Jadual Shalat Kab Pamekasan

Sabtu, 30 Juni 2012

Para Syaikh Sufisme Thoriqoh


Tarekat ini dimasyhurkan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Al-Uwaisi al Bukhari Naqsyabandi Q.S. (Mursyid yang berada pada silsilah ke-15 dalam Tarekat Naqsyabandiyah). Pada sumber lain nama beliau ditulis Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukharisementara ada pula yang menyebutnya dengan nama Bahauddin Shah Naqsyabandi.  Beliau lahir di Qashrul ‘Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah (Uzbekistan), pada Muharram tahun 717 H, atau tahun 1318 Masehi. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab sa’adah (bentuk jamak dari kata sayyid), sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, "Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid."
Shah Naqsyabandi diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk jamak dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’, yang dalam Persia berarti para kiai agung/mahaguru). Mahaguru tersohor pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Baba As Sammasi Q.S. (yang berada pada silsilah ke 13).
Ketika Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi melihat cahaya menyemburat dari arah Qashrul ‘Arifan, yaitu saat beliau mengunjungi desa sebelahnya. Menurut riwayat lain, tanda-tanda aneh yang muncul sebelum kelahiran Shah Naqsyabandi, berupa bau harum semerbak ke penjuru desa kelahirannya. Bau harum itu tercium ketika rombongan Khoja Baba Sammasi, bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu Khoja Baba Sammasi berkata, "Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki-laki yang akan lahir di desa ini." Sekitar tiga hari sebelum Shah Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Setelah Shah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Khoja Baba Sammasi di daerah Sammas (sekitar 4 km dari Bukhara). Khoja Baba Sammasi menerimanya dengan gembira dan berkata, "Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya."
Sumber lain meriwayatkan, setelah 18 tahun Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya kehadapan dirinya dan langsung dibai’at. Beliau lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.

Sebelum meninggal dunia, Khoja Baba Sammasi memberi wasiat kepada penerusnya, Syaikh As Sayyid Amir Kulal Q.S. (silsilah ke 14), agar mendidik Shah Naqsyabandi meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"
Tarekat ini dimasyhurkan oleh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Al-Uwaisi al Bukhari Naqsyabandi Q.S. (Mursyid yang berada pada silsilah ke-15 dalam Tarekat Naqsyabandiyah).  Pada sumber lain nama beliau ditulis Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari sementara ada pula yang menyebutnya dengan nama Bahauddin Shah Naqsyabandi.  Beliau lahir di Qashrul ‘Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah (Uzbekistan), pada Muharram tahun 717 H, atau tahun 1318 Masehi. Nasabnya bersambung kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Al-Husain RA.
Semua keturunan Al-Husain di Asia Tengah dan anak benua India lazim diberi gelar shah, sedangkan keturunan Al-Hasan biasa dikenal dengan gelar zadah dari kata bahasa Arab sa’adah (bentuk jamak dari kata sayyid), sesuai dengan sabda Rasulullah SAW tentang Al-Hasan RA, "Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid."
Shah Naqsyabandi diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah.
Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk jamak dari ‘khwaja’ atau ‘khoja’, yang dalam Persia berarti para kiai agung/mahaguru). Mahaguru tersohor pada masa itu adalah Syaikh Muhammad Baba As Sammasi Q.S. (yang berada pada silsilah ke 13).
Ketika Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi melihat cahaya menyemburat dari arah Qashrul ‘Arifan, yaitu saat beliau mengunjungi desa sebelahnya. Menurut riwayat lain, tanda-tanda aneh yang muncul sebelum kelahiran Shah Naqsyabandi, berupa bau harum semerbak ke penjuru desa kelahirannya. Bau harum itu tercium ketika rombongan Khoja Baba Sammasi, bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu Khoja Baba Sammasi berkata, "Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki-laki yang akan lahir di desa ini." Sekitar tiga hari sebelum Shah Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Setelah Shah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Khoja Baba Sammasi di daerah Sammas (sekitar 4 km dari Bukhara). Khoja Baba Sammasi menerimanya dengan gembira dan berkata, "Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya."
Sumber lain meriwayatkan, setelah 18 tahun Shah Naqsyabandi lahir, Khoja Baba Sammasi memanggil kakek Bahauddin agar membawanya kehadapan dirinya dan langsung dibai’at. Beliau lalu mengangkat Bahauddin sebagai putranya.

Sebelum meninggal dunia, Khoja Baba Sammasi memberi wasiat kepada penerusnya, Syaikh As Sayyid Amir Kulal Q.S. (silsilah ke 14), agar mendidik Shah Naqsyabandi meniti suluk sufi sampai ke puncaknya seraya menegaskan, "Semua ilmu dan pencerahan spiritual yang telah kuberikan menjadi tidak halal bagimu kalau kamu lalai melaksanakan wasiat ini!"

Meniti Suluk Sufi

Shah Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf. Beberapa sumber sepakat, beliau belajar tasawuf kepada Khoja Baba Sammasi sejak berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya wafat. Sebelum Khoja Baba Sammasi wafat, beliau mengangkat Shah Naqsyabandi sebagai khalifahnya.
Shah Naqsyabandi berangkat ke kediaman Sayyid Amir Kulal di Nasaf dengan membawa bekal dasar yang telah diberikan oleh Khoja Baba Sammasi. Antara lain berupa ajaran, bahwa jalan tasawuf dimulai dengan menjaga kesopanan tindak-tanduk dan perasaan hati agar tidak lancang kepada Allah, Rasulullah, dan Guru.
Shah Naqsyabandi juga percaya bahwa sebuah jalan spiritual hanya bisa mengantarkan tujuan kalau dilalui dengan sikap rendah hati dan penuh konsistensi. Karena itu, melakukan makna eksplisit dari sebuah perintah barangkali harus diundurkan demi menjaga kesantunan.
Inilah yang dilakukan oleh Shah Naqsyabandi ketika dihentikan oleh seorang laki-laki berkuda yang memerintahkan kepada dirinya agar berguru pada orang tersebut. Dengan tegas, tapi sopan, ia menolak seraya menyatakan bahwa ia tahu siapa laki-laki itu. Masalah berguru kepada seorang tokoh adalah persoalan jodoh, meskipun lelaki berkuda tadi sangat mumpuni, ia tidak berjodoh dengan Shah Naqsyabandi.
Setiba di hadapan Sayyid Amir Kulal, Shah Naqsyabandi langsung ditanya mengapa menolak perintah lelaki berkuda yang sebenarnya adalah Nabi Khidir AS itu? Beliau menjawab, "Karena, hamba diperintahkan untuk berguru kepada Anda semata!"
Di bawah asuhan Sayyid Amir Kulal, Shah Naqsyabandi mengalami berbagai peristiwa yang mencengangkan. Di antaranya secara rohani mendapat pengajaran dari Syaikh Abdul Khalik Fajduani Q.S. (silsilah ke 9). Sehingga, meskipun Shah Naqsyabandi belajar tasawuf dari Khoja Baba Sammasi, dan tarekat yang diperoleh dari Sayyid Amir Kulal juga berasal dari Khoja Baba Sammasi, namun Tarekat Naqsyabandiyah tidak persis sama dengan Tarekat As Sammasi. Dzikir dalam Tarekat As Sammasi diucapkan dengan suara keras bila dilaksanakan berjamaah, namun bila dilakukan sendiri-sendiri adalah dzikir qalbi. Sedangkan dzikir Tarekat Naqsyabandiyah adalah dzikir qalbi, baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri.
Sesungguhnya dzikir qalbi yang dikembangkan oleh Tarekat Naqsyabandiyah ini telah diajarkan oleh Syaikh Abu Yakub Yusuf Al-Hamadani q.s. (silsilah ke 8). Beliau adalah seorang sufi yang hidup sezaman dengan wali akbar Syaikh Abdul Qadir Jaelani Q.S. (470 - 561 H/1077 - 1166 M). Syaikh Al-Hamadani mempunyai dua orang khalifah utama, yaitu, Syaikh Abdul Khalik Fajduani - wafat 1220 M, dan Syaikh Ahmad Al-Yasawi - wafat 1169 M.
Syaikh Abdul Khalik Fajduani inilah yang meneruskan silsilah tarekat ini sampai dengan Syaikh Bahauddin Shah Naqsyabandi. Syaikh Abdul Khalik Fajduani menyebarluaskan ajaran tarekat ini sampai ke daerah Transoxania di Asia Tengah. Adapun dari Syaikh Ahmad Al-Yasawi kemudian muncul dan berkembang Tarekat Yasawiyah di Asia, lalu menyebar ke daerah Turki dan Anatolia - Asia Kecil.
Syaikh Abdul Khalik Fajduani yang tarekatnya disebut Khwajakhan atau Khwajakhaniah (Baca : Mozaik No. 05/2009 ), telah menetapkan 8 (delapan) ajaran dasar tarekatnya, yang kemudian ditambah 3 (tiga) ajaran dasar lagi oleh Syaikh Bahauddin Shah Naqsyabandi.
Dalam perjalanan hidupnya, Shah Naqsyabandi pernah bekerja untuk Sultan Khalil, penguasa Samarkand dan memberi andil yang besar dalam membina masyarakat menjadi makmur sehingga pemerintahan Sultan Khalil menjadi terkenal. Setelah Sultan Khalil wafat (1347 M), Shah Naqsyabandi pergi ke Zerwatun (Khurasan) dan hidup sebagai sufi yang zuhud, sambil melakukan amal kebaikan untuk umat manusia dan alam selama 7 tahun. Pencatatan segala amal perbuatannya dilakukan dengan baik oleh salah seorang muridnya yang setia, bernama Saleh bin al-Mubarak. Himpunan catatan tersebut dimuat dalam sebuah karya berjudul, "Maqamaat Sayyidina Syah Naqsyaband."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

slahkan comentnya