAD ASRORI AL-ISHAQI KEDINDING SURABAYA PART II
KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.
Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, yaitu 30 tahun. Wassalam
KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.
Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini. Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.
Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya. Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar. Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.
Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu. Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.
Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.
Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan. Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.
Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun. Telah meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding Surabaya Beliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya
Kiai As’ad, yang rajin membaca dan berlangganan enam koran ditambah sebuah majalah mingguan berdarah Madura asli. Lahir tahur 1897 di Mekah ketika orangtuanya menunaikan ibadat haji. Satu satunya adiknya, Abdurrahman juga lahir di kota suci itu dan bahkan menjadi hakim dan meninggal di Arab Saudi. Pada umur 6 tahun, oleh ayahnya, K.H. Syamsul Arifin, seorang ulama besar di Madura, K.H. As’ad ditaruh di Pesantren Sumber Kuning, Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun, As’ad diajak ayahnya menyeberangi laut dan membabat hutan disebelah timur Asembagus yang waktu itu terkenal angker “Dulu tidak ada orang, kecuali ha- rimau dan ular berbisa,” kata Kia As’ad mengenang. Di bekas hutan perawan itu, mereka membangur permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo. Pada usia 16 tahun, bersama seorang adiknya, Abdurrahman. As’ad dikirim kembali ke Mekah dengan harapan setelah pulang mewarisi Pesantren Sukorejo. Hanya 3 tahun bertahan di Mekah , ia kembali ke tanah air dan masih belajar
di beberapa pesantren. Di berbagai pondok ini, bukan cuma agama yang dipelajari, juga ilmu silat, ilmu kanuragan. As’ad juga pernah belajar di Pondok Tebuireng pimpinan K.H. Hasyim Asyari, dan menjadi kurir ulama ini menjelang lahirnya NU tahun 1929. Setelah NU berkembang, ia ternyata tak terpaku hanya pada NU. As’ad juga memasuki Sarekat Islam selama pernah menjadi anggota organisasi Penyedar – yang didirikan Bung Karno. Di sinilah, As’ad kenal dekat dengan presiden pertama ini. Di tengah gejolak perjuangan itu (1939), K.H. As’ad menyunting gadis Madura, Zubaidah. Dan kini dikaruniai lima anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, Ahmad Fawaid, kini baru 14 tahun. Empat anak perempuannya semua sudah kawin dan memberinya sembilan cucu serta tiga buyut. Pada masa mudanya, KH R. As’ad muda menghabiskan masa lajangnya di berbagai pondok pesantren di pulau jawa. Beberapa PONPES yang pernah beliau tempati dalam mengais ilmu agama, antara lain PP Demangan Bangkalan asuhan KH. Cholil, PP Panji, Buduran, PP Tetango Sampang, PP Sidogiri Pasuruan, PP Tebu Ireng Jombang dan berbnagai PONPES lainnya di Pulau Jawa dan Madura. Setelah malang melintang di berbagai pesantren beliau melanjutkan studinya ke Makkatal Mukarromah dan disana beliau berguru kepada Ulama’-ulama besar seperti Sayyid Muhammad Amin Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid Hasan Al-Yamani dan Syekh Abbas Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.
Kiai As’ad dan NU
Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini, KHR. As’ad adalah sosok kyai yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan budaya-budaya ke-NU an. Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kyai As’ad muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa dimana terjadi peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite HIjaz “ menjadi “jam’iyah” Kyai As’ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyaroh KH. Cholil kepada KH. Hasyim As’ari Jombang. Beliau diutus oleh Kyai Cholil pada tahun 1924 beliau menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thoha ayat 17 s/d 23, pada tahun 1925 beliau kembali di utus menyampaikan hasil istikhoroh gurunya kepada KH. Hasyim As’ari, beliau kembali kejombang dengan seuntai tasbih dan bacaan ya jabber, ya qohhar 3x. Pada tahun 1945, ketika Laskar Hisbullah dibentuk Kyai As’ad langsung bergabung dan memimpin pasukan bergerilya di daerah besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau pimpin adalah bara mantan bajingan, mereka dihimpun dalam barisan pelopor yang kemudian engambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan penumpasan PKI di Situbondo 1965.
Setelah pemilu 1955, Kyai As’ad menjadi anggota konstituante sampai tahun 1959. setelah Lembaga itu di bubarkan oleh Bung Karno beliau tidak banyak beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971, Kyai As’ad menjadi DPRD Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukun PPP karena NU saat itu mendukung PPP. Selain itu, Kyai As’ad merupakan salah satu diantara sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara pemerintah dan umat islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas dantangkas sertabijaksana, beliaiu mampu memainkan perannya sebagai ulama’ NU (pengayom Masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.
Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah mata
pelajaran PMP yang menjadi kontrofersi antara umat islam dan pemerintah,
tanpa banyak bicara beliau langsung menemui presiden soeharto dan menunjukan
beberapa hal yang mestinya dikoreksi, tidak beberapa lama, dalam tahun itu
juga PMP yang menuai kontrofersi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh
pemerintah.
Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam
tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai
satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik maupun kemasyarakatan,
tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi’iyah berkumpul ratusan Ulama’ NU untuk
mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal 18-21
Desember 1983. ketika semua Ormas Islam benyak menolak azas pancasila,
justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan aqidah
islam dan Munas tersebut memutuskan mengembalikan NU kegaris dan landasan
asalnya, yang kemudian popular dengan istilah kembali ke khittah 1926.
Inilah sebagian dari peran Kyai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU dan Umat
Islam di Negara ini.
Pesantren Sukorejo di bawah K.H. As’ad kini berkembang dengan pesat.
Terletak di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur
Kecamatan Asembagus. Dipintu gerbangnya tertulis bahasa Arab Ahlan Wa Sahlan
dan bahasa Inggris Welcome. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan
gaya pesantren, juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas
Ibrahimy. Santri yang mengaji d pesantren sekitar 3.000, dan jika dihitung
semua siswa (santri dan murid sekolah umum) berjumlah 4.100 orang. Kompleks
ini dijuluki “ kota santri”. Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri
setiap saat terlihat main bola – memakai sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad
membangun masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali
dimaksudkan agar para santrl lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Kiai yang rajin memelihara tanaman hias ini pernah mempunyai seekor kuda
putih warna kegemarannya. “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya tentang
kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai
pengganti. Namun, ada “kuda” lebih gesit yang dimiliki Kiai sekarang, yaitu
mobil kolt. Juga putih.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara
seekor burung beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung
itu memberi salam: assalamu’alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur sapa
sang beo, biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan
kata-kata assooiiii … Tapi burung beo itu pun, menurut santrl di sana ,
menyerukan Allahuakbar bila bergema suara azan. “Burung ini pemberian orang
sebagai hadiah,” kata seorang pembantu Kiai As’ad.
Toh ada yang khawatir tentang pesantren yang populer di Jawa Timur ini.
Termasuk Kiai As’ad sendiri. Pasalnya, adalah soal usia Kiai yang sudah
cukup sepuh, sementara pewaris satu-satunya, Ahmad Fawaid, masih sangat
muda. “Saya tak tega menyekolahkan Ahmad ke Arab Saudi, usianya masih muda –
mungkin tiga tahun lagi,” ujar Kiai. “Sang putra mahkota”, walau tekun juga
mengaji bersama teman sebayanya, kamarnya penuh dengan kaset, radio,
televisi, bahkan video. Sebagai anak muda, “hampir setiap saat ia tenggelam
dengan hiburan itu,” ujar seorang pembantu Kiai. Untuk Ahmad Fawaid memang
disediakan kamar khusus yang jauh dari rumah papan Kiai As’ad. Tapi sejak
beberapa waktu lalu telah ditunjuk K.H. Dhofir Munawar, menantu Kiai As’ad
dari anak pertamanya, sebagai pengelola pesantren sehari-hari.
SETELAH menjadi anggota Konstituante (1959), ia tak lagi tergiur pada
jabatan politik. Ia menolak jabatan yang disodorkan Bung Karno untuk menjadi
menteri agama di zaman Nasakom. Bahkan, sebagai ulama yang cukup terpandang
di kalangan Nahdatul Ulama (NU), ia juga menolak ketika ditawari untuk
menjadi rois am, bahkan rois akbar.
Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin, pimpinan Pondok Pesantren Salafiyah
Syafiiyah, Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur, agaknya memang hanya tertarik mengurusi pesantrennya. “Saya ini bukan
orang politik, saya ini orang pesantren,” kata kiai berusia 86 tahun itu.
Lebih-lebih karena pengalaman selama menjadi anggota Konstituante
(1957-1959): selama itu pula pesantrennya sangat mundur.
Bukan berarti Kiai As’ad menyembunyikan diri dari keriuhan politik dan
hingar-bingar NU, yang sampai kini tak pernah selesai tuntas. Terbukti dari
kegiatannya menerima tamu yang tak putus-putusnya. Banyak pengamat menilai,
Kiai As’ad adalah salah seorang dari sedikit ulama yang pandai menjembatani
jika ada “ketegangan” antara pemerintah dan umat Islam, khususnya NU. Ketika
ribut-ribut soal buku PMP, Kiai As’ad tanpa banyak bicara, langsung menemui
Pak Harto. “Bagaimana Pak, buku PMP ini ‘ kan bisa merusak akidah umat
Islam,” kata Kiai mengulang pembicaraan yang sudah setahun lebih itu.
Berbicara begitu, Kiai As’ad memberi beberapa contoh yang semestinya
dikoreksi. Pak Harto, menurut Kiai, berjanji akan menyelesaikannya.
“Ternyata buku itu akhirnya disempurnakan,” kata Kiai, yang sudah 15 kali ke
Mekah.
Di saat ribut-ribut soal asas tunggal Pancasila, awal Agustus, untuk
kesekian kalinya, Kiai As’ad menemui Pak Harto di Cendana. Pertemuan itu,
yang dihadiri juga oleh Menteri Agama K.H. Munawir Syadzali yang
direncanakan cuma 15 menit, mekar menjadi 1 jam. Kepada Presiden ditegaskan
pendirian NU yang menerima Pancasila. “Ini penting ditegaskan, karena NU
sejak semula berlandaskan Pancasila dan UUD 45,” tuturnya. Presiden, menurut
Kiai, manggut-manggut. Bahkan Kiai As’ad lebih menegaskan, “Islam wajib
menerima Pancasila, dan haram hukumnya bila menolaknya. Sila pertama itu
selaras dengan doktrin tauhid dan Qulhuallahu Ahad.”
Dalam kemelut NU, Rois Am K.H. Ali Ma’shum, bersama pengurus NU lainnya,
mondar-mandir ke Situbondo. Kiai As’ad dipercayai menjadi “penengah”
penyelesaian kericuhan setelah K.H. Idham Chalid, sebagai pucuk pimpinan
PBNU, menyatakan mundur – tapi kemudian mencabut pernyataan itu.
Di pesantrennya, Kiai menempati rumah sederhana berdinding papan berukuran 3
x 6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri
pria itu tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Tapi tidak sembarang tamu
boleh berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang sudah
dianggap keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di
rumah yang lebih bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang
berukuran sekitar 30 m2 yang digelari permadani untuk tamu yang ingin bermlm
TANBIH
Bismillahir Rohmanirrohiim
Tanbih ini dari Syekhuna Almarhum Syekh Abdullah Mubarrok bin Nur Muhammad yang bersemayam di patapan Suryalaya Kajembaran Rahmaniyah.
Sabda beliau khususnya kepada segenap murid – murid pria maupun wanita, tua maupun muda :
Semoga ada dalam kebahagiaan, dikaruniai Allah SubhanahuWa Ta’ala kebahagiaan yang kekal dan abadi dan semoga tak akan timbul keretakan dalam lingkungan kita sekalian.
Pun pula semoga Pimpinan Negara bertambah kemuliaanya dan keagunganya supaya dapat melindungi dan membimbing seluruh rakyat dalam keadaan aman, adil dan makmur dhohir mupun bathin.
Pun kami tempat orang bertanya tentang THOREQOT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH, menghaturkan dengan tulus ikhlas wasiat kepada segenap murid – murid :
Berhati hatilah dalam segala hal jangan sampai berbuat yang bertentangan dengan peraturan AGAMA maupun NEGARA.
Taatilah kedua – duanya tadi sepantasnya demikianlah seharusnya sikap manusia yang tetap dalam keimanan, tegasnya dapat mewujudkan kerelaan terhadap Hadhirat Ilahi Robbi yang membuktikan perintah dalam AGAMA maupun NEGARA.
INSYAFILAH HAI MURID – MURID SEKALIAN !, jangan terpaut oleh bujukan nafsu, terpengaruh oleh godaan syetan, WASPADALAH akan jalan penyelewengan terhadap terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA agar dapat meneliti diri, kalau – kalau tertarik oleh bisikan iblis yang selalu menyelinap dalam hati sanubari kita semua.
Lebih baik buktikanlah kebajikan yang timbul dari kesucian :
1.     Terhadap orang –orang yang derajatnya lebih tinggi dari pada kita, baik dhohir maupun batin, harus kita hormati begitulah seharusnya hidup rukun, saling harga menghargai.
2.     Terhadap sesama yang sederajat dengan kita dalam segala –galanya, jangan sampai terjadi persengketaan, sebaiknya harus bersikap rendah hati, bergotong royong dalam melaksanakan perintah AGAMA maupun NEGARA, jangan sampai terjadi perselisihan dan persengketaan, kalau – kalau kita terkena FirmanNYA “ AZABUN ALIIM “, yang berarti duka nestapa untuk selama – lamanya dari DUNIA sampai AKHIRAT ( badan payah hati susah ).
3.     Terhadap orang – orang yang keadaanya ada dibawah kita, janganlah hendak menghinakanya atau berbuat tidak senonoh, bersikap angkuh, sebaiknya harus belas kasihan dengan kesadaran, agar mereka merasa senang dan gembira hatinya, jangan smpai merasa takut dan liar, sebaliknya harus dituntun, dibimbing dengan nasihat yang lemah lembut yang akan memberikan keinsyafan dalam menginjak jalan kebajikan.
4.     Terhadap fakir miskin, harus belas kasih sayang, ramah tamah serta bermanis budi, bersikap murah tangan, mencerminkan bahwa hati kita sadar. Coba rasakan diri kita pribadi, betapa pedihnya jika dalam keadaan kekurangan, oleh karena itu janganlh acuh tak acuh, hanya diri sendiri yang senang, karena mereka jadi fakir miskin itu bukanya kehendak sendiri, namun itulah kodrat Tuhan.
Demikian sesungguhnya sikap manusia yang penuh kesadaran, meskipun terhadap orang asing karena mereka masih keturunan Nabi Adam Alaihi Salaam, mengingat ayat 70 Surat AL-Isro yang artinya :
“Sangat kami muliyakan keturunan Adam dan kami sebarkan segala apa yang didarat dan di lautan. Dan kami beri mereka Riski yang ada didarat dan dilautan. Juga kami mengutamakan mereka lebih utama dari makhluk lainya.”
Kesimpulan dari ayat ini, bahwa kita sekalian seharusnya saling menghargai, jangan timbul kekecewaan, mengingat Surat AL-Maidah, yang artinya :
Hendaklah tolong menolong dengan sesama dalam melaksanakan kebajikan dan ketakwaan dengan sungguh – sungguh terhadap AGAMA maupun NEGARA. Sebaliknya janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan terhadap perintah AGAMA maupun NEGARA.
Adapun soal keagamaan, itu terserah agamanya masing – masing, mengingat Surat Al-Kafirun ayat 6 : AGAMAMU UNTUK KAMU, AGAMA KU UNTUK AKU, maksudnya jangan sampai terjadi perselisihan, wajiblah kita hidup rukun dan damai, saling harga menghargai, tetapi janganlah sekali – kali ikut campur.
Cobalah renungkan pepatah leluhur kita : Hendaklah kita bersikap budiman, tertib dan damai, andaikan tidak demikian, pasti “ Sesal dahulu pendapatan, Sesal kemudian tak berguna” karena yang menyebabkan penderitaan diri pribadi itu adalah akibat dari amal perbuatan diri sendiri.
Dalam Surat An-Nahl ayat 112 diterangkan bahwa:
Tuhan Yang Maha Esa telah memberikan beberapa contoh, yakni tempat maupun kampung, desa maupun Negara yang dahulunya aman dan tenteram, gemah ripah, loh jinawi, namun penduduknya mengingkari nikmat – nikmat Allah, maka lalu berkecamuklah bencana kelaparan, penderitaan dan ketakutan yang disebabkan sikap dan perbuatan mereka sendiri.
Oleh karena itu, hendaklah murid – murid bertindak teliti dalam segala jalan yang ditempuh, guna kebaikan dhohir, bathin, dunia maupun akhirat, hati tenteram, jasad nyaman, jangan sekali – kali timbul persengketaan, tidak lain tujuan kita adalah “BUDI UTAMA JASMANI SEMPURNA” ( CAGEUR – BAGEUR ).
Tiada lain amalan kita, THOREQOT QODIRIYAH WANNAQSYABANDIYYAH, amalkan sebaik – baiknya guna mencapai segala kebajikan, menjauhi segala kejahatan dohir maupun bathin yang bertalian dengn jasmani mupun rohani, yang selalu diliputi bujukan nafsu, digoda oleh perdaya syetan.
Wasiat ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh segenap murid – murid agar supaya mencapai keselamatan DUNIA dan AKHIRAT.
Aamiin…
PATAPAN SURYALAYA, 13 Februari 1956
Wasiat ini disampikan kepada sekalian ikhwan
t.t.d
(Syekh Akhmad ShohibulWafa  Tajul Arifin)
Untaian Mutiara
Jangan Benci Kepada Ulama Yang Sezaman
Jangan Menyalahkan Pengajaran Orang Lain
Jangan Memeriksa Murid Orang Lain
Jangan Berhenti Bekerja Meskipun Disakiti Orang
Harus Menyayangi Orang Yang Membenci Kepadamu
URUTAN DAN TATA CARA MANAQIB TQN SURYALAYA
Manaqib adalah salah satu pilar dari pengamalan tarekat Qodiriyyah WannaqsyabandiyyAh Suryalaya sebelum upacara dimulai terlebih dahulu diberikan penjelasan oleh sesepuh atau yang dipercaya untuk memimpin jalanya manaqib agar peserta yang hadir berdisiplin, khusyu dan tawadhu hati harus selalu ingat kepada Allah dalam mengikuti upacara manaqiban sampai selesai :
Urutan susunan mata acara manaqib :
1.    Pembukaan
2.    Pembacaan Ayat Suci Al-Quran ( Jika ada Qari )
3.    Pembacaan Tanbih
4.    Pembacaan tawasul
5.    Pembacaan manaqib
6.    Dawah / ceramah dari mubaligh
7.    Pembacaan shalawat bani hasyim
8.